TIDAK ada politisi Indonesia yang saat ini lebih menarik perhatian saya daripada Anies Baswedan. Beberapa bulan lalu dia memenangkan pemilihan gubernur Jakarta. Anda semua mahfum bagaimana dia memenangkan pertarungan ini.
Dalam politik, menang dalam pemilihan itu adalah satu soal. Yang yang lebih rumit, bagaimana memerintah. Ibaratnya dunia sastra, jika kampanye adalah puisi, maka memerintah adalah prosa. Dalam menulis prosa, Anda harus memiliki alur yang jelas dan sistematis. Anda juga harus mengadopsi demikian banyak ide.
Sekarang dia menjadi penguasa. Dan, seorang penguasa harus berlaku sebagaimana layaknya penguasa. Dia harus mampu menerapkan kekuasaannya. Dia harus menaksir berbagai kekuatan yang akan dihadapinya: para pendukung dan penentangnya. Kepada penentangnya, apakah harus mengenyahkannya atau, jika terlalu kuat, harus merangkulnya. Tidak lupa pula dia harus memberikan ganjaran kepada pendukungnya. Pendeknya, dia harus berhadapan dengan aritmetika kekuasaan: membagi-bagi kue sesuai dengan kekuatan dan dukungan. Banyak orang tidak menyadari bahwa berkuasa itu berat.
Lantas apa yang menarik dari Anies Baswedan? Tak lain karena dia berkampanye lewat cara-cara yang justru ditentangnya. Mereka yang mengamati perjalanan politik Anies akan dengan segera menangkap inkonsistensi dan kelucuan di dalam dirinya ini. Dulu dia mencitrakan dirinya sebagai seorang pluralis dan toleran. Lucunya, dia melaju ke kursi kekuasaan – diukur dengan cara apapun – lewat pertunjukan intoleransi yang luar biasa. Cara-cara yang kelewat brutal itu memang mengangkatnya ke kursi kekuasaan. Namun harga yang dia bayar sangat mahal.
Di sisi lain, para politisi itu harus lentur. Ibaratnya, jika masuk kandang singa maka politisi mengaum, masuk kandang kambing mengembik. Politisi harus mampu merangkul seluas mungkin konstituen. Dalam kasus Anies Baswedan, dia memang mengaum dan mengembik. Namun sialnya macan dan kambing sama-sama tahu bahwa dia berubah di setiap kandang yang dimasukinya. Mereka semua juga tahu kalau dia berkokok di kandang ayam.
Tapi Anies lebih sekadar politisi yang lentur. Dia lentur tanpa tulang belakang. Tidak heran, dia membuat semua orang mendelik ketika tiba-tiba bicara toleransi di hadapan Obama. Bukankah itu seperti mengembik kepada ayam?
***
Anies Baswedan adalah politisi yang paling tidak bahagia. Demikian saya membatin ketika membaca laporan media saat dia memenangkan pemilihan. Gambar wajah Anies yang kusut masai itu terpatri dalam pikiran saya. Mengapa dia tidak kelihatan gembira?
Jalan Anies ke kursi kekuasaan didukung oleh sebuah aliansi kekuatan yang tidak dikuasainya. Artinya, tidak sedikitpun ia memegang kontrol atas kekuatan-kekuatan itu. Yang lebih sial lagi, bukan dia yang mendefinisikan kekuatan-kekuatan pendukungnya itu. Justru dialah yang didefinisikan oleh mereka. Anies yang dari dulu dikenal sebagai pengkhotbah persatuan (masih ingat ‘tenun kebangsaan’?), toleransi, kesantunan, dan semua hal yang berusaha memotivasi masyarakat menjadi yang beradab (civilized) itu telah menghilang. Citra tentang Anies kemudian didefinisikan oleh orang-orang seperti Rizieq Shihab, Muhammad Al Khaththath (yang bernama asli Muhammad Gatot Saptono), atau Bahtiar Nasir.
Anies Baswedan adalah politisi mengambang. Dia tidak berpartai. Dia percaya kapasitas pribadinya yang dia citrakan sebagai “tokoh publik” dan intelektual akan mampu memenangkan hati pemilih. Pilkada ini adalah untuk pertama kali Anies menjadi pejabat publik lewat pemilihan.
Pada awalnya, dia tidak diperhitungkan. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, beberapa partai politik, terutama Gerindra dan PKS, berani berspekulasi untuk mendudukan dia sebagai calon gubernur. Yang lebih menarik adalah bahwa partai-partai yang mengusungnya menjadi calon gubernur adalah justru partai-partai yang menjadi lawannya dua tahun sebelumnya. Kita tahu bahwa Anies adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2014. Karena itulah dia diangkat menjadi Menteri Pendidikan oleh Jokowi sebelum diberhentikan pada 2016.
Pertanyaan terbesar untuk Anies adalah mampukah dia memerintah dengan kelenturan ala ‘kemana angin berhembus, ke sana dasi ku melambai?’ Mampukah dia mengakomodasi kepentingan dari segala macam kekuatan yang pernah mendukungnya?
