Dalam beberapa waktu terakhir ini, tindak kekerasan terhadap gerakan tani semakin sering terjadi. Peristiwa paling terkini, adalah penyerangan terhadap sektretariat Serikat Petani Pasundan (SPP), oleh sekelompok orang dari organisasi Patriot Pemuda Pancamarga (PPM). Kasus ini, menambah deretan kasus kekerasan terhadap petani seperti di Pasuruan (Jatim), Lengkong (Sukabumi, Jabar), Fatumnasi (NTT), hingga Kotawaringin (Kalteng).
Kekerasan demi kekerasan ini, boleh jadi akan terus berlangsung. Lebih-lebih tidak ada tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan itu. Lalu, bagaimana gerakan tani menghadapi situasi ini, sembari terus membangun kekuatannya? Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Noer Fauzi, mantan ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang kini sedang menyelesaikan studi doktoralnya di University of California at Berkeley, Amerika Serikat.
IndoPROGRESS (IP): Mengapa kekerasan terhadap petani kian meningkat?
Noer Fauzi (NF): Selain karena semakin banyak jurnalis meliput dan kemudian memuat berita-berita semacam itu, saya memahaminya sebagai ciri dari mulai menguatnya suatu aksi/reaksi tandingan atas apa yang terjadi sebelumnya dan masih terus sampai sekarang yakni, aksi-aksi pendudukan tanah, protes-protes terbuka, mobilisasi massa besar-besaran, kampanye reforma agraria, dan lahirnya kebijakan baru redistribusi tanah. Kesemuanya ini, sebagaimana kita mahfum, semakin menguat semenjak jatuhnya rejim otoritarian Soeharto di tahun 1998 dulu itu.
Periode ini bukan sekedar diisi oleh dengan bentuk-bentuk penindasan klasik seperti, si penguasa tanah mengusir petani penggarap, mengintimidasi hingga menembaki mereka seperti yang terjadi dalam kasus Pasuruan, Jawa Timur. Tapi, juga diisi oleh bentuk aksi/reaksi tandingan dari kelompok-kelompok masyarakat bahkan, ada yang sudah membentuk gerakan-tandingan, baik yang dijalankan dengan kesadaran pemimpin dan anggota kelompok itu sendiri, maupun memang dirancang atau digerakkan oleh para
penguasa tanah maupun elite penguasa lain yang menjadi sekutunya.
Tandingan-tandingan itu dimungkinkan oleh suatu perbedaan keyakinan mengenai apa yang seharusnya dan pantang dilakukan oleh pihak lain, baik sehubungan dengan penguasaan dan pengarapan tanah maupun hal lain yang berhubungan dengan pengorganisasian aksi-aksi kolektif pihak lain itu, dan terbukanya kesempatan politik baik dalam arti kemungkinan melakukan aliansi dengan faksi tertentu dari penguasa politik, maupun kemungkinan aksi-aksi itu tidak ditumpas bahkan didukung oleh mereka.
Saya masih ingat dengan jelas bagaimana inisiatif suatu lembaga masyarakat pro-pelestarian hutan dan lingkungan bergayung-sambut dengan Operasi Wanalaga Lodaya, untuk mengusir petani penggarap di gunung Papandayan. Operasi tahun 2003 itu adalah proyek resmi dari Polda Jawa Barat bersama Departemen Kehutanan, dan didukung oleh Perhutani dan Balai Konservasi SDA. Saya belajar banyak dari cara bagaimana konsolidasi temporal dan spasial terjadi antara perusahaan transnasional pengelola geothermal (Chevron-Texaco), penguasa tanah negara (Perhutani dan Balai Konservasi SDA), faksi-faksi di tubuh negara (Deputi Menteri Kehutanan, Kapolda Jabar, Wakil Gubernur Jabar, Ketua DPRD Garut, Polres garut, kejaksaan dan Pengadilan Negeri Garut) dengan kelompok-kelompok masyarakat (misalnya, LSM pro-pelestarian kehutanan dan lingkungan di Bandung, dan bandar sayur-cum tuan tanah pertanian luas). Saya sebut bersifat temporal dan spasial, karena mereka bersatu-padu hanya pada saat waktu dan ruang tertentu itu saja dalam rangka mengusir petani penggarap tanah gunung Papandayan, menangkapi mereka dan memenjarakan beberapa tokoh penggeraknya. Setelah waktu berubah, mereka juga tidak bersama-sama lagi.
