Tanggapan atas Tanggapan Muh. Ardiansyah Laitte
DALAM tradisi politik kiri, perdebatan mengenai posisi politik adalah perlu sekaligus penting. Perdebatan menjadi tidak terelakan sebagai arena untuk melakukan klarifikasi atas setiap posisi yang dibenturkan. Tujuannya sederhana, sejauh mana posisi yang tersedia bisa memajukan praktik politik kelas pekerja untuk merealisasikan kepemimpinan politiknya. Walau ada signifikansi praktis seperti ini, seringkali yang terjadi dalam politik kiri justru upaya untuk mempertahankan posisi namun tanpa ada intensi memajukan perdebatan itu sendiri. Di sini, daripada berupaya untuk membangun argumen dalam mendorong pengetahuan baru, argumen dibuat justru demi argumen itu sendiri. Kondisi yang seringkali diidentifikasi oleh banyak orang sebagai ‘masturbasi intelektual’.
Sayangnya, hal ini yang saya temukan ketika melihat respon Laitte atas tulisan saya yang merupakan respon atas tulisannya sebelummya. Demi melakukan respon atas argumen saya, Laitte secara serampangan menyimpulkan bahwa tulisan saya melihat, ‘gerakan sosial di Indonesia akan sulit menemukan kepeloporan sejenis seperti Podemos karena tidak memiliki keistimewaan yang sama berupa “konsentrasi kemarahan” (gerakan 15-M/Indignados)’. Ia kemudian secara karikatural mendeskripsikan posisi saya yang dianggap berpendapat bahwa Podemos, ‘tidak relevan untuk dijadikan sebagai referensi pembangunan partai elektoral gerakan sosial di Indonesia karena basis material yang kita miliki tidak sama dengan gerakan sosial di Spanyol.’
Pembacaan serampangan atas lawan yang hendak dikritik melalui pemlintiran argumen, tentu saja adalah cara berdebat yang menyedihkan. Saya secara explisit barargumentasi bahwa Podemos harus dilihat sebagai ‘referensi signifikan bagi pembangunan partai elektoral gerakan sosial di Indonesia’. Akan tetapi, posisi argumentasi saya adalah Podemos harus dilihat sebagai suatu fenomena yang menyejarah dengan keberadaan agensi politik yang mencoba merespons situasi kesejarahan yang ada. Tanpa bermaksud untuk mengulang-ulang argumen dalam artikel sebelumnya, bagi saya Podemos adalah ‘suatu proses intensional dalam elemen-elemen Indignados yang menghendaki sistematisasi politik atas tuntutan massa yang sudah terbangun melalui gerakan indignados itu sendiri’.
Posisi ini, bagi saya, lebih mampu untuk memberikan petunjuk perihal bagaimana respon praktis yang dapat dilakukan gerakan sosial Indonesia dalam membangun partai elektoral mereka sendiri. Saya menyebut respon ini dalam bentuk kepeloporan sebagai penanda atas adanya inisiatif agenda politik terdepan, yang diterima dalam konfigurasi internal gerakan sosial itu sendiri, yang dengannya mendorong maju dinamika gerakan sosial tersebut untuk kemudian bertransformasi menjadi gerakan politik. Proses inilah yang memungkinkan mediasi bagi kesenjangan posisi antara gerakan sosial dengan gerakan politik. Bagi saya, inilah ekstrak praktis yang dapat digunakan oleh gerakan sosial di Indonesia setelah melakukan pembacaan teoritis atas Podemos sebagai sebuah fenomena sejarah. Bahwa harus ada elemen gerakan sosial Indonesia yang mengupayakan dirinya untuk melakukan kepeloporan politik.
Laitte mengeluhkan bahwa posisi ini sebagai suatu bentuk ‘ketidakcermatan’, dimana ia menunjukkan bahwa masih banyak elemen-elemen dalam Indignados sendiri yang tidak bersetuju dengan Podemos. Pandangan ini mungkin terdengar logis, tapi hal ini sebenarnya hanya menunjukkan kenaifan Laitte dalam melihat dinamika gerakan sosial. Tidak pernah ada dalam sejarah dimana terjadi penyatuan total dalam tubuh gerakan sosial! Hal ini karena memang karakter inheren dalam gerakan sosial dimana-mana selalu heterogen dan berjejaring secara longgar. Akan tetapi ketiadaan kondisi penyatuan total ini bukannya tidak memungkinkan kemunculan suatu kepemimpinan politik yang hegemonik (baca: kepeloporan) dalam gerakan sosial itu sendiri. Adalah sangat dangkal untuk menyatakan bahwa proses ini, sebagaimana dinyatakan oleh Laitte, ‘semudah membalik telapak tangan’. Akan tetapi ketidakmudahan proses tersebut bukan berarti tidak dipahami logika kerjanya. Harus diakui, pengalaman Podemos terhadap Indignados adalah ada suatu proses logika hegemonik. Disinilah argumen Laitte yang menganggap Podemos memisahkan antara gerakan sosial dengan gerakan politik adalah sepenuhnya keliru. Karena yang dilakukan oleh Podemos justru melakukan politisasi terhadap ketidakpuasan yang bersifat common sense dari gerakan sosial yang diniatkan untuk mengintegrasikan aspirasi tersebut ke dalam tubuh politik Podemos.
