Ilustrasi: Jonpey
Tulisan ini adalah bagian kedua dari serial esai bertema pendidikan demokrasi radikal. Bagian pertama dapat dibaca di sini.
GAMBARAN tentang bagaimana sistem pendidikan kita bekerja, seperti halnya tentang cara kerja sistem sosial yang ada, terbilang kompleks dan kelam, seakan merenggut harapan kita akan sebuah perubahan. Apakah mungkin ada harapan untuk perubahan di dalam sebuah sistem yang hegemonik? Peter Mayo, seorang ahli pendidikan kritis dari Malta, sedikit memberi kita harapan ketika ia mengatakan bahwa “hegemoni tidak pernah sempurna”: selalu ada ruang dan kesempatan untuk menentang dominasi elite dan membentuk kontra-hegemoni. Kita bicara di sini tentang bagaimana membangun suatu kontra-hegemoni yang memanusiakan serta menawarkan antitesis dari nilai-nilai dominan yang menindas.
Maka dalam membongkar kompleksitas sistem yang represif dan menemukan potensi-potensi perlawanan, kita harus berfokus tidak hanya pada kritik, akan tetapi juga pada upaya-upaya pembentukan nilai-nilai yang dapat menjadi lawan dari nilai-nilai yang menindas. Seperti yang kerap dikatakan Henry Giroux, seorang pedagog kritis, kita tak hanya dapat berhenti pada penggunaan “bahasa kritik”, namun harus juga berfokus pada “bahasa harapan” untuk melahirkan “bahasa kemungkinan”.
Akan tetapi sebelum menelusuri nilai-nilai apa yang dapat diusung dan dipraktikkan dalam proses kontra-hegemoni, kesempatan-kesempatan dan ruang-ruang untuk kontra-hegemoni harus pertama-tama kita identifikasi terlebih dahulu. Tujuannya tidak lain ialah agar kita dapat menemukan celah kesempatan untuk mempraktikkan kontra-hegemoni dengan menyuntikkan ruang-ruang ini dengan nilai-nilai kontra-hegemonik serta memberi kita harapan nyata—tak hanya di tataran teoretik—akan kemungkinan-kemungkinan kontra-hegemoni itu sendiri.
Potensi perlawanan dalam pendidikan formal dapat kita temui dalam dua aktor: (1) Institusi pendidikan yang tak hanya dilihat sebagai ruang tempat terjadinya proses pendidikan, namun juga sebagai salah satu aktor utama yang menentukan beragam kebijakan pendidikan yang berpengaruh langsung pada proses pendidikan para peserta didik; (2) para pendidiknya (guru, dosen, dll.), sebagai salah satu aktor utama lainnya yang melakukan proses pendidikan tersebut. Walau terikat dan berada di bawah sebuah institusi, keberdayaan dan kuasa para pendidik di ruang kelas membuka kesempatan membangun kontra-hegemoni.
Kedua potensi tersebut dapat secara sekilas kita jabarkan sebagai berikut:. Pertama, institusi pendidikan. Walau sangat mendominasi dan sarat akan nilai-nilai hegemonik, institusi pendidikan formal “selalu merupakan situs perjuangan, di mana kendali terhadap hegemoni ideologi diperjuangkan oleh berbagai aktor, seperti: negara, guru, orang tua dan tentu juga siswa” (Khalanyane, 2010: 742). Tentunya kita harus tetap bersikap kritis terhadap dinamika relasi kuasa yang mungkin akan membatasi kemampuan beberapa aktor dalam melawan dominasi ideologi negara. Meski demikian, institusi pendidikan tidak dapat dengan mudahnya kita tetapkan sebagai ruang yang monolitik. Sebab ini berarti mengabaikan isu-isu kunci tentang peran keberdayaan para aktor pendidikan (tenaga pendidik, murid, dll.), ideologi-ideologi kontra yang hadir dalam ruang-ruang kelas, dan resistensi dalam proses pendidikan oleh para pendidik maupun murid-muridnya (Apple, 2012; Giroux, 1983).