Segera setelah menang, Anies membentuk apa yang dinamakan Tim Sinkronisasi. Ini adalah semacam tim transisi kekuasaan dari administrasi pemerintahan lama ke administrasi pemerintahannya. Satu hal yang baik adalah tim ini bekerja dengan diam dan berusaha untuk tidak menarik perhatian publik. Semua retorika dan janji-janji kampanye pun menguap. Tidak terdengar lagi, misalnya, cicilan rumah di Jakarta seharga Rp 350 juta dengan persekot 0 rupiah.
Toh sesekali muncul juga hal-hal yang memancing kontroversi dari tim ini. Misalnya, dengan tiba-tiba muncul ide – yang konon kabarnya dari Tim Rekonsiliasi – bahwa pulau yang hasil reklamasi akan dijadikan pusat hiburan malam. Pemerintahan Anies-Sandi berjanji untuk menegakkan ‘rezim moral’ di Jakarta. Ide untuk membuat satu pusat hiburan malam kontan jadi lelucon. Bukankah Anies pernah menyatakan akan menutup hotel dan kelab malam Alexis karena diduga menjadi sarang prostitusi?
Namun tidak ada yang lebih antik dari pengangkatan Ahmad Dhani ke dalam tim kerja Anies-Sandi. Dia dimasukkan ke dalam tim kerja wisata dan budaya. Memasukkan orang seperti Ahmad Dhani ke dalam tim tentu mengundang resiko sendiri dan menjadi gangguan (distraction). Benar belaka. Belum apa-apa Dhani sudah ngocol di media massa bahwa dia akan membentuk Dewan Museum di Jakarta. Ide Dhani didukung oleh Fadli Zon, wakil ketua DPR. “Dewan museum tentunya isinya pakarnyalah, ahli-ahli dalam dunia kemuseumanlah. Saya sama Fadli Zon adalah orang yang paling ahli di Jakarta dalam urusan museum,” kata Dhani menggelembung. Baik Dhani maupun Fadli Zon dikenal sebagai pengumpul barang antik. Dhani, bahkan, kabarnya, punya langganan pedagang barang antik di Pasar Cikapundung, Bandung. Hanya saja, sulit mengetahui apakah Ahmad Dhani tahu perbedaan antara kolektor, kurator, dan kontraktor.
***
Masalah Anies memerintah membawa ingatan saya akan sebuah esai terkenal yang ditulis oleh George Orwell. Esai yang ditulis tahun 1936 tersebut berjudul “Menembak Gajah.” Di dalam esai itu, Orwell bercerita tentang dirinya saat bertugas sebagai polisi Inggris di tanah jajahannya, Birma (Myanmar).
Sebagai polisi Inggris, Orwell sadar dia harus mewakili penguasa. Tidak itu saja, dia mewakili sebuah negara penjajah yang merasa lebih superior dari mereka yang dijajah. Tentu saja, Inggris harus ditaati, ditakuti, dan dihormati sesuai derajatnya sebagai penguasa. Orwell-lah yang menjalankan kekuasaan itu.
Namun, Orwell juga mengerti bahwa saat dia menjadi polisi itu adalah senjakala bagi sistem kolonialisme. Dia menulis, sekalipun tidak ada kerusuhan namun bila ada perempuan kulit putih berjalan ke pasar sendirian, besar kemungkinan akan ada orang meludahkan sirihnya ke rok putih perempuan Eropa itu. Banyak sekali hal-hal kecil yang dilakukan oleh orang-orang ‘muka kuning’ ini untuk mengganggu orang-orang Eropa, penguasa mereka.
Tetapi Orwell tak punya banyak pilihan. Sebagai polisi, sekalipun dia bersimpati terhadap orang-orang Birma, dia adalah polisi kolonial. Dia harus menunjukkan bahwa Inggris adalah penguasa.
Suatu hari, Orwell menerima kabar bahwa ada gajah mengamuk. Kentara bahwa gajah ini sedang berahi. Sekalipun dalam hidup sehari-harinya gajah itu jinak, namun jika ia sudah berahi maka dia akan menunjukkan tabiat yang sama sekali lain. Orwell sudah mendengar binatang itu telah merusak beberapa rumah bambu, membunuh seekor sapi, memporakporandakan kios buah, dan menceraiberaikan binatang-binatang peliharaan.
Seseorang harus melakukan sesuatu. Rakyat Birma tidak memiliki peralatan untuk menaklukkan gajah yang sedang berahi itu. Maka mereka berpaling pada penguasa. Dan pada gilirannya, fungsi itu jatuh pada Orwell sebagai pegawai negara.
