Cerita dari 4 Buruh Perempuan : “Orang Mungkin Enggak Tahu Beratnya Jadi Kami”

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


KAKI dan tangan Etty tak berhenti bergetar ketika mendengar kabar bahwa ia dipecat dari pabrik tempatnya bekerja selama 20 tahun lebih, di Cakung, Jakarta Utara. Kesedihannya kian menjadi saat surat resmi pemberhentian ia pegang. Dalam surat hanya tertulis “COVID-19” dan “demi efisiensi perusahaan.” 

Ibarat dilempar batu oleh orang tak dikenal, Etty kaget bukan main dengan surat pemecatan tersebut. Pasalnya, perusahaan tak memberi sinyal apa pun bakal ada pemecatan. Selain itu, Etty, mengingat statusnya sebagai buruh senior, juga tidak dilibatkan dalam pembicaraan.

Ia berupaya mencari keadilan. Berkali-kali meminta perusahaan untuk berdiskusi ihwal kebijakan yang diambil, berkali-kali pula perusahaan tak merespons. Kepastian seperti jadi kata terlarang, dan pada akhirnya Etty hanya bisa pasrah. 

“Karena saya juga capek sendiri kalau terus-terusan minta perusahaan berlaku adil, atau setidaknya tanggung jawab atas apa yang mereka ambil,” ucapnya kepada saya.

Etty pun terpaksa menerima pemecatan tersebut dan membawa pesangon dengan jumlah yang tidak seperti ia bayangkan. Rasa kecewa kian tumbuh di benaknya. 

“Kerja 20 tahun di sini cuma bisa dapat pesangon yang habis dalam tiga bulan. Kayak begini adil? Kan enggak,” ia berkata. Nada bicaranya agak meninggi. 

Masalah tidak berhenti sampai di situ. Pemecatan sepihak merupakan pintu masuk nestapa lain yang mesti dihadapi para buruh, terutama buruh perempuan. Hidup usai PHK membikin mereka jadi sulit karena menanggung beban ganda; mengurus rumah serta mencari uang agar hari-hari mendatang tak makin kelam. 


GELOMBANG kedua pandemi COVID-19 yang menyerang Indonesia pada Juli kemarin membikin Lastri cemas luar biasa. Pikirannya tak bisa fokus lantaran ibunya terpapar COVID-19 dengan gejala sehingga harus dirawat di rumah sakit. Yang jadi soal, mencari rumah sakit, kala itu, tidak semudah biasanya. 

Ia pontang-panting mengelilingi Bogor, masuk dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, dan menanyakan apakah kamar perawatan masih tersedia. Jawaban petugas selalu sama, membikin dirinya lelah sekaligus terpukul: semua penuh. 

Beruntung nasib baik menghampiri. Seorang saudara memberi informasi bahwa ada beberapa kamar kosong di Jakarta, tepatnya di Slipi. Tak masalah jika harus berkendara melewati batas kota selama sang ibu mendapatkan pelayanan terbaik, demikian Lastri berpikir. “Ibu bisa dirawat di sana sebulan secara insentif, sebelum bisa pulang dengan kondisi sehat,” ia bercerita. “Rasanya lega sekali.”

Sebulan bukan waktu yang sebentar, lebih-lebih Lastri juga berjibaku dengan prioritas yang lain: bekerja. Lastri merupakan buruh garmen, dan pihak pabrik cuma memberinya izin tidak bekerja selama tiga hari. Sisanya, ia wajib datang ke pabrik dan turut serta dalam produksi barang seperti biasa, seolah ibunya dalam keadaan baik-baik saja. 

“Saya sudah minta keringanan seminggu enggak kerja buat ngurus ibu. Pabrik bilang enggak boleh, terlalu lama. Cukup tiga hari aja kata mereka,” aku perempuan 37 tahun ini.

Situasi itu, tak pelak, bikin Lastri memutar otak lebih keras ketimbang sebelumnya. Pagi sekali, sekira pukul lima, ia berangkat menuju pabriknya yang berlokasi di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Karena anaknya masih menjalani pembelajaran daring, Lastri pun terpaksa membawanya ke pabrik. 

“Suami kerja juga. Biasanya dititip ke nenek, ibu saya. Tapi, neneknya lagi di rumah sakit, jadi enggak bisa ngurus,” jelasnya. “Enggak sama suami karena suami, kan, kerjanya di bangunan. Kondisinya enggak enak buat dia (jika anak) sekolah online.”

