Kredit foto: husnimuarif.wordpress.com
KAMI digiring masuk ke dalam ruang berwarna hitam yang lebih tepat saya sebut kelambu anti nyamuk. Di dalamnya ada meja makan, kursi dan gelas berisi teh. Lalu kami diminta duduk dan mereka mengatakan bahwa kami berada dalam “penjara orde baru”. Dalam “penjara orde baru” itu disajikan menu (tiruan) makanan tapol perempuan 1965 di penjara Orde Baru. Tampak ada tumis “cacahan kobis setengah busuk”, bubur jagung dan bulgur, teh entah daun apa yang diperoleh dari tumbuhan liar. Lalu kami diminta untuk mengajukan pandangan dan pengalaman mengenai makanan dan masakan (food and cooking) dalam konteks krisis atau kedaruratan. Cuplikan happening art ini dibuat oleh OK. Video di Galery Ruang Rupa yang terletak di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta Selatan. Mereka sedang membuat penelitian tentang menu tapol perempuan 1965 di penjara Orde Baru untuk dokumentasi sinema.
Happening art itu mengingatkan saya pada sebuah acara yang saya ikuti sebelumnya di Garut pada 16 Juli 2017, yaitu Jambore Pejuang Tanah Air, yang diselenggarakan oleh Sayogyo Institut. Meski saya tidak mengikuti diskusi mengenai “revolusi meja makan”, namun saya membaca tulisan Siti Maemunah yang dipublikasikan oleh Konde Institut (http/www.konde.co/2017/07/rahim-dan-revolusi-meja-makan-1html). Dalam tulisan itu, Siti Memunah menuturkan pengalaman Nissa Wargadipura dan Gunarti dari Sedulur Sikep mengenai pengaruh makanan “modern” terhadap kondisi tubuh perempuan. Nissa mulai mengubah menu meja makannya setelah ia kesulitan melahirkan anak ketiganya akibat penebalan rahim. Masalah penebalan rahim dewasa ini banyak dialami oleh para perempuan, karena faktor apa yang dimakannya. Pendeknya, pengalaman dan pandangan dua perempuan itu memperkuat gerakan untuk kembali kepada pangan yang “natural”.
Beranjak dari dua acara itu –meski dalam maksud yang berbeda—saya menangkap suatu keresahan tentang makanan, perempuan dan kondisi krisis. Happening Art pertama berlatar krisis politik, dimana para tahanan perempuan Orde Baru digambarkan memakan bahan makanan yang sangat buruk. Ada pun happening art kedua berhubungan dengan perubahan pangan dan pengolahannya yang tidak “natural”, hingga mengakibatkan munculnya berbagai penyakit bagi perempuan. Meski terdapat perbedaan latar dan lensa dalam memandang makanan, kedua happening art itu sama dalam menempatkan perempuan sebagai subjek di sekitar makanan.
Dalam tulisan ini saya tak hendak mengulas kedua happening art tersebut, melainkan mengambil inspirasi dari keduanya untuk memperbincangkan tentang makanan. Makanan dan perempuan seperti sepasang kekasih yang saling mendukung keberadaannya. Makanan “ada” karena tangan perempuan, dan perempuan dianggap “ada” oleh masyarakat karena makanan yang disediakannya. Di bawah kapitalisme, peran perempuan dalam penyediaan makanan diperlukan untuk mereproduksi tenaga kerja baru dan penyegaran tenaga kerja. Tanpa makanan yang disediakan oleh para perempuan atau ibu rumah tangga, maka tenaga kerja buruh untuk pabrik manufaktur, otomotif, perkebunan, pertambangan dan jasa tidak mengalami reproduksi tenaga kerja. Tanpa reproduksi tenaga kerja, sirkulasi kapital tidak akan berjalan. Maka kapitalisme berhutang jasa kepada tenaga sukarela para perempuan dalam mereproduksi tenaga kerja segar, di mana para perempuan itu tidak mendapat upah. Sejatinya inilah penghisapan tenaga perempuan yang tersembunyi, dan seringkali dibalut oleh justifikasi atas nama cinta.
Apa Yang Dimakan?
Mari kita melongok dua situs penting untuk mencari tahu apa yang disediakan perempuan rakyat pekerja sebagai ibu yang mendapat beban untuk menyediakan makanan bagi anggota keluarganya. Situs pertama adalah dapur, dan situs kedua adalah warung/kedai yang menjual aneka makanan –semacam warteg!
