ILMU pengetahuan senantiasa berkembang, dan dari waktu ke waktu dapat terjadi pergeseran paradigma yang mengubah cara pandang kita akan dunia sekitar kita. Ketika semakin bertambah bukti-bukti yang mendukung paradigma baru dan tidak mampu dijelaskan oleh paradigma lama, maka paradigma baru pun diterima sebagai sebuah kenyataan.
Di antara pergeseran-pergeseran paradigma yang telah terjadi dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, ada satu fakta yang tidak pernah berubah semenjak ribuan tahun lalu: Bumi ini bulat seperti bola sepak. Hingga di abad ke-21 ini, fakta ini telah diterima sebagai realitas karena bukti-bukti telah begitu banyak.
Memang pada awalnya manusia mengira Bumi ini datar. Peta-peta yang diselamatkan dari reruntuhan peradaban-peradaban kuno, pada masa Babilonia (ribuan tahun sebelum masehi), masa Yunani pra-klasik (sebelum abad ke-6 sebelum masehi) menunjukkan bahwa mereka menyangka Bumi ini datar. Hal ini wajar karena Bumi ini begitu besar sementara manusia begitu kecil, sehingga kelengkungan Bumi tak terlihat dengan segera. Andai kita hidup di Planet B-612 (Gambar atas) atau di Planet Kaioo, akan sangat jelas bahwa planet tersebut memang bulat. Namun Bumi kita demikian besar dan bila kita hanya melihat dunia sekeliling kita saja, maka dunia ini akan terlihat datar.
Dengan berkembangnya peradaban dan terjalinnya jaringan perdagangan antara kota-kota, para pedagang dan orang-orang terpelajar dapat saling berbagi informasi mengenai lingkungan sekitar mereka. Orang-orang bermata jeli yang tinggal di kota-kota tepi laut dan menjadi bagian dari peradaban-peradaban maritim dapat mengamati bahwa kapal yang berlayar mendekati pelabuhan hanya terlihat pertama-tama tiang layarnya saja, baru kemudian layarnya, dan akhirnya badan kapal. Sebaliknya, para pelaut yang berlayar mendekati sebuah kota akan melihat bahwa mereka hanya bisa melihat menara pengawas dari kejauhan, namun lama-kelamaan bisa melihat dasar menara dan bangunan-bangunan lain. Ini tanda bahwa Bumi ini melengkung dan kapal-kapal (atau bangunan) yang jauh itu terhalang oleh kelengkungan Bumi (Gambar 2 dan 3). Sebaliknya, para pelaut yang berlayar mendekati sebuah kota akan melihat bahwa mereka hanya bisa melihat menara pengawas dari kejauhan, namun lama-kelamaan bisa melihat dasar menara dan bangunan-bangunan lain. Ini semua kita sudah tahu sebagai tanda bahwa Bumi ini melengkung dan kapal-kapal (atau bangunan) yang jauh itu terhalang oleh kelengkungan Bumi. Dengan menggunakan lensa tele atau binokular, di jaman modern ini tak sulit bagi kita untuk melihat sendiri kapal-kapal yang menghilang atau muncul dari balik cakrawala (Gambar 3).
Mengukur keliling Bumi dengan tongkat dan bayangan
Eratosthenes adalah seorang ilmuwan Mesir yang hidup pada abad ke-3 sebelum Masehi. Ia hidup di kota Aleksandria di muara Sungai Nil. Di kota itu terdapat Perpustakaan Besar Aleksandria (salah satu perpustakaan paling penting di dunia kuno) dan ia adalah kepala perpustakaan tersebut. Dari membacai laporan-laporan dari berbagai tempat di kerajaan Mesir, ia mengetahui bahwa pada suatu hari di kota Siena (sekarang kota Aswan), persis pada saat tengah hari, kita akan dapat melihat pantulan Matahari di dalam sumur.
