Pengalaman Cina
Hidup bebas dari ancaman ketidakpastian, ketakutan, agresi, kemiskinan, dan ketidakadilan, adalah impian semua orang. Menjadi bebas, adalah tujuan tertinggi dari seluruh pergulatan pemikiran dan ideologi di berbagai belahan dunia. Kata Karl Marx, kebebasan seseorang merupakan prasyarat bagi kebebasan orang lain.
Perdebatan dan perbedaan baru timbul, ketika muncul kebutuhan untuk merealisasikan impian tentang kebebasan itu di masyarakat. Pada titik tertentu, gagasan kebebasan yang satu dianggap menghancurkan gagasan kebebasan yang lain; pada derajat yang lain beragam definisi kebebasan itu saling beriringan, untuk kemudian mengucapkan salam perpisahan. Ini baru sebatas moral politik, belum lagi menjumput perbincangan praktek politik.
Ini juga yang terjadi di Cina. Beriringan dengan kebangkitan ekonomi pasar sejak 1978, pelan tapi pasti, wacana tentang kebebasan muncul ke permukaan. Diskusi-diskusi politik dan ideologi yang terbuka mulai bermunculan, khususnya di kampus-kampus utama Cina. Sebagian kalangan mengatakan, kebebasan berbicara ini merupakan anak kandung reformasi ekonomi.
Dengan makin terkonsolidasinya sistem ekonomi pasar, tuntutan akan demokratisasi sistem politik ikut membuncah. Suara-suara yang menuntut desentralisasi kekuasaan negara dan Partai, berjalannya mekanisme checks and balances, pemisahan kekuasaan yang tegas di antara tiga cabang kekuasaan, penegakan dan penghormatan terhadap HAM, supremasi hukum, dan kebebasan pers, makin lama makin nyaring terdengar. Di satu sisi, tuntutan akan demokratisasi sistem politik ini, dianggap sebagai jawaban agar tragedi kemanusiaan masa rejim Mao Zedong, tidak terulang lagi. Di sisi lain, kalangan liberal yang diuntungkan oleh reformasi ekonomi memandang, reformasi ekonomi yang tengah digalakkan tidak akan membawa lebih jauh rakyat Cina ke kemakmuran, jika tidak dilakukan reformasi politik
Puncak dari tuntutan akan kebebasan ini, meledak pada Protes Tiananmen Square, 1989. Dalam Peristiwa yang juga dikenal dengan nama Gerakan 4 Juni itu, ratusan ribu massa yang dimotori gerakan mahasiswa, menuntut agar pemerintah segera melakukan reformasi sistem politik yang mendasar. Dan seperti yang telah kita tahu, demonstrasi massal ini dibubarkan dengan sangat brutal oleh Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Cina.
Generasi baru kaum liberal
Pasca Gerakan 4 Juni, ruang kebebasan serta-merta tertutup rapat. Diskusi-diskusi politik dan ideologi, seketika lenyap ditelan angin malam. Sementara, posisi negara dan partai semakin dominan, melebihi periode awal ketika reformasi ekonomi baru dicanangkan.
Tetapi, jika iklim politik begitu pekat, tidak demikian di wilayah ekonomi. Komitmen pemerintah dan birokrat partai terhadap reformasi ekonomi tak ikut surut. Bahkan makin menguat, terutama setelah kunjungan bersejarah Deng Xiaoping ke zona ekonomi khusus di Shenzen. Selama kunjungan tersebut, Deng melontarkan mantra paling terkenalnya, “as long as it makes money it is good for China,” yang kemudian memacu cepat roda perekonomian Cina.
Privatisasi besar-besaran pun tak terelakkan, disusul dengan banjir investasi asing. Ekonomi bertumbuh sangat pesat, disertai gaya hidup mewah dan kosmopolit lapisan elit perkotaan. Pada masa-masa ini, literatur dan figur intelektual seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman yang mengampanyekan ideologi liberalisme ekstrim (John Gray dalam “Two Faces of Liberalism,” menyebutnya sebagai Libertarian Legalist), laris-manis bak kacang goreng. Hayek dan Friedman menjadi nabi baru, di kampus-kampus utama Cina. Dominasi teori-teori liberal – di Cina istilah liberal dan libertarian digunakan saling bergantian yang diikat oleh kata liberalisme – ini begitu kuat, tidak hanya di kampus-kampus utama Cina tapi, lebih-lebih di kalangan atas pemerintahan dan partai.