Sembari bekerja, Lastri sesekali menemani anaknya sekolah dengan menjawab hal-hal yang tak diketahui seperti berhitung. Pukul 11, anaknya selesai belajar, dan menghabiskan waktu menunggu Lastri selesai bekerja. 

Menjelang petang, Lastri keluar pabrik dan kemudian langsung menuju rumah sakit untuk mengecek ibunya. Malam hari ia baru pulang, menembus jalanan ibu kota ke arah Bogor, bersama suaminya yang juga pergi ke rumah sakit selepas bekerja.

Sesampainya di rumah, Lastri tak serta merta bisa istirahat. Saat suami dan anaknya tengah tidur, ia menuntaskan pekerjaan rumah, salah satunya mempersiapkan sarapan untuk pagi hari. Supaya tidak menghabiskan banyak waktu, Lastri memasak menu yang sederhana saja, entah sayur bayam atau sop segar. 

“Malem itu nyiapin bahan, nanti baru jam 4 mulai masak,” paparnya. “Pokoknya cari yang gampang aja biar cepet.”

Rutinitas itu terus berlangsung selama ibunya berada di rumah sakit. Dalam beberapa kesempatan, ia mengeluh letih hingga jatuh sakit. Jika sudah begitu, Lastri akan meminta suaminya lebih banyak mengurus rumah. 

“Saya enggak bisa sakit lalu enggak masuk kerja. Bisa-bisa saya kena potongan gaji sama pabrik,” ia berkata. “Makanya kayak saya dipaksa buat sehat terus.”

Problem serupa tak hanya dirasakan Lastri. Banyak buruh perempuan yang berada pada posisi terjepit selama pandemi sebab tanggung jawab ganda. Urusan pekerjaan dan rumah nyaris tanpa garis pembatas, dan kerap kali melebur jadi satu. 

Contoh paling terang yakni membawa anak ke pabrik. Pandemi COVID-19 membikin kegiatan sekolah bergeser ke layar gawai. Hal ini lalu membuat anak-anak lebih banyak di rumah. Jika sudah berusia cukup, tentu tak soal. Akan tetapi, bila anak masih kecil, meninggalkan sendirian di rumah hanya menambah pikiran. 

“Khawatirnya itu saja. Takut kenapa-kenapa. Makanya saya sering ajak bocah ke pabrik, belajar dan sekolah dari sana,” jelas Dyah, buruh perempuan yang sehari-hari mencari nafkah di Priok, Jakarta Utara. “Meski, ya, si bocah enggak konsen belajar juga,” imbuhnya, disusul tawa. 

Domestikasi menambah terjal jalan buruh perempuan. Anggapan bahwa mengurus rumah semata tugas perempuan masih melekat kuat di kelompok keluarga buruh. Alhasil, mayoritas buruh perempuan harus tetap menyelesaikan berbagai pekerjaan di rumah sekalipun keadaan mereka sudah lelah akibat kewajiban di pabrik. 

“Mau istirahat, sih, bisa. Tapi, ya, enggak bisa lama-lama. Enggak bisa santai karena anak sama suami butuh makan. Mau beli di luar [rumah], sayang sama uangnya. Jadinya, ya, masak. Dan tugas masak dikerjakan sama istri,” ungkap Marsiyah, buruh asal Depok, kepada saya. 

Dengan beban yang begitu banyak, ancaman stres, tak bisa dimungkiri, sangat terbuka menyerang. Marsiyah, ambil contoh, beberapa kali sempat tak fokus bekerja karena kelelahan. Ia sampai kena tegur oleh kepala pabrik ketika pekerjaannya dianggap tidak beres. 

Niat hati ingin rehat sebentar, mengambil cuti supaya kelak kejadian tak fokus bekerja bisa diantisipasi. Namun mengajukan cuti, menurut Marsiyah, bukan perkara mudah. Manajemen di pabrik tempatnya bekerja sering kali mempersulit itu dengan berbagai alasan, dan yang paling sering: perusahaan sedang giat mencari untung agar tak bangkrut. 

“Ya udah, akhirnya balik kerja lagi. Daripada kenapa-kenapa, malah repot, kan, Mas,” imbuh perempuan 38 tahun ini, pelan. 

Sama seperti Marsiyah, Dyah turut mengalami kejadian tak jauh berbeda. Perusahaan memperlihatkan gelagat tidak peduli dengan nasib pekerjanya tatkala tidak memberlakukan sif produksi waktu kasus pandemi tengah melonjak tajam, medio Juli 2021. Alasannya, lagi-lagi, cuan. Asumsinya, apabila perusahaan menerapkan sif, produksi tak maksimal, ujung-ujungnya gulung tikar. 

