Jokowi Bagikan Buku Hingga ke Pedalaman Papua. Kredit foto: IDN Times
DUA minggu yang lalu, dalam sebuah acara bertajuk “Visi Indonesia”, presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato pertamanya setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai presiden terpilih periode 2019-2024. Dari pidato Jokowi tersebut, poin tentang pembangunan sumber daya manusia menjadi poin yang menarik untuk dibahas karena poin-poin lainnya sudah cukup terlihat pada periode pemerintahannya yang pertama. Dalam pidato tersebut, Jokowi mengatakan bahwa membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas harus dimulai sejak manusia Indonesia berada dalam kandungan. Pernyataan ini layak diapresiasi dikarenakan pandangan umum berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia selama ini dominan hanya berfokus pada aspek pendidikan formal dan pelatihan kerja saja sehingga aspek seperti kesehatan ibu hamil dan kesehatan bayi sering sekali terlupakan bahkan mungkin tidak terpikirkan.
Gagasan tentang pentingnya peningkatan kualitas pendidikan vokasional juga langkah yang cukup tepat untuk menghadapi globalisasi ekonomi dan wacana tentang Revolusi Industri 4.0 yang akan menjadi tantangan sekaligus peluang di masa depan. Sedangkan ide untuk mendirikan lembaga baru yaitu Lembaga Manajemen Talenta Indonesia dan memfasilitasi diaspora-diaspora Indonesia yang berprestasi di luar negeri merupakan satu terobosan inovatif yang sesegera mungkin harus direalisasikan. Tentu saja operasionalisasi gagasan ini perlu dipikirkan secara matang mengingat banyaknya konsep tentang Manajemen Talenta. Hal-hal teknis operasional seperti bagaimana jika ada warga Indonesia yang berprestasi di bidang ekonomi kreatif apakah diurusi oleh Lembaga Manajemen Talenta Indonesia atau Badan Ekonomi Kreatif harus segera ditentukan.
Secara keseluruhan, poin tentang pembangunan sumber daya manusia pada pidato Jokowi tersebut cukup baik. Akan tetapi, tentu saja masih ada beberapa hal yang seharusnya menjadi bagian dari pembangunan sumber daya manusia pada periode kedua pemerintahan Jokowi yang tidak masuk ke dalam pidato tersebut. Penulis mencoba merangkum beberapa di antara banyak hal tersebut.
Hal-Hal yang Seharusnya Bisa Dimasukkan
Pertama, perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Poin ini menjadi sangat penting dan krusial karena tidak mungkin tercipta sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas kalau manusia-manusia Indonesia tidak dilindungi hak-hak asasi manusianya. Perlindungan dan penegakan HAM juga harus sangat diperhatikan oleh Jokowi karena itu adalah janjinya ketika mencalonkan diri sebagai presiden pada periode pertama lima tahun yang lalu. Selain itu, selama periode pertama pemerintahan Jokowi masih banyak pembangunan infrastruktur yang masih mengabaikan prinsip-prinsip HAM. Akibatnya, muncul konflik seperti yang terjadi dalam pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo, Yogyakarta, dan jalan tol Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Kasus intoleransi seperti perusakan atau pelarangan rumah ibadah maupun kebebasan beragama juga masih marak. Ditambah masih tingginya angka konflik agraria dalam bentuk sengketa lahan dengan perusahaan tambang.
Kedua, pentingnya peningkatan dan kesadaran tentang Kesehatan Mental. Di Indonesia, gangguan pada kesehatan mental dianggap sebagai aib yang sangat memalukan. Para penderitanya seringkali mendapat cap, label, dan stigma sebagai “orang-orang yang tidak bersyukur dan kurang iman”. Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi rumah tangga dengan anggota yang menderita skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9 persen. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8 persen. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6 persen. Hal tersebut tentu saja kontraproduktif dengan visi Jokowi untuk membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas karena tidak mungkin muncul manusia Indonesia yang unggul tanpa jiwa yang sehat.
