Kredit ilustrasi: youtube.com
ZAMAN kapitalisme lanjut telah membawa kita kepada jenis manufaktur yang baru, manufaktur realitas. Teknologi, yang semakin partikular bagi individu-individu, terbukti menjadi media yang jitu untuk memodifikasi realitas-realitas spesifik ke dalam diri subjek. Dimulai dari teknik-teknik pemasaran tradisional sepert pamflet dan iklan televisi hingga yang teranyar, media sosial. Mencengangkan betapa terstruktur, masif, dan sistematis -nya pabrik-pabrik manufaktur realitas ini melihat kasus The Family MCA, yang mengklaim memiliki anggota hingga ratusan ribu orang. Tentu juga menjadi hal yang patut direnungkan di minggu pra paskah ini, apakah suara kenabian agama saat ini hanya menjadi pelengkap puzzle wacana borjuasi ataukah menjadi sarana transformasi masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Menurut Jean Baudrillard[1], realitas masyarakat saat ini, dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda yang melampaui. Sederhananya, kemajuan teknologi informasi ditambah dengan meningkatnya jumlah kelas menengah pada masa kapitalisme pasca world war boom, menyebabkan masyarakat cenderung mempersepsikan barang konsumsi sebagai simbol-simbol gaya hidup dibandingkan dengan media pemenuhan kebutuhan itu sendiri. Realitas semu yang melampaui realitas yang sebenarnya ini yang kemudian disebut Baudrillard hiperrealitas, dimana kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa.
Di tengah kaburnya pembedaan antara kenyataan dan ilusi, masyarakat diberi mimpi kosong, seolah-olah kita memiliki kebebasan untuk memilih opsi-opsi realitas mana yang disukainya. Muncul fenomena-fenomena gerakan-gerakan sosial populer, terkadang anti progresif bahkan fasis, tetapi digandrungi oleh massa. Friedrich Engels suatu ketika pernah berkata bahwa sejarah manusia adalah sejarah yang berulang dengan tahapan yang melampaui tahapan sebelumnya. Mau tidak mau kita tentu teringat pada kegagalan pergerakan progresif merangkul basis massa proletariat nya yang pada masa pasca Perang Dunia I lebih memilih berseleweng ke pergerakan fasis Nazi dibanding pergerakan sosialis.
Kekecewaan ini menumbuhkan suatu kesadaran akan diperlukannya suatu kritik imanen terhadap pergerakan-pergerakan sosial, yang diekspresikan oleh teori kritis Mazhab Frankfurt. Kritik Herbert Marcuse tentang seni, yang oleh pemikir-pemikir Marxis lama cenderung mengadopsi pola merefleksikan bulat-bulat mimik-mimik penghisapan dalam masyarakat, atau disebut realisme sosialis. Namun, seperti yang juga dikatakan oleh Baudrillard, manufaktur hiperrealitas menciptakan masyarakat yang “satu dimensi” atau “affirmatif.”, sehingga masyarakat cenderung menelan ilusi realitas alternatif borjuasi yang akhirnya meredamkan gejolak masyarakat. Pada lanskap seperti ini, pandangan tentang seni seperti telah dikemukakan tokoh-tokoh Marxis di atas, sangat sulit untuk memprovokasi tindakan-tindakan revolusioner.
Hal ini kemudian dipertegas kembali oleh Walter Benjamin bahwa exit button dari situasi ini adalah membangkitkan unsur fundamental dari seni, yaitu aspek seni sebagai flânerie[2]. Flânerie, istilah dari bahasa Prancis, yang secara sederhana berarti pengungkapan gagasan tentang aktivitas “luntang lantung” (idle walking) dan mendukung pandangan estetika Immanuel Kant tentang “purposiveness without purposive” atau kebertujuan tanpa tujuan.
Berlawanan dengan crowd (kawanan) yang bergerak seragam dengan arahan dari tujuan dominan, flaneur bergerak sesukanya, serampangan, berbeda dengan pergerakan kawanan. Dari pergerakan melawan kawanan ini, flaneur akan menimbulkan kesadaran kritis individu yang pada saatnya akan memicu tindakan-tindakan transformatif dan revolusioner.
