Tidak Ada Kemunduran Demokrasi, Politik Indonesia Sejak Dulu Memang Busuk

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Wikimedia


SAYA mulai jengah saat dalam beberapa waktu belakangan, banyak pakar dan komentator politik menyebut terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia. Beberapa buku diterbitkan, banyak diskusi diselenggarakan, semua untuk menegaskan penilaian itu. Presiden Joko Widodo (Jokowi), bersama para elite di sekelilingnya, dinilai telah membawa politik Indonesia hampir keluar dari jalur demokrasi.

Jangan salah, gugatan saya bukan bentuk pembelaan terhadap Jokowi. Ia jelas pemimpin yang bermasalah, karena secara aktif turut memobilisasi politik identitas yang membuat warga terbelah. Ia juga terkesan dengan mudah menggunakan cara-cara represif untuk membungkam oposisi serta makin terang-terangan memanipulasi hukum guna memfasilitasi kepentingan predatorisme.

Gugatan saya juga bukan semata mempersoalkan istilah semantik, tapi terutama untuk menunjukkan adanya problem teoretis gagasan ‘kemunduran demokrasi’ yang punya implikasi praktis bahkan terhadap kondisi politik di Indonesia. Pertama, gagasan itu mengandaikan bahwa politik demokrasi di Indonesia pernah baik, lalu kemudian merosot pada era Jokowi. Faktanya, memang banyak pakar politik liberal memuji demokrasi Indonesia terutama pada periode 2005 hingga 2014 sebagai demokrasi yang stabil dan punya masa depan menjanjikan. Padahal dari awal reformasi, tidak banyak yang berubah selain bahwa kontestasi kekuasaan elite menjadi lebih kompetitif. Hukum hampir tak pernah berdiri tegak, kecuali untuk penguasa. Korupsi makin merajalela, kekerasan dan premanisme masih menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial-politik warga.

Kedua, penilaian positif atas demokrasi Indonesia dengan demikian sesungguhnya lebih mencerminkan harapan ketimbang menggambarkan kenyataan. Akan tetapi, adanya keyakinan semacam itu justru yang berkontribusi secara tidak langsung membuat penguasa saat ini makin tak peduli dengan koridor-koridor demokrasi.

Bagaimana menjelaskan hal itu?

Beberapa pakar menyebut bahwa demokrasi yang stabil dimungkinkan karena adanya ketangguhan masyarakat sipil dalam menghadapi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Masyarakat sipil yang aktif telah menghasilkan perimbangan kekuasaan yang membuat demokrasi menjadi fungsional.

Organisasi-organisasi masyarakat sipil (OMS) juga dipandang telah berhasil mendorong pembentukan lembaga-lembaga baru serta desain kebijakan yang menopang penguatan demokrasi. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), elemen-elemen masyarakat sipil juga telah dipuji sebagai kekuatan yang signifikan karena dapat mempertahankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari berbagai upaya pelemahan.

Lembaga-lembaga donor juga memberi penilaian serupa pada kekuatan masyarakat sipil di Indonesia. Oleh karena itu, sejak 2009 melalui Komitmen Jakarta sebagai pelaksanaan dari Deklarasi Paris tahun 2005, lembaga-lembaga donor internasional menghapus bentuk pemberian bantuan langsung kepada OMS. Sebagai gantinya, dukungan finansial kepada OMS hanya bisa diberikan melalui jalur kemitraan dengan pemerintah, bagian dari bantuan pembangunan. Ini karena fokus reformasi ditujukan pada penguatan kelembagaan serta kapasitas elite dan birokrasi.

Sederhananya, penilaian positif atas politik Indonesia seturut dengan pujian yang begitu tinggi kepada masyarakat sipil dan peran-peran mereka dalam penguatan demokrasi.

Namun demikian, justru di situlah letak persoalannya.

Sama seperti penilaian atas situasi politik di Indonesia, pujian berlebihan kepada masyarakat sipil dalam penguatan demokrasi lebih merupakan angan-angan daripada menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Demokrasi tampak stabil, terutama karena Indonesia telah terhindar dari ancaman menjadi negara gagal yang kerap mengiringi proses transisi politik yang penuh dengan konflik dan kekerasan antar elite pasca-otoritarianisme.

