Illustrasi: Jonpey
BISAKAH kontradiksi antara kepentingan kapitalis dan buruh disudahi? Apa ada cara yang adil supaya kepentingan dua kelas tersebut sama-sama terpenuhi? Lalu apa bisa kapitalis-buruh hidup berdampingan dan saling mengisi? Sebagian kawan di persimpangan kiri jalan biasanya menjawab dengan tegas: Tidak bisa dan tidak ada. Namun sebagian lainnya akan menjawab: Bisa saja, asal bla bla bla. Lantas jika ya kenapa dan jika tidak kenapa?
Pembaca karya-karya Hegel dan Marx-Engels tentu saja tidak asing lagi dengan istilah kontradiksi. Tapi apakah kawan-kawan pernah baca On Contradiction karangan Mao Zedong? Kalau belum, lewat tulisan ini saya akan mencoba menceritakan secara singkat dan mengulas bagaimana pembacaan terhadap tulisan Mao dapat menjawab pertanyaan di atas.
Tulisannya ini disusun dalam rangka mengisi materi di Universitas Militer dan Politik Anti-Jepang untuk melanjutkan materi sebelumnya yang berjudul On Practice pada Juli 1937. Kuliah ini ditujukan untuk menghalau cara berpikir idealis yang empiris dan dogmatis di dalam partai kala itu. Mao pun mengangkat kembali apa yang telah dibahas oleh Engels dan Lenin sebelumnya yaitu sebuah inti dari dialektika itu sendiri, yaitu kontradiksi.
Dalam tulisannya, Mao merangkum beberapa bahasan filosofis terhadap kontradiksi: Dua pandangan terhadap dunia, keuniversalan kontradiksi, kekhususan kontradiksi, kontradiksi utama, aspek utama dari kontradiksi, sampai antagonisme dalam kontradiksi. Apa maksud dari kesemuanya itu? Mari kita kupas satu per satu.
Sepanjang sejarah pemikiran dan ilmu pengetahuan terdapat dua kubu berseberangan dalam menjelaskan konsep perkembangan alam semesta, yaitu konsep metafisika dan dialektika. Metafisika menjelaskan dunia sebagai hal ihwal yang terisolasi dan dalam kondisi statis terberi sejak semula. Selain itu perubahan hanya dari segi kuantitatif dan datang dari faktor eksternal saja. Sementara dialektika khususnya materialisme dialektika menjelaskan bahwa hal ihwal saling berelasi dan senantiasa berubah karena memiliki kontradiksi masing-masing di dalam dirinya. Kontradiksi sendiri merupakan kondisi kehadiran dua sifat atau kekuatan berbeda berada dalam suatu gejala, sebuah objek atau proses. Kontradiksi inilah motor penggerak perubahan dari segala sesuatu, hadir di mana-mana di dalam ragam fenomena dan kita semua tak dapat lari darinya.
Apabila Hegel menjelaskan dialektika lewat kontradiksi antar ide-ide, Marx-Engels menaruh materialisme ke dalam dialektika sehingga menjadikannya kontradiksi antar benda-benda material. Menurut Mao cara berpikir dialektis mengajarkan kita untuk mengamati benda-benda secara spesifik dan menganalisis gerak berlawanan dalam beragam benda tersebut, bukan hanya untuk menerimanya begitu saja namun juga untuk mengambil aksi memecahkan kontradiksi. Oleh karena itu penting kiranya mempelajari lebih dalam soal hukum kontradiksi ini.
Pertama Mao menjelaskan soal keuniversalan dan kekhususan kontradiksi. Keuniversalan kontradiksi berarti bahwa kontradiksi hadir dalam proses perkembangan segala sesuatu dan dalam tiap proses perkembangan hal ihwal hadir suatu gerakan yang berlawanan dari awal hingga akhir. Kata Engels, ini dapat ditemukan bahkan dalam gerak itu sendiri, sebab kontradiksi adalah basis dari bentuk gerak. Lenin menambahkan contohnya, + dan – lalu diferensial dan integral dalam matematika, aksi dan reaksi dalam mekanika, listrik positif dan negatif dalam fisika, kombinasi dan disosiasi atom dalam kimia, lalu perjuangan kelas dalam ilmu sosial. Ini membuktikan bahwa kontradiksi eksis dan tak hanya berada dalam realitas alam namun juga realitas sosial.
