Ekonom Rusia Alexander Chayanov (Foto: Socialist Economy)
SEJARAWAN asal Inggris, Eric Hobsbawm, di awal 1990an pernah berujar soal ‘matinya petani’ (the death of peasantry). Ia cukup yakin ketika itu, dengan mengamati turun drastisnya jumlah petani di Eropa dan Amerika Utara serta derap akumulasi di belahan dunia lain, petani tidak akan lama lagi lenyap sebagai kategori sosial-ekonomi yang berarti. Hanya saja, masifnya gelombang konflik agraria yang melibatkan petani dan hingga kini tetap bercokolnya petani dalam jumlah statistik signifikan di kawasan negeri ‘terbelakang’, seakan dengan gamblang telah mementahkan ramalan Hobsbawm. Tapi apakah soalnya memang sesederhana itu?
Persoalannya tidak bisa begitu sederhana, sebagian justru karena istilah ‘petani’ itu sendiri. ‘Petani’ dalam tanda petik, barangkali adalah salah satu istilah paling populer yang sekaligus paling problematik dalam diskusi ilmu sosial. Tiap akademisi bisa menukil watak ‘petani’ sesuai perspektifnya sendiri, entah karena alasan disiplin keilmuan atau ideologi. Amat sulitnya meraih konsensus tentang apa itu ‘petani’, pernah membuat seorang antropolog, Anthony Leeds menggerutu bahwa ‘petani’ hanyalah “terminologi cerita rakyat yang diadopsi ke dalam ilmu sosial..yang tidak punya presisi apapun” (Leeds, 1977: 22).
Keruwetan kian bertambah jika kita membahas ‘petani’ dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, ‘petani’ bisa punya beberapa padanan kata: peasant dan farmer. Hanya saja, dalam ilmu sosial, perbedaan istilah peasant dan farmer bukan hanya soal gagah-gagahan teoritik yang sepele. Istilah satu memiliki makna yang sama sekali berbeda dari yang lain. Apakah hanya kebetulan belaka jika banyak orang berbahasa Inggris menyebut ‘petani’ di negeri-negeri kapitalis maju yang menguasai puluhan hektar tanah dan memiliki asupan padat teknologi dengan sebutan ‘farmer’, sementara menyebut ‘petani’ di kawasan negeri pinggiran seperti Indonesia dengan istilah ‘peasant’?
Eric Wolf (1955), salah satu teoritisi ‘petani’ yang termashyur telah memberi petunjuk sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Wolf menggunakan istilah ‘peasant’ ketika merujuk pada produsen pertanian yang tujuan utamanya ialah subsistensi, memproduksi produk pertanian semata untuk bertahan hidup dan mempertahankan status sosial mereka. Pengertian ini tidak jauh beda dari makna awal kata ‘peasant’ yang pertama muncul dalam bahasa Inggris pada sekitar akhir abad pertengahan dan awal abad pencerahan, yang berarti ‘orang miskin pedesaan’, ‘orang biasa’, maupun ‘orang sederhana’, yang tidak harus selalu terlibat dalam pertanian (Edelman, 2013). Tidak jarang kata ‘peasant’ kemudian memperoleh makna peyoratifnya: bodoh, kasar bahkan menjurus dekat dengan kriminal. Sebaliknya, ‘farmer’ dikaitkan dengan mereka yang memproduksi produk pertanian dengan tujuan untuk melakukan re-investasi dan ekspansi usaha produksinya itu, ringkasnya: akumulasi. Berakar dari kata Prancis ferme yang berarti ‘sewa’ atau ‘pinjam’, farmer sering diasosiasikan dengan makna pengolah pertanian, yang dalam istilah modern punya nuansa ‘kewirausahaan’ untuk mengembangkan bisnisnya.
Pembedaan konseptual ini seakan memberi fondasi yang kokoh untuk menyebut eksisnya ‘farmer’ di negeri kapitalis maju sementara tetap bercokolnya ratusan juta ‘peasant’ di negeri-negeri kapitalis pinggiran. Dari sini, orang diajak untuk berpandangan bahwa deklarasi Hobsbawm soal ‘the death of peasantry’ meski mungkin valid untuk kawasan kapitalis maju, namun tidak berlaku untuk kawasan ‘terbelakang’. Soalnya lebih ruwet dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Dengan mengartikan baik ‘peasant’ maupun ‘farmer’ sebagai sama-sama ‘petani’, bisa jadi lelucon jika kita mengatakan ‘petani’ telah mati di negeri kapitalis maju meski ‘petani’ (yang sama) juga tetap bertahan di kawasan kapitalis pinggiran. Kita nanti akan kembali lagi ke soal ini.
Perspektif dan Sejarah
Hal yang segera perlu disorot ialah melihat kepercayaan umum bahwa ‘peasant’ hingga kini masih bertahan di negeri-negeri kapitalis pinggiran. Teodor Shanin, salah satu teoritikus utama ‘petani’ memberi beberapa batasan akan yang bisa disebut sebagai ‘petani’ (peasant). Shanin (1973) menerangkan empat ciri utama ‘petani’: produksi pertanian melibatkan anggota rumah tangga yang tidak dibayar sebagai komponen utama pekerja, pertanian dan ternak menjadi sumber mata pencaharian utama, mereka dalam subordinasi dari berbagai arah oleh pihak lebih berkuasa seperti negara atau kaum perkotaan, dan terakhir mereka memiliki budaya tradisional yang spesifik seperti identifikasi komunal, suburnya ideologi solidaritas dan menjunjung tinggi nilai egalitarianisme. Shanin bersikeras, ‘petani’ seperti yang digambarkannya ini masih tersebar luas di apa yang ia sebut ‘mayarakat berkembang’.
Pandangan Shanin tidak bisa dilepaskan dari pengaruh A.V Chayanov, tokoh kunci neo-populisme agraria Rusia. Chayanov, yang karya-karyanya baru diterbitkan dalam buku bahasa Inggris The Theory of Peasant Economy di tahun 1966 menyimpulkan bahwa watak utama dari ‘ekonomi ‘petani’ (peasant economy) adalah ‘motivasi’ (istilah yang dipilih Chayanov sendiri) ‘petani’ untuk subsistensi, alias sekadar berproduksi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri. Chayanov mendasarkan pengamatannya pada ‘petani’ dan pertanian Rusia di awal abad 20. Melihat tersebar luasnya pekerja anggota rumah tangga yang tidak dibayar dalam produksi pertanian, Chayanov beranggapan bahwa ‘upah’ sebagai kategori penting dalam ekonomi kapitalis tidak eksis di pertanian Rusia. Jika ‘upah’ tidak eksis, kategori ekonomi kapitalis yang lain seperti ‘sewa’, ‘bunga’ dan ‘profit’ karenanya juga tidak bisa eksis dalam produksi pertanian semacam itu (Chayanov, [1966] 1986: 5).
