Ilustrasi diambil dari tataruangpertanahan.com
SABTU, 24 September 2016 yang lalu, Rakyat Indonesia, khususnya kaum tani, memperingati Hari Tani Nasional yang Ke-56. Bagi saya, 56 tahun silam adalah tonggak pertama kita menunjukkan pada dunia bahwa kita berdaulat atas tanah, yang di tandai dengan keluarnya Undang Undang Nomor 05 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang secara resmi menggantikan Undang-Undang Agraria kolonial atau Agrarische Wet 1870 milik Kolonial Belanda.
UUPA 1960 merupakan pelaksanaan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong. Ini menandai dimulainya penghapusan segala hak asing dan konsesi kolonial atas tanah dan mengakhiri penghidupan feodal secara berangsur-angsur. Sebaliknya, UUPA 1960 memperkuat dan memperluas tanah untuk seluruh rakyat terutama kaum tani yang di topang juga oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian.
UUPA 1960 adalah gong di mulainya land-reform, yang merupakan bagian daripada Revolusi Indonesia. Sebab, kata Bung Karno, revolusi Indonesia tanpa land-reform sama dengan gedung tanpa alas, pohon tanpa batang, omong besar tanpa isi.
Presiden Jokowi dan Reforma Agraria
Baru-baru ini Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Ke-menterian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar melakukan pensertifikatan tanah dalam jumlah besar-besaran dan menyakini reforma agraria bisa menjadi cara baru untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, khususnya di pedesaan.
Selain itu, Presiden Jokowi juga mengharapkan reforma agraria bisa menjadi cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antar masyarakat dengan perusahaan maupun dengan pemerintah, yang diimplementasikan dalam bentuk program penyediaan akses tanah melalui redistribusi tanah terutama Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak diperpanjang, tanah-tanah terlantar dan pelepasan kawasan hutan agar lebih memberikan manfaat pada rakyat.
Arahan Presiden Jokowi ini diriel-kan dengan memberikan mandat kepada Kantor Staf Presiden (KSP) untuk menyusun naskah arahan bagi penyusunan Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019 dan menjelaskan mengenai tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar untuk di distribusikan kepada Rakyat. Adapun kategori-kategori tanah yang dimaksud, yakni: (i) Tanah-tanah legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah dihaki masyarakat namun kepastian hukumnya belum diperoleh penyandang haknya; (ii) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; dan (iii) Pengelolaan dan pengadaan lahan aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama.
Khusus untuk Sembilan (9) Juta Hektar Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), Kementerian ATR/BPN telah membuat identifikasi tanah transmigrasi yang belum bersertifikat 0,6 juta ha, legalisasi aset 3,9 juta ha, HGU habis dan tanah terlantar 0,6 juta ha dan pelepasan kawasan hutan 4,1 juta ha.
Reforma Agraria Presiden Jokowi di Ujung Tanduk
Sekilas ada harapan pada Presiden Jokowi untuk memberikan akses tanah kepada rakyat melalui program yang tersusun pada Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. Namun saya menyangsikan bisa berjalan dengan maksimal dikarenakan reforma agraria yang dimaksud tidak disertai perombakan struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah, agar lebih berkeadilan sosial.
Sebagai contoh, data Kementerian Pertanian (Kemtan) menyebutkan, dari total lahan kelapa sawit yang ada di Indonesia sebesar 8,9 juta hektare (ha), investor asing menguasai 40 persen. Itu baru sektor perkebunan, belum sektor pertambangan.
Tanpa menyentuh kepemilikan tanah luas di tangan korporasi itu, maka land-reform ala Jokowi kehilangan esensinya. Apalagi, land-reform bukan hanya soal bagi-bagi tanah, tetapi juga harus disertai program pendukung untuk memastikan pemanfaatan tanah itu produktif, seperti dukungan modal, teknologi, infrastruktur, pelatihan, pasar dan lain-lain.
Selain itu, land-reform harus mengacu pada UUPA 1960. Juga harus didukung oleh Kelembagaan Agraria yang melibatkan banyak Kementerian. Misalnya, di masa lalu, Kelembagaan Agraria adalah Kementerian Agraria, yang kemudian menjadi Kementrian Kompartemen pada tahun 1964 (Menteri Koordinator saat ini) pada Era Kabinet Dwikora dan membawahi Enam Kementerian: Menteri Pertanian, Menteri Perkebunan, Menteri Kehutanan, Menteri Agraria, Menteri Pembangunan Masyarakat Desa dan Menteri Pengairan Rakyat. Lembaga ini tidak hanya menjalankan fungsi administrasi pertanahan, tetapi juga memastikan politik pertanahan yang berkeadilan sosial.
Program Reforma Agraria ala Jokowi juga terancam gagal karena tidak ada perubahan haluan ekonomi politik: haluan ekonomi kita masih liberalisme, belum mengacu ke Pancasila dan UUD 1945. Ini terbukti dengan liberalisasi ekonomi, termasuk di sektor agraria. Liberalisasi agraria ini yang memicu konflik agraria di hampir setiap jengkal Republik ini.
Serikat Tani Nasional (STN), misalnya, saat ini sedang melakukan advokasi terhadap petani yang menjadi korban konflik agraria, seperti di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan lain-lain. Selain itu ada beberapa konflik agraria yang cukup besar, seperti konflik agraria warga Suku Anak Dalam di Jambi dengan PT Asiatic Persada dan konflik agraria antara petani Teluk Jambe Barat Karawang dengan PT Pertiwi Lestari.
Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat jumlah kasus pertanahan hingga September 2013 mencapai 4.223 kasus, yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012 sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru sebanyak 2.335 kasus. Jumlah kasus yang telah selesai mencapai 2.014 kasus atau 47,69 persen yang tersebar di 33 Propinsi seluruh Indonesia.
Dari berbagai persoalan pertanahan di atas, saatnya Presiden Jokowi segera menyatakan keadaan “Darurat Agraria” dan menyelesaikan konflik agraria di seluruh Indonesia dengan mengacu pada UUPA 1960, dan Pasal 33 UUD 1945.***
Penulis adalah Ketua Umum Serikat tani Nasional (STN)