Pada masa-masa ini, seperti ditulis Liu Xin, terjadi refleksi mendalam mengenai sejauh mana batas intervensi negara terhadap masyarakat di kalangan kaum liberal Cina. Mengambil saripati pemikiran Hayek, berbeda dengan kalangan liberal pra Gerakan 4 Juni, kalangan liberal kali ini melihat bahwa demokrasi dikatakan eksis sejauh ia mengantarkan kita kepada kebebasan individual. Jika tujuan tertinggi ini tidak bisa direalisasikan atau jika gerakan demokrasi tidak sanggup merealisasikan kebebasan individu, demikian Liu Xin, tuntutan akan demokrasi menjadi sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.
Bagi kalangan ini, kebebasan individual adalah mutlak dan menjadi tujuan tertinggi, karena karena individu merupakan pencipta dan pembawa pesan kemanusiaan, dan seturut dengannya, kebebasan individual merupakan fondasi untuk menjelaskan dan melindungi nilai-nilai yang lain seperti persamaan dan keadilan, atau sebagai senjata untuk menghancurkan nilai-nilai yang lain semacam nilai-nilai komunitas dan nasionalisme. Mereka menginterpretasikan persamaan sebagai persamaan untuk bebas dari intervensi dan juga menafsirkan keadilan sebagai murni prosedural ketimbang keadilan substantif. Dengan demikian, mereka skeptis dengan gagasan tentang nilai-nilai kebaikan umum atau segala wujud gerakan nasionalis. Mereka menolak sebuah gagasan atau ideal yang sempurna, karena sesuatu yang sempurna seperti sosialisme, cenderung membawa manusia kepada “the road of serfdorm.”
Soalnya kemudian, dalam kondisi apa realisasi kebebasan individual ini bisa terjadi? Jawabannya adalah pada masyarakat sipil yang kuat serta pengakuan akan kepemilikan pribadi. Sejarawan Jerry Z. Muller, ketika membahas pemikiran Hegel mengatakan, masyarakat sipil adalah wilayah atau domain dimana setiap orang bertindak untuk memuaskan kepentingannya individualnya. Diri mereka dan propertinya dilindungi oleh undang-undang, dan hubungan di antara individu ini, berdasarkan pada interaksi mereka di pasar untuk memenuhi apa yang mereka inginkan.
Dari proposisi ini, tersurat bahwa masyarakat sipil dan pengakuan akan kepemilikan pribadi, hanya bisa diwujudkan jika intervensi negara dalam urusan publik semakin minimal. Kembali mengutip Hayek, setiap bentuk intervensi dan regulasi pemerintah dalam pasar, adalah akar soal munculnya sistem pemerintahan totalitarian, entah dalam wujud fasisme, Naziisme, maupun komunisme (kini kita bisa tambahkan fundamentalisme agama). Bagi Hayek, intervensi dan regulasi itu tidak hanya menyebabkan hilangnya kebebasan ekonomi tapi, juga kebebasan politik dan sipil, dan kebebasan individual.
Dalam konteks Cina, dititik inilah paradoks itu berkecambah. Pada satu sisi, kalangan liberal ini diuntungkan oleh berkah pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh percepatan ekonomi pasar yang disponsori dan dikawal dengan ketat oleh negara. Di sini, mereka mendukung penuh kebijakan negara untuk menswastanisasi perusahaan publik, mendesentralisasi pengambilan keputusan di tingkat regional berkaitan dengan masalah ekonomi, memperkuat kepemilikan pribadi, dengan tujuan untuk mengeliminasi warisan sosialisme a la Mao. Selain itu, mereka percaya bahwa hanya melalui kompetisi bebas di pasar, masyarakat Cina akan bisa mengeliminasi segala bentuk ancaman dari totalitarianisme.