Dari sini Chayanov melanjutkan, ‘petani’ Rusia (yang kemudian diabstraksikan menjadi konsep ‘ekonomi petani’) tidak mendasarkan proses produksi mereka dengan kalkulasi untung-rugi sebagaimana dalam ekonomi kapitalis. Kalkulasi yang mereka pakai ialah ‘rasio pekerja-konsumen’ (labor-consumer ratio) (Chayanov, [1966] 1986: 48). Maksudnya, rumah tangga ‘petani’ akan menghitung produksi pertanian mereka berdasarkan jumlah pekerja (orang dewasa usia kerja) yang tersedia di dalam rumah tangga dan kebutuhan konsumen (pekerja plus tanggungannya: anak-anak dan orang tua yang sudah tidak bekerja) dalam unit rumah tangganya. Berdasarkan pertimbangan akan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga dengan tenaga kerja yang tersedia, ‘petani’ akan selalu berupaya untuk menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan keluarga dan seberapa berat tenaga kerja harus dilimpahkan untuk memenuhi kebutuhan itu.
Dalam kondisi normal, jika tenaga kerja yang tersedia dalam rumah tangga relatif setara dengan jumlah konsumen dalam rumah tangga yang harus ditanggung (rasio ketergantungan rendah), maka tiap pekerja dari rumah tangga itu dapat hanya bekerja secara wajar untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka (subsisten). Mereka, ungkap Chayanov, tidak memiliki insentif untuk memproduksi lebih besar dari kebutuhan keluarganya, karena untuk memproduksi lebih besar, akan berarti tiap pekerja di rumah itu mesti menanggung beban kerja lebih berat lagi. Dengan kondisi seperti itu, “melanjutkan kerja menjadi sia-sia belaka”, kata Chayanov ([1966] 1986: 6). Jika rumah tangga memiliki rasio ketergantungan yang tinggi (jumlah tenaga kerja lebih kecil dari jumlah konsumen dalam rumah tangga), tiap pekerja sudah pasti mesti bekerja lebih keras lagi untuk sekedar memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya.
Keadaan kian memburuk jika terjadi kondisi krisis (gangguan alam maupun sosial). Dalam situasi ini, rumah tangga ‘petani’ dipaksa memaksimalkan tenaga kerja yang ada (intensifikasi) untuk sekedar memenuhi kebutuhan minimal yang dalam kondisi normal dapat dipenuhi tanpa melakukan intensifikasi pekerjaan. Demi tetap terpenuhinya kebutuhan keluarga, pekerja dalam rumah tangga akhirnya melakukan apa yang disebut Chayanov sebagai ‘self-exploitation’, dengan mengurangi asupan konsumsi atau menambah beban kerja per pekerja, maupun kombinasi diantara keduanya. Dengan pengorbanan ‘self-exploitation’ ini pula, mereka bisa menghindari kehilangan tanah, yang amat krusial bagi reproduksi rumah tangga selanjutnya.
Pandangan Chayanov memberikan beberapa implikasi yang kadang implisit, dan kemudian menjadi arena perdebatan hangat bagi teoritisi baik di jamannya maupun sesudahnya. Karena menekankan ‘ekonomi petani’ punya watak tersendiri (subsistensi) yang berbeda dengan kalkulasi kapitalis (profit), Chayanov melihat ‘ekonomi petani’ tidak bisa dengan mudah dimasukkan ke dalam mode produksi spesifik seperti ‘feodalisme’ maupun ‘kapitalisme’. Ia meyakini, ‘masyarakat petani’ adalah mode produksi tersendiri yang memiliki corak berbeda dengan feudalisme atau kapitalisme. Shanin (1973) meski dengan lebih implisit, mengamini hal ini dalam bangunan teori kontemporernya. Dengan cara ini, ‘Mode produksi petani’ (peasant mode of production) menyediakan perangkat konseptual bagi mereka yang hendak menjaga kelangsungan hidup ‘masyarakat petani’’ (peasant society).
Di sisi lain, perspektif Chayanovian yang percaya ‘petani’ akan terus berwatak subsisten dalam kondisi normal (tidak punya insentif untuk akumulasi) dan pada saat bersamaan mereka akan mengorbankan diri sendiri dengan ‘self-exploitation’ ketika ekonomi memburuk (menghindari proletarianisasi), menjadi pilar penggambaran masyarakat ‘petani’ kecil yang relatif homogen nan ulet menjaga etika subsistensi mereka sepanjang waktu. Karena sifatnya yang relatif homogen ini pula, ‘petani’ dibayangkan menjunjung tinggi nilai solidaritas maupun budaya egalitarianisme seperti telah disebut Shanin.
Tentu saja, sudah sejak jamannya, pandangan Chayanov ini diserang dari berbagai arah. Satu kritik menyebut teorinya ‘statis’, karena tidak memberikan penjelasan historis tentang perkembangan pertanian dan perannya dalam konteks ekonomi nasional Rusia, dan makanya pendapatnya soal ‘watak subsistensi ‘petani’ dan kecenderungan ‘petani’ untuk tetap kecil dan relatif homogen disebut sebagai ‘tidak realistis’. Yang menarik ialah tanggapan Chayanov terhadap kritik-kritik itu. Menjawab tuduhan ‘statis’, Chayanov sekadar bilang “Kami tidak memberi perhatian pada masa depan pertanian ‘petani’, maupun konsepsi ekonomi nasional dan sejarahnya, dan tidak pula dengan perkembangan historis dari sistem ekonomi” (Chayanov, [1966] 1986: 44). Ia melanjutkan, “Untuk saat ini, kami mengelaborasi elemen statis dalam ilmu mengenai pertanian petani” (hal. 45). Di satu sisi mengakui keunggulan metode Karl Marx yang telah memperoleh “pengakuan dalam ilmu sosial”, namun di sisi lain belum mampu menengok aspek sejarah ‘petani’ dan pertanian Rusia, Chayanov berjanji “..dalam beberapa tahun ke depan, kami akan mampu menjelaskan kepada kami sendiri dan pihak lain apa yang dapat kami ambil ke dalam penelitian praktis kami dari pengalaman melimpah metode Marxis” (Chayanov, [1966] 1986: 46).