Ketiga, pentingnya peran Olahraga dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Olahraga di Indonesia seringkali dianggap sebagai sampingan belaka. Stigma pada olahraga ini bermuara pada anggapan umum bahwa jika seseorang ingin pintar, ia tidak bisa menjadi atlet; sebaliknya, jika ia ingin menjadi atlet, maka ia harus meninggalkan pendidikannya. Anggapan ini jelas menyesatkan. Dr. Karen Martin dalam artikelnya yang berjudul “Brain boost: sport and physical activity enhance children’s learning” menunjukkan bahwa olahraga dan aktivitas fisik bisa meningkatkan kemampuan seorang anak untuk belajar, yaitu dengan menstimulasi otak mereka. Selain itu, olahraga adalah bagian tak terpisahkan dari nation and character building serta nasionalisme Indonesia. Olahraga harus menjadi bagian integral dari pembangunan sumber daya manusia lima tahun ke depan.
Keempat, peningkatan kualitas Ilmu Sosial dan Humaniora untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas hanya bisa dilakukan jika para pembuat kebijakan di Indonesia benar-benar memahami manusia Indonesia dan cara paling efektif untuk memahami manusia Indonesia adalah dengan ilmu Sosial dan Humaniora. Masalahnya, karena Ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia sering dianggap tidak penting, maka para pembuat kebijakan (juga masyarakat Indonesia) terjebak pada penyakit penyakit lama mereka, yakni tidak benar-benar paham dengan masyarakatnya dan tidak paham sama sekali dengan masyarakat dunia luar. Selain itu, jika dilihat secara mendalam sulit sekali membayangkan peradaban manusia Indonesia kontemporer yang beradab tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora. Sukarno tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora tidak akan pernah menjadi pemimpin besar bangsa kita, beliau mungkin hanya akan jadi insinyur suruhan Belanda saja. Romo Mangun tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora alih-alih menjadi pastor humanis dan membangun pemukiman penduduk Kali Code, beliau mungkin hanya akan menjadi arsitek yang pekerjaanya menunggu proyek saja. Tan Malaka tanpa Ilmu Sosial dan Humaniora tak akan pernah menjadi tokoh revolusioner, beliau mungkin hanya akan jadi guru di Kweekschool Hindia Belanda saja. Kematian Ilmu Sosial dan Humaniora sama dengan kematian kemanusiaan kita.
Kelima, pemanfaatan Dana Desa sebagai sarana pendidikan politik dan pemerataan sumber daya manusia. Pemilu 2014 dan 2019 melahirkan polarisasi politik yang tajam di Indonesia. Selain karena maraknya hoaks, polarisasi tersebut disebabkan oleh belum terbiasanya masyarakat Indonesia dengan politik setelah selama 32 tahun didepolitisasi oleh rezim otoriter Orde Baru. Dana Desa yang selama ini hanya dianggap sebagai instrumen untuk pembangunan ekonomi bisa digunakan untuk sarana pendidikan politik. Caranya adalah pelibatan dan pembiasaan masyarakat dalam proses-proses politik penyusunan program-program yang memanfaatkan Dana Desa sejak level paling bawah sehingga masyarakat terbiasa menyampaikan gagasan dan berdebat dalam konteks politik yang sehat. Pelibatan dalam proses-proses politik pemanfaatan Dana Desa juga bisa digunakan untuk mencegah laju urbanisasi para pemuda desa sehingga sumber daya manusia di Indonesia lebih merata. Dilibatkannya pemuda dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi Dana Desa akan membuat para pemuda desa merasa djadikan subjek sehingga punya rasa keterikatan yang kuat dengan desa. Dengan kata lain pemuda akan merasa bahwa meskipun mereka tetap tinggal di desa dan tidak melakukan urbanisasi ke kota mereka tetap punya masa depan.