Matahari persis berada di atas kepala dan tiang-tiang tidak akan menghasilkan bayangan. Fakta biasa mengenai urusan sumur, tiang, dan bayangan ini mungkin akan terlewat oleh orang biasa, namun Eratosthenes ingin memeriksa apakah hal yang sama juga terjadi di kotanya, Aleksandria, dan ternyata… pada hari yang sama tiang-tiang ternyata menghasilkan bayangan!
Untuk menjelaskan fenomena ini, Erathosthenes mengasumsikan bahwa Matahari letaknya jauh sekali dari Bumi dan oleh karena itu berkas sinar Matahari yang jatuh ke Bumi dapat dianggap sejajar. Dengan asumsi ini, andai Bumi ini datar maka harusnya pada hari yang sama, apabila di kota Siena Matahari berada tegak di atas kepala, maka demikian pula dengan di Aleksandria. Bila ada bayangan di Siena, demikian pula dengan di Aleksandria (gambar 4). Namun, kenyataannya, pada saat yang sama terbentuk bayangan di Aleksandria sementara di Siena tak ada bayangan. Namun, apabila Bumi ini bulat, maka sesungguhnya kelengkungan Bumi lah yang membuat adanya bayangan di kota Aleksandria (gambar 5). (Tapi hey! Bagaimana kalau Bumi ini datar dan Matahari berada dekat sekali dari Bumi. Bukankah kalau begitu berkas cahaya Matahari tidak dapat dianggap sejajar dan kedua berkas sinar dari Aleksandria dan Siena akan bertemu di satu titik? Kita akan diskusikan ini nanti pada bagian berikutnya).
Tidak hanya itu, Eratosthenes selanjutnya mencoba mengukur keliling Bumi. Caranya adalah dengan mengukur kemiringan berkas sinar Matahari di Aleksandria yaitu sekitar 7 derajat dari arah atas kepala[1] (Gambar 5). Tujuh derajat ini kira-kira adalah 1/50 bagian dari sebuah lingkaran[2]. Selanjutnya Eratosthenes mencari tahu jarak antara kedua kota[3], yaitu 5000 stadia. Stadia adalah satuan jarak pada jaman kuno dan kurang lebih sama dengan 185 meter. Artinya, keliling Bumi adalah sekitar 250 000 stadia atau sekitar 46 250 km. Hasil pengukuran modern dengan satelit adalah 40008 km,
jadi hasil pengukuran Eratosthenes dengan peralatan ala kadarnya (dan kekuatan nalar pikir) dapat dikatakan luar biasa.
Terlepas dari masalah konversi satuan panjang, yang terpenting adalah percobaan Eratosthenes ini cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh siapapun di dua tempat berbeda di permukaan Bumi. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di berbagai belahan dunia telah melakukan percobaan ini dengan hasil yang konsisten satu sama lain. Mungkin sekali waktu kita perlu membuat percobaan ini dengan teman-teman di beberapa kota.
Cakrawala di ketinggian
Apabila kita berada di tepi pantai, arah cakrawala akan sama dengan arah pandangan mata lurus dan badan tegak. Namun, apabila kita berada di tempat tinggi, tidak hanya kita bisa melihat lebih jauh, tapi juga arah cakrawala akan turun dan berada di bawah arah pandangan mata lurus badan tegak. Semakin tinggi, semakin turun arah cakrawala ini[4]. Al-Biruni, sarjana dan ahli banyak cabang ilmu[5] asal Persia dan hidup pada abad ke 10-11 Masehi, mengamati hal ini ketika ia berada di puncak gunung tinggi di Pakistan.
Pengamatan Al-Biruni ini juga dapat kita saksikan sendiri apabila kita berada di tepi pantai yang menghadap ke arah barat. Cobalah tiarap dan lihat ke arah Matahari terbenam. Tunggulah saat ketika piringan Matahari tepat menghilang di balik samudera, dan segera berdiri. Kita akan melihat piringan Matahari muncul sedikit. Perubahan ketinggian ini, dari tiarap ke berdiri, walaupun hanya sedikit, tetap menghasilkan penurunan arah cakrawala.
