PEMERINTAHAN Kiri SYRIZA di Yunani, akhirnya memutuskan untuk menyelenggarakan referendum pada tanggal 5 Juli nanti. Tujuannya untuk memutuskan apakah Yunani harus menerima atau menolak proposal talangan ekonomi (bailout) yang ditawarkan oleh Troika (Uni Eropa, Bank Sentral Eropa dan IMF). Refrerendum ini dilaksanakan sebagai buah dari kondisi impas lima bulan ‘negosiasi’ untuk menentukan fondasi program talangan ekonomi Yunani. Dengan referendum, SYRIZA hendak meneguhkan kembali mandat demokratis mereka dalam agenda anti pengetatan (austerity) neoliberal yang secara sistemik dilecehkan keberadaannya oleh Troika.
Betapa tidak, apa yang disebut sebagai ‘negosiasi’ pada dasarnya bukanlah proses negosiasi yang biasa kita pahami. Tidak ada relasi yang setara ketika perundingan dilakukan. Troika hadir sebagai ‘sang tuan’ dimana syarat serta ketentuan proposal sudah ditentukan sebelumnya. Belum lagi selama negosiasi, Troika menggunakan segala cara untuk memperlemah posisi ‘sang hamba’, yakni Pemerintahan Yunani yang dipimpin SYRIZA. Kampanye hitam mengenai ‘ketidakmatangan’ kepemimpinan SYRIZA serta propaganda ketakutan bahwa posisi ekonomi SYRIZA justru mengancam ekonomi rakyat Yunani adalah situasi yang lumrah selama proses negosiasi.
Keputusan untuk melakukan referendum tentu saja harus disikapi secara antusias bagi siapapun yang menghendaki transformasi ekonomi politik di Yunani. Referendum ini sendiri memberikan pukulan serius terhadap salah satu pilar ideologis kebijakan publik neoliberal yang mengimani isolasi serta netralitas pilihan ekonomi dari pengaruh politik. Di era ketika neoliberalisme seakan menjadi ‘jalan hidup’ bagi para pengambil kebijakan, referendum ini setidaknya kembali menghadirkan kecerdasan publik mengenai kelit kelindan ekonomi dengan politik dan pentingnya masyarakat untuk menentukan proses ekonominya sendiri.
Walau begitu, kita perlu memahami secara mendalam konteks dimana referendum ini menjadi perlu bagi satu-satunya Pemerintahan Kiri Radikal di tanah Eropa. Perlu diperhatikan bahwa efektivitas serangan barbar Troika juga tidak dapat dilepaskan dari ‘ke-keraskepala-an’ SYRIZA sendiri yang memutuskan untuk tetap berada dalam skema Zona Eropa. Harus diiakui, sedikit banyak keputusan ini memperlemah daya tawar SYRIZA dengan figur dua utama, yakni Alexis Tsipras sebagai PM Yunani dan Yannis Varoufakis sebagai Menteri Keuangan, di meja perundingan. Ini tampak pada bagaimana selama rentang waktu negosiasi empat bulan yang dilakukan, SYRIZA banyak melakukan konsensi terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Troika. Proposal anti krisis SYRIZA yang sangat minimum dan bernafaskan ekonomi Keynesian, yang dikenal sebagai Program Thessaloniki, harus banyak dipreteli. Sampai dengan negosiasi paling terakhir, bahkan SYRIZA hanya mempertahankan poin upah dan pensiun sebagai program ekonomi minimumnya.
Tentu saja jalur konsesi yang ditempuh oleh para pimpinan berimplikasi pada meruncingnya perdebatan internal dalam tubuh SYRIZA sendiri. Faksi kiri radikal, seperti Platform Kiri dan Tendensi Komunis, menilai pilihan yang dilakukan para pimpinan di meja perundingan adalah suatu kemunduran. Faksi radikal SYRIZA tentu mengakui kesulitan serta keterbatasan yang akan dialami partainya ketika memegang tampuk kekuasaan. Mereka tanpa ilusi melihat bahwa fleksibilitas manuver adalah perlu untuk memastikan capaian politik radikal dimungkinkan dalam ruang politik yang ada. Namun bagi faksi ini, langkah ‘perdamaian’ yang ditempuh para pimpinan justru memperkecil ruang mobilisasi rakyat pekerja dalam melakukan perjuangan yang dibutuhkan untuk melawan operasi neoliberal melalui kebijakan pengetatan di Yunani.
Untuk mengatasi ketimpangan relasi kuasa dalam meja perundingan, faksi kiri radikal SYRIZA justru berpendapat Yunani secepat-cepatnya keluar dari kerangka ekonomi Uni Eropa. Bagi mereka, Euro sebagai institusi, tidak lebih sebagai perpanjangan tangan dari agenda kapitalisme neoliberal di Eropa, dimana setiap pilihan yang tersedia sudah selalu harus memprioritaskan kepentingan para pemodal besar. Inisiatif reformasi yang ditawarkan SYRIZA sudah barang tentu akan ditampik para penguasa Uni Eropa karena akan mengganggu proses akumulasi kapital mereka.
