MENDENGAR nama Karl Marx, yang berkelebat dalam kepala kita adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang digambarkan sebagai brutal dan biadab oleh Orde Baru Soeharto. Tulisan ini, tidak secara langsung, hendak meluruskan kesalah anggapan tersebut. Tapi lebih sebagai catatan pribadi saya selama bersentuhan dengan pemikiran Marx di masa remaja. Di suatu waktu jauh di belakang kita, di awal reformasi. Dimana berbagai gagasan dan pengetahuan tentang Marx dan Marxisme dimungkinkan kembali untuk dipelajari.
Saat itu sebagai remaja di kota pelajar Yogyakarta, menemukan buku-buku Marxis tidaklah sulit. Siapapun bisa mencarinya di banyak toko buku atau di perpustakaan Ignatius Loyola. Selain cerita silat karangan Asmaraman S. Ko Ping Hoo, hampir almari saya penuh oleh copy-an buku-buku Marx, juga berbagai buku pengantar Marxisme yang sedang ramai diterbitkan. Namun di antara semuanya, buku yang paling mengesankan bagi saya adalah karangan Klasik Nyoto, ‘Marxisme Ilmu dan Amalnya’[1]. Selain ‘Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme’ karangan Romo Magnis dan ‘Tentang Marxisme’ karangan D.N. Aidit, buku Nyoto tersebut beredar secara luas dalam bentuk fotocopy di kalangan aktivis di Yogya. Buku tersebut menarik, selain ringkas dan terang bagi para pemula untuk menjelaskan butiran-butiran pemikiran Marx dari seseorang yang membaca dan mengamalkannya, juga terdengar islami di telinga saya sebagai seorang santri.
‘Ilmu dan Amalnya’.[2] Tak ada santri yang tak terkesima dengan dua kata tersebut. Yang persis sama dengan sabda Nabi yang sangat masyhur: “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya”. Atau sebagaimana diungkapkan sayyidina Ali bun Abi Thalib, “ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Hubungan Ilmu dan Amal ini persis seperti hubungan Iman dan Amal.[3] Keduanya tak bisa dipisahkan, merupakan satu kesatuan. Lebih-lebih kata ilmu dan berbagai kata turunannya banyak sekali disebut dalam al-Qur’an. Karena itu kata ‘ilmu’ dan ‘Amalnya’ sangat menakjubkan bagi saya.
Dengan judul itu juga, Nyoto telah dengan tepat menggambarkan wajah utama dari seluruh bangunan pemikiran dan ikhtiar perjuangan Marx, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Marx: The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point, however, is to change it.[4] Suatu tugas mulia seorang pemikir untuk tak hanya memikirkan dunia tapi mengubahnya menjadi lebih baik bagi manusia.
Saat itu, di antara sekian banyak remaja yang membaca Marx, mungkin saya merupakan salah satu dari mereka yang mendekati Marx, pertama-tama, bukan sebagai filsuf dengan gagasan-gagasan agungnya, melainkan sebagai seorang pribadi. Pribadi yang mengagumkan. Mungkin kekaguman saya pada Marx, –agar terdengar ilmiah–, bisa juga dijelaskan melalui ungkapan Eric Fromm, yang melihat Marx sebagai pemikir yang ‘menempatkan pentingnya faktor manusia dalam karyanya’ (At every stage of his work he emphasized the importance of human factor).[5] Bahkan, di kalangan aktivis saat itu banyak yang mengatakan, seandainya ada nabi di abad modern maka Marx lah yang paling layak menjadi nabi tersebut.
Saking kagumnya, saya pun membuat resensi atas karya Nyoto tersebut dan tulisan singkat untuk mading pesantren berjudul “Marx dan al-Ghazali”. Tulisan yang terakhir lebih berisi cerita tentang ibu saya yang mengira gambar Marx di kaos yang saya pakai sebagai gambar al-Ghazali. Karena memang rambut dan jenggot kedua tokoh tersebut sekilas terlihat mirip. Sama-sama panjang dan acak-acakan. Ibu bahagia sekali melihatnya. Saking senangnya hingga cerita ke saudara kalau saya santri tulen, sampai memakai kaos bergambar al-Ghazali. Saya diam dan bahagia melihat ibu bahagia. Karena memang Marx dan al-Ghazali begitu dekat di hati saya. Keduanya layak menjadi tauladan. Selain rambut dan jenggot, mereka juga punya banyak kemiripan. Sama-sama tekun belajar dan memilih hidup melarat. Tapi mungkin al-Ghazali lebih zuhud ketimbang Marx. Marx masih punya Jenny von Westphalen, semantara al-Ghazali hidup membujang hingga akhir hayatnya.