Kesempatan-kesempatan untuk melawan juga akan bergantung pada tingkatan institusi pendidikannya. Hal ini memengaruhi kuasa dan independensi yang dimiliki institusi-institusi pendidikan dalam menyusun kebijakan yang dibentuknya. Sebagai contoh, di tingkat pendidikan tinggi, institusi memiliki kebebasan lebih dalam menyusun kurikulum. Maka mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menanamkan pengetahuan-pengetahuan kontra-hegemoni kepada para mahasiswa/i nya. Hal ini tentu berbeda dengan institusi pendidikan dasar maupun menengah atas, di mana kurikulum telah ditentukan oleh negara sehingga sangat membatasi kesempatan mereka untuk menawarkan pengetahuan alternatif di dalamnya.
Satu hal yang menarik dan turut menambah kompleksitas peran institusi pendidikan formal dalam masyarakat adalah bahwa dalam mengupayakan proses pendidikan kontra-hegemoni, institusi pendidikan dapat juga mengambil peran dalam proses pendidikan untuk publik (public pedagogy) lewat kebijakan-kebijakan yang dibentuknya. Sebagai contoh, jika institusi pendidikan tinggi memilih untuk berdiam atau bahkan mengeluarkan kebijakan yang melindungi seorang pendidik yang melakukan pelecehan seksual, maka secara tidak langsung institusi tersebut telah “mengajarkan” tak hanya kepada mahasiswanya, namun juga kepada publik, bahwa isu tersebut merupakan isu yang tidak penting, patut dibiarkan, bahkan dapat dengan mudah dimaafkan. Respons problematis seperti ini juga menitikberatkan kesalahan kepada korban karena dianggap tidak mampu “menjaga dirinya”, menjaga nama baik dirinya, keluarganya, maupun institusi pendidikannya.
Kedua, pendidik. Mengingat sangat sulitnya (walau tak menutup kemungkinan) mengubah arah, tujuan, fondasi dan cara kerja sebuah institusi, mari kita turut melihat potensi para pendidik dalam institusi pendidikan formal dalam mengintervensi hegemoni. Sim (2010) melihat para pendidik seperti guru, dosen, maupun asisten dosen sekalipun sebagai “penjaga gerbang” pengetahuan. Ia menekankan agensi atau keberdayaan para pendidik, alih-alih sekadar melihat mereka sebagai penerima pasif dan kendaraan ideologi negara. Kendati para pendidik ditekan dari insitusi mereka dan juga negara untuk mereproduksi nilai-nilai hegemonik, para pendidik ini memiliki otonomi, keberdayaan dan peluang, walaupun bisa dibilang terbatas, dalam melangsungkan upaya-upaya kontra-hegemoni di dalam kelas. Pendidik semacam ini memiliki peran utama dalam menentukan “apa yang diajarkan (kurikulum-pengetahuan) dan bagaimana pengajarannya (pedagogi) di ruang kelas” (Sim, 2010: 226) (atau apa yang dikenal sebagai hidden curriculum/kurikulum yang tersembunyi), dan akan memberi kita kesempatan untuk menelusuri bentuk-bentuk maupun kesempatan-kesempatan kontra-hegemoni secara lebih mendalam.
Walaupun kurikulum yang diterapkan oleh institusi pendidikan terikat dengan apa yang telah ditentukan oleh negara, tenaga pengajarlah yang sesungguhnya menentukan bagaimana kurikulum tersebut diterapkan di dalam ruang kelas. Tenaga pengajar hampir sepenuhnya memiliki otonomi terhadap apa yang terjadi di ruang kelas mereka, sehingga merekapun dapat menentukan bagaimana kurikulum diinterpretasi, pengetahuan apa yang diajarkan, dikembangkan, tidak ditekankan atau bahkan dikerdilkan kepentingannya.
Dengan demikian pendidik dapat dilihat sebagai penjaga gerbang atau perantara antar institusi pendidikan mereka dan negara melalui cara pengetahuan-pengetahuan dalam kurikulum tersebut diterapkan dalam keseharian di ruang kelas. Maka sekali lagi kita dapat melihat bagaimana hegemoni tidaklah sempurna. Akan selalu ada ruang untuk mengintervensi dominasi.
