DI ERA media sosial saat ini, banyak orang berlomba-lomba mengeksibisikan beragam lapisan kehidupannya. Kita bisa menemukan berbagai kiriman status dan foto, dari yang menunjukkan perasaan sedih dan kecewa, sampai pencitraan rupawan sebagai penanda bahwa hidup ini indah dan patut untuk disyukuri.
Keanekaragaman jenis media sosial saat ini juga melahirkan kesempatan luas untuk siapapun memamerkan keseharian aktivitas dan pengalaman, salah satunya adalah religiusitas individu.
Sering kita temukan saat ini orang-orang melantunkan doa-doa, pujian, atau ayat-ayat dari kitab sucinya di media sosial untuk menunjukan seberapa agung Tuhan mereka dan bagaimana dengan percaya maka hidup mereka menjadi indah dan bahagia. Di saat yang lain, ketika mereka mengalami kesulitan, tulisan-tulisan atau gambar-gambar yang dibagikan adalah bentuk sugesti untuk memotivasi mental, sebagai peneguhan atas iman.
Mengumbar nasib baik, memamerkan kesejahteraan, mengatakan bahwa kesuksesan yang didapat adalah karena kasih karunia Tuhan dan bukan karena usaha serta dukungan lingkungan, sesungguhnya merupakan kemewahan dan hak istimewa (privilege) yang tidak bisa didapatkan oleh semua orang.
Di sisi lain, berusaha untuk optimis dan penuh pengharapan pada keajaiban Yang Kuasa hanyalah dimungkinkan apabila terdapat kondisi-kondisi yang mendukung, seperti faktor ekonomi, faktor keamanan, keluarga, relasi, situasi sosial, dan lainnya, sehingga seseorang itu dapat menjalani hidupnya yang mungkin sedang sulit. Kondisi-kondisi inilah yang tidak bisa diperoleh semua orang, dan karenanya juga merupakan kemewahan tersendiri yang hanya terbatas untuk kalangan tertentu.
Dari sekian banyak manusia yang hidup, berapa banyak yang hidupnya sejahtera dan terpenuhi segala kebutuhannya (bahkan yang tidak dibutuhkan)? Di sisi lain, berapa banyak yang, jangankan untuk bisa sejahtera, untuk bisa bertahan hidup sampai esok hari pun belum tentu? Dari sekian banyak orang berdoa memohon keselamatan, berapa banyak yang doanya terkabul, dan bandingkan dengan berapa banyak yang tetap berakhir pada kematian yang sia-sia?
Kaum agamis bisa berargumen bahwa Tuhan punya rencana lain, bahwa Tuhan pasti menghendaki yang terbaik bagi ciptaanNya. Kaum agamis bisa berkata bahwa biar bagaimanapun, setelah kehidupan ini usai maka Tuhan sudah menjanjikan tempat yang terbaik di sisi-Nya dan tidak ada yang disia-siakan Tuhan.
Kenyataannya, rencana Tuhan yang niscaya indah pada waktunya tersebut hanya relevan apabila seseorang memiliki latar belakang dan hidup di lingkungan yang sejahtera dan kondisi yang mendukung. Bagi mereka yang terlahir di negara-negara miskin dan penuh dengan wabah penyakit di Afrika, bagi mereka yang terlahir di negara-negara dengan krisis perang di Timur Tengah, bagi mereka orang-orang yang selama hidupnya selalu melakukan kebaikan dan tak pernah mempunyai musuh tapi kemudian terbunuh akibat perampokan atau terorisme membabi buta, rencana apa yang ada untuk mereka selain hidup yang berakhir pada kesedihan dan kesia-sian?
Dalam hal ini, religiusitas yang dipublisitaskan di sosial media telah menjadi bentuk kesombongan dan kesenjangan sosial tersendiri. Hal ini tentunya diperburuk apabila seorang yang religius sedemikian memaksakan kepada orang lain bahwa agama dan Tuhannya adalah yang paling benar dan pasti paling baik, dan kemalangan yang dialami orang lain adalah karena mereka tidak beriman. Buat saya, perilaku demikian adalah manifestasi dari sikap arogan dan tanpa tenggang rasa.
Ketika seseorang memamerkan pengalaman iman mereka di media sosial, secara tidak langsung mereka seolah berkata ‘saya memiliki keluarga dengan status ekonomi lebih baik daripada orang lain’, atau berkata ‘saya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan memiliki masa depan cerah dibandingkan dengan mereka yang terlahir di keluarga dan lingkungan miskin dan bodoh’, atau juga seolah berkata ‘saya bisa hidup sehat karena memiliki cukup uang untuk merawat kebersihan diri dan lingkungan, dan bisa membeli beragam kebutuhan primer dan sekunder, serta tersier’.
Mungkin bukan demikian yang sungguh-sungguh dimaksudkan oleh mereka yang mengunggah status atau foto yang memanjatkan pujian dan rasa syukur kepada ilahi, tetapi yang demikian adalah bisa jadi kesan atau implikasi yang akhirnya ditimbulkan oleh pertunjukan kompetisi iman dalam sosial media.
Tuhan, yang dalam konsep idealnya seharusnya menjadi sumber kesejahteraan bagi semua pihak, telah menjadi fenomena populer baru dalam kapitalisme. Tuhan seolah telah menghendaki masyarakat terbagi-bagi dalam kelas sosial yang terdiskriminasi. Di sini saya tidak bermaksud menggiring pemahaman kepada atheisme, tetapi berusaha menjabarkan bagaimana rahmat divinitas yang seharusnya universal itu telah dimonopoli oleh kelas sosioekonomi menengah ke atas.
Kaum buruh, kaum kelas sosioekonomi bawah, dan kaum pinggiran lainnya, mereka adalah orang-orang yang juga bekerja keras sama seperti mereka yang berada di kelas atas, atau bahkan bekerja lebih keras dan melelahkan. Kaum kelas bawah ini berusaha untuk mendapatkan kesejahteraan dan pendidikan yang juga sama baiknya seperti kaum kelas atas, dan itu juga merupakan hak mereka. Akan tetapi kapitalisme telah menjadi sistem yang mengklasifikasikan masyarakat ke dalam status hierarkis ekonomi dan menentukan nasib kesejahteraan seseorang.
Apabila seorang kapitalis atau kaum priyayi bersyukur pada Tuhannya atas rahmat dan kesejahteraan yang mereka peroleh (dalam hal ini dengan cara mengumbar rasa syukurnya agar semua orang tahu), bersyukur atas status hierarkisnya, maka rasa syukur itu bukanlah tindakan rohani melainkan bentuk penindasan terhadap rakyat kecil; dia seolah pula berkata bahwa Tuhan lebih menyayanginya daripada masyarakat kelas bawah.
Iman yang demikian adalah iman yang diskriminatif dan congkak. Iman yang demikian juga merupakan dalih atas sikap tidak peduli terhadap situasi kesenjangan sosial kita saat ini, dengan alasan bahwa kemewahan dan kekayaan yang diperolehnya adalah berkah ilahi, padahal kekayaannya diperoleh dari mempekerjakan kaum buruh dengan gaji yang tidak adil, dan dia menikmati kemewahan di saat di luar sana terdapat banyak orang miskin yang menderita.
Seharusnya bukan dengan mengumbar kesaksian tingkat religiusitas kita menjadi seorang yang murni beriman, tapi dengan perbuatan menginspirasi lingkungan dan perbuatan yang kontributif terhadap perbaikan situasi sosioekonomi masyarakatlah iman kita menjadi nyata. Iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong.***
Penulis adalah Mahasiswa Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta