Judul buku: Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20
(trans.) Koelies, Planters en Koloniale Politiek : het arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s oostlust in het begin van de twintigste eeuw.
Penulis: Jan Breman
Penerjemah: Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Halaman: xxxviii+346 halaman
”Eight Hours for Work, Eight Hours for Rest,
Eight Hours for What We Will!”
(Slogan 1 Mei 1886)
BULAN telah datang: bulan yang paling ditunggu, bulan perlawanan. Setiap tanggal 1 Mei, jutaan buruh di seluruh dunia turun ke jalan, menyuarakan perlawanan dan menyerukan perjuangan kelas. Hari buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day memang merupakan hari yang istimewa. Pada hari itu, 197 tahun yang lalu, ratusan buruh di Chicago, AS, ditembaki saat memperjuangkan jam kerja yang lebih manusiawi. Perjuangan mereka berhasil dan masih terasa hingga kini hasilnya: 8 jam kerja untuk buruh di seluruh dunia!
Namun, hasil dari perjuangan kaum buruh di Chicago itu, kini tengah diinjak-injak dengan diberlakukannya sistem kerja kontrak dan outsourcing, dimana kaum buruh tidak memiliki kepastian dan jaminan pekerjaan. Di samping itu, buruh yang bekerja di bawah sistem kerja kontrak dan outsourcing pun tidak mendapatkan hak-hak dasar lain seperti cuti, hak untuk berserikat, upah sesuai standar, dan pesangon. Selain itu, di Indonesia, setelah bekerja selama 8 jam, buruh kontrak dan ousourcing di berbagai pabrik masih harus bekerja di rumah guna menyelesaikan target yang belum terpenuhi di pabrik,. Selain tidak mendapat upah lembur atas pekerjaan tambahan tersebut, mereka pun masih mendapatkan skorsing keesokan harinya.
Tak hanya sampai di situ, tentu kita masih ingat dan merasakan pedih ketika mengetahui bahwa kerja paksa a la zaman perbudakan ternyata masih ada di era serba digital sekarang ini. Puluhan buruh usia muda, dirampas kebebasannya sebagai manusia, mereka disekap dalam sebuah pabrik neraka yang mempekerjakan mereka 14 jam tanpa istirahat, tanpa upah. Perjuangan kaum buruh dalam melawan sistem kerja kontrak dan outsourcing, yang jelas-jelas merugikan buruh memang tak pernah surut. Bukan hanya di pabrik, mereka yang bekerja di dunia pendidikan serta BUMN pun menjadi korban dari kedua sistem kerja yang menyengsarakan ini.
Berbagai pertanyaan pun timbul, benarkah sistem kerja kontrak dan outsourcing baru ada di masa sekarang? Ataukah sistem kerja ini memang merupakan dasar bagi kesuksesan kapitalisme? Pada review kali ini, saya akan mengangkat buku Prof. Jan C. Breman, yang menceritakan sejarah buruh perkebunan di Deli pada awal abad ke-20. Ketika itu politik kolonial berperan penting menyukseskan kapitalisme awal (akumulasi primitif) dengan memberlakukan sistem kerja semacam kerja kontrak dan outsourcing, seiring dengan berdirinya industri perkebunan pada masa itu.
Setelah berakhirnya sistem tanam paksa (1830-1870), pembukaan perkebunan-perkebunan di Deli, Sumatera Timur, dimulai. Akumulasi primitif a la kapitalisme awal di Asia dimulai. Peran swasta meningkat dan kekuasaan kolonial menjadi tempat bernaung yang teduh bagi para pengusaha Belanda yang hendak membuka lahan perkebunan di Deli, Sumatera Timur. Dalam buku berjudul asli Koelies, Planters en Koloniale Politiek : het arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s oostlust in het begin van de twintigste eeuw yang terdiri atas 7 Bab ini, Profesor Breman menjelaskan dengan sangat detail mengenai hal tersebut, termasuk kehidupan buruh perkebunan kala itu. Buku yang ditulis dengan menggunakan metode historiografi kualitatif yang rinci ini menggunakan data-data primer dari berbagai perpustakaan dan arsip sejarah di Belanda sebagai bahan utama penelitiannya. Foto-foto dan arsip-arsip asli yang menjadi data dalam buku ini, juga banyak dicantumkan dalam buku sejarah yang kaya dan padat data ini.