Saya melongok ke dalam dapur keluarga penderas karet, Nurhayati, yang dapurnya mengepul sebelum anak-anaknya pergi ke sekolah sekitar pukul 06.00, dan sesudah mereka menderas karet sekitar pukul 11.00 di sebuah desa di Bengkulu Selatan. Tentu saja Nurhayati memandang beras –sumber karbohidrat– sebagai makanan pokok yang mereka beli di warung Rp 10.000,-/cupak. Cupak adalah ukuran yang dipakai oleh petani di desa tersebut ekuivalen dengan 1,4 kg atau enam (6) canting, dimana 1 canting setara dengan satu (1) kaleng susu manis (Cap “Nona”). Keluarga Nurhayati berjumlah lima (5) orang (berarti terdiri dari ibu-bapak dan 3 anak) dalam satu minggu membutuhkan enam (6) cupak beras atau dalam satu (1) bulan membutuhkan 24 cupak. Artinya, setiap anggota keluarga mengonsumsi 1,2 canting beras (ekuivalen 3 ons) per hari.
Selain makanan yang dimasak Nurhayati, anak-anak dan suaminya selalu jajan. Anak yang masih SD uang jajannya sebesar Rp 2000,- untuk membeli es lilin, wafer manis dan lainnya. Ada pun suami Nurhayati mengonsumsi dua pak rokok tiap hari dengan harga tiap pak Rp 10.000,- plus jajan gorengan (harga 1 buah gorengan Rp 500,-). Jajan untuk rokok itu dirasa Nurhayati sangat besar, namun suami Nurhayati merasa tak sanggup bekerja tanpa menghisap rokok.
Mari kita berpindah sebentar ke Jakarta, menemui Eka yang tinggal di kampung kota DKI Jakarta. Di dapurnya tak nampak ada persediaan beras, sebab Eka membeli beras setiap hari sesuai dengan penghasilan harian suaminya sebagai tukang ojek. Suaminya memberinya uang Rp 20.000,-/hari, sedangkan Eka sendiri bekerja sebagai pengasuh anak dan mendapat upah Rp 400.000,-/bulan. Anak itu diasuh di rumahnya ketika orang tuanya pergi bekerja. Setiap hari Eka membeli beras 1 liter (ekuivalen 0,753 kilogram) untuk 4 anggota keluarganya. Ada pun tentang lauk dan sayur, Eka memilih membeli di warteg, karena seringkali tidak sempat memasak atas kesibukannya mengasuh anak tetangga. Tidak jarang dia membeli mie instant yang dicampur telor sebagai kuah sayur dan lauk. Namun, anak dan suami Eka gemar jajan. Eka membeli gorengan (bakwan, tempe, tahu) Rp 5000,- (dapat 10 aneka gorengan) untuk sarapan, atau bahkan untuk lauk makan. Eka juga menggeluarkan uang jajan buat dua (2) orang anaknya usia sekolah dasar Rp10.000,-/hari, sedangkan yang masih sekolah di PAUD (play group) sebesar Rp 5000,-/hari. Anak-anak itu suka jajan cilok (pentol bakso dari tepung kanji), makanan manis dan gurih dalam kemasan, seperti crepes, gula-gula coklat, kentang krispi (merk Chitato, Chiki, dll) dst.
Konsumsi terhadap protein di keluarga rakyat pekerja kebanyakan berasal dari tempe, tahu, telor, ayam dan terkadang ikan. Menurut Dicky Dwi Ananta, peneliti dari Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), keluarga rakyat pekerja di DKI Jakarta membutuhkan 2 kilogram telor ayam untuk per dua (2) minggu bagi keluarga yang beranggotakan lima (5) orang. Setiap 1 kilogram telor berisi rata-rata 8-10 butir telor, maka tiap hari seorang anggota keluarga makan telor kurang dari 1 butir telor. Kiranya observasi ini –meski masih berupa observasi awal—menunjukkan kurangnya protein bagi keluarga rakyat pekerja. Lalu bagaimana cara mengonsumsi telor? Tengok saja ke dapur Eka, ia mengolah telor itu menjadi telor dadar atau dimasukkan ke dalam kuah mie instant, sehingga seluruh anggota keluarga dapat merasakan telor ayam.
Situs warung di sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, menjual makanan, seperti soto ayam, bakso, nasi campur (berisi ayam goreng, sambel goreng kentang/tempe dan kerupuk bawang), nasi goreng. Pada umumnya orang yang makan di warung itu adalah penjual keliling yang menggunakan mobil, atau orang-orang berkendaraan melewati daerah tersebut. Pendeknya, yang mampir untuk makan di warung itu adalah para musafir yang melewati jalur desa tersebut, dan bukan para ibu rumah rakyat pekerja. Hal sebaliknya di Jakarta, situs warung –sebagai contoh warteg—dikerumuni ibu-ibu rakyat pekerja yang membeli lauk dan sayur untuk makan anggota keluarga. Ibu-ibu di wilayah urban ini memilih beli lauk dan sayur di warteg ketimbang memasak sendiri. Eka mengakui bahwa membeli lauk di warteg lebih praktis dan hemat ketimbang memasak. Itu artinya jika para ibu ini memasak, maka harus membeli pula bumbu untuk memasak yang harganya tidak murah. Harga bawang merah, bawang putih, cabe, rempah-rempah tidak murah, sementara dengan membeli lauk dan sayur matang di warteg, para ibu tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bumbu. Kuah sayur sekaligus lauk favorit bagi Eka adalah gulai tahu dan daun singkong yang ia beli Rp 5000,- untuk makan siang anak dan suaminya.