Selanjutnya, Chayanov mengaku bahwa “Itu sudah cukup benar jika ‘petani’ tidaklah homogen; selain ‘petani’-pekerja di pertanian, juga ada banyak sekali semi-proletariat dan ‘petani’ semi-kapitalis” (Chayanov, [1966] 1986: 47). Seakan untuk menutupi keengganannya memasukkan kategori kelas dalam bangunan teoritiknya, Chayanov saat itu bilang: “Kami hanya menginvestigasi bentuk kelembagaan pertanian keluarga di pertanian” (ibid).
Kelemahan utama teorinya Chayanov bukanlah karena ia semata diciptakan dari logika abstrak, tanpa pengamatan empiris sama sekali. Chayanov mendasarkan pengamatannya justru pada kondisi empiris Rusia seperti telah diulas sebelumnya. Keterbatasan mendasar dari Chayanov ialah kegagalannya untuk mengikutsertakan dengan serius aspek relasi sosial ‘petani’ dengan sistem ekonomi, politik dan sosial yang lebih luas dari pertanian dalam lintasan historis tertentu. Dengan fokus pada siklus internal demografi rumah tangga ‘petani’, Chayanov menganggap kondisi sosial di luar rumah tangga itu sebagai sebatas ‘eksternal’, faktor luar yang hanya sesekali memberi peluang maupun hambatan bagi reproduksi rumah tangga. Kondisi sosial ekonomi politik di luar rumah tangga ‘petani’ yang berkembang seiring waktu tidak dilihat sebagai bagian melekat yang menentukan reproduksi rumah tangga ‘petani’ dan karenanya juga ‘watak mereka’.
Chayanov memang memberi penjelasan soal respon ‘petani’ terhadap faktor ‘eksternal’ ini, tapi gambarannya hanya melulu pada strategi ‘adaptasi’ dari ‘petani’ yang wataknya dibayangkan tidak berubah sepanjang waktu (tetap subsistensi) (Bernstein, 2009: 65). Jadi dalam kondisi normal atau surplus, ‘petani’ akan ‘adaptasi’ dengan mekanisme tertentu tanpa mengubah ‘watak subsistensinya’. Begitu pula dalam kondisi krisis, strategi ‘adaptasi’ dengan ‘self exploitation’ akan dilakukan tanpa mentransformasi watak ‘petani’ itu sendiri. Dengan fokus pada siklus internal rumah tangga ‘petani’ yang dianggap tetap, teori ‘petani’ Chayanov dapat diterapkan ke berbagai periode sejarah yang berbeda (trans-historical concept). Cukup sulit membayangkan konsepsi semacam ini tidak akan jatuh pada pengamatan ahistoris.
Akan menarik sebenarnya melihat bagaimana Chayanov berupaya lebih serius menjelaskan soal relasi sosial ‘petani’ ini. Chayanov nampaknya tidak punya waktu memberikan analisis historis sesuai janjinya. Daniel Thorner (1986: xxii), salah satu pendukung simpatiknya akhirnya berkomentar: “Meski mencakup kemungkinan yang amat luas, teorinya Chayanov tentang pertanian keluarga tetap pada dasarnya adalah teori yang statis. Sejak 1860an hingga 1920an, ekonomi pertanian Rusia telah mengalami perubahan amat fundamental”. Begitu pula dengan Shanin yang di fase tulisannya lebih belakangan (Shanin, 1986: 19) merasa perlu untuk memberi tekanan lebih soal pentingnya melihat perubahan agraria pedesaan melalui lensa relasi kapital (capital) dan pekerja (labor) yang lebih luas dari sekadar internal pertanian semata, apalagi semata internal siklus rumah tangga. Meski demikian, usaha Shanin untuk menginkorporasi analisis semacam itu nampak lebih sebatas ornamen, daripada suatu upaya serius untuk menstransformasi teorinya tentang ‘petani’.
Perkembangan Tidak Rata Kapitalisme Global dan ‘Petani’
Suatu pengamatan tentang ‘petani’ dalam posisinya di tengah arus perubahan sosio-ekonomi yang lebih luas mensyaratkan perhatian yang serius terhadap perubahan proses relasi produksi pertanian dan non-pertanian dan bagaimana peran pemodal dan pekerja sebagai dua agen kunci produksi, menentukan arah perubahan relasi produksi tadi dan implikasi lebih lanjutnya bagi kedua belah pihak itu. Ringkasnya, kita perlu mengarahkan mata kita pada dinamika relasi produksi kapitalisme untuk memahami ‘petani’ dengan lebih realistis. Kapitalisme tentu saja bisa dipahami dengan berbagai cara yang berbeda. Yang jelas, kapitalisme di sini bukan sekedar kelanjutan ekonomi pasar dari sejak awal umat manusia yang kini berada di tahap lebih ‘matang’ atau ‘dewasa’ seperti para ekonom ortodoks mendeskripsikannya.
Kapitalisme perlu dipahami sebagai suatu sistem sosial yang ‘spesifik’, berbeda dengan sistem sosial lainnya (sebelumnya). Berbeda dengan persepsi umum, kapitalisme bukan sekadar sistem sosial yang menghamba pada perburuan keuntungan. Kata kunci yang krusial bagi sistem kapitalisme ialah ‘komodifikasi’ akibat meluasnya produksi komoditas barang dan jasa (generalized commodity production). Ini adalah proses dimana produksi barang dan jasa serta reproduksi sosial (manusia/pekerja) diciptakan untuk dan melalui pertukaran pasar yang sekaligus tunduk pada disiplin dan paksaan nilai-nilai pasar itu (Bernstein, 2010: 102). Semua barang dan termasuk manusia dilihat sebagai komoditas yang punya nilai tukar di pasar untuk diperjual-belikan. Pekerja tidak bisa bertahan hidup tanpa menjual tenaganya di pasar kerja. Hal yang sama berlaku untuk kapitalis (pemilik modal) yang menggantungkan produksinya pada input dari pasar dan menjualnya kembali ke pasar. Perilaku baik pekerja dan kapitalis dikondisikan oleh nilai-nilai pasar yang utama: kompetisi, inovasi, produktivitas, profit dan akumulasi.
Kalangan ekonom ortodoks mengklaim nilai-nilai ini sudah ada sejak awal mula sejarah umat manusia dan karenanya kapitalisme juga telah lahir sejak itu, meski masih dalam fase bayi. Paling banter, argumen semacam ini hanya memberi jawaban berputar-putar (Wood, 2002: 4). Misalnya saja, bagaimana bisa menjelaskan watak ‘orientasi akumulasi’ yang unik hanya untuk sistem kapitalisme, dengan sekadar mengatakan bahwa watak itu sebenarnya secara universal telah ada sejak awal umat manusia, bahwa watak itu baru dominan di masa modern (beberapa abad terakhir) disebabkan karena watak yang masih bayi itu mesti mengalahkan ‘hambatan-hambatan’ yang selalu merintanginya sejak dulu kala. Jadi, bayi yang konon telah lahir ribuan tahun lalu itu mesti dilahirkan lagi pada beberapa abad terakhir?