Bagi Marxis, argumen ini tentu bukanlah argumen yang salah. Akan tetapi kita perlu memeriksa lebih dalam mengenai apa yang yang membuat elemen pimpinan SYRIZA tetap keras kepala mempertahankan jalur Euro.
Perlu diketahui, mayoritas rakyat Yunani masih belum bisa melihat kemungkinan tata kelola ekonomi di luar Zona Eropa. Dalam kesadaran massa ini, kemungkinan untuk keluar dari Zona Eropa akan memperburuk gaya hidup mereka yang sudah mengalami kesulitan di era krisis ekonomi sekarang ini. Jangan lupa, salah satu alasan mengapa SYRIZA mampu memperluas basis dukungannya selama pemilu bukan sekedar pada penolakan mereka terhadap agenda pengetatan, tapi juga komitmen mereka untuk tetap mempertahankan posisi Yunani dalam skema Euro. Dalam situasi basis sosial seperti ini, jalur konsesi dianggap sebagai jalur yang paling mungkin ditempuh.
Kesadaran massa yang masih tertarik dengan Euro bukan melulu karena mereka masih terjebak dalam ilusi kelas berkuasa Eropa. Namun hal ini adalah refleksi dari kondisi material penyatuan struktur ekonomi Yunani terhadap ekonomi Eropa. Ekonomi Yunani yang banyak ditopang oleh sektor Pariwisata merupakan konsekuensi dari pembagian kerja Uni Eropa, dimana sektor produktifnya (alias sektor manufaktur) dikonsentrasikan di negara lain seperti Jerman dan Perancis. Keluar dari pengaturan ini berarti kehilangan sektor produktif yang selama ini mendukung kinerja ekonomi Yunani. Hal inilah yang membuat sistem moneter Yunani merupakan bagian dari sistem moneter Eropa itu sediri. Disinilah kita menemukan kerumitan yang baru sekaligus modern dari proses perjuangan kelas di Yunani, dimana ia beroperasi tidak dalam struktur tradisional negara kapitalis dengan institusi ekonomi yang memiliki kedaulatan sendiri.
Konteks ini juga sangat mempengaruhi bagaimana dinamika sepanjang referendum berlangsung. Mudah bagi kita untuk berpendapat bahwa mayoritas rakyat Yunani secara rasional akan memilih ‘Tidak’ karena ketidakrasionalan proposal pengetatan Troika. Namun situasinya tidak secerah itu. Masih banyak elemen dalam masyarakat Yunani, khususnya yang berasal dari kelas menengah ke atas, yang akan memutuskan untuk memilih ‘Ya’ karena mereka takut bahwa penolakan atas proposal Troika berarti adalah fase awal untuk keluar dari Euro. Belum lagi propaganda gencar kelas berkuasa, beserta instrumen media arus utama milik mereka, yang menyamakan penolakan proposal Troika dengan penolakan terhadap integrasi Euro. Tidak heran jika dalam ketidakmenentuan situasi sekarang ini, pasar taruhan global justru mengunggulkan pilihan ‘Ya’. Kondisi ini setidaknya menunjukkan bahwa secara realistis, rakyat Yunani akan memilih menerima proposal Troika dengan kebijakan pengetatannya tanpa harus takut terancam ditendang dari Euro.
Walau terdapat potensi kemunduran, politisasi rakyat di balik proses referendum lebih merupakan suatu keuntungan bagi proses perlawanan agenda anti pengetatan itu sendiri. Rakyat Yunani yang selama ini pasif mengikuti proses perundingan harus dipaksa untuk menentukan nasib mereka sendiri melawan kekuatan gigantis pro modal. Kemenangan pilihan ‘Tidak’ membuka kemungkinan untuk pendalaman radikalisasi rakyat Yunani sekaligus melihat kemungkinan politik di luar Euro yang sangat neoliberal, atau bahkan kapitalisme itu sendiri.
Argumen ini tentu saja terdengar sangat optimistis. Namun situasinya sendiri memang memungkinkan bagi hadirnya celah harapan bagi peningkatan kualitas politik radikal di Yunani. Dalam konteks merealisasikan harapan ini, solidaritas terhadap rakyat Yunani yang menolak agenda pengetatan neoliberal sangat diperlukan. Keraguan sebagian elemen masyarakat Yunani untuk menolak proposal Troika, hanya menunjukkan bahwa mereka masih melihat kesulitannya sebagai kesulitan mereka sendiri.Solidaritas terhadap rakyat Yunani, dengan demikian, merupakan pesan bahwa mereka tidak sendirian dalam melawan kediktatoran kapitalisme neoliberal ini.***