Tetapi, jika pada sisi ekonomi mereka mendukung bahkan melekatkan dirinya pada aparatus negara dan partai, tidak demikian di sisi politik. Di wilayah ini mereka melakukan kritik terhadap sistem politik Cina yang dinilainya totaliter, karena tidak memberikan ruang yang lebih pada terealisasinya kebebasan individual. Artinya, kebebasan individual selain mensyaratkan kompetisi bebas di pasar, juga membutuhkan syarat lain yakni, posisi negara yang netral. Itulah sebabnya, kalangan liberal menghendaki agar ada tembok pembatas yang jelas antara negara dan masyarakat sipil, karena hanya dengan demikian kebebasan individu bisa direalisasikan.
Namun, ketika tembok itu ditegakkan, pada saat yang sama kelompok ini menghancurkan tembok tersebut, demi bekerja dan eksisnya mekanisme pasar. Dalam kasus Cina, pemberlakuan kebijakan neoliberal secara agresif, telah menyebabkan pembelahan masyarakat yang sangat tajam. Seiring dengannya, kritik dan protes massa makin tinggi dan berlangsung di hampir seluruh negeri. Protes yang sebenarnya merupakan anak kandung neoliberalisme ini, kemudian dibungkam dengan kekerasan oleh negara. Tindakan mana, tidak mendapat kritik dan kecaman dari kalangan liberal Cina. Bahkan, pada derajat tertentu, mereka mengamini tindak penyalahgunaan kekuasaan itu.
Mengapa paradoks ini muncul? Kembali kepada Liu Xin, ia mengatakan, asumsi yang ditransfer dari pengalaman liberalisme di Barat tidak memperoleh pembuktian di Cina. Di negara tirai bambu itu, mekanisme pasar yang bekerja di bawah todongan senapan terbukti tidak memperkuat kedudukan masyarakat sipil, dan juga tidak memperlemah kekuasaan negara. Sehingga pada akhirnya, garis demarkasi antara negara dan masyarakat dan transisi dari nilai-nilai otoritarian menjadi nilai-nilai liberal, sama sekali tidak terwujud.
Alih-alih terbentang garis demarkasi antara negara dan masyarakat, Cina kontemporer menunjukkan telah terjadi garis persinggungan dan persilangan antara negara dan masyarakat yang jauh lebih parah ketimbang di masa kepemimpinan Mao. Sebelum era reformasi, masyarakat menjadi arena bagi pelaksanaan kebijakan ekonomi terencana yang dipromosikan negara. Kini, masyarakat menjadi arena dimana aparat di seluruh tingkatan memberikan dukungan penuh bagi bekerjanya ekonomi pasar dan menangguk keuntungan darinya. Akibatnya, pemerintah dan pengusaha secara perlahan-lahan membentuk hubungan yang saling menguntungkan, dimana masalah korupsi, misalnya, makin parah dan usaha pemberantasannya pun makin sulit. Inilah kata Robert Weil,
“This unification in China between the realms of economy and politics is nowhere better illustrated than in the powerfull role in “business” played by top government and party leaders, and especially their family members, who use their official positions for personal benefit.
Di Cina, tidak ada ilustrasi yang lebih baik untuk menggambarkan persatuan antara wilayah ekonomi dan politik selain peran yang sangat besar dalam “bisnis,” yang dilakukan oleh pimpinan puncak pemerintah dan partai, khususnya anggota keluarga mereka, dengan memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadinya.”
Demikianlah, sementara jurang kaya-miskin makin lebar, gagasan tentang kebebasan individu makin terjebak pada kondisinya yang paradoksal. ***
Coen Husain Pontoh
Kepustakaan:
John Gray, “Two Faces of Liberalism,” The New Press, NY, 2000.
Jerry Z. Muller, “The Mind and The Market Capitalism in Modern European Thought,” Alfred A. Knopf, NY, 2002.
Liu Xin, “Context and Issues of Contemporary Political Philosophy in China,” (2003), http://www.confuchina.com.
Robert Weil, “Red Cat White Cat Cina and the Contradictions of ‘Market Socialism,” Monthly Review Press, 1996.