Pada bab 1 yang berjudul ‘Pendahuluan,’ Breman menjelaskan latar belakang penulisan bukunya. Menurut Breman, buku ini ditulis beranjak dari laporan Rhemrev, seorang jaksa di masa kolonial, yang berhasil menunjukkan fakta yang terjadi atas para kuli di Sumatera Timur pada awal abad ke-20. Menurut laporan yang ditutup rapih oleh pemerintah Belanda tersebut, para kuli diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, melebihi apa yang pernah dilaporkan seorang jurnalis, bernama J. van den Brand yang mendasari penyelidikan Rhemrev tersebut. Dalam brosur yang berjudul De Millioenen uit Deli, jurnalis bernama van den Brand tersebut mengritik peonale sanctie atau hukuman berat dalam Ordonansi Kuli, yang dianggap menyiksa kuli dan membuat kuli menderita karena diperlakukan secara tidak manusiawi. Istilah kuli pun datang dari pihak kolonial untuk merendahkan martabat dan posisi kaum buruh. Karena itu, dalam review ini saya tidak menggunakan istilah kuli dalam menyebut kaum buruh perkebunan pada waktu itu. Sebagai gantinya, saya menyebut mereka dengan buruh.
Awal Mula Industri Perkebunan Sumatera Timur di Masa Kolonial
Pada bab 2 yang berjudul ‘Terbentuknya Masyarakat Perkebunan.’ Breman menjelaskan awal mula kemunculan industri perkebunan di Sumatera Timur, yang menurutnya, menandai masuknya kapitalisme awal di Hindia. Breman membuka bab ini dengan menceritakan awal masuknya investasi swasta ke Deli, Sumatera Timur, dimana pada saat itu pemerintah kolonial membuka kesempatan kepada pengusaha Belanda untuk berinvestasi di Deli. Sebenarnya, masuknya kekuasaan kolonial Belanda ke wilayah kerajaan Deli tidaklah mudah. Mereka mendapat banyak hambatan, terutama dari kerajaan Aceh, namun, mereka berhasil mendapatkan loyalitas dari para penguasa pribumi dengan mengakui kewenangan penguasa lokal. Loyalitas para penguasa pribumi ini, diantaranya ditunjukkan melalui banyaknya lahan-lahan yang mereka serobot dengan paksa dan kemudian mereka serahkan kepada orang Eropa untuk jangka panjang.
Pada awal abad ke-20, seorang pengusaha Belanda, J. Nienhuys, membuka hutan di Deli, Sumatera Timur, yang masih berpenduduk sedikit, untuk perkebunan tembakau. Pada tahun 1864, Sultan mengizinkan Nienhuys untuk menanam tembakau sebanyak yang ia mau tanpa meminta uang sewa tanah yang digunakan. Pada masa itu, Deli merupakan daerah penghasil lada terbesar, dengan produksi hingga 30.000 pikul per tahunnya. Masyarakat di sana pun hidup dalam keadaan yang cukup baik dan makmur. Namun, kedatangan Nienhuys yang menjadi pelopor dari berdirinya industri tembakau di Deli, membuat produksi lada menurun dengan tajam. Nienhuys juga menjadi peletak dasar pengorganisasian industri tembakau melalui sistem upah harian, borongan, dan berdasarkan prestasi kerja, yang ia terapkan di perkebunan-perkebunan miliknya. Akibat industri tembakau ini, Deli menjadi daerah yang terkenal sebagai kawasan produksi daun pembungkus cerutu dan hal tersebut memicu kian meningkatnya jumlah perkebunan pada masa itu.
Meningkatnya jumlah perkebunan ini tentu semakin meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja. Buruh-buruh perkebunan pun didatangkan dari Cina, Siam (Thailand), dan Jawa. Kantor-kantor pengerah tenaga kerja juga segera didirikan. Arus imigrasi dari India-Inggris ke Staits Settlements, dimana sebagian kecil imigran pergi ke Sumatera Timur dan menjadi buruh perkebunan yang disebut kolonial sebagai kuli pun meningkat. Mobilisasi yang terus berlangsung dalam ketidakbebasan ini, menurut Breman, merupakan salah satu ciri dari kapitalisme di Asia. Selain itu, meningkatnya jumlah investasi dan perkebunan di Deli pun kemudian membuat pelabuhan Belawan, dibuka menjadi pelabuhan internasional . Di saat berbarengan perusahaan kereta api pun didirikan. Deli Spoorweg-Maatschappij (Perusahaan Kereta Api Deli) didirikan pada waktu itu untuk mempermudah kedatangan para pembesar kolonial ke Deli. Hal itu kemudian berkembang cepat menjadi jaringan kereta api regional, dan juga telepon serta telegraf. Selain itu, berdiri pula Chartered Bank, dan sebagainya.