Jika kita mengamati secara lebih cermat, tindakan juga dapat kita cermati dalam aktivitas Yesus Kristus pada masa pra paskah; beberapa minggu sebelum Ia dieksekusi dan disalib. Alih-alih mengafirmasi pergerakannya dengan pergerakan yang dilakukan oleh kaum Yudaisme tradisional, yang diwakili oleh orang Farisi pada waktu itu, Yesus memilih untuk melakukan otokritik kepada saudara sedarah dan setanah air nya tersebut. Padahal, di masa itu, Yesus dalam beberapa khotbahnya dituduh memprovokasi massa dan ingin menyaingi kuasa imperium Romawi. Sedangkan di lain pihak, orang Farisi pun sedang melancarkan perlawanan budaya kepada imperium, dengan berusaha mengembalikan tradisi dan agama Yudaisme dan resisten terhadap kepercayaan Helenistik Romawi. Namun, seperti tertulis di dalam Injil Matius 23:1-39, Yesus malah mengecam orang Farisi sebanyak 7 kali. Di dalam kecamannya tersebut, Yesus mengkritik orang Farisi yang menjalankan sistem-sistem keagamaannya dengan begitu kaku, mendetil, dan impersonal, sementara disposisi batin masing-masing individu dikesampingkan. Orang Farisi memperlakukan umat sebagai crowd, yang diberlakukan pedoman sistematis struktural, yang pada akhirnya impoten untuk menggerakkan umat kepada tujuan ultimatnya, pemenuhan Kerajaan Allah di bumi.
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk” Matius 23:13
Inilah sikap luntang-lantung (flaneur) Yesus nan urakan itu. Dari sikap inilah Yesus membuka imajinasi baru perihal sikap perlawanan sekaligus menyebabkan resistensi dari kelompok-kelompok yang merasa tersinggung,
Kembali kepada solusi yang ditawarkan oleh Benjamin. Menurut hemat saya di era hiperrealitas seperti ini, kesadaran individu semestinya dipantik dengan kritisisme yang otentik. Kritisisme individu-individu ini pada akhirnya membentuk suatu konstelasi massa yang bergerak ke arah yang progresif. Agama sebagai medio yang memengaruhi tatanan perilaku moral dan etika masyarakat menjadi utilitas yang efektif untuk menenun hiperrealitas. Cara agama membaca perlu diredefinisikan di luar hermeneutik-hermeneutik mapan yang sekadar bersetia pada tradisi demi ortodoksi dan political corretness semata. Seperti halnya Plekhanov yang mengkritik prinsip kesenian dari abad ke-19, “Art for Art’s Sake” atau “L’art pour L’art“, maka agama sebagai produk kebudayaan, tidak dapat kita terjemahkan secara teleologis hadir demi agama itu sendiri, tanpa terpaut dengan konteks sosial ekonominya. Dan untuk bisa keluar dari lingkaran setan itu, mau tidak mau agama mesti membangun kesadaran kritisnya lewat kritik imanen[3].
Tanpa pembelajaran artikulasi kritik imanen yang matang, jargon kenabian agama Kristen (seperti: Injil adalah kabar baik soal Pembebasan, Berpihak pada orang tertindas,dll) rentan terjatuh dalam kata-kata indah namun tak berbobot yang pada akhirnya justru kontra-produktif bagi cita-cita emansipasi kekristenan.
Mengapa?
Perwujudan kebenaran dimensi politik dari kekristenan tak akan mengemuka hanya dengan diketahui dan diyakini oleh sekelompok penghayat kristen yang militan, tetapi juga dengan diungkapkan, diartikulasikan kepada pihak-pihak (khususnya di dalam lingkungan gereja) yang tak peduli ataupun antipati terhadap Kekristenan yang progresif. Dan narasi kristen progresif tak akan menang selama kaum “Marxis Kristen” masih terkungkung dalam heroisme yang membuat sempit artikulasi politiknya sendiri. Singkatnya: Konstruksi teologi Kristen Progresif yang membebaskan, anti kapitalisme, anti diskriminasi mesti dapat diuraikan sedemikian rupa sehingga hal itu dapat masuk akal dan terpahami dihadapan orang kristen konservatif, misalnya.