Dengan melihat kedua aktor tersebut dan kesempatan untuk melakukan upaya-upaya kontra hegemoni melaluinya, hal utama yang harus diingat adalah bahwa kesempatan tersebut hanyalah kesempatan. Tidak ada jaminan bahwa upaya kontra-hegemoni yang dapat dilakukan kedua aktor tersebut selalu adalah upaya-upaya kontra-hegemoni yang progresif. Kesempatan-kesempatan ini dapat pula dikooptasi oleh mereka yang mendefinisikan kontra-hegemoni dengan nilai-nilai konservatif. Perlu kita ingat bahwa emansipasi dari penindasan tidak hanya dimonopoli dan ditawarkan oleh mereka yang berada di spektrum ideologi “kiri”, sehingga kita harus terus melihat dengan kacamata yang lebih kritis tentang inisiatif-inisiatif pendidikan, terutama yang menyebut dirinya kontra atau alternatif dan berusaha “memerdekakan” warga negara dari nilai-nilai yang diusung oleh negara. Apa yang sesungguhnya sedang mereka lawan dan apa sesungguhnya “obat” yang mereka tawarkan? Apa yang mereka maksud dengan kontra-hegemoni?
Telah muncul beragam upaya dari berbagai inisiatif pendidikan formal dan/atau para pendidik yang berada di dalamnya untuk menantang hegemoni. Misalnya, inisiatif pendidikan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah elit alternatif, sekolah-sekolah alam, dan bahkan sekolah-sekolah berbasis agama. Harus diakui bahwa sekolah-sekolah ini memiliki pendekatan yang lebih kritis ketimbang sekolah-sekolah pada umumnya serta memiliki tenaga pengajar yang lebih kompeten dalam hal materi ajar maupun pemahaman mendalam akan aspek psikologis para peserta didik. Contohnya, sekolah-sekolah ini memiliki kemampuan untuk lebih memahami sikap pasif para siswanya, menentukan pengetahuan yang tidak kontekstual dengan kebutuhan siswa, mengkritisi peran sekolah dalam menanamkan konformitas sosial, serta dalam beberapa sekolah membahas hal-hal sosio-politik yang kerap disampingkan di sekolah-sekolah formal konvensional seperti isu gender, ras dan keberagaman agama. Dengan kata lain, institusi-institusi tersebut memahami konsekuensi sosio-politik dari fungsinya (Sharp, 2017).
Akan tetapi, walau upaya ini patut diapresiasi, sekolah-sekolah dan guru-guru ini seringkali masih terbatas pemahamannya mengenai konsep akan manusia yang dibentuk dalam “ansambel hubungan sosial” (Marx, 1976: 4). Dengan kata lain, permasalahan sosial pada akhirnya tetaplah diindividualisasikan. Yang dianggap harus berubah adalah (dan hanya) individu. Sekolah-sekolah tersebut terjebak dalam narasi tanggung jawab individu a la neoliberal dan minim akan konsep pendidikan ekonomi-politik dengan disertai pendekatan isu yang interseksional dalam mengurai dan memahami secara mendalam relasi-relasi opresif yang telah tertanam begitu dalam dalam masyarakat kita.
Perlu diingat kembali bahwa dalam pendidikan kritis, yang harus kita telusuri adalah bagaimana struktur sosial yang telah dibentuk, seperti kebijakan, dan tentunya nilai dan budaya yang dirangkul masyarakat kita, turut serta membentuk proses berpikir, pengetahuan dan perilaku seorang individu. Mengutip mantra sosiolog C. Wright Mills (2000) yang terlalu sering saya kutip: “the personal is political”. Hal yang pribadi adalah hal yang politis.
