Surat untuk Tuan Gandjar Pranowo

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

Manusia yang mengayun langkah keji,
Bersuka dalam laku tak suci
Tak takut murka Dewa
Hukuman menimpa mereka (Menelaos, Oedipus)

Kutundukkan kepalaku
Kepada semua kalian para korban
Sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
Kepada penindas
Tak pernah aku membungkuk
Aku selalu tegak (Wiji Thukul, Tujuan Kita Satu Ibu)

 

MUNGKIN kamu tak percaya kalau petani kendeng itu bermaksud mulia. Bisa jadi kamu memang tak mengerti alasan mereka menolak pabrik semen itu. Jujur kami sendiri kadang heran mengapa sikapmu begitu menghamba pada kepentingan modal. Sesungguhnya apa yang sedang kamu pertaruhkan hari-hari ini? Hingga dengan keras kepala kamu tetap ingin pabrik semen itu berdiri. Beroperasi di atas pematang sawah dengan merusak sumber aliran mata air di dalamnya. Percayakah kamu kalau pabrik semen itu akan membawa kemakmuran dan kemajuan? Jujur, tidakkah kamu pernah tinggal di desa dan merasakan keindahan panorama alamnya? Menikmati hasil jerih payah petani. Merasakan kebaikan dan ketulusan mereka. Bukankah kamu juga berasal dari kampung dimana sawah itu dihormati, dihargai dan harta satu-satunya yang utama? Sesekali lihatlah dirimu pada masa lalu: anak kampung yang dibesarkan oleh suasana desa. Kamu berasal dari sana dan sungguh hina jika kamu mengingkarinya. Apalagi jika kamu bermaksud mengenyahkannya.

Mungkin juga kamu tak paham mengapa perempuan Kendeng itu menyemen kakinya. Itu bukan sekadar protes tapi itu pesan buatmu. Jangan sampai perasaanmu menjadi semen: kaku, keras dan ingin menang sendiri. Para perempuan itu mau mengingatkanmu kalau tanah itu adalah ibumu. Bahasa alegoris halus yang mungkin kamu sulit memahaminya. Secara sederhana mereka mau katakan, kalau sumber kehidupan itu asal muasalnya dari tanah. Kini tanah yang menyimpan banyak harta melimpah itu ingin kamu ratakan. Bayangkan sejenak tanah desa itu berubah jadi aliran lalu lintas yang padat: truk pabrik hilir-mudik, buruh yang menyemut hingga karung semen yang diangkut ke sana ke mari. Rasa-rasanya itu bukan sajian hidup yang menyenangkan dan bisa-bisanya kamu merasa itu tindakan bijaksana? Kalau mau adil: tinggalah beberapa hari di tempat dimana kamu memutuskan untuk dibangun pabrik. Ajak keluargamu, sanak saudaramu dan pendukungmu. Coba kemudian tanya pada mereka: Bagaimana kalau tempat ini diubah jadi pabrik, apakah itu keputusan logis?

Jujur aku curiga jangan-jangan kamu memang tak paham dengan situasi yang terjadi. Di mana-mana kita ini sedang mengeluh soal ketergantungan pangan. Tumpuan pembangunan hari-hari ini ada di petani. Harapan kedaulatan pangan tumpuanya sektor pertanian. Partaimu sendiri mengklaim diri sebagai wakil ‘wong cilik’. Petani itu masuk golongan ‘wong cilik’. Jika kamu paham Marhaenisme pasti mengerti siapa yang dimaksud: petani yang dimiskinkan oleh kapital yang ingin menguasai apa saja. Tentu mendahulukan kepentingan pabrik semen sama halnya dengan mengabaikan hidup petani. Mereka yang menolak itu bukan warga biasa: petani yang selama ini memberi makan bagimu, keluargamu, pendukungmu dan siapa saja manusia yang kamu kenal. Jika kamu memilih memihak pabrik, itu bukan sekadar ‘tidak populer’ tapi itu sikap ‘cari popularitas’. Terus terang, kamu itu pengikut Soekarno atau pabrik yang sejauh ini jadi sasaran cacian Soekarno? Jika kamu masih sangsi, cobalah berdiri di muka poster Bung Karno: pandangi dirinya, tanyakan pada dirinya: layakkah dirimu mengaku-aku sebagai pengikut setianya. Benarkah keputusanmu hari ini untuk mendukung pabrik semen? Semoga Soekarno memberi jawaban, sebab aku takut malah bisa bisa tamparan!