Kalau dimensi politik Kristen adalah soal tabula rasa, tentu mudah sekali kerja politik Kristen progresif: tinggal bangun semuanya sesuai dengan kutipan-kutipan Marx, Engels, Gustavo Gutiérrez, Roland Boer, Daniel Sihombing dll, buat diskusi selasaan[4] dimana-mana. Beres perkara.
Persoalannya, cara berpolitik-teologis simsalabim ini melompati kenyataan aktual dan karenanya tidak akan punya dampak berarti pada kenyataan aktual. Dimensi pembebasan dari kekristenan tidak akan terjadi hanya dengan mengharuskannya untuk terjadi: ‘Jadilah terang; maka terang itu jadi.’ Emansipasi politik Kristen progresif yang nyata baru akan terjadi bila ada upaya artikulasi politik yang setapak demi setapak mewujudkan program kolektivisasi tersebut melalui argumen dan pengalaman historis yang mengonfirmasinya bagi berbagai pihak. Kedatangan kerajaan Allah yang revolusioner hanya akan akan terwujud melalui negosiasi dengan sejarah dan di situ artikulasi politik memegang peranan penting.
Zaman yang terus menerus berubah tentu menuntut kebaruan kita dalam berpikir dan bertindak. Mengutip kata-kata Alan Darmasaputra, dalam diskusi Rabuan, 7 Maret lalu yang menyitir pendapat Frederic Jameson:
“Estetika (termasuk soal mengonstruksi teologi, penekanan ditambahkan oleh saya) tidak bisa dilepaskan dari kerangka politis dan kebaruan. Kebaruan di sini jelas tidak sama sekadar jargon-jargon ‘inovasi’ a la Elon Musk atau Nadiem Makarim. Kebaruan adalah hal yang jauh lebih besar: sebuah impian akan tatanan yang lebih baik keutuhan hidup manusia. Kebaruan dan terobosan lahir dari hasrat dan keberanian melampaui apa yang dianggap ‘alamiah’ namun mengekang kehidupan, mendekat kepada yang objektif, sekalipun dalam pencarian tersebut tidak jarang penuh resiko dan tak jarang ditemukan pada hal-hal yang mungkin selama ini dianggap remeh.”***
Penulis adalah pengasuh diskusi Rabuan Gereja Komunitas Anugerah-Reformed Baptist Salemba
———-
[1] Jean Baudrillard, Selected Writings, ed. Mark Poster (Stanford; Stanford University Press, 1988), pp.166-184.
[2] Walter Benjamin, The Writer of Modern Life: Essays on Charles Baudelaire. Michael Jennings, ed., Howard Eiland, Edmund Jephcott, Rodney Livingstone, and Harry Zohn, trans. (2006)., pp.65
[3]“Menurut Roy Bhaskar, Kritik Imanen adalah a method of discussing culture which aims to locate contradictions in society’s rules and systems. This method is used in the study of cultural forms in philosophy and the social sciences and humanities. It may be contrasted with “transcendental” Kantian critical philosophy. Immanent critique further aims to contextualize not only the object of its investigation, but also the ideological basis of that object: both the object and the category to which it belongs are shown to be products of a historical process. Immanent critique has its roots in the dialectic of Georg Wilhelm Friedrich Hegel and the criticisms by Karl Marx. Today it is strongly associated with the critical theorists such as Theodor Adorno. Roy Bhaskar has advocated it as one of the key methodological elements of critical realism . Bandingkan : Bhaskar, R. (2008) [1975], A Realist Theory of Science (Routledge ‘With a new introduction’ edition), Abingdon: Routledge.
[4] Adalah kegiatan rutin Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba yang membahas mengenai kelindan teologi, filsafat dan politik berperspektif materialisme dialektika.