“Enggak masuk akal sekali. Jelas-jelas [pandemi] lagi parah, bukannya hati-hati, mereka malah terus memaksa buruh bekerja,” keluhnya. “Mana fasilitas kesehatan di pabrik enggak layak, kan. Jadinya kami kayak enggak punya pilihan.”

Dyah tidak berlebihan. Di tengah kebutuhan hidup yang tak bisa ditawar, pilihannya hanya tetap bekerja apa pun kondisinya. Melayangkan protes pun tak berbuah hasil, sebab bagi para pemilik modal, profit nomor satu—dan sisanya urusan belakangan.

“Orang mungkin enggak tahu beratnya jadi buruh perempuan, dan kenyataannya memang seperti ini. Kami enggak punya banyak pilihan, sementara beban yang kudu kami pikul itu enggak cuma satu,” tutur perempuan yang bekerja di pabrik sepatu ini di Depok, Jawa Barat, ini.

“Kami enggak hanya cari uang, tapi kami juga ngurus anak, ngurus rumah, ngurus diri supaya bisa selamat dari pandemi.”


ANAK Etty yang masih berusia enam tahun pernah bertanya kepada dirinya kenapa ia menangis pada satu malam, tak lama setelah ia dipecat dari pekerjaannya. Etty tak menjawab dan langsung buru-buru menyeka air mata. 

Satu hal yang ia khawatirkan adalah bagaimana menghidupi anak semata wayangnya, yang jalan hidupnya masih begitu panjang, sedangkan ia sendiri tak lagi punya pekerjaan tetap. Suaminya memang bekerja, tapi pendapatannya pun tak seberapa. 

Tak ingin berlarut dalam kekalahan lebih lama, Etty lekas menyusun kembali rencana, juga kepercayaan. Segala kesempatan ia coba, mulai dari melamar jadi asisten rumah tangga, pegawai SPBU, sampai tukang bersih dapur di restoran. Harapannya, dari sekian banyak lamaran yang dikirim, ada setidaknya satu yang cocok.

Nasib ternyata berkata sebaliknya. Lamaran Etty tidak satu pun tembus. Semangatnya turun tajam. 

Beruntung keluarga kecilnya senantiasa memberi dukungan penuh, sehingga setiap terjatuh, Etty punya motivasi untuk berdiri kembali, menjemput kesempatan lain yang mungkin—kali ini—berpihak padanya. 

“Saya memutuskan buat jualan makanan kecil-kecilan. Kebetulan saya lumayan jago memasak,” ucapnya sembari tertawa. “Masak kayak lauk buat makan berat sampai bermacam camilan.”

Dagangan Etty tak otomatis laku. Dua bulan jualan, ia lebih sering nombok daripada untung. Ini berimbas pada keuangan keluarganya. Terhitung, tak cuma sekali Etty mencari pinjaman sana sini untuk menutup lubang pengeluaran.

Lagi-lagi, di titik ini, perempuan menjadi pihak yang harus berpikir lebih keras dalam mencari cara untuk bertahan. Nasib keluarga, juga hari esok, seperti diletakkan pada pundak mereka.

“Karena suami juga bekerja juga, jadi kayak saya yang mesti ngurus ini dan itu di rumah. Ketika posisi enggak punya uang, saya juga yang mesti cari pinjaman, selain tetep dagang,” terangnya. 

Etty berharap situasi perlahan membaik, tak sekadar untuknya, melainkan juga buruh perempuan yang masih beradu nasib di pabrik-pabrik penggerak roda kapitalisme. Posisi buruh perempuan, hampir semua narasumber yang saya ajak bicara sepakat, begitu rentan, dan pandemi hanya memperburuk kerentanan itu. Entah sampai kapan. 

“Kami, buruh perempuan, enggak pengin yang aneh-aneh. Kami hanya ingin hidup dengan wajar. Hidup dengan tenang. Hidup dengan enggak bawa banyak beban atau masalah,” pungkas Dyah. 

Ia lalu menghidupkan motornya. Seorang anak laki-laki duduk di belakangnya, membawa tas, dan memeluknya dengan erat. Tak sampai lima menit, motor itu sudah melaju, menyusuri jalanan utara ibu kota yang pahit, yang penuh ketidakpastian.***


Faisal Irfani, wartawan ibu kota, pernah bekerja untuk Tirto, Asumsi, dan Vice, kini di Narasi


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.