Jadi, menurut saya, tantangannya adalah bagaimana kita bisa memahami perubahan aliansi dari para elite penguasa tanah, penguasa dan kelompok masyarakat dari konteks ruang dan waktunya. Saya berusaha memahaminya sebagai hal yang bergerak dan merasa salah kaprah bila memahaminya sebagai suatu gejala yang statis dan berdiri sendiri-sendiri.
IP: Apakah aksi dan tuntutan gerakan tani, telah begitu membahayakan kepentingan penguasa-pengusaha? Kalau memang telah demikian membahayakan, aksi dan tuntutan seperti apa yang dianggap berbahaya itu?
NF: Tentunya kita bisa mengupas dan kemudian bisa mengenali bagaimana jalinan kepentingan mereka itu berhubungan dengan gerakan petani. Kemarin saya membaca berita dari koran Pikiran Rakyat yang berisi keluhan dari pengurus Gabungan Pengusaha Perkebunan (GPP) Jawa Barat. Dalam selang waktu delapan tahun (1998-2006), jumlah lahan perkebunan di kabupaten Garut yang dijarah seluas 2.660 hektare atau 12 persen dari total lahan perkebunan di Garut yang mencapai 24.682 hektare. Data ini dikemukakannya untuk menunjukkan daya rusak dari apa yang mereka istilahkan dengan “penjarahan.”
Seperti kita tahu, di kabupaten Garut ada Serikat Petani Pasundan (SPP) yang sejak tahun 1998, sangat aktif mengorganisir petani-petani yang menduduki dan menggarap tanah-tanah perkebunan dan kehutanan, serta tak henti-hentinya mengampanyekan land reform. GPP Jawa Barat telah secara terbuka menyampaikan penolakannya atas kebijakan baru Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Mereka mengantisipasi program ini akan melegalisasi apa yang mereka sebut sebagai “penjarahan” itu. Sementara itu, sebagian kalangan pemerintahan daerah Garut menyambut gembira program itu, karena memberi harapan penyelesaian atas masalah konflik agraria yang berlarut-larut. Mereka khan menghadapi terus-menerus tuntutan penyelesaian sengketa tanah antara petani versus perkebunan dan petani versus perhutani. Sementara walaupun ada otonomi daerah yang diberlakukan mulai tahun 2001, kewenangan menetapkan hak atas tanah negara yang dipakai perkebunan dan Perhutani bukan di tangan mereka. Sebagian elite partai politik yang duduk di DPRD tentu memerlukan dukungan riil dan legitimasi akan keberpihakan mereka pada rakyatnya, sehingga mereka juga sangat senang bila berhasil meredistribusi tanah-tanah negara itu. Sebagian dari mereka khan tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari keberadaan perkebunan dan Perhutani.
Nah, jadi saya tidak hitam-putih melihat penguasa-pengusaha di blok sana, dan gerakan petani dan pendukungnya di blok sini, melainkan melihatnya dalam suatu jalinan yang pada banyak contoh situasi kongkrit mereka saling membentuk satu-sama lainnya. Tentu untuk bisa membuat analisis situasi yang akurat, memerlukan penyelidikan yang seksama.
IP: Atau bung melihat bahwa negara, khususnya pemerintahan SBY-JK, semakin kehilangan akal dalam merespon aksi-aksi massa – dalam hal ini petani – yang memprotes kebijakan neoliberal yang dicanangkannya?
NF: Mari kita telisik bagaimana kebijakan baru land reform itu bisa dikeluarkan oleh BPN, kemudian diumumkan oleh Presiden dalam pidatonya di akhir bulan Januari lalu.
Hal ini khan juga tidak terlepas dari suatu gelombang pendudukan tanah dan kemudian kampanye land reform dan advokasi kebijakan yang digencarkan organisasi-organisasi pro-pembaruan agraria. Kesempatan politik baru tersedia ketika diangkatnya Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang baru. Dialah yang kemudian “membawa” land reform ke diskusi dan perumusan kebijakan kabinet pemerintahan SBY-YK. Hal ini bergayung sambut dengan demo besar-besaran koalisi organisasi pro-pembaruan agraria ke Istana, yang untuk pertama kalinya pejabat setingkat menteri menerima delegasi di istana. Hadir Kepala BPN, Menteri Pertanian dan perwakilan Menteri Kehutanan. Cara bagaimana Kepala BPN meneruskannya menjadi kebijakan land reform resmi pemerintahan SBY-YK, untuk sebagian besar urusan, tentu tidak bisa dimasuki oleh eksponen dari gerakan pro-pembaruan agraria. Padahal di sinilah letak pertarungannya dengan pejabat pemerintahan yang
menjadi promotor kebijakan-kebijakan kapitalistik-neoliberal.