Al-Biruni menyadari bahwa turunnya arah cakrawala dengan semakin tingginya posisi kita ini adalah karena cakrawala kita semakin jauh. Situasi ini diilustrasikan pada Gambar 6. Seberapa besar sudut penurunan cakrawala ini dengan semakin tingginya kita ada hubungannya dengan seberapa besar Bumi kita. Ketiga informasi ini: sudut penurunan cakrawala, ketinggian kita, dan jari-jari Bumi terhubung melalui trigonometri segitiga siku-siku. Dengan menggunakan trigonometri inilah, jari-jari Bumi dapat ia ukur. Hasilnya adalah sekitar 6336 km, hanya berbeda sekitar 41 km dari hasil pengukuran yang lebih akurat yaitu 6371 km. Kembali ini adalah hasil yang sangat luar biasa mengingat modal Al-Biruni kali ini “hanyalah” astrolabe, yaitu alat pengukur sudut dan sedikit trigonometri (dan juga otak yang cemerlang). Pembaca yang suka mendaki gunung mungkin bisa mencoba metode ini saat sudah mencapai puncak gunung tinggi. Ketinggian gunung di atas permukaan laut pada umumnya sudah diukur dengan teliti dan tertera pada papan penanda di puncak gunung[6]. Di puncak gunung, kita hanya perlu mengukur sudut antara cakrawala benar dengan arah horisontal saja.
Ketinggian bintang kutub di atas cakrawala
Petunjuk berikutnya mengenai kelengkungan Bumi adalah dengan mengamati bintang-bintang. Marilah kita ambil contoh Polaris atau yang disebut juga Bintang Utara atau Bintang Kutub. Bintang ini lokasinya amat dekat dengan sumbu rotasi Bumi, dan oleh karena itu terlihat diam di langit sementara bintang-bintang lain berrotasi mengitarinya. Semenjak lama, pelaut-pelaut dan penjelajah menggunakan Polaris untuk menentukan posisi mereka di Bumi. Ini karena kita dapat mengamati bahwa semakin ke utara kita berlayar, ketinggian Polaris di atas cakrawala akan semakin tinggi. Sementara itu, bila kita berlayar semakin ke selatan, ketinggian Polaris akan semakin rendah (Gambar 7).
Apabila kita terus pergi ke selatan hingga mencapai garis khatulistiwa, bintang Polaris akan menghilang di balik cakrawala dan tidak akan terlihat lagi. Di selatan garis khatulistiwa, misalnya di Jawa, Australia, Afrika Selatan, atau Argentina, Polaris tidak akan terlihat karena terhalang oleh kelengkungan Bumi. Hal yang sama juga berlaku untuk bintang-bintang lain. Pada awal abad ke-17, saat pelaut-pelaut Eropa berlayar mengitari benua Afrika guna mencari jalan ke Nusantara untuk mencari sumber rempah-rempah, untuk pertama kalinya mereka melihat bintang-bintang di langit selatan. Selama ini mereka hanya aktif berlayar di Eropa dan tidak pernah mengetahui seperti apa konstelasi langit di selatan khatulistiwa.
Perubahan ketinggian benda-benda langit di atas cakrawala dengan berubahnya posisi kita pada garis lintang ini juga dapat digunakan untuk mengukur keliling Bumi sebagaimana Eratosthenes menggunakan Matahari. Pada abad ke 1 sebelum masehi, Posidonius mengukur keliling Bumi dengan membandingkan ketinggian bintang Canopus di kota Aleksandria dan di kota Rhodes.