Berkebalikan dari pandangan ahistoris semacam itu, sebagai sistem sosial yang unik, kapitalisme lahir dari kondisi sejarah yang spesifik dalam ruang dan waktu tertentu. Proses komodifikasi dapat dilacak kembali ke awal industrialisasi di Inggris yang menjadi tonggak pertama dalam sejarah umat manusia meraih puncak kelimpah-ruahan ekonominya. Bukan kebetulan pula, jika proses awal komodifikasi ini berlangsung di sektor pertanian (Brenner, 1982). Pada mulanya, proses ‘akumulasi primitif’ yang disebut Marx memisahkan produsen pertanian (‘petani’) dari alat-alat produksinya, khususnya tanah. Ini menandai titik tolak hubungan kepemilikan kapitalis, dari akses kepada sarana produksi yang semula bersifat publik dan relatif inklusif, diubah menjadi bercorak pribadi dan eksklusif atas kepemilikan tanah (Wood, 2002: 108). Pemisahan ini menghilangkan akses langsung (bukan pasar) produsen (‘petani’) ke tanah dan untuk selanjutnya akses mereka terhadap alat-alat produksi itu mesti diperantarai oleh pasar.
Hasilnya, seperti yang dikatakan Brenner, “mereka tidak punya pilihan selain menanggapi pasar yang sedang naik, dengan bersaing satu sama lain se-efektif mungkin dengan memangkas ongkos (produksi), dan dengan demikian melakukan spesialisasi, mengejar surplus, dan berinovasi” (Brenner, 1982: 91). Dalam proses selanjutnya, ekstensifikasi dan intensifikasi hubungan komoditas (tanah dan tenaga kerja) melalui pasar mengubah cara apropriasi surplus, dari ‘sarana ekstra-ekonomi’ menjadi ‘sarana ekonomi’ yang lebih murni (pasar) (Brenner, 1976) . ‘Petani’ tidak lagi diekstraksi melalui pajak dan tugas tradisional lainnya, namun mereka menjadi ‘petani’ (penyewa) yang diekstraksi melalui sarana ekonomi (sewa tetap). Baik ‘petani’ penyewa dan tuan tanah sekarang dipaksa untuk melayani logika pasar dengan meningkatkan produktivitas dan keuntungan.
Kian masifnya komodifikasi membuat produksi dan reproduksi sosial hanya mampu dilakukan melalui produksi komoditas. Dalam produksi untuk pasar ini, beberapa ‘petani’ dapat lebih produktif dan dengan demikian memungkinkan mereka memperoleh lebih banyak keuntungan dan memperluas akumulasi mereka sebagai ‘petani’ kapitalis sedangkan ‘petani’ lain gagal melakukannya dan oleh karena itu dipaksa untuk bergabung dengan buruh upahan. Dalam keadaan ini, “kekuatan pasar secara pasti mempercepat polarisasi masyarakat pedesaan Inggris menjadi pemilik tanah yang lebih besar dan banyak orang tanpa harta sama sekali” (Wood, 2002: 103). Komodifikasi pertanian di Inggris yang dibawa oleh transisi kapitalis dengan demikian menciptakan terbentuknya kelas kapitalis dan buruh upahan dalam produksi pertanian (juga industri) dan hilangnya ‘petani’ (peasant) di Inggris.
Sudah barang tentu, proses komodifikasi di Inggris dan dampaknya terhadap pembentukan relasi kelas kapitalis-buruh upahan yang tipikal, tidaklah bersifat universal. Memang, setelah diluncurkan pertama kali di Inggris, komodifikasi, dengan bantuan imperialisme Inggris, telah coba dipaksakan berlaku di seluruh dunia. Negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika Utara sejak itu telah turut mengalami meluasnya produksi komoditas dan karenanya terjerat arus komodifikasi tidak hanya di pertanian, namun juga di cabang produksi yang lain. Relasi kapitalis-buruh upahan di produksi pertanian dan menghilangnya ‘petani’ umumnya dapat ditemukan di wilayah ini, meski di Amerika Serikat, pertanian keluarga (tidak melibatkan buruh upahan) justru memainkan peran penting dalam perkembangan kapitalisme disana (Byres, 1996).
Jika di Amerika Serikat saja relasi tipikal kapitalis-buruh upahan di pertanian tidak dominan, hampir sudah pasti hal serupa juga berlaku di kawasan negeri-negeri kapitalisme pinggiran global yang mengalami komodifikasi lebih belakangan. Disini seolah begitu mudah ditemukan ‘petani’ yang tidak dapat disebut baik sebagai ‘kapitalis’ maupun ‘buruh upahan’, seperti dalam pandangan Chayanovian. Hanya saja, karena perkembangan kapitalisme global yang tidak rata, kapitalisme di pertanian tidak berarti mesti hadirnya relasi kapitalis-buruh upahan di tiap sudut pertanian di seluruh dunia sebagaimana para pendukung tesis ‘semi-feodal’ seperti Terry Byres (1977) dan Utsa Patnaik (1972) menggambarkannya. Ciri utama hadirnya kapitalisme pertanian ialah meluasnya ‘komodifikasi penghidupan’, dimana produsen pertanian (‘petani’) hanya bisa bertahan hidup (reproduksi keluarganya) dengan terlibat pertukaran di pasar (Bernstein, 2010). Mereka dikondisikan untuk memproduksi komoditas yang bisa dijual di pasar, untuk memenuhi kebutuhannya yang juga diperantarai oleh pasar. Memang, ‘komodifikasi penghidupan’ diawali dengan kehadiran relasi kapitalis-buruh upahan pertanian di Inggris. Namun, ‘komodifikasi penghidupan’ dapat menyebar dan dominan dalam skala global ketika kekuatan pasar dan nilai-nilainya yang telah dibentuk sebelumnya di Inggris dan kawasan kapitalis maju lainnya, lambat laun melalui imperialisme menentukan secara dominan watak produksi komoditas pertanian di tingkat global, tanpa harus disertai dengan eksisnya relasi kapitalis-buruh upahan pertanian di tiap pelosok area pertanian dunia.
