PEMERHATI bahasa dan budaya banyak berkeluh kesah perihal semakin ditinggalkannya bahasa daerah oleh kaum muda. Di sisi lain, kaum muda harus bermigrasi ke kota, meninggalkan desa, tempat di mana bahasa daerah yang menjadi bahasa ibunya eksis untuk memperoleh kesejahteraan. Di kota, mereka harus dapat berbahasa Indonesia, bahasa pergaulan antarbangsa di Indonesia dan bahasa lingkungan kerja mereka. Pada titik ini, dalam alasan ekonomi, kemiskinan desa menyumbang peran membunuh bahasa daerah yang dikeluhkan pemerhati bahasa dan budaya itu.
Yayasan Kebudayaan Rancagé menyelenggarakan Kongres Bahasa Daerah Nusantara pada 2-4 Agustus 2016 di Bandung. Dengan mengetengahkan tema ‘Peranan Bahasa Daerah Nusantara dalam Mengokohkan Jatidiri Bangsa’ mengundangkan para pakar, seniman, mahasiswa, guru, wartawan, dan birokrat untuk turut berperan di kongres tersebut. Tulisan ini bermaksud untuk urun gagasan dalam perbincangan tersebut tapi melalui jalur yang inklusif, melalui media massa ini dengan tujuan dapat dibaca oleh kalangan lebih luas.
Perbincangan, penelitian, sampai peraturan terkait pembinaan bahasa daerah masih banyak yang bersifat eksklusif. Bahasa sebagai fakta budaya masih diperbincangkan, dirumuskan secara eksklusif, tidak berkait erat atau kurang berkait kelindan dengan ranah kemanusiaan lainnya. Tulisan ini dibuka dengan introduksi tentang kaitan kemiskinan desa dengan sebab pudarnya bahasa daerah di kalangan muda. Secara lebih luas, introduksi itu dapat diejawantahkan dalam kalimat, sebab-sebab ekonomi dan politik pembangunan yang menyebabkan pudarnya bahasa daerah.
Bahasa daerah terancam berkurang jumlah penuturnya setelah generasi ketiga keluarga. Saya ilustrasikan demikian. Jika seorang pemuda daerah Indonesia Timur merantau ke Pulau Jawa, setelah beberapa lama dia menikah dengan orang dari lain daerah, orang yang lain bahasa ibunya. Hal demikian dimungkinkan karena sifat masyarakat Pulau Jawa atau kota yang heterogen. Keluarga beda bahasa ibu ini juga memiliki ketagangan tersendiri dalam penerusan bahasa daerah yang menjadi bahasa ibunya. Bahasa ibu di sini bukan diartikan secara seksis, yang bermakna pada wanita dan akhirnya merujuk pada ibu, walaupun peranan ibu juga mendapat saham dalam penerusan bahasa daerah, tetapi bahasa ibu diartikan sebagai bahasa asuh, bahasa yang digunakan untuk mendidik anak dalam keluarga.
Dalam banyak kasus, Bahasa Indonesia menjadi keputusan moderat dalam pengasuhan anak karena tidak selesainya tegangan di antara orang tua berlainan bahasa ibu tersebut. Anak dengan bahasa asuh Bahasa Indonesia bukan tidak menguasai bahasa daerah, dia menguasai sebagai pemakai pasif, mampu memahami ujaran berkat interaksi dengan orang tuanya tapi tidak mampu mengujarkannya. Lebih mendalam lagi, bahasa daerah bukan menjadi bahasa yang digunakannya dalam merenung, tegasnya, bukan menjadi bahasa dalam rasa-merasa. Bahasa pikir (dapat juga diistilahkan dengan bahasa intelektual) dan bahasa rasa-merasa itu dipegang oleh Bahasa Indonesia. Pada gilirannya, si anak berkeluarga dan tidak mengasuh anaknya dengan bahasa daerah orang tuanya dulu. Kepunahan atau berkurangnya penutur bahasa daerah dapat bermula demikian.
Dapat diibaratkan, bahasa adalah muara dari gejolak dan dinamika kehidupan manusia. Bahasa merekamnya dalam bentuk kosa kata. Kosa kata suatu bahasa tidak pernah tetap jumlahnya, selalu berkurang atau bertambah seturut kegunaannya di dunia manusia. Kegunaan atau fungsi menjadi kunci eksisnya suatu kata. Ada kata yang dapat digunakan dalam berbagai bidang dalam hidup manusia, ada juga kata yang kehilangan guna karena tidak pernah digunakan oleh penutur hingga akhirnya dibuang dari daftar lema di kamus.
Menariknya, di iklim globalisasi atau kapitalisme global, di mana nalar ekonomi menjadi penentu keputusan hidup, bahasa daerah akan menemukan pilihan masa depannya, punah atau berguna secara ekonomi. Bahasa Inggris dan beberapa bahasa asing populer dipelajari karena mereka menjanjikan kemakmuran secara ekonomi. Penerimaan karyawan untuk posisi yang menjanjikan imbal balik finansial yang tinggi selalu menyaratkan penguasaan bahasa asing bagi para pelamarnya. Bahasa asing ini jelas memenuhi kriteria sebagai bahasa yang berguna secara ekonomi dan dengan sendirinya bermasa depan cerah di Indonesia ini. Begitu pun dengan mulai maraknya Bahasa Indonesia dipelajari di beberapa negara karena menyambut dan mempertimbangkan masa depan hubungan ekonomi negaranya dengan Indonesia. Bukankah memang Indonesia tengah membuka pintu investasi dan perdagangan bebas lebar-lebar dengan banyak negara?
