SEMBILAN perempuan telah dicanangkan oleh Jokowi sebagai Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam konteks konstelasi politik kita, keputusan politik Jokowi ini seperti membawa terobosan. Betapa tidak, ada retorika yang mengemuka mengenai perempuan sebagai kelompok sosial yang menjadi pelopor dalam upaya pengentasan korupsi sekarang. Sesuatu yang terkadang masih sangat rumit untuk dipahami mengingat begitu dominannya cara pikir patriarkis di Indonesia.
Harus diakui, memang ada realisme politik yang bekerja di balik fakta ini. Konfigurasi kekuatan yang beroperasi di sekitar Jokowi memang memungkinkan dirinya untuk melakukan manuver seperti ini. Di tengah renggangnya hubungan Jokowi dengan partai pengusungnya (PDIP), serta ketiadaan dukungan nyata dari partai-partai yang ada, Jokowi memiliki ruang pengambilan keputusan yang relatif luas. Tidak ada keharusan bagi Jokowi untuk melakukan negosiasi terlebih dahulu dengan partai-partai ketika keputusan akan Pansel KPK hendak diambil. Tidak heran jika kemudian, walau terlihat mengejutkan, keputusan seperti ini bukanlah sesuatu yang berat untuk diambil.
Namun kita perlu bergerak lebih maju dari sekadar menerima realisme ini. Ada politik simbolik dari manuver Jokowi ini yang perlu juga diungkap ke public, yakni mengenai posisi perempuan dalam agenda anti korupsi. Jika kita periksa secara seksama, selalu ada implikasi di ranah domestik ketika korupsi berlaku di ranah publik. Tanpa bermaksud mempertahankan gagasan paternalis mengenai keberadaan inheren perempuan di ranah domestik, fakta bahwa perempuan Indonesia masih mendominasi ruang domestik menunjukkan bahwa imbas dari korupsi akan pertama kali membebani kehidupan perempuan. Berapa banyak kita menemukan insiden dimana kehidupan perempuan dalam rumah tangga semakin sulit dijalankan karena pengaruh kekuasaan yang korup. Hal ini menjadi pertanda bahwa ada operasi kekuasaan yang bias gender di balik aktivitas korupsi itu sendiri.
Walau begitu, fakta keras ini tidak selalu mudah diterima. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dari masih diterimanya gagasan seksis sekaligus misoginis, seperti opini Samsul Wahidin (2015), seorang guru besar Universitas Merdeka, Malang, perihal ketiadaan hubungan antara posisi perempuan dengan agenda anti korupsi. Dalam semesta pemikiran patriarkis Wahidin, perempuan dianggap tidak memiliki “akuntabilitas… yang secara sosial bisa diterima”. Karena dalam pandangan menjijikkan ini, perempuan dianggap sebagai “sumber kerusakan”, dan karenanya tidak akan mampu mendorong maju upaya perjuangan melawan korupsi sekarang ini
Mungkin mudah bagi kita untuk menertawakan gagasan bigot Wahidin ini, tetapi bagi saya, ada kebenaran yang tidak disangkal dari masih munculnya argumen menjijikkan ini di ranah publik: bahwasanya agenda politik perempuan kita pasca reformasi belum cukup untuk menciptakan perubahan mendasar dalam konfigurasi sosial masyarakat itu sendiri. Tentu saya tidak mengatakan bahwa agenda politik perempuan pasca reformasi tidak memiliki capaian politik yang penting. Kuota 30 persen bagi perempuan serta diundang-undangkannya aturan melawan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), adalah beberapa kontribusi krusial dalam memperjuangkan agenda politik perempuan Indonesia. Namun, sebagaimana kita temukan sekarang, capaian-capaian tersebut sangat terasa keterbatasannya dalam kondisi politik perempuan terkini.
Di sini kita menemukan realisme yang lain di balik pengangkatan sembilan perempuan ini. Yang mengejutkan dari keputusan Jokowi bukan sekedar pemilihan sembilan figur perempuan ini. Yang lebih mengejutkan adalah kita terkejut akan sesuatu yang sebenarnya begitu kentara dalam agenda politik anti korupsi itu sendiri: bias gender dalam korupsi membuat perempuan akan selalu berhak untuk mendorong agendanya sendiri melawan korupsi, sebab merekalah yang paling menderita ketika perilaku korupsi terjadi.