‘Komodifikasi penghidupan’ ini juga tidak berarti bahwa seluruh elemen penghidupan sosial sudah terkomodifikasi. Tapi poinnya ialah, “reproduksi tidak bisa berlangsung diluar relasi komoditas dan disiplin yang dikondisikan oleh hubungan itu” (Bernstein, 2010: 102). Dengan kata lain, meski ‘petani’ masih menguasai beberapa petak lahan dan tidak mempekerjakan buruh upahan, mereka dapat saja telah mengalami ‘komodifikasi penghidupan’ sepanjang reproduksi keluarga mereka tergantung pada kewajiban untuk menanam komoditas, yang input produksinya diperoleh dari pasar dan mereka dipaksa untuk se-produktif mungkin agar mampu bersaing di pasar. Sekali lagi, komodifikasi tidak harus ‘menghilangkan ‘petani’ seperti dalam ungkapan Hobsbawm. Mereka bisa saja tetap menguasai tanahnya meski telah terpapar komodifikasi.
Tapi komodifikasi sudah pasti mengubah watak ‘petani’ (peasantry) di era pra-kapitalis yang mengantarkannya pada karakter baru di masa kapitalisme. Mereka tidak lagi bisa disebut peasant yang digambarkan orientasinya selalu sekedar untuk subsisten. Akibat komodifikasi, mereka menjadi apa yang disebut sebagai produsen kecil komoditas (petty commodity producers) yang dalam ungkapan deskriptifnya sering cukup disebut farmers. Sebagai produsen kecil komoditas yang dikondisikan logika pasar, sebagian petani (farmer) dapat menjadi akumulator (kapitalis) yang terlibat dalam ekspansi reproduksi (expanded reproduction), sebagian yang lain jadi ‘petty bourgeoisie’ untuk sekedar mereproduksi secara sederhana kehidupan mereka (simple reproduction) yang dalam istilah kaum populis disebut subsistensi. Banyak yang lain meski masih punya secuil tanah, kadang berhasil dan kadang gagal memenuhi kebutuhan reproduksi sederhana, sehingga mengalami ‘tekanan subsistensi’ (subsistence squeeze) dan menjadi petani ‘semi-proletariat’ (Gibbon & Neocosmos, 1985; Kay, 1989) atau ‘petani marjinal’ (Bernstein, 2010). Sementara sebagian produsen lain yang yang kalah bersaing dipaksa kehilangan sarana produksinya sama sekali dan bergabung jadi buruh upahan untuk berjuang tiap hari sekedar bertahan hidup (survival). Dinamika kelas dalam produksi pertanian akibat komodifikasi inilah yang perlu menjadi titik tolak menyorot perubahan agraria dan ‘petani’.
Proses sejarah komodifikasi pertanian di kawasan kapitalisme pinggiran dimulai sejak masa kolonial. Secara lebih spesifik, kita bisa melacak proses komodifikasi sejak tiga dekade terakhir di abad 19 ketika di satu sisi negeri-negeri kapitalis maju mencapai tahap yang disebut Lenin sebagai ‘imperialis’ dengan mulai mengatur pembagian kekuasaan teritorial diantara mereka terhadap tanah jajahan untuk mempercepat akumulasi, dan di sisi lain lahirnya ‘rejim pangan’ (Friedman, 1982) yang mengatur pembagian kerja internasional dalam produksi pangan. Skemanya tentu sudah cukup terkenal, negeri-negeri kapitalis maju di Eropa Barat yang tengah gencar mengalami industrialisasi, memenuhi kebutuhan pangan pekerjanya dengan lebih murah lewat impor gandum dari negeri-negeri koloni yang ditempati orang-orang Eropa (Amerika Serikat, Kanada, Australia, Argentina dst). Sementara sebagai pelengkap dan berstatus barang mewah, Eropa Barat mengimpor produk-produk pertanian dari jajahannya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin.
Kredit foto: Dakwah Dalam Media
Dampaknya telah cukup familiar, yaitu mulai lahir ‘perkebunan industri’ baru yang dibangun dengan modal Eropa, menggantikan model perkebunan lama di Asia dan Amerika Latin untuk memproduksi gula, teh, kopi, cokelat, kelapa sawit, pisang dll. Proses yang lain ialah fase baru komodifikasi perkebunan di Amerika Latin (hacienda) yang menuntut kian banyaknya tanah komunitas lokal dijadikan perkebunan dan pada saat bersamaan diadopsinya pekerja terikat (mirip budak meski tidak bisa diperjual-belikan) sebagai buruh bagi perkebunan itu. Selain mengusir ‘petani’ dari tanahnya dan mengkonversinya jadi buruh upahan, kapital Eropa juga justru menginkorporasikan ‘petani’-’petani’ di Afrika dan sebagian besar Asia ke dalam skema produksinya sebagai produsen untuk ekspor produk kacang tanah, kopi, tembakau, kapas dst (Bernstein, 2000: 33). Mereka dibiarkan tetap memiliki tanahnya, meski apa, bagaimana dan seberapa besar produksi pertanian itu ditentukan oleh pemilik kapital dari Eropa. Melalui semua skema ini, ‘petani’ di kawasan kapitalisme pinggiran kian terpapar komodifikasi, termasuk dalam reproduksi penghidupannya.
Proses komodifikasi sendiri berlangsung secara tidak merata di berbagai wilayah pinggiran. Variasi ini tidak hanya terjadi di antara berbagai negara koloni, namun juga melanda di berbagai daerah di dalam suatu negeri koloni itu sendiri. Kawasan-kawasan yang jadi produsen komoditas untuk ekspor ke Eropa, seperti gula di Jawa, menjadi kantung ekonomi modern (terkomodifikasi) yang relatif terpisah dari ekonomi domestik lainnya yang masih ‘tradisional’ dan sebagian masih subsisten. Di era inilah, kita perlu meletakkan pengamatan Chayanov. Rusia saat itu (sebelum Revolusi 1917), sebagaimana kawasan kapitalisme pinggiran lainnya, memang ditandai masih bertahannya ekonomi tradisional dan pertanian subsistensi. Tapi ini tidak berarti tidak ada proses komodifikasi pertanian yang tengah berlangsung saat itu, ditandai oleh masifnya diferensiasi kelas diantara ‘petani’ mereka sendiri ketika kapital Eropa Barat mulai masuk ke Rusia di paruh akhir abad 19 seperti yang disinggung Thorner.
