Iklan

Print Friendly, PDF & Email

IKLAN di media masa kolonial lucu-lucu. Sebuah iklan susu di tahun 1938 berbunyi, ‘Soesoe Tjap Nona Jang Paling Baik.’ Orang-orang Indonesia yang kini sudah dengan logika bahasa ‘Ejaan Yang Disempurnakan’ yang tidak pernah sempurna itu, ketika membaca iklan ini mungkin akan tersenyum geli.

Bahkan sebuah iklan dari Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1889 mungkin akan dirasa kejam oleh orang-orang Indonesia ‘merdeka’ di masa kini:

 

Pengoemoeman !!!
Dag Inlander,….. Hajoo Oerang Melajoe,….
Kowe Mahoe Kerdja???
Governement Nederlandsch Indie Perloe Kowe
Oentoek Djadi Boedak
Ataoe Tjentenk Di Perkeboenan – Perkeboenan
Onderneming
Kepoenjaan Governement
Nederlandsch Indie
Djika Kowe Poenya Sjarat Dan Njali

 

Silakan ‘soedara-soedari’ lihat beberapa contoh iklan dari masa kolonial itu pada artikel Baskoro Suryo Banindro, dosen Disain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta berjudul ‘Iklan Masa Kolonial 1930-1942: Tinjauan Sosiohistoris.’

Pada hari kelahirannya, iklan bekerja dalam logika komunikasi. Ada penyampai dan ada penerima pesan. Makanya, membicarakan iklan adalah membicarakan strategi untuk membuat orang menjadi ‘percaya’ terhadap sesuatu yang belum tentu harus ia percaya. Tujuannya, agar orang-orang dapat dengan seolah rela atau terpaksa menukar apa yang dia miliki demi untuk mendapatkan atau menikmati apa yang telah dibuat oleh iklan sebagai kebutuhan. Sekali lagi, ini soal sesuatu ‘yang mestinya tidak perlu dipercaya.’

Iklan memang begitu adanya. Kata advertise sendiri berasal dari kata Latin advertere yang berarti berbalik arah atau untuk mengubah. Konon, penyampaian informasi untuk ‘mengarahkan‘ atau ‘mengubah’ orientasi orang agar tertarik pada sesuatu sudah dimulai sejak era sebelum masehi.

Cara ini sudah dimulai sejak zaman era bahasa lisan, dari mulut ke mulut. Perubahan besar terjadi ketika mesin cetak ditemukan oleh Johannes Gutenberg di abad 15. Ketika koran pertama di Eropa terbit abad 17, iklan yang sebelumnya hanya berbentuk semacam surat edaran kini disiarkan bersama berita. Sejak saat itu iklan menjadi unsur penting bagi perusahaan-perusahaan untuk promosi produk. Negara juga menggunakan iklan untuk propaganda kebijakan dan ideologinya.

Jadilah sampai kini, iklan adalah cara jitu untuk mengubah atau mempengaruhi pilihan orang dalam menentukan sesuatu, dan paling penting untuk membuat orang rajin dan ketagihan berbelanja.

Februari 2015 ini, sebuah perusahaan alat penyedot debu di Malaysia membuat iklan promosi produk mereka. Tapi iklan ini sungguh keterlaluan. Ia menggoda orang untuk punya pikiran bahwa alat bantu lebih mahal dari manusia. ‘Fire Your Indonesian Maid Now!’ (pecat pembantu rumah tangga asal Indonesia Anda sekarang juga!) Bunyi iklan itu kasar. Makanya, ketika iklan itu beredar di media sosial dan jadi berita media Indonesia, publik marah besar.

Iklan produk atau jasa memang tidak akan pernah bisa jujur. Bahkan iklan dapat ‘membunuh’ kemanusiaan tanpa rasa sakit. Tidak ada perusahaan yang mau mempromosikan keburukan dirinya. Pada tingkat ekstrim, iklan memang bekerja untuk memproduksi kesadaran palsu. Ia mampu membuat orang melupakan kebutuhan dasarnya, merancukan mana kebutuhan mana keinginan.

Kepercayaan buta yang dibuat oleh iklan membuat masyarakat konsumen senang dan ketagihan berbelanja. Konsekuensinya, masyarakat ini harus melakukan segala cara, mencuri sekalipun untuk mendapatkan uang. Hanya dengan teks, gambar dan suara iklan, eksploitasi kemanusiaan terjadi secara masif. Lucunya, setiap Pemilu (Pilkada, Pilcaleg, Pilpres) kita melihat justru orang-orang menjual dirinya sendiri di baliho, stiker, spanduk, tv, radio dan koran. Iklan menjadi cara orang-orang mempromosikan dirinya. Apa bedanya ‘harga diri’ mereka dengan harga alat penyedot debu Malaysia itu? Ini sama-sama soal cara untuk memenangkan ‘pasar’. Dan pasarlah yang membuat ‘diri’ punya harga!

