JACK Weatherford menulis tentang beberapa “revolusi harga” yang sempat melanda Eropa; sepanjang abad 16 harga-harga di Spanyol melonjak 400 persen, di Inggris, harga-harga naik tiga kali lipat di akhir abad ke-17. Sepanjang abad ke 16-18, menurut Weatherford terjadi “revolusi harga” di Eropa pasca penemuan tambang-tambang emas dan perak di Peru, Brasil, dan Meksiko oleh orang-orang Spanyol dan Portugis. Dengan teknologi sederhana dan budak mencapai ratusan ribu kepala, Brasil kolonial bisa mencapai produksi rata-rata sampai lebih dari 16 ton setahun.
Keadaan ini yang menjadi latar historis dari pemikiran ekonomi David Hume; peningkatan volume uang—penemuan tambang-tambang emas dan perak—mengakibatkan kenaikan harga-harga komoditas. Dalam literatur-literatur ekonomi, pandangan Hume ini biasa dilabeli sebagai versi klasik dari teori kuantitas uang. Secara ringkas, teori kuantitas uang menyatakan bahwa naik-turunnya harga-harga komoditas ditentukan oleh volume uang di dalam sirkulasi. Jika pasokan uang di satu negara naik, maka harga-harga komoditas cenderung mahal. Sebaliknya, jika pasokan uang di satu negara turun, maka harga-harga komoditas niscaya murah. Teori ini dengan kata lain, mempostulasikan bahwa tingkat harga-harga berubah secara proporsional dengan perubahan dalam jumlah cadangan uang.
Marx menulis beberapa halaman dalam A Contribution to the Critique of Political Economy [1859] soal pandangan Hume ini. Menurut Marx peningkatan harga-harga ini terjadi hanya pada komoditas-komoditas ekspor yang dipertukarkan dengan emas dan perak, yang berperan bukan sebagai uang, tapi hanya sebagai komoditas lainnya. Pertukaran ini menyebabkan harga-harga komoditas ekspor (yang nilainya diukur dengan emas dan perak yang nilainya semakin turun) tampak meningkat dibanding semua komoditas lain. Tapi kenaikan harga-harga komoditas seiring melonjaknya jumlah uang ini sebenarnya hanya bersifat sementara. Yang dipersepsi oleh Hume, tidak lain adalah keadaan temporer terjadinya evaluasi ganda atas harga-harga komoditas dalam perdagangan internasional pasca, dalam istilah khas Marxian, “peningkatan daya-daya produktif” di satu cabang produksi tertentu (produksi emas). Dalam jangka panjang, emas dan perak akan kembali berfluktuasi di sekitar nilai produksinya, perlahan peningkatan emas dan perak tidak berjalan beriringan dengan naik-turunnya harga-harga komoditas.
Marx lantas meringkas proposisi teori Hume. Pertama, harga komoditas di satu negara tertentu ditentukan oleh jumlah uang (uang riil ataupun uang simbol) yang ada di negara tersebut. Kedua, uang yang bersirkulasi di negara tertentu mewakili semua komoditas yang ada di negara tersebut—ketika jumlah uang meningkat, tiap unit uang mewakili korespondesi dengan proporsi lebih besar atau lebih kecil dari komoditas yang direpresentasikan; dan ketiga, jika volume komoditas meningkat, maka harganya jatuh atau nilai uang meningkat. Jika jumlah uang meningkat, maka, sebaliknya, harga komoditas meningkat dan nilai uang jatuh (MECW, 29: 393).