Jujur mau berapa lama lagi kamu mempertahankan sikapmu ini? Petani yang kamu kecewakan itu barisannya makin panjang. Berdiri mengekor di barisan mereka adalah aktivis, anak muda, jurnalis, ibu-ibu hingga anak-anak. Mereka bukan barisan yang berdiam diri hanya karena sebuah keputusan. Mereka adalah rombongan yang tak lagi gentar oleh ancaman apalagi sekadar himbauan. Jaringan kepedulian di antara mereka makin meluas dan meraih dukungan yang tak sedikit. Ini bukan sekadar kehebatan media sosial tapi mandat perjuangan itu memang ‘benar’ muatannya. Tidakkah kamu naif jika melawan arus yang kini serupa gelombang yang terus-menerus mendesak untuk mengubah putusanmu? Tetap berdiri di depan pabrik semen selain tak masuk akal juga tidak taktis. Mau dikenang oleh rakyat seperti apa dirimu nanti? Pembela pabrik sehingga mukanya menghias bungkus semen atau dikenang sebagai pembela rakyat yang namanya harum di hati mereka. Ini bukan pilihan tuan Gandjar, tapi kesempatanmu untuk membuktikan siapa dirimu yang sebenarnya.

Kini sejenak tundukkan kepalamu. Berdoalah untuk mbok Patmi yang wafat dengan gagah. Perempuan itu sama dengan ibumu. Ia punya anak, keluarga dan harapan. Satu satunya perjuangan hidup yang anggun adalah melawan keputusanmu. Ia menolak membencimu, tapi menyayangkan sikapmu. Pada pabrik semen jelas ia bersama ibu-ibu yang lain menolak. Padamu ia hanya butuh keputusan yang adil dan berpihak. Terus terang, tidakkah kamu tergerak dengan kematiannya? Hatimu harusnya lembut dan perasaanmu sebaiknya peka. Kini bukan kaki lagi yang di-semen, tapi nyawa mereka pun terenggut. Tuhan sedang membawa pesan lewat mbok Patmi. Tuan Gandjar, jangan jadi manusia yang selalu percaya keputusannya itu benar. Sebab jika keputusan itu terus kamu pertahankan: kamu sedang melawan dirimu sendiri. Betapa beruntungnya mereka yang wafat dengan kenangan yang terhormat dan betapa hinanya mereka yang hidup di antara kecaman rakyat. Jika boleh aku sarankan, datanglah ke makam mbok Patmi, mintalah maaf pada semua keluarganya dan berjanjilah kamu tidak akan lagi menyia-nyiakan rakyat yang melindungi miliknya sendiri.

Kututup surat ini dengan mengajakmu berimajinasi sejenak. Andai kamu menolak pembangunan pabrik semen itu betapa banyak hal yang kamu selamatkan. Yang pertama, kehidupan desa yang indah, tenteram dan nyaman. Pematang sawah itu dialiri oleh bajak dan cangkul. Sumber mata air itu jadi inti kehidupan warga sehingga mereka membesarkan anak cucunya dengan banyak belajar pada alam. Tiap panen petani bisa bangga dan kamu dapat mengatakan itulah kedaulatan pangan yang sesungguhnya. Yang kedua, petani Kendeng itu bisa jadi penasehatmu dalam mengelola kebijakan pangan. Para petani tak perlu menyemen kakinya dan tak usah demo lagi di depan kantormu. Sebab kamu akan melibatkan mereka dalam mengelola pangan serta meminta masukan mereka untuk melindungi sawah yang ada. Sudah pasti kamu akan jadi penguasa yang memahami siapa petani, apa yang dibutuhkan mereka dan nilai apa yang pantasnya jadi keyakinan bersama. Hormati alam, rawat kehidupan dan jaga masa depan. Itulah seandainya pilihanya adalah memihak mereka. Indah, terhormat dan kamu membuat bangga gurumu: Soekarno. Kini coba bayangkan sendiri kalau pabrik semen itu yang hendak kamu tanam. Aku sendiri tak mau membayangkanya karena itu pilihanmu saat ini. Jika berani bayangkanlah dan tuliskan itu sebagai balasan atas surat ini.

Terimakasih.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.