Pengetahuan lama yang tak lekang
Fenomena dan pengukuran yang saling konsisten ini menjadi dasar bagi orang-orang terpelajar di jaman antik dan pertengahan untuk memafhumi bahwa Bumi ini bulat. Mungkin banyak di antara kita, manusia jaman modern, yang mengira bahwa orang jaman dulu itu terbelakang dan mempercayai bahwa Bumi ini datar, dan bahwa kita baru menyadari Bumi ini bulat sekitar 500 tahun lalu ketika Kristoforus Kolumbus[7] berlayar ke benua Amerika dan selanjutnya ketika Ferdinand Magellan menjadi orang pertama yang berlayar mengelilingi dunia. Ini adalah miskonsepsi sejarah dan tidaklah benar.
Sebagaimana telah disinggung di awal, kenyataan bahwa Bumi ini bulat sudah disadari jauh sebelum itu, paling tidak semenjak jaman antik, dan terus dipegang melalui jaman pertengahan oleh orang-orang terpelajar Eropa maupun di kerajaan-kerajaan Islam. Ketika Kolumbus menghadap Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol untuk meminta pendanaan perjalanan ke Asia Timur Jauh dengan berlayar ke arah barat (Gambar 8), proposal ini didasarkan pada perhitungannya bahwa keliling Bumi ini lebih kecil dari yang selama ini diduga. Jadi bukan karena ia percaya bahwa Bumi ini bulat sementara orang-orang terpelajar lain percaya Bumi ini datar.
Argumentasi Kolumbus memiliki beberapa kesalahan, salah satunya adalah kekeliruan mengonversi satuan mil Arab pada peta Al-Farghani yang menjadi sumber-sumber acuannya. Jadi perdebatan Kolumbus dengan ahli-ahli peta kerajaan bukanlah mengenai bentuk Bumi—karena tidak ada yang meragukan bahwa Bumi ini bulat—tetapi tentang ukuran Bumi sesungguhnya. Perdebatan inilah yang membuat proposal Kolumbus ditolak di mana-mana sebelum akhirnya tahta Spanyol memutuskan untuk mendanai proposal Kolumbus.
Kita telah melihat fenomena yang membuat kita bisa menyimpulkan bahwa Bumi ini bulat, dan bagaimana pengukuran-pengukuran fenomena ini memungkinkan kita menentukan besarnya Bumi kita. Namun, mungkinkah sebenarnya Bumi ini datar seperti piring dan kita selama ini dibohongi? Dapatkah fenomena yang sama ditafsirkan sebagai bukti bahwa Bumi ini datar? Pada bagian berikutnya kita akan melihat bahwa pandangan Bumi datar tidak konsisten dengan fenomena yang telah kita diskusikan di atas.***
PEMBAHARUAN:
07/02/2017: Bagian kedua dapat dibaca di sini.
————-
[1] Arah atas kepala disebut juga dengan zenith. Mengukur sudut ketinggian Matahari bisa dilakukan dengan dua cara: Menggunakan alat ukur sudut macam astrolabe, atau yang lebih mudah adalah membandingkan tinggi tiang dan panjang bayangan tiang.
[2] Lingkaran penuh sudutnya 360 derajat.
[3] Menurut legenda, ia membayar orang yang langkah kakinya konstan untuk berjalan kaki antara kedua kota dan menghitung berapa langkah ia berjalan kaki, namun jarak antara Aleksandria dan Siena juga dapat diketahui dari laporan-laporan tahunan arsip kerajaan.
[4] Ini juga sebab mengapa waktu berbuka puasa di puncak gedung Burj Khalifa di Dubai lebih lama sedikit dari waktu berbuka puasa di dasar menara.
[5] Orang yang menguasai banyak bidang ilmu disebut juga dengan polimatik.
[6] Lagipula sebelum mendaki dan pada saat perencanaan, saya kira kita sudah harus tahu tinggi gunungnya.
[7] Penulisan nama Kolumbus berbeda-beda menurut bahasa. Nama latinnya adalah Christophorus Columbus, dan di dalam artikel ini diindonesiakan menjadi Kristoforus Kolumbus. Christopher Columbus adalah penulisan Inggris. Dalam Bahasa Italia namanya adalah Cristoforo Colombo, sementara dalam Spanyol adalah Cristóbal Colón.