Kekeliruan inilah yang kemudian membuat Laitte, alih-alih memberikan petunjuk mengenai bagaimana kita belajar tanpa ‘menjiplak’, justru secara implisit menyarankan kita untuk menjiplak pengalaman Podemos. Hal ini, setidaknya, dapat dilihat pada pernyataan terakhir dia dimana ‘pengalaman Podemos tidak berarti apa-apa selain memberikan kita pelajaran bahwa partai alternatif dapat membangun model keterwakilan baru yang memungkinkan warga negara yang selama ini tidak terwakili oleh sistem politik, seperti kalangan muda, pengangguran dan golongan putih (golput) memiliki hak dalam menentukan nasib mereka sendiri’. Bagi banyak simpatisan politik kiri, gagasan ini memang sangat menggoda. Namun pertanyaan krusialnya kemudian, mengapa kita harus membangun model keterwakilan baru ini? Apakah karena di Podemos berhasil maka kita harus mengintrodusir model ini dalam pengalaman kita? Untuk itu, saya melihat bahwa suatu penawaran atas ekspresi politik tanpa memberikan penjelasan mengenai konteks sejarah dari ekspresi politik adalah suatu tindakan yang tidak memberikan pembelajaran apapun.
Tentu saja pengalaman keterwakilan baru Podemos bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Laitte menganggap saya telah melakukan penekanan yang keliru dengan menyandingkankan Podemos dengan Serikat Buruh, namun bagi saya perbandingan ini sendiri adalah kunci untuk memamahi kemunculan modus keterwakilan baru dalam Podemo. Kebuntuan atas model representasi sosial melalui Serikat Buruh yang sudah mengalami kooptasi politik korporatisme Negara memfasilitasi Podemos untuk memilih format keterwakilannya sendiri untuk mengatasi kerangkeng politik yang dialaminya. Model keterwakilan yang terstruktur dan hirarkis ala Serikat Buruh justru, dalam konteks konjungtur perkembangan politik Spanyol, membatasi upaya politisasi common sense yang sudah terkulminasi dalam gerakan sosial indignados. Oleh karena itu, jika kita benar-benar hendak belajar dari Podemos perihal keberhasilan mereka membangun modus representasi sosial yang mampu memikat orang banyak untuk terpolitisasi, kita justru harus melihat kembali bagaimana representasi sosial di Indonesia tengah berproses.
Problem terbesar Laitte dalam upayanya mengajukan Podemos sebagai pembelajaran politik gerakan sosial Indonesia karena absennya penjelasan sosio-historis Podemos itu sendiri. Karena ketiadaan konteks sosio-historis ini, tidak ada ruang konkrit yang dapat direfleksikan dalam pengalaman kita sendiri di Indonesia. Sebenarnya, ada problem epistemologi pengetahuan kiri di sini. Karena ketiadaan ruang konkrit yang menyejarah, subjek yang melihat situasi kesulitan untuk menempatkan dirinya dalam objektivitas realitas yang tengah diamati. Hal inilah yang menyebabkan penjelasan yang diajukan tidak memiliki posisi politik yang jelas pada bagaimana pengalaman Podemos dapat berguna bagi pengalaman gerakan sosial kita.
Walau begitu, problem ini tidak dapat direduksi semata sebagai suatu masalah personal, namun harus dilihat sebagai sesuatu yang terkait dengan tendensi politik pegetahuan kiri yang tengah berkembang di Indonesia. Berapa banyak dari kita yang sering mengulang-ulang rapal Tesis ke-11 Marx. Namun, sayangnya, rapalan ini lebih berguna sebagai motivasi penambah iman militansi dibandingkan sebagai posisi epistemologis kita sebagai yang berpengetahuan secara kiri dalam melihat setiap kenyataan. Adalah sangat penting kemudian untuk bisa ‘melakukan apa yang kita khotbahkan’. Disinilah kita kemudian bisa keluar dari perdebatan tanpa juntrung ala ‘masturbasi intelektual’ ke debat pengetahuan kiri yang produktif dengan pengalaman Podemos sebagai ruang kontemplasinya.***
Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)