Mengenai bumbu, para ibu mempunyai strategi untuk hemat. Di wilayah urban maupun pedesaan, mereka menggunakan penyedap rasa merk Sasa, Ajinomoto, untuk mengatasi keminiman bumbu. Bahkan ketika keluar produk kaldu ayam Royco, Maggi, dan lainnya, hal itu sangat membantu ibu rumah tangga rakyat pekerja dalam mengolah makanan. Bayangkan dalam satu sachet Royco rasa kaldu ayam seharga Rp 500,- – Rp 1000,- telah terkandung rasa ayam, bawang putih, bawang merah dan penyedap rasa dalam sepanci sup atau sayur lainnya. Bandingkan jika para ibu rakyat pekerja harus membeli ayam untuk membuat kaldu, lalu membeli bumbu, bisa mengeluarkan uang sekitar Rp 25.000,- Penggunaan kaldu ayam Royco, Maggi, dll itu telah dikritik oleh aktivis kelas menengah sebagai penyedap rasa yang berbahaya bagi kesehatan perempuan. Namun penyedap dan penguat rasa itu justru disukai ibu rumah tangga kelas pekerja karena menghemat uang belanja.
Perubahan Modus Konsumsi
Sudah sejak 1980an, keluarga petani di desa Nurhayati membeli beras, sejak pertanian multikultur berubah menjadi monokultur. Pada 1970an, ketika Nurhayati masih kanak-kanak, orang tuanya menanami tanah (yang sekarang dimilikinya) dengan padi, karet, kopi, dan tumpangsari. Saat itu mamaknya Nurhayati tidak membeli beras, karena hasil panen padinya cukup untuk menopang kebutuhan pangan mereka sendiri. Namun, sejak 1980an, ketika perkebunan kelapa sawit dibuka oleh sebuah perusahaan, terjadilah perubahan-perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah berkurangnya debit air hingga tak mencukupi kebutuhan air bagi pertanian padi, hingga petani meninggalkan pertanian ini dan mengandalkan pada penyadapan karet. Sejak 1990an petani pun beralih ke penanaman sawit, di samping karet. Masuknya kelapa sawit juga menjadikan rawa-rawa —sumber ikan dan kerang-kerangan menjadi kering. Pada saat ini Nurhayati membeli ikan dan kerang-kerangan di pasar pekan setiap Kamis. Ia juga membeli sayuran, seperti kangkung yang seikat harganya Rp 2000,-. Pada masa mamaknya dulu, sayuran tidak dibeli melainkan dipetik dari lahan pertaniannya, sedangkan ikan atau kerang-kerangan mudah diperoleh dari rawa atau sungai setempat. Sekarang pada masa Nurhayati menjadi ibu, telah terjadi perubahan yang signifikan dalam hal penyediaan pangan dan pengolahannya. Boleh dikata, saat ini 90 persen bahan pangan didapat dengan cara belanja.
Tentu saja bagi ibu rakyat pekerja seperti Eka yang tinggal di Jakarta, telah sepenuhnya belanja untuk pengadaan pangan dan pengolahannya. Anjuran untuk menanam cabe atau bayam dengan berbagai teknik, termasuk metode hydroponik, tak mereka lakukan karena ada 1001 macam alasan, salah satunya adalah tanaman itu menjadi makanan tikus kota. Sejak satu dasawarsa ini ibu-ibu di kampung kota beralih dari mengolah makanan sendiri menjadi membeli makanan matang di warung.
Bertolak dari dua gambaran tentang apa yang dimakan oleh keluarga rakyat pekerja itu, dapat dipastikan bahwa perempuan rakyat pekerja berupaya mencari jalan untuk penghematan nutrisi pangan. Upaya penghematan ini berangkat dari kondisi dimana penghasilan mereka selalu lebih kecil dibandingkan pengeluaran untuk belanja pangan dan pengolahannya. Sementara ekonomi kapitalisme telah menjadikan gizi dan nutrisi sebagai barang komoditi yang makin tak terjangkau oleh penghasilan keluarga rakyat pekerja. Maka karbohidrat dan penguat/penyedap rasa –yang memalsukan rasa gizi dan nutrisi sesungguhnya—menjadi strategi keseharian.
