ADA banyak hal yang diajarkan masyarakat kepada kita tentang apa yang kodrati dan apa saja yang tidak. Dua di antaranya ialah perkawinan dan keluarga. Dari SD kita diajari bahwa keluarga adalah unit terkecil suatu masyarakat. Melalui keluarga, nilai-nilai dan norma-noma masyarakat diajarkan dan pengalaman akan kehidupan sosial diperkenalkan. Meski kini sebagian dari fungsi keluarga diambil alih oleh pranata lain seperti sekolah dan sinetron, keluarga tetaplah penting bagi keberlanjutan suatu masyarakat.
Sejak SD pula kita diajarkan bahwa keluarga itu tersusun atas Budi, Wati, Bapak Budi, dan Ibu Budi. Mereka tinggal bersama di satu kediaman yang sama. Budi dan Wati tak cuma terhubung secara genealogis dengan Bapak dan Ibu yang memperanakan mereka, tapi juga Paman dan Nenek yang tinggal di tempat lain, biasanya di desa. Dalam kehidupan sehari-hari, Budi dan Wati pergi ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang niscaya diperlukan bagi masa depan mereka. Sementara mereka berdua bersekolah, Bapak Budi pergi bekerja di sebuah kantor dinas dan Ibu Bundi pergi ke pasar belanja keperluan rumahtangga. Sesekali Paman datang berkunjung dari desa membawa buah tangan pisang dan rambutan dan sekelumit cerita betapa sejahteranya kehidupan di desa itu beserta itik, angsa, sapi, domba, padang gembalaan hijau, dan padi yang menguning menunggu dituai. Pada saat liburan sekolah tiba, tak jarang pula Budi dan Wati berkunjung ke rumah Nenek di desa yang sejahtera itu. Meski tak dijelaskan apakah mereka betul-betul membuktikan cerita Paman atau tidak, yang jelas kehidupan di desa itu digambarkan begitu menyenangkan. Saking menyenangkannya, ketika kembali ke sekolah karena masa liburan telah usai, Budi dan Wati diminta oleh Ibu/Bapak Guru untuk menceritakan kembali pengalamannya berlibur di rumah Nenek.
Tentu buat pembaca yang budiman, apa yang digambarkan di atas mempunyai sifat generalisasi dan idealisasi tingkat dewa. Tak masalah karena memang begitulah ideologi semestinya bekerja di tingkat indoktrinasi. Tentu hanya angan-angan yang sama tingkat dewanya ketika pembaca budiman berniat menulis buku pelajaran SD yang menggambarkan kehidupan desanya Paman dan Nenek sebagaimana kehidupan sehari-hari petani Kendeng lengkap dengan intrik kekuasaan, penggusuran, penyerobotan tanah, dan aparat berseragam yang melindunginya. Akan ada resistenti yang luar biasa dari Subjek karena tidak begitu mestinya dunia tergambar di benak anak SD. Selain itu, melulu menggambarkan keburukan dunia tak akan jauh jatuhnya ke dalam ideologi pula.
Meski di buku-buku pelajaran SD tak diceritakan soal bagaimana keluarga Budi terbentuk, yang jelas ada semacam kepercayaan umum di baliknya bahwa keluarga Budi terbentuk melalui perkawinan antara laki-laki yang kelak menjadi Bapak Budi dan perempuan yang kemudian menjadi Ibu Budi. Setidaknya kita bisa tengok ke buku lain, terutama yang mengajarkan tentang keragaman budaya Nusantara sebagai perwujudan dari semboyan Bhineka Tunggal Ika. Di beberapa lembarnya tergambar beberapa pasang laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian adat berbeda-beda. Kesempatan untuk mengenakan pakaian adat amat terbatas. Selain pada Hari Kartini dan perayaan HUT kabupaten setempat, paling-paling pakaian adat akan dipakai ketika upacara perkawinan. Meski berasal dari buku berbeda, pikiran murid-murid SD bisa mengaitkan antara upacara perkawinan dan terbentuknya sebuah keluarga. Bagamanapun mereka itu Homo sapiens dengan kapasitas logis yang jauh melampaui siamang dalam hal menaut-nautkan hal ihwal ke dalam susunan kategori terstruktur.