***
Nyoto lah, saya kira, melalui karyanya, yang mampu menggambarkan dengan baik pada sisi apakah Marx itu pantas menjadi tauladan yang baik (uswah hasanah). Di bab pertama ‘Marxisme Sebagai Ilmu’, Nyoto menjelaskan cara kerja ilmiah Marx dengan mengutip kembali Paul Lafargue dalam karyanya, Reminiscences of Marx. Di situ diceritakan, sebagai seorang pemikir Marx sangat hati-hati dan cermat. Marx tak akan membicarakan sesuatu yang belum dipelajarinya dengan sungguh-sungguh. Ia tak pernah menerbitkan satu pun karya sebelum meninjaunya kembali berulang-ulang hingga menemukan bentuk yang paling tepat. Bahkan, Marx tak pernah muncul di depan publik sebelum ia memiliki persiapan yang cukup.[6]
Lebih lanjut, Nyoto menjelaskan, Marx mempelajari cukup banyak bahasa untuk kepentingan pekerjaan ilmiahnya. Dia bisa mengarang dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis dengan sangat bagusnya. Dia juga membaca Dante dalam bahasa Italia dan membaca Demokritos dalam bahasa Yunani, dia mengerti bahasa Belanda dan bahasa Hongaria, bahasa Denmark dan bahasa Spanyol. Dan ketika berusia 50 tahun, dia merasa masih cukup muda untuk mulai mempelajari bahasa Rusia, dan enam bulan kemudian dia sudah pandai menikmati syair-syair Puskin dan novel-novel Gogol dalam bahasa aslinya.[7] Saya bayangin, kalau di pesantren Marx pasti sudah digelari al-alim allamah karena kecerdasan dan penguasaannya atas banyak bidang pengetahuan.
Bahkan, saking jeli dan rajinnya, berbeda dengan kita, Marx tidak menyusun buku-buku di dalam lemari bukunya menurut ukuran besarnya atau ukuran tebalnya, juga tidak menurut serinya, melainkan menurut isinya, sesuai dengan kebutuhan pekerjaannya.[8]
Diceritakan betapa dia kurang makan roti, tetapi tidak pernah dia kurang makan bacaan. Bukunya di rumah cukup banyak, buku-buku yang dia himpun dengan teliti selama beberapa puluh tahun. Dan ketika dia bertandang ke kota-kota besar, ke Berlin atau London, ke Amsterdam atau Paris, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk ‘menjelajahi’ isi bibliotek dari museum-museum di kota-kota tersebut. Ini berbeda dengan pemuda saat ini ketika melancong yang dicari adalah café terbaik untuk menghabiskan malam dengan sebungkus rokok dan segelas kopi. Atau malah berherap-harap menemukan kekasih baru di kota baru.
Namun demikian, Nyoto mengingatkan bahwa kejeniusan Marx bukanlah ‘bisikan wahyu,’ melainkan hasil dari pekerjaan yang luar biasa, keuletan, ketekunan, ketelitian dan ketajaman otak.[9] Persis sebagaimana kiai saya dulu mengatakan bahwa kejeniusan al-Ghazali, dan Imam Syafii, bukanlah karena ilmu laduni yang given sebagaimana umum dipercaya banyak orang, melainkan buah dari kerja keras dan ketekunan belajar. Marx, meski sebagian besar waktunya digunakan untuk penyelidikan di lapangan ekonomi hingga melahirkan karya agungnya, Das Kapital,[10] perhatiannya tak hanya terbatas pada soal-soal kemasyarakatan tapi merambah pada ilmu-ilmu alam pada umumnya, seperti matematika dan biologi.
Sebagai tambahan, ini penting khususnya bagi santri! Untuk mengetahui secara umum sosok Marx, Pidato Engels di saat pemakaman Marx, saya kira cukup mampu menggambarkan seperti apa sosok Marx yang jauh sekali dengan yang sering diomongin Taufiq Ismail.
“Misi hidupnya adalah untuk menyumbang dengan satu cara atau cara lainnya untuk menggulingkan masyarakat kapitalis… untuk menyumbang bagi pembebasan kaum proletariat masa kini yang untuk pertama kalinya didasarkan oleh Marx akan kedudukan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, akan kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka mendapatkan kebebasannya. Perjuangan adalah salah satu unsur Marx. Dan ia berjuang dengan suatu semangat, suatu kegigihan dan suatu keberhasilan yang hanya sedikit orang yang dapat menyamainya… dan karenanya menjadi orang yang paling dibenci dan paling banyak difitnah pada masanya… ia meninggal, dicintai, dipuja dan ditangisi oleh berjuta-juta teman-teman pekerja yang revolusioner dari pertambangan-pertambangan di Siberia sampai pantai-pantai California, di semua tempat-tempat di Eropa dan Amerika… namanya dan karyanya akan terus abadi sepanjang zaman”.[11]
“Perjuangan adalah salah satu unsur Marx”. Ungkapan Engels tidaklah berlebihan untuk menilai Marx. Mungkin ia merupakan sedikit dari filsuf-pejuang yang mampu mengaitkan antara teori dan praksis. Ia tidak menulis sebagaimana penulis kebanyakan saat ini yang hanya mengejar akreditasi atau menulis karena pesanan donor. Ketika Das Kapital baru saja terbit, penerbitnya membayar honorarium yang begitu kecilnya kepada Marx sehingga, kata Marx sendiri, honorarium itu tidak cukup buat membeli rokok yang diisapnya selama dia menyelesaikan Das Kapital.[12] Karena memang ia menulis bukan mau tenar dan kejar honor saja. Tapi jihad membela manusia.