Perlakuan serupa juga patut diberikan kepada James Scott, teoritikus raksasa lain yang juga terpengaruh Chayanov. Dalam karya magnum opus-nya, The Moral Economy of the Peasant (1976), Scott menceritakan pemberontakan ‘petani’ di Myanmar dan Vietnam di era 1930an. ‘Ekonomi moral’ menekankan watak kealamiahan dari etika subsistensi para ‘petani’ melawan kekuatan dari luar komodifikasi kapitalisme yang mengancam pemenuhan subsistensi mereka. Dari sudut teoretis, kita bisa bertanya apakah ‘petani’ selalu (dimanapun dan kapanpun) akan berupaya melindungi etika subsistensi ketika menghadapi kekuatan luar (kapitalisme)? Tidak bisakah dibayangkan kemungkinan bahwa ‘petani’ kaya dan ‘petani’ miskin memperoleh manfaat secara berbeda dari penetrasi kapital dan karenanya sebagian mereka justru ingin memeluk model akumulasi kapitalis? (Brass, 2000: 155). Juga, apakah ‘etika subsistensi’ ‘petani’ di masa 1930an yang dijadikan tumpuan abstraksi tentang ‘ekonomi moral’ masih bertahan di masa berikutnya?
Nyatanya, komodifikasi di kawasan pinggiran memasuki babak baru pasca Perang Dunia II yang mengawali kemerdekaan politik di Asia dan Afrika. Kemerdekaan politik memberi landasan aspirasi bagi negeri bekas koloni untuk mengejar tujuan pembangunan ekonomi nasional mereka sendiri. Era ‘pembangunisme’ ini berbarengan dengan masa ‘rejim pangan reformis’ (Araghi, 2009), karena kapital pangan global mulai sedikit menarik diri dari intervensi langsungnya di kawasan pinggiran dan fokus untuk mensubsidi pertanian di dalam negeri mereka sendiri untuk memastikan pangan murah bagi pekerja mereka, sementara di saat bersamaan berupaya mengakomodasi aspirasi pembangunan pasar domestik di negeri bekas koloni. Di negeri dengan ancaman penyebaran komunisme yang nyata (Jepang, Korea Selatan, Taiwan), kapital global memaksakan diberlakukannya reforma agraria untuk melancarkan industrialisasi dan pengembangan pasar domestik. Ketika ancaman penyebaran komunisme tidak ada atau sudah berhasil dihancurkan, seperti dalam kasus Indonesia, kapital global berlindung dalam mantra ketakutan Malthusian akan melonjaknya jumlah populasi, dengan menginisiasi penanaman benih modern dan teknik produksi modern pertanian dalam payung ‘Revolusi Hijau’ guna memacu produktivitas hasil tani.
Kedua proses ini turut memperluas komodifikasi pertanian di seluruh pelosok negeri. Jika sebelumnya, komodifikasi relatif terbatas di perkebunan berorientasi ekspor untuk produk pertanian pelengkap (gula, teh, kopi, dst), setelah Reforma Agraria dan Revolusi Hijau, komodifikasi merembet cepat, merangsek ke produksi tanaman pangan utama seperti padi, yang melibatkan mata pencaharian ratusan juta ‘petani’. Mayoritas ‘petani’ sebagai produsen pangan kian terpapar logika pasar, baik dalam input maupun output produksinya. Di negeri yang mengalami Revolusi Hijau, diferensiasi kelas berlangsung masif ditandai ketimpangan penguasaan tanah dan akses ke pasar (kredit modal, benih dan pupuk modern, pemasaran) sebagaimana di era transisi kapitalisme pertanian di Inggris dan kawasan kapitalis maju lainnya. Tetapi berbeda dengan di kawasan kapitalis metropolitan, transformasi pertanian di kawasan pinggiran tidak (atau belum) diikuti oleh terusirnya sebagian besar ‘petani’ dari tanahnya.
Ini sama sekali tidak berarti bahwa ‘petani’ (peasantry) dalam makna pra-kapitalisnya masih bertahan. Apalagi sejak 1980an, komodifikasi berlangsung kian deras lewat inisiasi rejim pangan neoliberal yang kembali menggariskan pembagian kerja internasional sebagaimana di masa kolonial (Araghi, 2009). Kini, setelah lebih dari tiga dekade pembagian kerja internasional jilid dua berlangsung, kita akan makin kesulitan menemukan produsen pertanian yang belum terjamah dan terhubung dengan pasar, baik domestik maupun global. Akan cukup aman dan bukannya tidak logis untuk mengatakan jika kini, peasant di kawasan kapitalisme pinggiran setelah melalui proses komodifikasi yang cukup panjang telah ditransformasi menjadi produsen kecil komoditas pertanian (farmer). Ini bukan berarti semua petani di kawasan pinggiran telah terkomodifikasi dan proses komodifikasi pasti akan menyapu sisa ‘petani’ yang belum terkomodifikasi. Proses meluasnya komodifikasi sendiri akan sangat ditentukan oleh situasi spesifik perkembangan akumulasi dan perlawanan terhadapnya. Tetapi, yang cukup jelas ialah kekuatan pasar kapitalis (untuk membedakannya dengan pasar di masa pra-kapitalisme), kini telah menempati posisi dominan dalam menentukan watak produksi komoditas pertanian. Petani di negeri pinggiran umumnya kian tergantung pada logika pasar kapitalis untuk mereproduksi penghidupannya.
Tidak berlebihan jika mungkin memang sudah saatnya untuk mengucapkan Selamat Tinggal kepada ‘petani’/peasant (Bernstein, 2011) dan menyampaikan Selamat Datang produsen kecil komoditas pertanian/farmer. Mengingat baik peasant maupun farmer dalam bahasa Indonesia diartikan sama dengan petani, mungkin akan memadai untuk menyebut ‘petani’ dengan tanda petik ketika menyebut petani di era pra-kapitalis yang logika subsistensinya menonjol sementara menggunakan istilah petani tanpa tanda petik untuk merujuk pada produsen kecil komoditas pertanian yang dikondisikan oleh hukum dan nilai pasar dalam sistem kapitalisme.
Membantu Petani?
Penetrasi kapitalisme ke kawasan pinggiran sudah barang tentu tidak selalu berjalan mulus. Ancaman kehilangan tanah pertanian dan sumber penghidupan memicu perlawanan ‘petani’ di berbagai sudut dunia yang sebagiannya telah direkam Eric Wolf dengan apik dalam Peasant Wars of the Twentieth Century (1969). Di abad 21, berbagai perjuangan petani melawan penetrasi dari korporasi global yang menjadi motor globalisasi di gambarkan oleh kaum neo-populis sebagai bagian dari proses ‘re-peasantization’ (Ploeg, 2008; McMichael, 2013). Mereka merayakan gerakan agraria trans-nasional global di bawah satu payung ‘People of the Land’ dalam melawan korporasi pertanian. Mereka mengasumsikan bahwa ‘semua’ petani tengah dalam bahaya penetrasi korporasi kapitalis. Ujungnya, petani dilihat sebagai satu kelas tunggal yang dieksploitasi oleh korporasi pertanian.