Seperti kita udah mahfum pekerjaan utama mereka adalah menggunakan kekuasaan pemerintahan, yang khas yang cuma dimiliki pemerintah, untuk melayani atau membiarkan bekerjanya ekonomi — akumulasi modal, baik melalui pengaturan mengenai
alat-alat produksi, cara berproduksi, distribusi hingga konsumsi – dengan resiko pada eksploitasi tenaga kerja, perusakan alam, pencerabutan hak-hak kepemilikan rakyat, maupun pada perubahan tatanan sosial dan kebudayaan.
Di sini kita baru bicara mengenai kesempatan politik dalam keterbatasan struktural. SBY-JK tidak bisa terang-terangan memproklamasikan diri sebagai penganut dan pelaksana kebijakan neoliberal. Perasaan saya campur aduk membaca pidato SBY di acara Hari Koperasi ke 60 di Badung, Bali kemaren. Katanya, “Tidak ada tempat untuk sistem perekonomian yang berbasis kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia. Kedua ideologi ekonomi itu sama sekali tak mampu menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat. … Ideologi berbasis kapitalisme dan neoliberalisme tidak mencerminkan dan tidak sesuai dengan keadilan sosial terhadap rakyat Indonesia, termasuk bagi antarwarga bangsa. Maka, segala ideologi dari luar yang tidak memberi manfaat dan keadilan bagi rakyat harus ditentang dan dicegah masuk ke Indonesia.”
Bagaimana ya menafsirkan hal ini? Yang saya mau tekankan disini sekarang adalah legitimasinya bisa ambruk seketika bila ia berterus terang. Mereka tetap menyuarakan dan membuat kebijakan pemberantasan kemiskinan — kalau dihitung lebih dari lima puluh kata miskin dan kemiskinan dipakai dalam pidato Presiden di akhir bulan Januari itu! Dan lebih dari itu, khan pemerintahan memerlukan dukungan hutang dari badan-badan pembangunan internasional, utamanya adalah Bank Dunia. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang diandalkan pemerintah itu khan gabungan dari PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) – uang untuk dua-duanya dari hutang pada Bank Dunia.
Nah, dalam rubrik “penanggulangan kemiskinan” itu lah kebijakan baru land reform bisa diterima. Jadi, rasionalenya PPAN yang sekarang ini bukanlah karena alasan cacat pada struktur agraria yang timpang, bias modal besar atau bias kota dalam pembangunan pedesaan, pemenuhan hak asasi manusia, koreksi atas perampasan hak di masa lampau, keadilan agraria, atau membangun modal domestik, atau menjamin proses reproduksi tenaga kerja.
Saya sama sekali tidak melihat bahwa pemerintahan SBY-JK secara terpusat memiliki kebijakan penggunaan kekerasan aparatus negara atas gerakan petani, seperti yang dilakukan rejim Soeharto terdahulu. Struktur politik nasional maupun daerah dalam masa
paska-Soeharto tidak memungkinkannya. Yang ada adalah suatu operasi-operasi menjadikan negara sebagai panitia pengurus kepentingan akumulasi modal. Masalahnya, pemerintahan SB-JK seakan tidak bisa dan tidak punya daya mencegah aparatus negara maupun badan-badan usaha kuasi-negara (seperti Perum Perhutani) untuk tidak menggunakan kekerasan atas para petani. Padahal mereka punya!
IP: Agak sedikit melebar. Dalam kasus penembakan di Pasuruan oleh Marinir, kita melihat hingga kini militer, tak peduli dari angkatan mana atau kepolisian, tetap menganggap protes rakyat sebagai ancaman. Pendapat bung?
NF: Protes-protes petani itu kan mulai dari kebutuhan praktis. Mereka butuh lahan garapan, butuh pendapatan, butuh kemudahan input produksi. Nah, mereka bentrok dengan penguasa tanah luas, karena berebut tanah garapan, lalu sebagai warga negara melihat kok aparatus negara yang mustinya membela mereka sebagai warga negara kok malah membela “musuh” mereka, atau memusuhi mereka. Pimpinan mereka, juga dengan bergabungnya para aktivis terdidik dari kota, menuntut haknya sebagai warga untuk dilindungi dan dilayani oleh negaranya. Nah, dari pergaulan mereka kemudian memahami bahwa aparatus pemerintah, penguasan tanah, pengusaha kapitalis memiliki hubungan struktural yang khusus. Protes-protes atas kebijakan neoliberal kan bermula dari proses ini.