Ilustrasi diambil dari https://netivist.org
***
Apa itu yang disebut dengan meneladani Marx?
Tentu saja, tanpa harus mengkultuskan pribadi Marx bak nabi. Tetapi, pertama, mengamalkan cara kerja ilmiah Marx, yang oleh Marx dikatakan mempunyai lima tingkatan: penyelidikan, percobaan atau eksperimen, pencatatan, perenungan, dan penyimpulan atau penggeneralisasian.[13] Kedua, menyatukan teori dan praktik. Karena menjalankan salah satunya, atau membangun separasi di antara kedunya, telah dengan sendirinya offside dari apa yang dibangun Marx. Ketiga, hidup ugahari. Bagaimana kita hendak memperjuangkan nasib kelas pekerja kalau cara hidup kita lebih borjuis ketimbang kaum borjuis itu sendiri. Persis dai-dai yang latah dakwah tentang kehidupan nabi yang tidurnya di atas pelepah kurma sementara dirinya sendiri tidur di atas spring bed yang mahal dan nyaman. Cerita nabi naik onta yang sangat kurus dan jelek sementara dirinya naik mobil keluaran terbaru yang sangat mahal.
Di tengah situsai global saat ini, yang secara umum penuh dengan janji kebahagiaan semu oleh kapitalisme yang kemaruk dan terus menjalar ke rongga paru-paru kehidupan kita, bagi saya, meneladani Marx juga berarti bahwa perjuangan tak cukup hanya dengan kepalan tangan dan pekik perlawanan jika tanpa mengelaborasi kondisi mutakhir kapitalisme. Menjadi Marxis juga harus menjadi seseorang yang terbuka dengan banyak gagasan-gagasan baru yang datang belakangan jauh setelah Marxisme. Bukannya beringsut dari persoalan mutakhir sebagaimana seorang Marxis militan hanya memberi solusi revolusi dengan slogan: ‘apapun masalahnya revolusi solusinya’ yang persis sama dengan iklan di tv, ‘apapun makanannya teh botol sosro minumnya.’
Seorang Marxis yang baik mesti mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang terus berkembang. Seperti munculnya sistem baru yang disebut David Harvey sebagai “akumulasi fleksibel”, yakni makin berkuasanya modal keuangan internasional di atas negara bangsa yang semakin mandul; globalisasi pasar tenaga kerja yang menyebabkan semakin cepatnya migrasi tenaga kerja murah asing dan melemahnya gerakan serikat pekerja; penyempitan ruang dan waktu melalui inovasi teknologi. Semua itu mesti diberikan jawabannya;[14] Semakin terorganisirnya kapitalisme secara ketat melalui persebaran, mobilitas geografis, dan respon luwes terhadap pasar tenaga kerja, proses-proses perburuhan, dan pasar konsumen, yang semuanya dibarengi dengan begitu besarnya inovasi institusional, produk dan teknologi.[15]
Dan yang tak kalah penting, meneladani Marx dan membaca Marxisme, bukan demi terlihat gagah, apalagi pongah dan menakutkan bagi banyak orang. Tapi tugas maha berat memanggul kembali harapan Marx untuk mengubah dunia yang lebih berkeadilan dan damai bagi seluruh umat manusia. Marxisme mesti didekati sebagai ilmu, bukan dogma. Maka itu setiap tafsir, elaborasi atas pemikiran Marx, peng-amal-an atas pemikiran Marx dan pekik perlawanan atas ketidakadilan dan ketimpagan yang diciptakan kapitalisme, haruslah dimaknai sebagai ikhtiar mengubah dunia menjadi lebih baik dan damai. Marx merupakan pribadi tawadlu. Kejeniusannya, menurut saya, campuran antara kerja keras dan ke-tawadlu-annya, sampai-sampai ia mengatakan: Ich bin kein Marxist. Dengan itu, saya kira, ia hendak mengatakan bahwa orang tak boleh mandeg, jumud, dan sekedar taklid buta, tapi mesti terus menggali dan mengoreksi modus produksi kapitalisme.