Dengan kapasitas logis itu pula murid-murid SD akan mencari tahu apa hubungan antara Bapak Budi dan Ibu Budi. Sebagai perwakilan apartus ideologis negara, guru-guru yang baik akan menyebut istilah yang, meski belum akan langsung dipahami oleh si murid, setidaknya memberikan semacam ancer-ancer soal adanya kategori individu berbeda di dalam keluarga. Bapak Budi adalah suami dari Ibu Budi yang ialah istri dari Bapak Budi. Suami dan Istri ialah dua kategori yang dipertautkan oleh sebuah relasi. Karena keberadaan kedua kategori itu tak bisa dipahami tanpa menautkannya satu sama lain, maka arti masing-masing bersifat relasional. Artinya, kategori-kategori itu bukanlah kata yang mengandung makna pada dirinya sendiri secara paripurna. Di dalam pengertian ‘suami’ terkandung pengertian ‘istri’, dan begitu pula sebaliknya. Suami secara nisacaya ialah ‘suami dari…’ dan istri secara niscaya ialah ‘istri dari…’. Dengan kata lain, keduanya tak punya makna pada dirinya sendiri. Makna keduanya hanya dimungkinkan apabila ada relasi yang menautkan. Dan relasi penaut ini tidak sembarang, tapi tertentu.
Seperti jelas tercantum di dalam buku, Bapak Budi adalah bapak dari Budi dan Ibu Budi adalah ibu dari Budi. Meski tak semua orangtua sanggup menjelaskan apa itu ‘bapak’ dan ‘ibu’ dan berkelit ke sana kemari ketika ditagih jawaban tegas, secara bertahap anak-anak akan memahami, setidaknya secara intuitif dan negatif, apa itu ‘bapak’ dan ‘ibu’. Secara intuitif artinya mereka sekadar mengerti tanpa sanggup merumuskannya ke dalam suatu pernyataan, dan secara negatif maksudnya mereka sekadar tahu bahwa ‘bapak bukan aku’ dan ‘ibu bukan bapak’, dan keduanya bukan oom atau tante, bukan pula emang-emang tukang cilok yang suka lewat depan rumah. Seperti selalu dibilang para dialektikawan, segala hal-ihwal hanya dapat mengada dalam relasi dengan yang bukan.
Sesekali, di buku pelajaran SD itu juga dinyatakan bahwa Wati adalah Kakak Budi. Di tempat lain seringkali ditambahkan sosok lain, yakni Iwan yang juga Kakak Budi. Meski tidak diceritakan, murid-murid SD akan mencari penyataan empiris dan menarik kesimpulan logis bahwa relasi Budi dengan Wati dan Iwan ialah kakak-beradik. Di dalam relasi itu Budi berkedudukan sebagai adik sementara Wati dan Iwan ialah sebagai kakak. Mungkin murid SD akan bertanya, apa itu kakak dan apa itu adik. Atau mungkin saja tidak karena sejak sebelum bersekolah mereka diajarkan bahwa mereka yang lahir lebih dahulu berbeda dari mereka yang lahir lebih kemudian. Mereka yang lahir lebih dahulu akan menyandang kategori kakak, sedangkan mereka yang lahir lebih kemudian akan menyandang kategori adik. Tentu dengan serba nilai dan norma perilaku yang melekati kategori-kategori itu seperti bahwa seorang adik harus hormat kepada adik dan seorang kakak harus melindungi adiknya.
Semuanya itu—termasuk gambaran bahwa desa tempat tinggal Nenek itu begitu makmur lengkap dengan bentang sawah menghijau yang terbelah dua oleh jalan yang agak meliuk dengan pohon kelapa di salah satu tepinya dilatari dua gunung saling berdekatan yang di antaranya menyembul matahari terbit beserta awan putih berlatar langit biru di kanan dan kirinya—membentuk gambaran awal tentang seperti apa masyarakat itu tersusun. Masyarakat tak lain dan tak bukan ialah suatu kehidupan sosial yang tersusun atas keluarga-keluarga yang terbentuk oleh perkawinan sepasangan laki-laki dan perempuan. Karena sedari kecil kita diajarkan semacam itulah yang namanya masyarakat, maka di pikiran kita terpahat pernyataan dari Sang Subjek tak kasat mata bahwa itulah yang kodrati. Semua yang tak seperti bukan-masyarakat, atau setidaknya bukan masyarakat yang normal.