Di sini saya mau sedikit membuka pengertian kapitalisme, negara dan neoliberalisme. Kapitalisme itu kan mengusung suatu paham produksi, keuntungan dan eksploitasi tanpa batas akhir! Kapitalisme itu dapat bergandeng tangan dengan kekuasaan negara yang besar. Neoliberalisme itu adalah suatu ajaran bahwa kesalahan negara (state failure) atau yang dijulukinya sebagai dirigetisme, jauh lebih buruk dari kesalahan pasar (market failure). Tapi sama sekali bukan pantang diatur oleh negara. Kebijakan neoliberal itu berupaya membuat ekonomi kapitalis itu sedikit diatur oleh negara, dan pengaturan negara negara yang
sedikit itu ditujukan untuk memastikan lancarnya usaha akumulasi kapitalis, dan dapat diatasinya krisis-krisis yang diakibatkan proses akumulasi kapitalis itu.
IP: Apakah juga berarti, reformasi dalam tubuh TNI yang didengung-dengungkan itu omong-kosong belaka? Bagaimana bung melihat hal tersebut?
NF: Nah, dengan sejarah dan geografi yang khusus, keterlibatan tentara dalam bisnis penguasaan tanah skala besar khan dimulai dari masa nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing pada masa Soekarno dulu, lalu pada pengambilan kembali tanah-tanah redistribusi setelah pembantaian massal 1965-1966 yang mengiringi kelahiran rejim otoriter Soeharto. Lalu setelah adanya UU Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, UU Pokok Pertambangan dan UU Pokok kehutanan, mereka ikut bikin atau ikut punya saham perusahaan, selain tentunya mendapatkan balas jasa atas fungsi mengamankan perusahaan-perusahaan yang menguasai tanah besar-besar melalui struktur teritorial angkatan
darat dan kepolisian.
Misi reformasi TNI (khususnya TNI Angkatan Darat) yang terberat, selain berhubungan dengan struktur teritorial mereka, adalah perusahaan-perusahaan bisnis tentara ini dan fungsi pengamanan yang mereka biasa jalankan. Ini kan sumber struktural dari kekerasan seperti yang terjadi di Pasuruan itu.
IP: Di beberapa negara Amerika Latin, katakanlah Venezuela, militer sebagai lembaga, terlibat dan mendukung sebuah pemerintahan progresif. Apakah kemungkinan yang sama, bisa terjadi di Indonesia?
NF: Saya sayangnya tidak mempelajari bagaimana tentara di sana sebagai lembaga, terlibat dan mendukung sebuah pemerintahan progresif. Jadi saya tidak bisa menjawabnya, itu di luar yang saya pelajari.
Tapi, dari pengalaman mempelajari gerakan agraria, khususnya gerakan indigenous peoples di Amerika Latin, saya berkesimpulan, kita tidak bisa, dan lebih dari itu tidak perlu menjadikan pengalaman Venezuela, Bolivia, Brazil atau negara Amerika Latin lainnya sebagai “model ideal” yang bisa ditiru, karena kondisi-kondisi yang memungkinkannya sama sekali berbeda. Tapi sangat perlu dipelajari.
Misalnya, saya mempelajari bagaimana kombinasi kesempatan politik yang terbuka, motif pengorganisasian rakyat dan kapasitas untuk mengartikulasikan tuntutan merupakan khas di sana, yang tidak saya temui di Indonesia. Disana, ruang-ruang demokratik terbuka untuk rakyat berorganisasi, dan mengeluarkan pendapat. Bahkan, perubahan politik dalam tubuh negara dapat merangsang perogranisasian secara meluas, mempersatukan
satuan-satuan rakyat yang terpisah-pisah, dan menjadi “rumah” bagi hidupnya kembali ide lama dalam situasi baru, seperti “Revolusi Bolivarian,” atau “Zapatismo” — suatu ide yang dalam konteks sekarang adalah anti-neoliberalisme.