Sistem Kerja di Perkebunan
Pada bab 2, Breman menjelaskan bahwa masuknya campur tangan langsung pengusaha dalam pengorganisasian produksi, dimana tuan kebun mulai membuat kontrak langsung dengan masing-masing pekerja, menandai terjadinya peralihan ke kapitalisme industri yang sebenarnya. Sementara itu, pada bab 3 yang berjudul ‘Perkebunan Sebagai Usaha Produksi Kapitalis,’ Breman menjelaskan seluk beluk yang terjadi dalam industri perkebunan. Breman menjelaskan hierarki yang ada dalam perkebunan, dimana hierarki itu dapat langsung terlihat jelas dari keberadaan tempat-tempat atau bangsal-bangsal di perkebunan.
Pimpinan perusahaan hanya dipegang oleh mereka yang berasal dari kalangan kulit putih. Pengawas kuli Asia di kebun – yang pada akhir abad 19 digantikan oleh pegawai Eropa dengan tujuan agar dapat memperkokoh penguasaan atas tenaga kerja – jatuh pada mereka yang tidak punya kesabaran dan sulit dipuaskan. Buruh tidak boleh bekerja tanpa ikatan yang resmi. Tandil atau mandor yang berperan sebagai pemimpin regu buruh, bertugas mengawasi pekerjaan para buruh dan meneruskan perintah asisten dalam bahasa Melayu kepada para buruh. Wibawa para mandor penting untuk dijaga, karena ia adalah garda terdepan dalam mengawasi buruh di perkebunan. Penghasilan mereka pun ditentukan dari hasil kerja keras buruh yang berada dalam regunya. Dari sini terlihat bahwa tuan kebun, kaki tangan kolonial yang bertugas mengawasi para pekerja sepenuhnya, dan asisten residen harus dapat menundukkan para buruh melalui mandor-mandor yang mereka tetapkan sebagai pemimpin regu para buruh. Sementara mereka (tuan kebun dan asisten) ini harus patuh pada manajemen dan petinggi perusahaan.
Selain itu, pada bab 2 buku ini, Breman juga menjelaskan bahwa para penguasa lokal yang digunakan sebagai alat untuk mendapatkan tanah juga menyerahkan hak mereka dalam menarik pajak kepada pemerintah kolonial Belanda, dimana sebagai imbalannya, Sultan Deli, misalnya, mendapatkan tunjangan tahunan sebesar 85.000 gulden/tahun. Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah kolonial pun ikut campur dalam urusan ini, dimana mereka menerapkan hukum khusus untuk para buruh yang sebelumnya telah diberlakukan di Jawa. Campur tangan pemerintah kolonial ini ditandai dengan dibuatnya peraturan khusus yang ditujukan untuk ‘melindungi buruh dari majikan yang jahat, dan melindungi majikan dari praktek jahat buruh.’ Setelah melalui berbagai perdebatan di kalangan pemerintah kolonial dan parlemen Belanda, Ordonansi Kuli pun akhirnya diberlakukan pada 1880, dimana isinya memuat ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi buruh-buruh perkebunan pada saat itu, seperti tidak boleh melarikan diri dari pekerjaan, tidak boleh memberontak, menghina, menghasut orang lain untuk lari atau membangkang, dan sebagainya. Untuk menjamin agar Ordonansi Kuli pada waktu itu dilaksanakan secara wajar dan seimbang, maka pada 1904 didirikan badan Inspeksi Perburuhan di Sumatera Timur, yang ternyata hanya menjadi alat perusahaan perkebunan untuk menundukkan kaum buruh.
Buruh Perkebunan di Masa Kolonial
‘Sejarah sedih penuh penderitaan dan ketidakadilan’
-tulisan menteri daerah jajahan dalam laporan Rhemrev yang kemudian malah mendukung kuli yang suka membangkang agar dihukum berat-
Selain tanah, buruh/tenaga kerja adalah faktor produksi terpenting yang sulit didapatkan. Atas dasar inilah, kemudian, menurut temuan Breman, diberlakukan sistem perburuhan yang sedapat mungkin membelenggu pekerja, diantaranya melalui kontrak dan uang panjar. Kontrak yang diberikan pada buruh pada waktu itu sangat merugikan buruh, karena buruh tidak bisa lari dari belenggu pekerjaan di perkebunan yang begitu berat selama satu hingga dua tahun. Untuk bisa hidup, mereka harus bertahan dengan uang panjar yang diberikan di awal kontrak. Kontrak kerja baru (sjoekoelien) dilakukan dalam jangka waktu 3 tahun. Sementara itu, buruh yang memutuskan hubungan kerja dianggap melakukan pelanggaran. Cara ini dengan mudah dijadikan dalih bahwa buruh bekerja atas dasar kesukarelaan, dimana kesukarelaan ini kemudian menjadi dasar pembenaran bagi tuan kebun untuk memperlakukan buruh secara sewenang-wenang.