Namun, alasan lainnya juga dapat dikaitkan dengan keberhasilan elite—yang semula merupakan bagian dari jaringan patronase Orde Baru—dalam menyesuaikan diri dan bahkan menguasai wahana-wahana politik baru dalam konteks demokrasi. Hal ini menegaskan bahwa peran OMS dalam membuat demokrasi yang stabil sesungguhnya kurang signifikan.

Partai politik dan lembaga legislatif didominasi oleh aliansi politik-birokrat-bisnis yang membuat kepentingan kelompok-kelompok marginal tetap terpinggirkan. Dalam konteks ini, terbentuknya lembaga-lembaga baru ataupun desain-desain kebijakan yang dianggap inklusif menjadi kurang berarti. Beroperasinya lembaga dan kebijakan itu amat bergantung pada jenis kepentingan yang dominan.

Dengan kata lain, penggambaran yang terlampau optimistis akan peran OMS serta penilaian ceroboh tentang kualitas demokrasi telah menghilangkan kewaspadaan dalam mengidentifikasi ancaman nyata atas ringkihnya politik demokrasi di Indonesia. Banyak pakar politik dan kelompok pro-demokrasi malah berlomba-lomba membuat pengharapan yang naif saat Jokowi—yang diyakini sebagai politisi baik dan tak terhubung dengan lingkaran kekuasaan Orde Baru—mulai memasuki gelanggang politik di tingkat nasional bahwa ia dapat membawa demokrasi Indonesia lebih maju.

Pada akhirnya, kekeliruan analisis semacam itu justru memberi ruang dan keleluasaan bagi aliansi politik-birokrat-bisnis untuk terus mengonsolidasikan dominasi mereka atas lembaga-lembaga serta instrumen-instrumen hukum dan demokrasi. Pembajakan KPK dan Mahkamah Konstitusi (MK) serta manipulasi prosedur-prosedur hukum dan proses pembuatan kebijakan untuk tujuan pengumpulan rente dalam beberapa tahun terakhir adalah konsekuensi yang tak dapat dihindari dalam situasi tersebut.

Namun, alih-alih merefleksikan kekeliruan analisis, pakar politik liberal menyalahkan apa yang terjadi belakangan terutama pada dua hal: (1) kecenderungan pemimpin politik yang terpilih secara demokratis yang menjauhi agenda-agenda reformasi; serta (2) adanya pembelahan dalam masyarakat. Jika Jokowi disalahkan atas memburuknya situasi politik saat ini, mengapa mereka dulu begitu optimistis memandangnya sebagai harapan bagi masa depan demokrasi yang mencerahkan? Mengapa pula mereka menyalahkan warga yang terbelah yang mendukung pemimpin politik yang populis sebagai sebab kemunduran demokrasi?

Bukankah kesalahan justru terletak pada pembacaan situasi politik yang menyesatkan: bahwa seolah demokrasi Indonesia baik-baik saja, bahwa Jokowi adalah pemimpin yang menjanjikan dan bahwa masyarakat sipil dan elemen-elemen pro-demokrasi adalah kekuatan sosial yang dapat diandalkan dalam mempertahankan dan memajukan demokrasi? Tidak cukupkah pengalaman beberapa tahun terakhir memberi pelajaran bahwa analisis-analisis politik liberal yang kerap mengabaikan konstelasi kekuasaan yang lebih luas karena memusatkan perhatian semata hanya pada aktor dan institusi sudah saatnya ditinggalkan?

Jika bersepakat dengan itu, kita mesti tegas: tidak ada kemunduran dalam demokrasi, sejak dulu politik Indonesia memang busuk, dan bahwa elemen-elemen pro-demokrasi jauh dari terorganisir serta tidak pernah menjadi kekuatan yang signifikan sebagai penyeimbang kekuasaan yang anti-rakyat.***


Abdil Mughis Mudhoffir, dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.