Dari mana asal-usul teori uang Hume? Menurut saya, pandangan ekonomi Hume sebangun dengan pandangan filsafatnya. Proyek pemikiran filosofis Hume dapat dikerucutkan pada satu upaya memeriksa secara empiris atas konsep substansi atau esensi dalam bangunan ilmu tentang manusia. Adakah substansi dalam masyarakat manusia? Hume menjawab, tidak ada. Lewat serangkaian proposisi filosofis dan eksperimentasi sederhana, Hume membuktikan bahwa ilmu-ilmu yang mengkaji masyarakat manusia tidak dapat disandarkan pada konsep substansi sebab konsep ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara empiris—manusia (pengamat, ilmuwan) tidak akan mampu menyimpulkan keberadaan hal-hal yang dipatok sebagi substansi. Dari sinilah timbul konsepsi ilmu yang menuntut bukti-bukti empiris untuk menguji pertanyaan ilmiah. Tanpa bukti-bukti empiris, suatu konsep ilmu rawan dibalikkan untuk mendukung pandangan non-ilmu; persis ketidakmampuan memberi bukti empiris atas apa yang ada dalam realitas inilah yang difasilitasi oleh konsep substansi. Dengan demikian dalam konsepsi ilmu Hume, empirisisme, tidak ada substansi.
Substansi sebagai kategori secara Klasik diartikan sebagai “hal yang bukan sifat dari subjek, tidak juga hadir dalam subjek”. Substansi dibedakan jadi menjadi dua, substansi primer dan substansi sekunder. Substansi primer, selalu terkandung di dalam substansi sekunder dan karena itu substansi primer adalah “entitas yang melandasi hal-hal lainnya, dan hal-hal lainnya ini dapat disifatkan atau hadir di substansi primer”. Hal-hal lainnya ini digolongkan ke dalam kategori substansi sekunder, yakni secara berurutan, spesies dan genus (“spesies lebih berelasi dekat dengan substansi primer dan sebab itu lebih tulen sebagai substansi dibanding genus”). Dalam relasinya dengan substansi sekunder, substansi primer “melandasi dan merupakan subjek dari substansi sekunder” sehingga ini berarti substansi sekunder lah yang menentukan kualitas-kualitas dan sifat-sifat dari substansi primer. Pensifatan inilah yang bikin substansi primer dapat menyerap kualitas-kualitas yang bertentangan, meski penting dicatat, yang bertentangan adalah “sifat-sifat” dari substansi, sementara substansi itu sendiri tidak memiliki kualitas di dalam dirinya sendiri dan secara kuantitas, tunggal dan tetap sama.
Marx sendiri benar-benar menggunakan istilah “substansi” dalam menganalisis hakikat uang dan komoditas dalam produksi kapitalis. Ia menyebut kerja, atau lebih persisnya kerja-abstrak, sebagai “substansi sosial” yang membentuk nilai dari komoditas. Hanya dari bentuk kerja yang ada di produksi kapitalis secara spesifik ini, produksi nilai dan penubuhannya dalam komoditas dimungkinkan. Marx malah ikut membuktikan bagaimana uang tidak lain adalah komoditas-universal hasil dari perkembangan produksi dan sirkulasi komoditas yang meluas. Jadi tidak seperti disangka Hume, harga-harga, atau nama-uang dari nilai-tukar komoditas bukan bergantung pada volume uang, melainkan dari kerja-abstrak yang menentukan besaran nilai dari waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial. Uang dan harga-harga komoditas tidak mendadak muncul di pertukaran (tring!), melainkan sebagaimana semua kategori ekonomi-politik, berkembang dari ranah produksi.
