Belajar dari Podemos

Print Friendly, PDF & Email

Tanggapan Untuk Muh. Ridha dan Zely Ariane

DALAM beberapa waktu terakhir ini, IndoPROGRESS menurunkan serial artikel tentang wacana pembentukan partai alternatif. Di antaranya tulisan dari Zely Ariane dan Muhammad Ridha, yang menurut saya merupakan pengantar yang baik dalam mendiskusikan gagasan tentang partai alternative tersebut. Namun demikian, menurut saya, tulisan Ridha belum memotret realitas struktural yang melingkupi masa depan pembentukan partai alternatif secara utuh. Keberatan utama saya adalah perang suci melawan oligarki dan kebijakan neoliberal tidak berhenti seketika melalui penyatuan elemen gerakan yang selama ini terserak-serak. Lebih jauh, diskursus ini juga harus memperhitungkan modal dan perangkat yang tersedia untuk menghadang oligarki dengan jejaring pengaruh yang sangat kompleks sampai tingkatan akar rumput. Melawan perangkat politik dan ekonomi yang berlimpah dengan optimisme belaka, bagi saya, adalah becandaan garing yang tidak lucu. Selain gagasan dan konsistensi gerakan, kalkulasi politik yang akurat juga sangat dibutuhkan agar langkah ini tidak berakhir tragis dengan menjadi partai gurem atau bahkan gagal ikut pemilu karena tidak memenuhi ambang batas parlemen nasional (parliamentary tresshold). .

Pada konteks yang lain Argumentasi Zelly Ariane dan Ridha yang menjustifikasi semakin kuatnya gerakan perlawanan rakyat sebagai cerminan kuatnya partai politik yang akan dibentuk adalah sesuatu yang kurang tepat. Pengalaman gerakan sosial dan pembangunan institusi politik adalah dua hal yang berbeda. Mengorganisir massa rakyat untuk turun ke jalan ataupun mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap negara tentunya tidak dapat disamakan dengan meyakinkan massa rakyat untuk datang ke bilik suara dan menggunakan hak suaranya.

Untuk menjabarkan secara rinci pokok-pokok keberatan saya di atas, kita dapat berkaca pada praktek pengorganisiran rakyat yang dilakukan oleh partai Podemos di Spanyol. Cikal bakal dari partai ini berasal dari sebuah gerakan protes yang bernama indignados. Gerakan sosial ini menyerang tatanan politik Spanyol yang selama itu dikuasai oleh Partai Sosial demokratik PSOE dan partai konservatif Partido Popular. Slogan ‘no nos representan’ (mereka tidak mewakili kita) digunakan sebagai simbol kekecewaan mereka terhadap kebijakan partai yang berkuasa yang menggunakan resep neoliberal untuk mengatasi krisis ekonomi melalui pemotongan anggaran, penghematan, dan pengurangan gaji buruh. Uniknya, gerakan protes ini tidak berakhir menjadi apatisme massal. Deligitimasi terhadap negara digunakan sebagai peluang untuk menciptakan institusi politik alternatif yang mampu menjadi saluran kekecewaan dan kemarahan rakyat Spanyol. Seakan tak ingin menyia-nyiakan momentum kemenangan partai sayap kiri Syriza di Yunani, Podemos bertransformasi dengan cepat lalu menjadi sebuah partai yang mengejutkan publik Eropa dengan meraup 1,25 juta pemilih dan menempatkan 5 wakilnya pada parlemen Uni Eropa.

Dalam sebuah wawancara, Eduardo Maura (profesor filsafat di Universitas Complutense Madrid sekaligus perwakilan Podemos untuk dunia internasional) mengatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan Podemos adalah ketika mereka mampu melampaui metaphora tradisional ‘Kiri’ dan ‘Kanan’ dengan memilih diskursus demokrasi populer melalui ruang partisipasi yang lebih luas.[1] Meskipun para pendirinya dibesarkan dalam tradisi sosialisme yang kuat, mereka tak mau menyebut diri mereka sebagai partai sayap kiri.

Untuk melebarkan sayap dan meraup suara sebanyak-banyaknya, Podemos secara teratur membangun komunikasi dengan masyarakat yang bukan aktivis, cenderung apolitis, bahkan tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari kaum ‘kiri’. Secara operasional, model partisipasi ini mengejawantah dalam bentuk wadah virtual yang mereka sebut circulos (lingkaran), dimana dalam kelompok tersebut mereka dapat berkomunikasi secara online untuk mengambil keputusan. Wadah ini memperbincangkan aspek-aspek konseptual sampai aspek tekhnis, seperti penetapan kandidat yang akan mereka usung dalam pemilihan lokal. Sampai hari ini terdapat lebih 1000 circulos yang tersebar di seluruh penjuru Spanyol. Sesuai dengan tagline politik yang mereka gunakan participatipation, “a new way of doing politics”.

Kunci kesuksesan yang lain adalah popularitas pemimpinnya, Pablo Iglesias. Penampilan fisiknya yang tergolong eksentrik (rambut panjang yang dikuncir, tidak pernah memakai dasi, dan sering memakai celana jins), menjadi modal tersendiri karena dianggap sebagai antitesa dari pejabat publik pada umumnya. Pablo Iglesias meninggalkan kursi empuknya sebagai akademisi kampus untuk memulai debut politiknya sebagai presenter acara program politik. Berkat kepopulerannya ini, ia membentuk partai politik yang mampu menarik pemilih dari kaum kiri yang kecewa terhadap PSOE (Partai buruh sosialis Spanyol) dan masyarakat yang kecewa terhadap sistem politik yang ada. Meskipun atribut populis dan inkompeten seringkali dilekatkan kepadanya, namun satu hal yang penting adalah partai ini mampu menyuarakan kebutuhan utama dari rakyat yang mereka representasikan.