Ini sama dengan ketika kita membaca ayat “dzalika al-kitab la raibafihi” di awal surat al-Baqarah yang berarti: “tidak ada keraguan di dalamnya (kitab al-Qur’an)”. Bukan berarti sama sekali tidak boleh menyangsikannya, atau sekedar bertanya. Tidak! Justru dengan bertanya itulah seseorang akan sampai pada keyakinan yang kokoh. Karena menjadi seorang marxis tidaklah sama dengan cheerleaders yang kerjanya hanya sorak saja. Tapi membuktikan bahwa sosialisme ilmiah Marx, benar-benar ilmiah. Kalau memang benar sosialisme ilmiah Marx relevan untuk semua tempat dan waktu sebagaimana diungkapkan Nyoto, maka tugas seorang marxis adalah mampu menunjukkan letak kesahihan sosialisme ilmiah Marx. Jangan sampai sama dengan ustad-ustad di tv yang mengatakan “Islam salih li kulli zaman wa makan,” Islam benar di tiap waktu dan tempat. Namun gagal menujukkan kebenarannya. Seorang Marxis yang baik, sama dengan seorang Muslim yang baik, yaitu mampu menjelaskan kebenaran apa yang dipeganginya dengan bukti-bukti objektif.
Saya tak pernah menganggap Marx tengah menggelar gagasannya untuk sekedar dirapal, semacam mantra mujarab yang dengan mengutipnya maka selesai semua persoalan. Maka kita tak perlu heran jika suatu saat nanti ada yang men-syarah (memberi komentar) “Theses on Feurbach” dan “Manifesto Komunis” dengan berbagai lapangan pengetahuan baru yang tengah berkembang. Juga jangan menuduhnya sebagai ahlul bid’ah (bidaah), seandainya nanti ada anggota MUI yang menafsir Marx dengan kaedah fiqihnya. Siapa tahu ada.
Marx, melalui Nyoto (tentu juga Aidit), telah menjadi teman seperjalanan saya di masa remaja, di sela-sela mengaji di pesantren. Sedemikian, Marx, selain jenggot dan rambutnya yang acak-acakan serta kemalangan hidupnya. Ketimbang meneladani artis semacam Raffi Ahmad dan Syahrini atau politisi semacam Ruhut Sitompul, Marx layak menjadi taudalan semuanya, wa bil khusus bagi remaja.
Tambahan: Marx tak pernah hidup ugal-ugalan sebagaimana sering diomongin Taufiq Ismail.
Wallahu’alam bi al shawab***
Penulis aktif di Litbang Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
Esai pernah disampaikan dalam diskusi Rabu-an Kelompok Epistemik SALIK (Santri Anti Liberalisme dan Kapitalisme).
—————-
[1] Semua referensi buku Nyoto dalam tulisan ini saya memakai fersi pdf yang ditulis ulang oleh Edi Cahyono.
[2] Ilmu (al-ilm) berasal dari bahasa Arab, bentuk masdar (kata kerja yang dibendakan) yang berarti pengetahuan, dari fiil madhi (kata kerja lampau) alima dan fiil mudlari (kata kerja sedang/yang akan datang) ya’lamu. Di dalam kamus Arab Lisan al-Arab dijelaskan bahwa al-ilmu merupakan lawan kata al-jahlu yang berarti tidak tahu.
[3] Hubungan iman dan amal lihat. QS. Al-Ashr:1-3, QS. Al-Kahfi: 107, QS. Ar-Ra’d: 29.
[4] Karl Marx, Theses on Feurbach, dalam Selected Work. Vol. II, Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1962, hlm. 405.
[5] Eric Fromm, Marx’s Consept of Man, New York: Frederick Ungar Publishing Co, 1966, hlm. 5.
[6] Nyoto, Marxisme Ilmu dan Amalnya, Jakarta: Harian rakyat, 1962, hlm. 7. “Tidak hanya dia tidak akan mendasarkan diri pada fakta yang belum sepenuhnya diyakininya, dia tak akan memperkenankan dirinya berbicara tentang sesuatu sebelum dia mempelajarinya dalam-dalam. Dia tidak pernah menerbitkan satu pun karya dengan tidak berulang-ulang meninjaunya kembali sampai dia menemukan bentuknya yang setepat-tepatnya. Dia tidak pernah muncul di depan umum tanpa persiapan secukupnya”
[7] Ibid, hlm. 6.
[8] Ibid, hlm. 7.
[9] Ibid, hlm. 7.
[10] Capital, misalnya, dikerjakan Marx selama empatpuluh tahun. Ibid, hlm. 7.
[11] Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx, Surabaya: Pustaka Promethea, 2000, hlm. 431-432.
[12] Opcit, hlm. 8.
[13] Ibid, hlm. 5.
[14] Lih. David Harvey, The Condition of Postmodernity: an enquiry into the origins of cultural change, oxford, 1989.
[15] Ibid, hlm. 159