Di titik ini, penting bagi kita untuk merefleksikan kembali bagaimana signifikansi agenda politik perempuan dalam melawan korupsi. Konsekuensi dari absennya artikulasi yang jelas mengenai kepentingan politik perempuan, berkorelasi dengan muncul dan dominannya gagasan serampangan perihal dekatnya korupsi dengan posisi perempuan. Begitu mudah kita temukan dalam wacana media massa sekarang dimana tubuh perempuan menjadi mediasi utama dari praktik korup: dari banyaknya perempuan yang ditahan sebagai tersangka korupsi hingga menjadikan perempuan sebagai gratifikasi dalam setiap praktik korup. Alih-alih menjadi korban dari korupsi, perempuan justru menjadi elemen inheren dalam korupsi itu sendiri.
Kita perlu melihat kemungkinan politik anti korupsi di balik simbolisme posisi perempuan. Dalam melihat kemungkinan politik anti korupsi ini, Anom Astika (2015) berpendapat bahwa kemungkinan politik para perempuan ini harus ditempatkan pada kapabilitas teknis profesional yang mereka miliki. Jauh lebih penting untuk menilai signifikansi para srikandi ini dalam kaitannya dengan kapasitas ‘pengetahuan’ yang luas dalam memahami ‘modus operandi’ korupsi ketimbang menginvestigasi posisi sosial politik mereka sebagai perempuan.
Ada beberapa kebenaran dari argumen Astika. Tapi argumen ini lupa bahwa selalu ada keterikatan kuat antara pengetahuan dan kuasa. Dalam hal ini, pengetahuan selalu dimungkinkan untuk dipenetrasi oleh relasi kuasa tertentu. Pengetahuan teknis profesional yang dimiliki sembilan perempuan Pansel KPK, tanpa adanya kesadaran untuk mengubah operasi relasi kuasa patriarki, tidak akan cukup signifikan dalam mendorong politik anti korupsi yang mendukung posisi perempuan. Alih-alih keluar dari tragedi sebagaimana yang diharapkan, justru tawaran ini berpotensi untuk menjebak agenda anti korupsi ke problem yang lain.
Untuk mengatasi problem ini, momen pengangkatan sembilan perempuan ini harus diiringi dengan politisasi atas agenda perempuan terhadap kondisi anti korupsi sekarang. Agenda politik perempuan Indonesia untuk menantang relasi kuasa patriarki yang menubuh dalam politik Negara, perlu dihadirkan dalam wacana publik. Revitalisasi politik perempuan yang sempat tumbuh pada awal-awal masa reformasi perlu kembali dimunculkan. Dialog atau bahkan perdebatan dalam gerakan perempuan perihal agenda politik mereka terhadap anti korupsi kini, tentu saja perlu kembali dilakukan. Konsekuensinya pengorganisiran politik yang baru dari gerakan perempuan itu sendiri harus segera dibangun.
Perjuangan agar Negara segera mengalokasikan sumberdayanya untuk mendukung reproduksi sosial perempuan, dapat menjadi pintu masuk bagi proses ini. Ketidakhadiran Negara untuk menjamin reproduksi sosial perempuan, berpotensi luas untuk mendorong terjadinya perilaku korupsi sumberdaya publik. Selain itu, perjuangan untuk jaminan akan reproduksi sosial oleh Negara akan membuka partisipasi luas perempuan di ranah publik. Jika ini bisa dilakukan, maka kesinambungan dan sinergitas gerakan anti korupsi dan kepentingan politik perempuan bukan hal yang musykil.
Mungkin ini terdengar berlebihan bagi beberapa orang, mengingat Pansel KPK memiliki kewenangan yang terbatas. Namun yang ingin diargumentasikan di sini adalah perihal kemungkinan politik baru di balik manuver Jokowi. Ada potensialitas yang menganga di balik simbolisme pengangkatan sembilan perempuan Pansel KPK. Potensi yang mampu membawa kita keluar dari realisme menjemukan yang tengah kita hadapi sekarang.
Terdengar mustahil, tapi bukankah politik adalah seni untuk merealisasikan yang mustahil?***
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana di Murdoch University, Australia. Pemimpin Redaksi Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS dan anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP).
Kepustakaan:
Astika, A. (2015). Srikandi Tragedi Buah Apel. Prismaindonesia.com. Diambil dari http://prismaindonesia.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=543:aa&Itemid=1024
Wahidin, S. (2015). Kontroversi Perempuan Pansel KPK. Jawapos.com. Diambil dari http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/17779/kontroversi-perempuan-pansel-kpk