Apakah pengalaman politik Podemos ini realistis untuk dijalankan dalam konteks Indonesia? Meskipun dengan kualitas yang berbeda, tantangannya menurut saya hampir sama yaitu masih kuatnya semangat ‘anti-partai politik’. Pasca reformasi, habitus seperti ini telah menjadi cara pandang mainstream bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Sayangnya, kekecewaan ini tidak memiliki saluran untuk diekspresikan. Masyarakat kita cenderung menganggap bahwa silih bergantinya partai yang datang dan pergi hanya menjadi milik para elit yang tidak merepresentasikan kepentingan mereka.

Meskipun secara statistik partisipasi politik kita masih cenderung tinggi (di atas 75 persen), namun riset-riset perilaku pemilih cenderung menyimpulkan bahwa political party identity (Party ID) kita masih cenderung rendah. Perilaku pemilih kita masih lebih banyak ditentukan oleh popularitas figur (Figur ID). Kemenangan Jokowi tanpa mengantongi dukungan mayoritas dari partai politik yang ada adalah bukti kesahihan tesis ini.

Apakah tidak ada peluang bagi lahirnya partai alternatif? Saya kira tidak. Jika kita mencermati situasi politik belakangan ini harapan itu bagi saya masih ada, terutama jika kita melihat semakin derasnya tekanan politik atas Jokowi, baik itu dari pihak oposisi maupun dari oligarki disekelilingnya. Hal ini semakin tampak jelas dari desas-desus yang dihembuskan oleh media tentang kemungkinan Jokowi untuk mencari kendaraan politik yang lain akibat tidak dikabulkannya keinginan elit-elit partai partai pengusung untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Kita tidak dapat menutupi bahwa sederet fakta seperti penetapan kabinet kerja, pembatalan pelantikan Budi Gunawan, sampai intervensi Jokowi terhadap penangguhan penahanan Novel Baswedan sebagai sinyalemen yang kuat atas ‘ketidakpatuhan’ Jokowi terhadap kelompok oligarki yang melingkupinya. Inkonsistensi yang ditunjukkan oleh Jokowi sehingga menciptakan kegaduhan politik mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi dari banyak pihak, namun jika kita melakukan kalkulasi politik yang objektif maka relasi patron-client pada pemerintahan Jokowi yang selama ini dialamatkan kepadanya butuh ditinjau kembali.

Konfigurasi pasca politik elektoral mungkin sering dihujat karena masih memenangkan oligarki sebagai ruling class namun kita tidak dapat menafikan peluang di tengah konflik yang lahir atas fraksi-fraksi modal yang cukup heterogen. Pertarungan oligarki dalam memenangkan opini publik di media mereka masing-masing, merupakan gejala yang sangat khas untuk menandai multipolaritas kekuasaan di republik ini.

Poulantzas menamakan krisis ini sebagai krisis hegemoni di dalam blok kekuasaan dimana tidak ada kelas ataupun fraksi yang dapat memaksakan kepemimpinannya terhadap fraksi yang lain.[2] Menurut hemat saya, kondisi ini merupakan peluang bagi lahirnya perubahan yang signifikan jika dibarengi dengan strategi perjuangan yang tepat. Peluang ini mungkin saja akan lenyap jika massa rakyat tidak dapat mengorganisir diri dan mentransformasikan diri menjadi kekuatan sebelum fraksi-fraksi modal yang berkonflik mampu menemukan titik kompromi dan tercipta reorganisasi struktural dalam blok kekuasaan. Kondisi ini memungkinkan melihat tidak berjalannya mekanisme hegemoni yang dijalankan negara karena digantikan oleh hegemoni media yang dibiayai oleh fraksi modal yang berkonflik.

Bersatunya seluruh elemen gerakan rakyat saya anggap sebagai hal yang ideal. Namun demikian apakah kita akan menunggu semuanya berjalan secara alamiah? Saya rasa tidak, kontradiksi internal yang sedang bergejolak dalam blok kekuasaan ini tidak akan menunggu sampai hal ideal tersebut tercipta. Sebelum memperdebatkan apakah penyatuannya berbasis kesamaan program sebagaimana yang diusulkan Ridha ataupun penyatuan bersyarat keragaman dan praksis yang diusulkan oleh Zely Ariane, wadahnya (partai politik) harus tersedia terlebih dahulu. Kita harus memahami bahwa visi ataupun platform bersama adalah sebuah konsep senantiasa mencari bentuk. Konsep yang senantiasa disempurnakan melalui dinamika praksis politik secara terus menerus.

Hal ini akan semakin kuat jika dibarengi dengan kelihaian figur pemimpin politiknya dalam mengombinasikan pragmatisme dan idealisme melalui pesan politik yang jelas terukur sehingga dapat diterima oleh semua pihak, terutama pihak yang masih alergi dengan kategorisasi ‘Kiri’ dan ‘Kanan’. Sebagai sebuah ilustrasi, saya ingin mengutip kata-kata Pablo Iglesias saat mengajar mahasiswanya. Katanya, suksesi politik adalah tentang menghubungkan hal-hal ideal dengan kebutuhan mayoritas masyarakat. Untuk meyakinkan masyarakat Rusia, Lenin tidak bicara tentang “dialektika materialisme historis”, dia bicara tentang “roti dan perdamaian!”.***

 

Penulis adalah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan peneliti di Philoshopia Institute Makassar.

 

——–
[1] Parker and Mountain (2014). Beyond Left and Right, an Interview with Eduardo Maura of podemos. Platypus Review diambil dari http://platypus1917.org/2014/12/01/mas-alla-de-la-izquierda-y-la-derecha/

[2] Poulantzas, Nicos. 1978. Political Power and Social Classes.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.