Mengindividualisasikan permasalahan sosial (menitikberatkan masalah sosial hanya di tingkat individu ketimbang struktur yang menaunginya) hanya akan melahirkan narasi-narasi individualisasi dan kata-kata mutiara yang hampa seperti “positive thinking saja dan kerja yang lebih keras!”, atau kata-kata paling yang saya takuti dan benci sebagai pendidik setelah berdebat panjang di kelas, “Ya Pak, berarti kembali kesimpulannya kembali ke masing-masing saja ya”. Seakan-akan dengan hanya berpikir positif dan bekerja keras atau kembali ke keputusan-keputusan pribadi, kebijakan-kebijakan dan peran negara yang menindas akan teratasi. Bukan suatu hal yang mengejutkan ketika toxic positivity seperti ini, yang berkelindan dengan nasionalisme dangkal dan pola pikir anti-sains, melahirkan manusia-manusia yang masih turut membela kebijakan-kebijakan absurd dari pemerintah, dan menganggapnya sebagai inovasi anak bangsa yang patut dirayakan.
Maka jika aktor dan kesempatan kontra-hegemoni serta batasan-batasannya telah kita identifikasi, termasuk masih terbatasnya diskursus akan pendidikan yang menyatakan dirinya sebagai emansipatoris (karena kerap kali masih berpusat pada individualisasi permasalahan sosial), yang harus kita pertanyakan selanjutnya adalah: apa yang perlu dilakukan agar aktor-aktor ini dapat dengan sungguh mengemansipasi mereka yang berada di bawah sistem pendidikan dalam kuasa hegemoni akal sehat negara? Ini berlaku baik untuk siswa, guru dan pejabat struktural dalam sebuah institusi pendidikan.
Jika kita memahami kapitalisme, patriarki, rasisme, fasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, beserta beragam bentuk penindasan struktural lainnya sebagai hal-hal yang menghalangi masyarakat merdeka, egaliter, dan demokratis, apa yang harus dilakukan agar insitusi pendidikan beserta tenaga pengajarnya sebagai salah satu alat emansipasi dari penindasan? Apa yang harus dilakukan oleh institusi pendidikan untuk membantu meradikalisasi demokrasi yang kita miliki saat ini, agar terbentuk negara dan masyarakat yang merangkul demokrasi secara mendalam, demokrasiyang secara sungguh-sungguh merepresentasikan kebutuhan rakyat dan memberikan masyarakat peran yang sentral dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak? Apa yang harus dikerjakan agar bangsa ini tak hanya merangkul demokrasi yang dangkal, yang hanya menitikberatkan pemilu sebagai contoh sukses sebuah negara demokratis?
Apa yang dibutuhkan agar institusi pendidikan dapat mengekspresikan serta memperdalam definisi dari demokrasi yang kita miliki saat ini? Apa yang dapat dilakukan dalam ruang-ruang atau oleh aktor-aktor yang memiliki kesempatan untuk mengupayakan siasat-siasat kontra-hegemoni? What is then to be done?***
Ben K. C. Laksana, pendidik serta peneliti lepas dan dosen paruh waktu di jurusan Hubungan Internasional, International University Liaison Indonesia
Kepustakaan
Apple, M. W. (2012). Education and Power (Second). New York: Routledge.
Giroux, H. (1983). Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition. South Hadley: Bergin & Garvey Publishers.
Khalanyane, T. (2010). State, schooling and society: Contemporary debates. Educational Research and Reviews, 5(12), 742–747.
Marx, K. (1976). Capital: A Critique of Political Economy. New York: Penguin Books Limited.
Mills, C. W. (2000). The Sociological Imagination. New York: Oxford University Press.
Sharp, R. (2017). Knowledge, Ideology and the Politics of Schooling: Towards a Marxist analysis of education. Taylor & Francis.
Sim, J. B.-Y. (2010). Simple ideological “dupes” of national governments? Teacher agency and citizenship education in Singapore. In K. J. Kennedy, W. O. Lee, & D. L. Grossman (Eds.), Citizenship Pedagogies in Asia and the Pacific. Hong Kong: Springer.
Wright, E. O. (2010). Envisioning Real Utopias. London: Verso.