Pada era ini, sehari-hari manusia disuguhkan dengan iklan. Hampir tidak ada lagi ruang dan waktu bagi manusia bebas menentukkan pilihan. Semua di bawah kontrol pasar. Dari dalam rumah ibadah sampai di WC umum, manusia modern terus dikejar oleh tawaran belanja produk atau jasa ini dan itu. Tidak hanya pasta gigi, tapi juga surga di seberang sana yang entah di mana persisnya. Agama-agama menggunakan cara yang sama. Misalnya iklan ‘minyak urapan’ yang berkhasiat menyembuhkan segala penyakit dari kelompok kristen kharismatik tertentu, juga para ustadz yang menjadi populer karena iklan di tv atau pamflet kertas foto kopi yang ditempel di tiang listrik atau dinding tembok pinggir jalan.

Iklan. Ini soal kekuatan yang mampu membuat manusia dari ‘tidak mau, tidak ingin, tidak butuh’ menjadi ‘mau’, ‘ingin’ dan ‘merasa butuh’. Maka manusia menjadi ‘makhluk tukang belanja’, belanja dan belanja. Itulah kekuatan iklan. Ia mampu mengubah model rambut sekalipun. Persepsi mengenai kecantikan pun sedang diubah oleh iklan. Soal kejantanan pun tak luput. Cara makan dan pilihan menu, juga ikut diubah oleh iklan. Ilmu pengetahuan pun demikian: iklan penerimaan mahasiswa baru dari universitas-universitas ramai di media.

Di masa kolonial, iklan adalah propaganda kekuasaan. Di masa orde baru, iklan dari pemerintah dibuat untuk ‘stabilitas’ keamanan agar pembangunisme berjalan tanpa protes. Pokoknya iklan mengubah, mungkin tidak berlebihan bila saya katakan, hampir semua unsur kebudayaan manusia.

Media cetak dan elektronik dipenuhi dengan iklan. Bagian pemasaran di media, kerjanya bagaimana medianya dipenuhi dengan iklan. Dan, jadilah orang membaca ‘iklan’ bukan lagi berita. Media kuning bahkan membuat ‘pagar api’ (firewall) padam. Antara berita dan iklan semakin sulit dibedakan. Media yang lebih berorientasi menggelembungan modal berperan besar membuat orang-orang merasa berbelanja seperti melakukan kegiatan seksual. ‘Media kuning’ membuat iklan hadir seperti berita.

Teman saya mengatakan begini, ‘Media yang menyampaikan kebohongan, banyak. Alhamdulillah, masih lebih banyak media yang menyampaikan informasi benar. Namun yang bikin miris, hanya sedikit media yang menyampaikan kebenaran.’

Ketika internet menjadi bagian kehidupan sehari-hari manusia, new media berkembang pesat, maka media online semakin massif menjadi sarana promosi. Dengan tablet dan smartphone orang-orang disuguhkan tawaran berbelanja di mana saja dan kapan saja. Maka, hasrat terus dieksploitasi menjadi semacam kebutuhan keselamatan bagi orang-orang beragama.

Dan iklan dari perusahaan maupun dari pemerintah selalu berhubungan dengan kontrol. Ia mengontrol kesadaran manusia untuk memikirkan dan melakukan sesuatu yang awalnya tidak dikehendaki, tidak diinginkan atau tidak diharapkan. Manusia kemudian menjadi terasing dari hakekat kemanusiaannya.

Kalau Anda sempat pesiar ke Manado, Sulawesi Utara, di jalan-jalan protokol Anda akan melihat baliho atau spanduk yang bertuliskan: ‘Brenti jo ba mabo’ (berhentilah mabuk-mabukan). Itu iklan kampanye dari Kepolisian Daerah kerjasama dengan Pemerintah setempat untuk mengajak orang-orang Manado/Minahasa berhenti mengonsumsi minuman keras. Para petani ‘cap tikus’ (cap tikus adalah minuman alkohol berkadar tinggi khas Minahasa) yang paling dirugikan dari iklan kampanye itu. Produk mereka sulit dipasarkan. Polisi merazia kios-kios yang berjualan ‘cap tikus’.

‘Anak kami bisa menjadi polisi, dokter, insinyur, pendeta, karena dibiayai oleh “cap tikus’’’, hanya itu yang bisa disampaikan oleh para petani ‘cap tikus’ sebagai protes.

Anehnya, minuman alkohol bemerek dari luar bebas dijual di supermarket-supermarket. Sementara ‘cap tikus’, produk lokal yang menjadi andalan ekonomi rakyat Minahasa kebanyakan, justru paling sering dituduh sebagai penyebab meningkatnya angka tindakan kriminal.

Namun, di media sosial, protes, kritik atau perlawanan terhadap iklan kampanye ‘brenti jo ba mabo’ itu juga disampaikan melalui semacam iklan kampanye tandingan dalam bentuk gambar kreatif meme. Greenhill Weol, koordinator Mawale Photography di Minahasa merancang gambar meme bertuliskan, ‘Brenti jo ba mabo doi deng kursi!!!’ (Berhentilah mabuk kekayaan dan kekuasaan). Ini protes dan sekaligus kritik terhadap kecenderungan negara dengan institusi-institusinya yang lebih memperhatikan hal-hal seperti ‘minuman keras’, padahal pada dirinya mereka sedang ‘mabuk’ kekuasaan dan harta.

Protes dan melawan selalu tersedia dalam banyak cara.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.