Sorotan lebih jauh terhadap dinamika gerakan agraria trans-nasional memberi pandangan lain. Via Campesina (the peasant way), organisasi petani trans-nasional terbesar sekaligus mungkin paling berpengaruh di dunia, terdiri dari berbagai organisasi serikat petani nasional yang mewakili berbagai kelompok, dari pekerja pedesaan, buruh pertanian, hingga ‘petani kecil dan menengah’ baik di negeri pinggiran maupun di kawasan kapitalis maju. Begitu luas dan beragamnya anggota Via Campesina menyulitkannya menghindari ambiguitas dan kontradiksi. KRRS Karnataka di India ialah serikat petani yang menjadi salah satu tulang punggung pendirian Via Campesina. Keberhasilan mereka melawan korporasi benih seperti Monsanto memberi profil tinggi dan pengaruh terhadap agenda global Via Campesina. Beranggotakan petani menengah dan kaya di India, KRRS Karnataka nyatanya menggunakan pengaruh mereka untuk mencegah serikat buruh tani di India untuk menjadi anggota Via Campesina. Bukan kebetulan jika agenda buruh pertanian seperti soal upah, jauh tertutup dari agenda melawan korporasi benih dan pupuk. Tidak hanya itu, KRRS Karnataka juga bahkan awalnya menolak menjadikan agenda ‘Reforma Agraria’ sebagai agenda global Via Campesina (Borras, dkk, 2008: 24). Kampanye ‘Kedaulatan Pangan’ terasa lebih dominan, demi melawan korporasi global.
Hal lain yang perlu dilihat ialah aspek akumulasi kapital pertanian global yang tidak rata. ‘Petani kecil dan menengah’ yang menjadi anggota Via Campesina mendapat tanda petik mengingat bobotnya amat berbeda untuk kawasan kapitalis maju dan pinggiran. Di negeri seperti Prancis, Jerman dan Inggris, rata-rata penguasaan tanah pertaniannya ialah sekitar 40-50 hektar (Bureau & Matthews, 2005: 5). Sebaliknya di kawasan seperti Afrika dan Asia, penguasaan tanahnya ‘petani kecil menengah’ mereka mungkin sulit untuk mencapai seperlimapuluhnya dari petani dengan kategori yang sama di Eropa dan Amerika.
Ditambah lagi, karena perkembangan spesifiknya, Eropa Barat (dan kemudian EU) dan Amerika Serikat telah dikenal amat murah hati memberikan subsidi dan bantuan lain kepada petani mereka. Per tahun, subsidi pertanian di masing-masing kawasan itu bernilai milyaran dolar. Mengomentari melimpahnya subsidi di Amerika Serikat, seorang pengamat bertanya: “Apa jadinya pertanian di Amerika Serikat tanpa berbagai program (subsidi) itu? (Schmitz, dkk 2005: 418). Selain memastikan kemakmuran petani di kawasan metropolitan, subsidi dan berbagai skema bantuan lainnya tentu bukannya tanpa efek sama sekali bagi petani di kawasan pinggiran. Juga karena sejarah khususnya sebagai bekas koloni, petani-petani di kawasan ini bukan hanya kesulitan bersaing dengan rekan petani mereka di kawasan metropolitan yang dimanjakan dengan subsidi. Tapi bahkan sejak 1980an, institusi internasional yang mana pengaruh negeri-negeri kapitalis maju (‘rejim pangan’) amat kuat terhadapnya, justru memaksa pengurangan dan penghapusan subsidi bagi petani di kawasan pinggiran dengan dalih ‘pasar bebas’.
Meski telah melawan perdagangan bebas bagi produk pertanian yang dikomandoi korporasi global, gerakan agraria trans-nasional nampak mengaburkan isu perbedaan struktural antara petani di kawasan metropolitan dengan mereka yang di kawasan pinggiran. Kecil kemungkinan kepemilikan tanah semata akan menjamin penghidupan bagi petani di kawasan pinggiran jika mereka dibiarkan sendirian sementara petani metropolitan tetap ditopang bantuan melimpah. Via Campesina sendiri nampak enggan untuk mengangkat persoalan ini dalam kampanyenya (Edelman, 2013: 9). Barangkali ini disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya friksi dengan ‘rekan’ mereka dari metropolitan yang dianggap akan melemahkan gerakan. Tapi apakah memprioritaskan persatuan memang diperlukan dalam situasi hadirnya perbedaan kepentingan?
Melawan korporasi global demi mempertahankan sumber penghidupan (baik secara sosial maupun lingkungan) memiliki argumentasinya sendiri yang berdasar. Di kawasan kapitalis maju, petani yang terkomodifikasi kini memang lebih homogen akibat proses diferensiasi kelas yang telah terjadi jauh sejak transisi ke kapitalisme. Ini menyisakan hanya segelintir populasi (angkanya sekitar dibawah kisaran 5% dari total populasi) bekerja sebagai produsen kecil komoditas pertanian yang membuat mereka relatif homogen. Menjadi lebih menarik karenanya kampanye untuk menempatkan korporasi sebagai lawan di satu pihak, dan menyatukan semua produsen kecil pertanian yang relatif homogen itu ke dalam satu kesatuan pihak yang lain.
Di kawasan pinggiran, ‘masyarakat petani’ yang mengalami proses komodifikasi berbarengan dengan kolonisasi dan bahkan mengalami akselerasi pasca kemerdekaan, telah bertransformasi menjadi produsen kecil komoditas yang sebagian dari mereka memperoleh peluang sekaligus hambatan dari pasar dengan derajat dan dampak yang berbeda-beda. Tetapi, karena situasi spesifik terkait dengan warisan kolonial dan gelombang neoliberal, transformasi agraria di kawasan pinggiran tidak meniru rekan mereka di metropolitan. Sejumlah besar populasi masih bergelut di pertanian (angkanya mungkin berkisar 30-50% dari total populasi) dengan penguasaan tanah jauh lebih kecil dan bantuan dari negara yang minim. Dalam proses ini, bagaimanapun, sebagian petani toh tetap mampu mengakumulasi dengan menyisakan tetangganya sekedar sebagai ‘petani gurem’ yang mesti bekerja sebagai buruh upahan di tempat lain. Apakah pengertian Shanin soal ‘petani’ masih bermakna ketika sekitar separuh dari pendapatan mereka diperoleh dari luar pertanian? Sebagian tetangga lain yang kehilangan tanah sama sekali bahkan mesti jadi buruh tani. Petani di kawasan pinggiran jauh lebih terdiferensiasi ke dalam kelas-kelas sosial yang berbeda dibanding ‘rekan’ mereka di kapitalis maju.