Sekilas filsafat Marxis sulit menerima konsepsi mengenai substansi. Filsafat Marxis kadung terkenal akan pandangannya atas realitas yang dialektis. Dalam pandangan dialektis, realitas dipandang selalu dalam suatu proses yang bergerak tanpa henti. Analisis dialektis juga yang ikut membentuk konsepsi produksi kapitalis sebagai suatu pergerakan sirkular dan memungkinkan Marx menjelaskan bentuk-uang sebagai perkembangan dari bentuk-nilai. Sayangnya pemahaman realitas sebagai sesuatu yang cair ini kadang berjalan ke arah yang justru beroposisi dengan pandangan Marx sendiri. Hal ini misalnya amat sering ditemui ketika dialektika dipahami secara ultra-filosofis dan lantas ditempelkan semena-mena ke macam-macam cabang realitas. Ungkapan umumnya bisa berasal dari variasi-variasi ungkapan ini; sebab realitas pada dasarnya suatu proses, suatu hal yang terus dalam keadaan berubah, maka pandangan filsafat dan ekonomi-politik Marx harus terus disesuaikan dengan “keadaan-keadaan” saat ini, yang sudah diformulasikan oleh Marx harus disesuaikan dengan keadaan-keadaan yang baru. Sekilas kita agaknya bersepakat. Kita diingatkan untuk bersikap tidak dogmatis untuk memahami Marx dan kenal keadaan. Tapi apa yang sering dimaksud dengan “keadaan-keadaan” di sini bukan lagi hakikat keadaan, melainkan hanya fenomena-fenomenanya saja, dan mereka berhenti di sana. Orang ultra-filosofis punya cara paling baik untuk mengeliminasi Marx; berangkat dari fenomena-fenomena dan peristiwa-peristiwa khusus yang menampak dalam realitas (“keadaan-keadaan”) untuk lantas mengajukan klaim luas di segala bidang yang mendestruksi hasil penyelidikan saintifik dan diskusi filosofis ribuan tahun yang mendekam di balik ekonomi-politik Marxis. Ini yang hemat saya, mesti sering disadari.
Mengapa sikap yang meragukan adanya substansi dari realitas sosial tidak produktif? Saya mau ajukan sugesti-sugesti. Dalam bidang ilmu-ilmu, konsep substansi penting bagi perkembangan ilmu-ilmu itu sendiri. Ilmu-ilmu alam telah membuktikan dengan bersandar dari hukum-hukum dasar di alam fisik, kesinambungan dan perkembangan yang produktif bagi ilmu-ilmu alam beserta penerapannya dalam teknologi-teknologi modern jadi dimungkinkan. Hanya dengan mencari dan menemukan substansi di masing-masing bidang, perkembangan teoretis, penyelidikan empiris, dan penerapan praktis dari ilmu berjalan ke arah yang produktif. Bidang ilmu-ilmu yang tidak kunjung mencari, menemukan, dan menetapkan kategori substansial dalam masing-masing ranahnya niscaya akan mengalami nasib sama seperti Hume, mengelirukan fenomena dengan hakikat, sibuk dalam penyelidikan tanpa arah, dan pada akhirnya terpecah-pecah jadi serpihan yang makin lama makin kecil karena tak kunjung menemukan titik pijak bersama.
Buat Sosialisme Ilmu, penerimaan atas substansi penting sebab substansi sosial yang dikemukakan Marx tidak lain berkaitan dengan pandangan Marx mengenai hakikat produksi kapitalis. Saya memandang bahwa dengan menetapkan kerja-abstrak sebagai substansi sosial, Marx secara tidak langung mengajukan klaim bahwa keseluruhan fenomena, pergerakan, dan perkembangan produksi kapitalis dapat diturunkan dari konsepsi kerja-abstrak. Kerja ini tidak lain adalah substansi dari kapitalisme. Dalam kapitalisme, kerja manusia tidak dikonsepsikan dari soal apakah kerja itu ahli atau tidak ahli, cepat atau lambat, melainkan diukur secara rata-rata dari waktu-kerja yang dibutuhkan secara sosial. Sebagai substansi, jenis kerja ini yang memungkinkan lahir dan berkembangnya macam-macam kategori ekonomi-politik mulai dari nilai, komoditas, uang, bahkan kapital itu sendiri. Jika kategori ekonomi-politik saja berasal dari kerja-abstrak, maka begitu juga dengan kategori kultural dalam kapitalisme kontemporer—anak muda, pecinta lingkungan, hipster, netizen, intelektual, dst. Jadi menurut saya kira-kira seperti ini: Jika kerja-abstrak adalah substansi dari masyarakat kapitalis, maka kerja-abstrak adalah “hal yang melandasi” kapitalisme. Jika kerja-abstrak adalah substansi dari masyarakat kapitalis, maka semakin meluasnya kapitalisme tidak lain daripada perluasan kerja-abstrak.***
Bagian pertama dari tulisan ini bisa dilihat di sini, dan bagian kedua di sini.