Meski hadir di mana saja dan terkoneksi satu dengan lainnya, tiap kontradiksi memiliki keunikan dan karakter khusus. Demikian yang disebut oleh Mao sebagai kekhususan kontradiksi. Artinya, tiap ihwal secara khusus memiliki kontradiksinya masing-masing yang menentukan sifat dan esensinya. Inilah yang disebut kontradiksi internal. Batu dan telur ayam memiliki karakteristiknya tersendiri. Namun, batu yang dierami induk ayam tak mungkin menjadi anak ayam, karena telur ayam dan batu memiliki kontradiksi internalnya tersendiri ketika dihadapkan dengan kontradiksi eksternal. Hal tersebut tak hanya berlaku pada batu dan telur ayam atau dalam ilmu pasti, namun juga dalam ilmu sosial yang mengkaji kondisi sosial dan historis masyarakat sampai hari ini.
Inilah sebabnya hadir beragam cabang ilmu pengetahuan untuk mengkaji relasi internal dan ragam esensi dari hal ihwal. Sains menjadi cara untuk bersentuhan dengan realitas secara konkret dan merekamnya. Seperti cara dari semua kognitif sains yang bagaikan siklus yaitu berangkat dari yang khusus ke yang umum dan sebaliknya pula dari yang umum ke yang khusus. Maka lewat mengkaji hal ihwal dengan pisau bedah sains, maka relasi internal atau kontradiksi khusus dalam tiap hal ihwal bisa ditemukan. Jika yang khusus ditemukan maka kita pun dapat menemukan relasinya dengan kontradiksi universal karena keduanya merupakan kesatuan.
Mao menegaskan bahwa setiap kontradiksi yang secara kualitatif tertentu berbeda hanya dapat dipecahkan dengan metode kualitatif yang berbeda pula. Dalam konteks di Tiongkok kala itu, ia mencontohkan: Kontradiksi antara proletariat dan borjuis dengan metode revolusi sosialis, antara barisan besar massa dan sistem feodal dengan metode revolusi demokratik, antara koloni dan imperialisme dengan metode perang revolusi nasional, antara kaum buruh dan kaum tani dengan metode kolektivisasi serta mekanisasi agrikultur, antara masyarakat dan alam dengan metode pengembagan kekuatan produksi. Hal-ihwal senantiasa berada dalam proses bergerak dan berubah. Proses lama dan kontradiksi lama menghilang lalu muncul proses dan kontradiksi baru, begitu juga metode penyelesaiannya.
Selain itu, untuk mengungkap kekhususan kontradiksi dalam tiap proses perkembangan hal-ihwal dan juga dalam totalitas kesalingterhubungan, atau untuk mengetahui esensi dari setiap proses diperlukan pemahaman akan dua aspek dari proses kontradiksi tersebut. Di sini Mao mengajak kita untuk objektif mempelajari dua aspek yang saling berkontradiksi. Misalnya dalam menelaah kontradiksi kelas proletariat dan kapitalis, kita wajib untuk tak hanya mengenal esensi dari proletariat saja, namun juga kelas kapitalis. Seperti Marx yang melalui materialisme historis membedah perkembangan bentuk masyarakat sederhana yang ada semenjak fajar sejarah umat manusia hingga yang kompleks dalam corak produksi kapitalisme. Ia pun membedah masing-masing kekuatan produksi dan relasi produksi yang berkontradiksi hingga mengkaji mekanisme masyarakat kapitalis yang penuh kontradiksi internal di Das Kapital.
Dalam menganalisis kekhususan kontradiksi, Mao juga memperkenalkan konsep kontradiksi utama atau primer dan kontradiksi sekunder. Menurutnya, dalam proses perkembangan setiap hal ihwal kita dapat menemukan kontradiksi utama yang mana menentukan atau berpengaruh kepada keberadaan kontradiksi lainnya. Misalnya dalam kapitalisme, kontradiksi yang utama yaitu antara proletariat dan kapitalis. Sedangkan terdapat kontradiksi lain seperti antara bangsawan dan kapitalis, pedagang kecil dan kapitalis, proletariat dan pedagang kecil, proletariat dan petani, demokrasi borjuis dan demokrasi fasis, imperialis dan koloni, dan lain sebagainya merupakan kontradiksi yang sekunder.
Kontradiksi primer dan sekunder dikondisikan oleh aspek-aspek tertentu yang sifatnya primer dan sekunder pula. Aspek primer dan sekunder dalam kontradiksi ini senantiasa berubah mengikuti besaran kekuatannya. Aspek A dengan B misalnya, di dalam suatu kondisi tertentu A lebih kuat dari B dan di kondisi lainnya B lebih kuat dari A. Sebagai contoh di dalam masyarakat feodalisme, borjuis kalah kekuatannya dibanding kaum bangsawan feodal, sedangkan dalam kapitalisme sebaliknya. Namun dalam masyarakat kapitalisme muncul kekuatan baru yaitu proletariat yang berkontradiksi lebih lanjut dengan kekuatan borjuis. Namun ini tak selamanya, dalam masyarakat sosialisme proletariat akan lebih kuat dan dominan ketimbang borjuis. Memahami kontradiksi utama dan yang bukan utama serta mengenal aspek primer dan sekunder kontradiksi adalah kunci memahami materialisme dialektis.