Disini, buruh-buruh tani penyewa lahan dan ‘petani gurem’ mendambakan lahan lebih luas untuk mengembangkan reproduksi diri dan keluarganya sekaligus menghindari diperintah dan diperas tenaganya oleh tetangga mereka yang lebih makmur. Sebaliknya, petani kapitalis (pemilik tanah luas yang memungkinkannya terlibat dalam akumulasi) karena kian terjerat komodifikasi, amat haus akan lahan yang lebih banyak lagi dan semaksimal mungkin memeras tenaga tetangganya sendiri yang lebih lemah (karena tidak menguasai sarana produksi) demi memenuhi tuntutan logika efisiensi dan akumulasi. Bagaimana mendamaikan kedua aspirasi ini? Sementara petani kapitalis menikmati kopi dan bersantai ria memberi komando bagaimana jalannya produksi, buruh-buruh tani dan ‘petani gurem’ mesti bersimbah keringat mengolah lahan yang bukan miliknya sendiri. Dalam situasi ini, petani mana yang mesti dibela? Tanpa kehati-hatian menyorot petani dengan cara memperhitungkan dinamika diferensiasi kelas produsen kecil komoditas pertanian dan perbedaan struktural antara mereka yang berada di pusat kawasan kapitalis dan pinggiran, kita barangkali bukan hanya akan gagal menghancurkan kerangkeng eksploitasi bagi mereka yang begitu mendambakannya, tapi bisa jadi justru turut melanggengkan posisi eksploitatif itu sendiri.***
Penulis adalah mahasiswa Doktoral SOAS, University of London
Kepustakaan:
Araghi, F (2009), “The Invisible Hand and the Visible Foot: Peasants, Dispossession and Globalization.” In Peasants and Globalization: Political Economy, Rural Transformation and the Agrarian Question, (Eds). Akram-Lodhi A. H. and C. Kay. New York: Routledge.
Bernstein, H. (2000). “’The Peasantry’ in Global Capitalism: Who, Where and Why”. In Socialist Register 2001. London: Merlin Press. pp. 25-51
___________. (2009). “V.I. Lenin and A.V. Chayanov: looking back, looking Forward”, The Journal of Peasant Studies, 36:(1), 55-81
___________, (2010). Class dynamics of Agrarian change. Sterling, VA: Kumarian Press.
___________, (2011). “‘Farewells to the peasantry?’ and its relevance to recent South African debates”. Transformation: Critical Perspectives On Southern Africa, 75(1): 44-52
Borras, S.M, Marc Edelman, Cristóbal Kay (2008). Transnational Agrarian Movements Confronting Globalization. Oxford: Willey-Blackwell
Brass, T (2000) Peasants, Populism, and Postmodernism: The Return of the Agrarian Myth, London; Frank Cass
Brenner, R. (1976). “Agrarian Class Structure and Economic Development in Pre-Industrial Europe”. Past & Present, (70): 30-75
_________, (1982). “The Agrarian Roots of European Capitalism”. Past & Present, (97). 16-113
Bureau, JC & Matthews, A (2005). “EU Agricultural Policy: What Developing Countries Need to Know”. IIIS Discussion Paper No. 91, Institute for International Integration Studies, Trinity College Dublin
Byres, T. J. (1977). “Agrarian transition and the Agrarian question”. The Journal of Peasant Studies, 4(3), 258.
_________, (1996). Capitalism from above and capitalism from below: An essay in comparative political economy. New York: Macmillan Press
Chayanov, A.V. ([1966] 1986). A.V. Chayanov on the Theory of Peasant Economy. eds. D. Thorner, B. Kerblay and R.E.F. Smith, second edition. Madison, WI: University of Wisconsin Press
Edelman, M (2013). “What is a peasant? What are peasantries? A briefing paper on issues of definition”, Paper presented at United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas, Geneva, 15-19 July.
Leeds, A. (1977). “Mythos and Pathos: Some Unpleasantries on Peasantries.” In Peasant Livelihood: Studies in Economic Anthropology and Cultural Ecology, edited by Rhoda Halperin and James Dow, 227–256. New York: St. Martin’s Press,
Friedman, H (1982). “The Political Economy of Food: the Rise and Fall of the Post-war International Food Order”, American Sociological Review, vol. 88
Gibbon, P. and M. Neocosmos, (1985), ‘Some Problems in the Political Economy of “African Socialism”‘, in H. Bernstein and B.K. Campbell (ed.), Contradictions of Accumulation in Africa. Studies in Economy and State, Beverley Hills: Sage.
Hobsbawm, E. (1994). Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991, London: Michael Joseph
McMichael, P (2013). Food Regimes and Agrarian Questions. Halifax and Winnipeg: Fernwood Publishing
Patnaik, U. (1972). “On the mode of production in Indian agriculture: a reply”. Economic And Political Weekly, 7(40), A145-A152.
Ploeg, J.D.V.D (2008). The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization. London: Earthscan
Schmitz, A, Troy G. Schmitz and Frederick Rossi (2006). “Agricultural Subsidies in Developed Countries: Impact on Global Welfare”. Review of Agricultural Economics, 28(3): 416-425
Scott, J. (1976). The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia, Yale University Press: New Heaven
Shanin, T. (1973). “The Nature and Logic of the Peasant Economy 1: A Generalisation.” Journal of Peasant Studies 1(1): 63–80.
________. (1986). “Chayanov’s message: illuminations, miscomprehensions, and the contemporary ‘development theory”. In: A.V. Chayanov, The theory of peasant economy, eds. D. Thorner, B. Kerblay and R.E.F. Smith, second edition. Madison, WI: University of Wisconsin Press, pp. 1–24.
Thorner, D. (1986). “Chayanov’s concept of peasant economy”. In: A.V. Chayanov, The theory of peasant economy, eds. D. Thorner, B. Kerblay and R.E.F. Smith., University of Wisconsin Press: Wisconsin, pp. xi–xxiii.
Wolf, E.R. (1969). Peasant Wars of the Twentieth Century. New York: Harper & Row.
__________. (1955). “Types of Latin American Peasantry: A Preliminary Discussion.” American Anthropologist 57 (3): 452–471.
Wood, E. M., (2002). The origin of capitalism: A longer view. London ; New York: Verso.