Ketika salah seorang murid SD itu kemudian melanjutkan pendidikan sampai kuliah, dan karena satu dan lain hal terpaksa mengambil jurusan antropologi, dia akan terkejut ketika pada suatu hari di pelajaran Kajian Kekerabatan dosennya mengajarkan bahwa apa yang dia pelajari di SD bukanlah satu-satunya semesta kehidupan sosial yang ada di kolong langit. Dengan ketenangan luar biasa seolah-olah berada beyond good and evil, satu per satu dosennya memaparkan kebudayaan-kebudayaan dengan konsepsi keluarga dan perkawinan yang tak cuma berbeda tapi juga bertentangan dengan konsepsi yang diterima mantan murid SD itu. Salah satunya ialah kebudayaan orang Mosuo atau Na yang hidup di dataran tinggi Yunnan, Tiongkok. Masyarakat Na adalah salah satu dari ratusan kelompok etnik di Tiongkok. Kebudayaan Na terkenal di antara para antropolog bukan karena mereka matrilineal (karena ada banyak masyarakat yang hanya menarik garis keturunan dan merunut silsilah kekerabatan melalui perempuan hingga ke leluhur perempuan bersama, salah satunya ada di Indonesia: Minangkabau), tapi karena mereka tidak mengenal konsep ‘keluarga’, ‘perkawinan’, ‘bapak’ dan ‘suami’.
Pada 1950an dunia antropolog digegerkan oleh ‘temuan’ tentang peri kehidupan orang Nayar di India selatan. Orang Nayar mengenal pranata perkawinan. Namun berbeda dengan kita, mereka hanya menganggap perkawinan sekadar upacara penciptaan ipar sebagai bagian dari tradisi aliansi kasta Ksatria mereka. Gadis-gadis Nayar boleh berhubungan seks (termasuk kalau kemudian hamil dan punya anak) dengan laki-laki mana saja yang disukainya, sebelum perkawinan dilangsungkan. Bahkan setelah perkawinan aturan ini masih berlaku. Hanya ada satu larangan buat mereka, yakni tidak boleh berhubungan seks dengan laki-laki dari kasta lebih rendah. Selama kasta si laki-laki setara atau lebih tinggi darinya, tak masalah. Selain itu, perkawinan bukan pula pranata untuk menyatukan sepasang laki-laki dan perempuan yang kemudian harus tinggal bersama membentuk rumahtangga sakinah. Setelah upacara perkawinan yang bertele-tele penuh adat-istiadat, mempelai akan kembali ke kediaman ibunya, begitu pula dengan pengantin akan tetap tinggal bersama ibu dan saudara-saudarinya. Tak seperti Keluarga Budi, pasangan tidak tinggal bersama. Setelah perkawinan pertama berlangsung, seorang Nayar boleh melakukan perkawinan serupa dengan orang lain lagi.
Konsep perkawinan yang selama ini dimengerti, bubar dengan temuan tentang orang Nayar.
Pada penghujung 1990an, kembali dunia antropologi dibikin heboh dengan temuan tentang kehidupan orang Na. Lebih parah karena orang Na sama sekali tidak mengenal perkawinan dalam adat siklus hidup mereka. Seperti orang Nayar, gadis Na boleh berhubungan seks dengan siapa saja asalkan dia suka. Kalau dari hubungan itu dia hamil dan melahirkan anak, tak ada hukuman sama sekali yang akan ditimpakan kepadanya. Mereka juga tidak mengenal keluarga seperti halnya Budi dan Wati. Dalam istilah antropolog, unit domestik dasar mereka itu linegee, bukan keluarga inti. Dalam linegee hanya ada perempuan dan laki-laki yang terhubung secara genealogis: perempuan senior, saudara dan saudarinya, dan anak-anak mereka tinggal di satu rumah bersama. Sungguh suatu yang mulia pula apabila ketika anak gadis mulai menstruasi, si ibu akan mengajarkannya tentang seks dan membuat kamar khusus bagi si gadis untuk mempraktikkannya dengan jejaka mana pun yang dipilihnya. Seumur hidupnya dia tak akan pernah punya ‘suami’ karena kebudayaan Na tak mengenal perkawinan dan dengan demikian konsep ‘suami’. Anak-anaknya seumur hidupnya pun tak akan pernah punya ‘bapak’ karena kebudayaan Na tak mengenal konsep ‘bapak’.