Begitulah, Orwell berangkat berbekal sebuah senapan tua Winchester ukuran 44mm. Jelas senapan ini tidak akan mampu membunuh gajah itu. Namun, paling tidak suaranya, jika ditembakkan, mampu menakut-nakuti sang gajah.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari tahu dimana gajah itu berada. Setelah bertanya sana sini dan mendapat jawaban yang membingungkan, Orwell sampai pada satu kampung. Di sana dia mendapati bahwa gajah itu sudah merusak beberapa rumah. Tidak itu saja, beberapa saat sebelumnya, gajah itu sudah membunuh seorang kuli India. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminjam senapan yang lebih canggih, yang mampu dipakai untuk membunuh si gajah.
Orwell mendapati bahwa gajah itu ternyata hanya beberapa ratus meter saja dari lokasi terbunuhnya si kuli India. Gajah itu kelihatan tenang. Dia sedang merumput. Agaknya keliaran berahinya sudah hilang. Ia tampak seperti gajah lain yang tenang.
Namun ada hal yang tidak diduga. Orang-orang Birma mulai berkumpul. Makin lama jumlah mereka makin bertambah hingga menjadi sekitar dua ribuan orang. Orang-orang ini memandang Orwell dengan antusias. Jelas mereka ingin agar Orwell menembak gajah itu. Entah siapa yang memulai, orang-orang ini mulai berteriak agar gajah itu dibunuh.
Orwell tampak bimbang. Membunuh seekor gajah sama dengan merusak sebuah mesin besar yang sangat penting untuk produksi. Namun, di sisi yang lain, dia berada di sana sebagai wakil negara imperial dengan segala kekuasaan dan keagungannya. Orwell menggambarkan situasi ini dengan sangat baik: “Disinilah saya, seorang kulit putih dengan senapannya, berdiri di hadapan orang-orang pribumi yang tak bersenjata – seakan saya adalah aktor utamanya, namun dalam kenyataannya saya hanyalah sebuah wayang absurd yang didorong ke muka dan ke belakang oleh kehendak dari orang-orang muka kuning yang ada di belakang itu. Saya memaknai peristiwa ini bahwa ketika orang kulit putih ini berubah menjadi tiran maka sesungguhnya dia sedang menghancurkan kebebasannya sendiri”.
Begitulah. Orwell harus menembak gajah itu untuk menunjukkan kepada orang-orang pribumi bahwa Inggris adalah penguasa mereka. Sebagai wakil imperialisme Inggris, Orwell menjalankan tugasnya untuk memberikan ‘kesan’ kepada orang-orang pribumi itu bahwa Inggris masih dan akan terus menjadi penguasa. Dan di saat bersamaan dia harus melakukan apa yang ‘diharapkan’ oleh orang pribumi.
***
Entah mengapa, saya melihat persamaan antara situasi Anies dengan Orwell. Sama seperti Orwell, Anies harus menunjukkan bahwa dialah yang ‘in charge.’ Dia harus menanggung semua beban kekuasaan. Publik akan mengamatinya dengan antusiasme yang sama seperti ‘ribuan wajah kuning’ mengamati dan mendorong Orwell menembak gajah itu.
Bisa dimengerti, beban itu luar biasa beratnya. Ia menjadi berlipat beratnya karena dua hal. Pertama, administrasi pemerintahan sebelumnya sudah menetapkan standar yang amat tinggi untuk administrasi pemerintahan Anies. Bisakah dia menyamai standar itu? Akankah dia bisa melampaui standar itu?
Anies tidak saja harus memenuhi janji-janji kampanyenya. Yang lebih penting lagi, menghapus ingatan publik Jakarta – dan bahkan Indonesia – akan kerja administrasi sebelumnya. Mau tidak mau, Anies akan dibanding-bandingkan. Sialnya, dalam hal ini pun ia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Basuki Tjahaja Purnama yang dikalahkannya dalam Pilkada itu.
Pemilih Jakarta mungkin memilih berlawanan dengan kepentingan (self-interests) mereka. Namun, ketika mereka keluar dari bilik pemilihan, dan mereka kembali menghadapi kehidupan sehari-hari, mereka akan segera menuntut pelayanan-pelayanan publik yang sama seperti yang mereka nikmati sebelumnya.
Kedua, dia yang meminjamkan senapan kepada Orwell untuk menembak gajah itu tentu akan meminta kembali senapannya. Untuk Anies, mereka yang menyediakan senjata – mobilisasi massa, jaringan organisasi, dana dan lain sebagainya – tentu tidak meminjamkannya secara gratis. Dan sodara, tidak ada yang gratis dalam politik. Sesungguhnya, semua bantuan adalah investasi.
Anies, politisi yang tak punya basis massa, yang tidak berpartai, yang lentur tak bertulang belakang, serta tidak memiliki modal ekonomi ini tampaknya harus mendudukkan diri seperti Orwell mendudukkan dirinya di hadapan kerumunan massa yang menontonnya. Dia hanyalah sebuah wayang absurd, yang didorong ke muka dan ke belakang oleh berbagai kekuatan yang mendukungnya. Ngenes sebetulnya!***