Kelaparan Tersembunyi
Aya Hirata Kimura dalam Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Food, menceriterakan bahwa sekitar dekade 1990an problem pangan di “dunia ketiga” telah menyita perhatian masyarakat internasional. Apa yang dimaksud problem pangan dalam hal ini tidak berhubungan dengan kelangkaan pangan, melainkan kondisi malnutrisi, yaitu kekurangan vitamin dan mineral yang diderita anggota keluarga-keluarga rakyat pekerja. Mereka setiap hari makan, namun apa yang mereka makan tidak mengandung vitamin dan mineral tinggi. Kimura melakukan observasi di kalangan ibu-ibu rakyat pekerja di Jakarta yang setiap harinya memberikan mie instant dan kue-kue (snack) yang banyak dijual di warung-warung kepada anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Mie instant yang berkuah gurih seringkali dipadukan sebagai kawan bagi nasi untuk makan “berat”. Ada pun snack dengan rasa gurih atau manis (singkong atau kentang dengan rasa keju, wafer rasa coklat atau keju, “Chiki”, “Chitos”, dan sebagainya) menjadi makanan cemilan bagi anak-anak –bahkan ibu-ibu pun menggemarinya. Dengan makan seperti itu, anak-anak sampai orang dewasa merasa kenyang, namun di balik rasa kenyang itu sesungguhnya mereka kelaparan, karena mie instant dan snack tidak mengandung nutrisi sama sekali. Itulah yang dimaksud Kimura dengan istilah kelaparan tersembunyi.
Observasi Kimura di Jakarta belum lama berselang itu serupa dengan kondisi dapur Nurhayati dan Eka bahwa mereka menomorsatukan “rasa kenyang” untuk mereproduksi tenaga kerja ketimbang kandungan nutrisi dan gizi. Nurhayati dan Eka menyediakan makanan bagi keluarganya, tetapi apa yang dimakan jauh dari pemenuhan unsur nutrisi (vitamin dan mineral). Sementara makanan itulah yang dipergunakan untuk membesarkan tenaga kerja baru (pengasuhan anak) dan menyegarkan tenaga kerja produktif rakyat pekerja. Akibatnya banyak tenaga kerja (buruh) yang tidak mencapai keadaan tetap sehat dalam usia tua. Ada banyak dijumpai buruh-buruh yang usianya lebih muda dari kondisi tubuhnya yang tampak renta.
Ekonomisasi Makanan
Perkembangan makanan rumah tangga rakyat pekerja yang mutakhir telah bergeser ke bahan pangan terigu (gandum) yang bukan dihasilkan dari Indonesia. Meski belum ada observasi mengenai berapa persen terigu telah menggeser beras, namun hampir semua makanan saji yang dijual di pinggir jalan menggunakan tepung terigu. Makanan yang dikonsumsi sebagai “jajan” pada dasarnya menggunakan bahan terigu. Anak-anak pun mulai menyukai roti, cookies, pizza dan ayam goreng kremes yang berbalut tepung terigu. Pergeseran ke makanan terigu ini menunjukkan bahwa kapitalisme telah meng-ekonomikan makanan, hingga makanan bukan lagi sesuatu untuk mengenyangkan perut, melainkan sesuatu yang bernilai angka-angka.
Ekonomisasi makanan menciptakan kelas-kelas terhadap makanan berdasarkan kategori premium (nutrisi tinggi) dan non-premium (nutrisi rendah. Tentu saja penghasilan rakyat pekerja tak cukup mampu untuk membeli makanan premium yang mempunyai kandungan nutrisi tinggi. Lagi-lagi, rakyat pekerja hanya makan kelas non-premium yang nutrisinya rendah. Namun jangan khawatir, kapitalisme tetap menyediakan tiruan makanan serupa kelas premium namun kualitasnya rendah. Contoh, mengenai abon daging, betapa sulit membedakan abon kualitas premium dan abon tiruan yang bahannya dari nangka muda. Jangan khawatir pula anak-anak rakyat pekerja tetap bisa makan sosis, namun sosis yang kandungan terigunya lebih tinggi ketimbang dagingnya.
Maka problem makanan dan kelaparan yang tersembunyi mempunyai korelasi dengan problem kelas, di mana perempuan kelas pekerja dipaksa menjadi agen untuk ekonominsasi makanan. Saya berpendapat justru jalan keluarnya bukan berarti kembali ke yang “natural” untuk mengentaskan kelaparan yang tersembunyi. Sebab apa yang saat ini disebut “natural” juga telah menjadi komoditas bagi kelaurga borjuasi. Kiranya jalan keluar atas kelaparan yang tersembunyi seharusnya menjadi amunisi bagi gerakan feminis untuk melawan ekonomisasi makanan, melawan pengkelasan makanan berdasarkan premium dan non-premium.***