Keenam, pengarusutamaan Kewirausahaan Sosial. Di tengah hegemoni kapitalisme-neoliberal ternyata muncul satu alternatif ekspresi kewargaan yang dilakukan oleh warga di Indonesia yaitu: Kewirausahaan Sosial. Di Indonesia, kewirausahaan sosial bisa dibilang cukup potensial sebagai sarana mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial akibat hantaman kapitalisme-neoliberal tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh British Council, UNESCAP, dan PLUS (2018) menunjukan bahwa kewirausahaan sosial di Indonesia telah menghasilkan 67% layanan usaha, membuka 50% pekerjaan inklusif, 58% usaha dikembangkan komunitas, memberikan manfaat 63% kepada masyarakat lokal, dan 48% penerima manfaatnya adalah perempuan. Meningkatkan tenaga kerja penuh waktu mencapai 42% dan tenaga kerja penuh waktu perempuan sebanyak 99%. Dilihat dari perspektif kebudayaan, kewirausahaan sosial dianggap sangat tepat bagi konteks sosial budaya di Indonesia, terlihat dari CAF World Giving Index Indonesia tahun 2018 berada pada peringkat pertama, dengan aspek mendonasikan uang mencapai 78% dan meluangkan waktu untuk kegiatan sukarela 53%. Pada Social Innovation Index (2016), Indonesia juga memiliki nilai cukup baik dalam aspek society atau kuatnya modal sosial di masyarakat.
Ketujuh, internalisasi Budaya Maritim pada Manusia Indonesia. Tiga program pada periode pertama pemerintahan Jokowi, yaitu Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Poros Maritim bisa diintegrasikan dalam visi membangun sumber daya manusia untuk periode kedua pemerintahannya. Indonesia sebagai sebuah negeri lautan yang ditaburi oleh pulau-pulau sudah seharusnya memiliki budaya maritim yang kuat. Budayawan Radhar Panca Dahana dalam sebuah artikelnya di harian Kompas, 7 Desember 2011, mencoba menyederhanakan masyarakat maritim sebagai masyarakat yang memiliki budaya hybrid (melting pot society), terbuka, adoptif, sekaligus adaptif. Budaya maritim akan membuat manusia Indonesia akrab dengan kebebasan, kesetaraan, toleransi-akseptansi, persaudaraan, kosmopolitan, interkultural dan multikultural. Dalam bahasa modern, nilai-nilai itulah yang disebut liberte, egalite, fraternite, open-minded, melting society, dan seterusnya, yang notabene adalah nilai-nilai dasar demokrasi dan norma-norma yang berlaku dalam pergaulan antar bangsa sekarang ini. Dengan budaya maritim, manusia Indonesia akan menjadi manusia yang nasionalis tapi tidak chauvinistik. Manusia yang, meminjam perkataan Sukarno, nasionalismenya tumbuh dalam taman sari internasionalisme.
Kedelapan, membangkitkan kembali Gotong Royong sebagai upaya mewujudkan manusia Indonesia yang Pancasilais. Gotong royong adalah suatu konsep dan praktik yang sangat penting bagi Sukarno. Sehingga ketika merumuskan Pancasila beliau berkeyakinan bahwa kelima sila yang ada dalam Pancasila jika diperas menjadi satu maka akan menjadi eka sila yaitu “Gotong Royong”. Dengan kata lain, ketika manusia Indonesia mempraktikkan gotong royong maka manusia Indonesia dapat mempraktikkan kelima sila dalam Pancasila secara bersamaan. Ketika bergotong-royong manusia Indonesia akan bekerjasama dan saling menghargai antar pemeluk agama/kepercayaan sebagai wujud nilai sila pertama. Di dalam gotong royong manusia Indonesia akan saling memanusiakan manusia sebagai wujud nilai sila kedua. Di dalam gotong royong manusia Indonesia akan berusaha mempersatukan antar komponen bangsa sebagai wujud nilai sila ketiga. Di dalam gotong royong manusia Indonesia akan belajar bermusyawarah sebagai wujud nilai sila keempat. Dan di dalam gotong royong manusia Indonesia akan saling bekerja sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai wujud nilai sila kelima.***
Dendy Raditya Atmosuwito adalah Associate Researcher di Institute of Democracy and Welfarism Yogyakarta. Pegiat komunitas membaca, menulis, dan diskusi Ngangsu Kawruh Yogyakarta