Motif untuk pengorganisasian indigenous peoples (dengan s) yang belakangan ini menjadi faktor yang menentukan dalam politik nasional, seperti yang terjadi di Ekuador dan di Bolivia, adalah perubahan rejim-rejim kewarganegaraan yang menantang otonomi lokal yang telah mereka nikmati selama ini. Pendek kata, mereka sudah menikmati otonomi lokal mereka dalam jangka waktu yang lama sebagai hasil dari kebijakan korporatis dari negara-negara itu. Salah satu bentuk kebijakan korporatis itu adalah land reform. Identitas sosial yang dianut oleh kebijakan redistributif itu adalah petani (campesino). Mereka diberi atau dikukuhkannya suatu bidang tanah untuk dikelola secara bersama. Dalam otonomi lokal itu mereka dapat memelihara kebudayaan yang tersisa, menghidupkannya lagi dan mengkombinasi yang baru, kebudayaan mereka inilah yang menjadi “rumah” bagi identitas Indian mereka, yang membedakan diri secara kontras dengan identitas yang mendominasi mereka. Karena sejarah yang khusus di sana, kita tidak menemukan garis batas yang jelas antara gerakan indigenous peoples dengan gerakan petani.
Kapasitas pengorganisasian adalah juga yang memungkinkan mereka menjadi faktor dalam politik nasional. Jaringan lintas komunitas Indian mereka dapatkan dari kegiatan-kegiatan negara, serikat buruh, gereja, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan. Melalui gereja dan ornop, kapasitas mereka menjalin soldiaritas dan meresonansikan gerakan melintasi batas-batas negara, dan mampu mereka tingkatkan menjadi gerakan transnasional dan kemudian menjadi kekuatan utama dalam menyokong perumusan Draft Deklarasi PBB tentang Indigenous Peoples.
IP: Apa pelajaran yang bisa dipetik gerakan sosial-progresif di Indonesia, dalam hal kian mengerasnya aksi kekerasan terhadap gerakan tani?
NF: Tentunya patut disadari bahwa aksi-aksi penindasan atas petani, baik yang berdiri sendiri maupun berkombinasi dengan berbagai bentuk gerakan-tandingan, akan senantiasa mengiringi gerakan petani itu. Dengan begitu, agenda pertama, yang paling praktis, mudah dilakukan tapi sangat mendesak adalah menyiapkan suatu bahan dan sajian pendidikan bagi pemimpin dan aktivis gerakan petani, mengenai bagaimana menangani peristiwa-peristiwa seperti itu. Pengalaman-pengalaman yang lampau selayaknya bisa didokumentasi dan dikemas menjadi bahan pendidikan. Jangan biarkan pengalaman-pengalaman pahit itu berhenti menjadi ingatan belaka. Hal ini bisa menjadi tambahan topik dari kegiatan pendidikan yang sudah dijalankan selama ini.
Agenda kedua, mengembangkan kekuatan dengan berjaringan dengan kekuatan lokal. Saya merasa gerakan petani selama ini merupakan gerakan lokal, bukan gerakan nasional. Yang tampil di nasional adalah tampil sekali-kali saja. Istilah saya: berkunjung ke kantor-kantor pemerintahan nasional. Sama sekali bukan faktor dalam politik nasional, seperti yang terjadi di Bolivia, Brazil atau Ekuador. Tahap pertumbuhannya masih menggeliat di antara aksi-aksi protes menuju gerakan sosial. Saya kira semakin terisolasinya kekuatan gerakan petani dari kekuatan lainnya di tingkat lokal adalah sumber utama dari kerentanan selama ini.
Ada suatu konsepsi advokasi yang disebut sebagai “boomerang effect,” yang intinya adalah suatu kasus lokal diangkat dan dikampanyekan oleh suatu kelompok organisasi non-pemerintah ke tingkat internasional, misalnya, melalui jaringan organisasi hak asasi manusia. Kampenye di tingkat internasional memberikan tekanan pada pemerintahan nasional agar memberi perhatian dan perlindungan terhadap korban-korban di lokal. Hal ini dulu bekerja dengan baik, saat kekuatan pro-rakyat yang tertindas demikian terisolasi dari konfigurasi kekuatan lokal. Yang sering diabaikan oleh praktek-praktek demikian adalah suatu pembangunan gerakan lokal dengan jalan membangunan aliansi dengan kekuatan lokal lainnya, termasuk pemerintahan lokal.
Bagaimanapun juga terdapat proses representasi politik dan agregasi kepentingan politik lokal dalam parlemen lokal. Bila gerakan itu telah melekat pada konfigurasi kekuatan lokal, akan berkuranglah kerentanannya dan kemudahan dikenai tindak kekerasan oleh pihak yang memusuhinya. Kasus Pasuruan semestinya menjadi bahan pelajaran terbaik dimana jaringan NU dan PKB, telah melindungi dan membela kelompok petani korban kekerasan. Lebih dari itu mampu mendorong perubahan kebijakan kelembagaan nasional yang berhubungan dengan peristiwa itu.***