Melihat aspek kontradiksi dalam masyarakat kapitalisme terdiri dari borjuis dan proletariat, Mao mengingatkan kita untuk memisahkan kontradiksi antagonistik dan kontradiksi non-antagonistik. Sementara kontradiksi non-antagonistik dapat diselesaikan secara damai, kontradiksi antagonistik tak bisa lagi dikompromikan. Ia mencontohkan bagaimana kontradiksi proletariat dengan kaum tani yang non-antagonistik dapat diselesaikan lewat inovasi teknologi, sedangkan kontradiksi antara proletariat dengan borjuasi yang antagonistik hanya dapat diselesaikan lewat revolusi. Mengapa demikian?
Meski jawabannya ada dalam tulisan Mao, namun yang lebih lengkap dapat kita temukan dalam Das Kapital di mana Marx menjelaskan bahwa dua aspek tersebut, proletariat dan borjuasi, memiliki esensi serta kepentingan yang saling bertentangan. Proletariat hidup dari menjual tenaga kerja, kapitalis dari eksploitasi tenaga kerja. Sementara proletariat melalui tenaga kerjanya memproduksi komoditas untuk nilai-guna, borjuasi menggunakan tenaga kerja milik proletariat untuk memproduksi komoditas agar memperoleh nilai-lebih dan melangsungkan akumulasi kapital. Sementara proletariat menggunakan rumus Komoditas–Uang–Komoditas untuk melangsungkan hidupnya, kapitalis menjalankan rumus Uang–Komoditas–Uang untuk mempertahankan hidupnya. Jelaslah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan di sini. Dengan demikian jelaslah pula bahwa proletariat selalu ada di bawah dominasi kapitalis dan kepentingan dua kelas tersebut merupakan kontradiksi yang hanya dapat dipecahkan lewat revolusi.
Dari pembahasan ini setidaknya kita bisa mendapatkan tiga hikmah. Pertama, untuk memahami materialisme dialektis tentu saja kita perlu memahami dialektika yang bersumber dari kontradiksi. Kontradiksi tidak terjadi di antara ide-ide, namun antara benda-benda. Kontradiksi pun kemudian dipilah dari mana yang universal dan khusus, lalu kontradiksi mana utama dan yang sekunder hingga apa saja aspek-aspek atau benda-benda konkret yang menjadi landasan sebuah kontradiksi. Setelah memahaminya kita akan mengenal mana saja kontradiksi yang sifatnya antagonis dan yang non-antagonis. Dengan menerapkan ini maka teranglah bahwa dialektika adalah fakta yang ditemukan lewat analisis saintifik yang spesifik, bukan dipostulatkan sedari semula, sehingga kita tak akan jatuh ke dalam idealisme vulgar.
Kedua, apabila kita sudah menemukan kontradiksi serta dialektika dari gejala-gejala realitas alam dan sosial, bukan berarti kita pasrah saja menerima kondisi dengan lapang dada. Karena dialektika yang hadir secara objektif selalu membawa kontradiksi yang menuntut perubahan kondisi, maka kita manusia aktif yang memiliki kesadaran mesti mengambil tindakan untuk mencari solusi memecah kontradiksi yang ada. Dalam memecahkannya kita akan menggunakan teori yang telah kita bahas sebelumnya dan mempelajari keragaman kondisi objektif yang ada untuk mengambil metode yang tepat untuk mengatasi tiap ragam kontradiksi. Apabila kita hanya menerima kenyataan tanpa tindakan untuk perubahan, kita akan terjatuh ke dalam materialisme vulgar.
Ketiga, tentu saja menjawab pertanyaan di awal tulisan. Dikatakan tidak bisa karena persis alasan di atas. Dikatakan bisa, mungkin saja. Namun hanya dalam penampakannya saja, kontradiksi internal kapitalisme tetap bersembunyi bahkan di balik sistem yang katanya paling demokrasi. Kontradiksi internal ini tentu saja tak hanya merugikan untuk kaum proletariat. Jika kita ingin objektif, kapitalisme bahkan merugikan kelas kapitalis, kenapa? Sebab, alam memiliki batas untuk reproduksi, sedangkan akumulasi kapital tak pernah berhenti. Tak pelak bukti hari ini bahwa krisis tak hanya merongrong ekonomi namun juga ekologi. Kapitalisme hari ini tak hanya menyiapkan lahan pemakaman untuk proletariat, namun juga untuk kapitalis sendiri. Kecuali kaum proletariat mengambil sikap memecahkan kontradiksi ini melalui revolusi. Bagaimana soal revolusi? Mungkin kita mesti belajar dari Mao, kalau tidak obrolan ini hanya berakhir di warung kopi.***