Orang-orang yang pernah menjadi murid SD di sini pasti akan tercengang dan membayangkan yang aneh-aneh tentang orang Na. Mungkin mereka akan pikir orang Na hidup layaknya binatang. Orang Na tak bermoral, tak mengenal agama langit, dan seterusnya. Anggapan ini wajar karena mantan murid SD yang membaca cerita tentang keluarga Budi, tak lebih dari subjek-subjek dari Subjek masyarakatnya. Mereka sudah diindoktrinasi sedari orok bahwa kehidupan sosial di sekitaran mereka saja termasuk konsepsi tentang perkawinan dan keluarga konjugalnya ialah satu-satunya semesta kehidupan sosial yang ada di kolong langit. Di luar itu, hanya ada dunia setan dan iblis nan jahat atau setidaknya tak normal. Tentu mantan murid SD kita itu akan bertanya: bagaimana dengan nasab anak? Siapa yang akan memberikan nafkah dan mengajarkan otoritas kalau tidak ada bapak? Mereka lupa bahwa tidak semua kebudayaan menempatkan laki-laki seperti halnya orang Arab menempatkan laki-laki dalam struktur kehidupan sosial. Buat orang Na, nasab anak jelas melekat pada ibunya. Tak penting siapa ‘bapak’-nya karena bapak tak pernah bisa mengandung dan melahirkan. Soal nafkah dan otoritas, mereka juga tak pusing harus bergantung pada laki-laki asing yang jelas-jelas tidak terhubung secara genealogis. Mereka tak butuh mencantumkan nama laki-laki di belakang bin atau binti anak-anak karena harta dan lahan pertanian hanya diwariskan melalui perempuan saja.
Seperti halnya murid-murid SD kita, tentu mereka juga mengenal pranata pendidikan yang mengajarkan ini-itu kepada anak-anak. Buat orang Na, kehidupan dan adat-istiadat yang diajarkan kepada mereka adalah satu-satunya semesta sosial yang benar. Kalau mereka diberi tahu oleh antropolog tentang cara hidup orang Arab, misalnya, tentu mereka akan menganggap kebudayaan Arab sebagai dunia yang tak masuk akal karena bagaimana mungkin kita gantungkan nasab, nafkah, dan otoritas pada laki-laki yang bukan kerabat (dan yang dalam konsepsi kultural Na sendiri tak punya hak atas harta dan tanah garapan)!
Karena setiap sistem budaya lengkap dengan konsepsi wajar/tak wajar, benar-salah, biasa-tak biasa tak lebih dari ideologi, maka persoalannya bukanlah perbedaan-perbedaan yang ditampilkannya, tapi bagaimana perbedaan-perbedaan ini dipahami sebab-musababnya. Persoalan dalam kaitannya dengan para Marxis ialah bahwa mereka seringkali berpikir dan bertindak seperti anak SD dari kebudayaan Arab atau anak gadis Na dan menjadikan gambaran dunia sebagaimana digambarkan Marx sebagai satu-satunya semesta yang ada di kolong langit. Dunia yang tersusun atas kapitalis dan proletariat, benturan kepentingan dan pertarungan kelas, pabrik-pabrik dan mogok kerja, eksploitasi dan perlawanan, adalah satu-satunya dunia yang ada saat ini. Semua urusan di luar itu hanya menjadi bagian dari himpunan ceteris paribus yang hanya ada di catatan kaki. Tentu saja sebagai ideologi Marxisme mengandaikan ketundukan subjek-subjek dari Subjek Besar Revolusi Proletariat dan untuk itu, gambaran dunia dengan generalisasi tingkat dewa amatlah diperlukan. Untuk dapat mengarahkan gerak kuda, tentu kacamatanya harus mengarahkan pandangan hanya pada jalan saja. Tetek-bengek soal lapak tukang kaos di kanan jalan, rumput di kiri jalan, dan layang-layang di angkasa, harus dianggap sebagai pernak-pernik yang tak begitu penting. Jadi, seperti anak SD di Arab dan gadis Na, ketika Marxis sedang memelototi dunia sebetulnya mereka sedang memelototi gambaran dunia sebagaimana yang tersusun dalam ideologi mereka. Mereka hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah pernah diceritakan oleh orang-orang terdahulu tentang dunia itu lengkap dengan semua umpatan dan caci-maki pada hal yang menurut orang terdahulu tak benar.
Untuk dapat memahami dunia, seorang Marxis harus sering keluar dari dunia ideologinya dan bersusah-payah menyelidikinya dengan sarana ilmu. Ketika kembali dari dunia ilmu mereka mesti sanggup memasukkan hal baru ke dalam dan merombak hal lama di dalam dunia ideologinya itu. Hanya dengan cara bolak-balik seperti inilah Marxis bisa tetap waras dan Marxisme bukan hanya sehimpunan caci-maki.***
Bagian pertama serial artikel ini ada di sini. Dan bagian keduanya lihat di sini.