Strategi Pembinaan Bahasa Daerah
Masih dalam kerangka berpikir bahasa sebagai muara, strategi pembinaan bahasa daerah bukan bermula dari bahasa daerah itu sendiri tetapi bermula dari hulunya, dari kehidupan penuturnya. Saya percaya, kayanya Indonesia akan suku bangsa juga menyediakan potensi kekayaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Potensi-potensi inilah yang perlu dikembangkan terlebih dahulu.
Perlu dilakukan upaya kodifikasi sistem nilai, tradisi, atau cara hidup suatu komunitas manusia menjadi sebuah pengetahuan atau teknologi yang diterima secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk mengangkat bahasa daerah dari bahasa interaksi sosial menjadi interaksi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangan dunia teknologi sekarang saja, Bahasa Indonesia yang notabene bahasa negara, bahasa pengantar di institusi pendidikan tidak bisa berbicara banyak. Daftar lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih banyak melalukan penyerapan terhadap suatu kata dari bahasa asing, bahasa penghasil ilmu pengetahuan atau teknologi yang diadopsi oleh Indonesia. Keadaan demikian terjadi karena, Indonesia dalam pergaulannya di dunia internasional masih berperan pasif, menerima perkembangan, bukan menjadi kipas angin yang menghembuskan angin. Perlu kiranya menginsafi tekad Mao Ze-dong bahwa akan tiba masanya ‘Angin Timur mengalahkan Angin Barat’. Bukan hendak menghidupkan kembali semangat Perang Dingin sebagai konteks ujaran tersebut muncul tetapi tengah mengambil semangat bahwa kita dapat mengodifikasi kekayaan alam, pengetahuan dan kemampuan endemik bangsa-bangsa di Indonesia ini menjadi pengetahuan yang diterima universal. Charles Darwin menyusun Origin of Species berkat data yang dihimpun dari Maluku mengenai flora dan faunanya. Karl Marx mengonsep sosialismenya dengan bahan-bahan seputar pendudukan VOC di Maluku dan dari susunan desa di Jawa dan Bali.
Pengetahuan dan teknologi yang berlaku universal penting untuk menjadi sebab bahasa daerah tersebut beralih menjadi bahasa pergaulan intelektual dan kemudian ekonomi dengan sendirinya. Kodifikasi ini membuat bahasa daerah menjadi kaya akan kata yang dapat menjelaskan konsep-konsep tertentu dalam suatu bidang keilmuan. Juga menjadikan bahasa daerah menjadi bahasa alam pikir manusianya, bukan saja bahasa rasa-merasa. Saya sendiri merenung, berdoa, dan rasa-merasa tentang kehidupan dengan Bahasa Jawa, akan tetapi jika harus berpikir tentang suatu persoalan, saya harus menggantinya dengan Bahasa Indonesia. Pun demikian ketika tengah mengobrol dan harus menerangkan suatu hal pelik, saya harus beralih ke Bahasa Indonesia dalam berbicara.
Kodifikasi ini bukan strategi tunggal dalam pembinaan bahasa daerah. Perlu juga upaya politik dalam pembangunan yang merata di seluruh Indonesia, karena gerak manusia daerah pergi menuju kota dikarenakan perputaran uang terpusat di kota. Dengan membuat pemerataan pembangunan ekonomi, kita sama saja memberikan kesempatan bagi masyarakat daerah tersebut untuk mengembangkan kebudayaannya tanpa kemiskinan ekonomi tentunya. Dan menjadi kabar gembira, jika Nawacita, gagasan Presiden Joko Widodo itu diterapkan secara konsisten. Salah satu butirnya menyatakan ‘membangun Indonesia dari pinggir’ dan itu dapat menjadi jalan pemerataan. Akan tetapi, perlu juga diperhatikan, pembangunan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan aspek filosofis dan antropologis masyarakat daerah. Bahasa daerah juga menyimpan aspek kosmologis masyarakat daerah. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek filosofis dan antropologis masyarakatnya hanya akan membuat masyarakat tersebut berkembang bukan menjadi dirinya, tetapi dipaksa menjadi lain. Bahasa Inggris diambil sebagai misal. Dalam kosmologi masyarakat penuturnya, rice, sudah menampung konsep untuk padi, gabah, beras, dan nasi. Bukan tanpa sebab hal itu ada, tetapi fakta antropologis menjelaskan bahwa nasi bukan menjadi makanan pokok masyarakat penutur Bahasa Inggris. Menanam beras di daerah pemakan sagu sama saja mengasingkan masyarakat daerah tersebut dari kosmologinya.
Pembinaan bahasa daerah jika hanya dilakukan secara eksklusif tidak akan mengubah keadaan apapun. Pendekatan inklusif perlu menjadi pilihan. Bahasa berjejaring dengan segi lain dalam kehidupan manusia. Hubungan saling pengaruh antaranya menentukan keadaan masing-masing. Mengutuk pengajaran bahasa asing yang mendapat porsi lebih dari bahasa daerah di sekolah pun tuna guna karena dunia ekonomi Indonesia menyaratkan demikian. Membicarakan bahasa daerah jangan sampai berujung pada peribahasa buruk rupa cermin dibelah. Kerja pembinaan bahasa, perlu kolaborasi antara filsafat, teknik, kependidikan, politik, dan ekonomi tentunya.***
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Linguistik UGM juga Editor lidahbudaya.com