Buruh yang bekerja di perkebunan, mendapatkan upah berupa uang panjar yang diberikan di masa awal kontrak mereka. Uang panjar ini seperti hutang, sehingga para buruh yang bekerja di perkebunan tidak dapat berhenti bekerja hingga kontraknya selesai. Ketika buruh hendak mengundurkan diri di tengah jalan, buruh akan dihukum karena dianggap tidak mau melunasi hutang berupa uang panjar, yang telah dibayarkan pengusaha di awal kontrak. Sistem pembayaran upah berupa uang panjar ini bersifat stagnan, karena itu merugikan. Jika hasil panen melimpah atau memburuk, buruh tidak akan mendapatkan apapun lagi, selain uang panjar tersebut. Selain berupa uang panjar, bentuk-bentuk pembayaran upah lain pun diterapkan, seperti upah borongan. Seiring dengan munculnya tahap baru dalam kapitalisme pada waktu itu, buruh laki-laki pun mulai banyak diganti dengan buruh perempuan.
Resminya, ordonansi Kuli memberlakukan jam kerja selama 10 jam setiap harinya. kenyataannya, para buruh seringkali bekerja lebih dari itu, termasuk buruh yang bekerja dengan upah borongan. Buruh yang sakit harus tetap bekerja dan mereka tidak mendapatkan perawatan apapun. Strategi upah murah pun dilancarkan dalam rangka menggantikan para buruh yang berasal Cina menjadi buruh dari Jawa, serta semakin ditingkatkannya jumlah pekerja perempuan untuk mendukung strategi itu. Banyak buruh yang sesudah habis masa kontraknya, hidupnya sama melaratnya dengan waktu kali pertama datang. Para buruh tinggal di bangsal yang kotor dan menjadi sumber penyakit yang berbahaya. Keadaan yang menyedihkan tersebut menimbulkan berbagai macam penyakit. Para buruh perkebunan pun tidak pernah makan daging.
Ordonansi Kuli yang semula disusun khusus untuk Sumatera Timur, kemudian diberlakukan juga untuk daerah-daerah lainnya di luar Jawa, demi menjamin jumlah tenaga kerja yang cukup untuk kelancaran industri perkebunan dan pertambangan. Ini, menurut Breman, merupakan cara kerja kapitalis. Peonale sanctie pun diterapkan dengan gencar pada 1896. Banyak kalangan, diantaranya Van Hamel (sarjana hukum), memuji bahwa Ordonansi Kuli ini sangat berhasil, baik dari segi teori maupun praktik.
Perlawanan Kaum Buruh
Pada bab VI ‘Masalah Kuli : Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan,‘ dijelaskan bagaimana orang Belanda sendiri (van den Brand) membongkar kekejaman yang terjadi atas para kuli di perkebunan. Bab ini menjelaskan bagaimana ia membongkar hal tersebut melalui tulisannya yang mendapat publisitas yang cukup besar dan kuat. Begitu pula, tentang Rhemrev yang melakukan penyelidikan lanjutan atas laporan dalam tulisan van den Brand tersebut, serta tentang pembicaraan terkait itu di kalangan pemerintah kolonial sendiri.
Tidak banyak literatur yang menjelaskan tentang buruh, latar belakang mereka, dan sebagainya. Pembagian kerja di antara para buruh perkebunan didasarkan pada asal mereka, ada buruh dari Jawa, Batak, Cina, dan sebagainya. Buruh perempuan yang bekerja di perkebunan rata-rata masih berusia 10-14 tahun dan berasal dari Jawa, bukan Cina. Pada 1930, buruh perempuan bertambah menjadi 25 persen dari jumlah keseluruhan buruh. Dari semua buruh, buruh perempuanlah yang paling sengsara karena mereka lebih rentan terhadap pemerasan dan penindasan dari para pemimpin perusahaan serta para pengawas. Para pengawas lintah darat inilah yang kerapkali menimbulkan kerusuhan di antara para buruh perkebunan.
Kemudian, salah satu aturan utama dalam mendisiplinkan buruh diantaranya adalah buruh dilarang meninggalkan perkebunan tanpa izin. Polisi dan pejabat pemerintah yang mengeluarkan aturan itu akan menghukum buruh yang melanggar. Dari sejumlah besar pelanggaran oleh majikan, hanya sebagian kecil yang sampai di kantor pemerintah kolonial di Sumatera Timur, apalagi yang sampai di Batavia. Dan kalaupun sampai, tuan kebun/majikan jarang dituntut. Hukuman lebih banyak dan selalu menimpa para buruh. Hukuman para buruh pun tidaklah ringan, melainkan berupa hukuman cambuk dengan rotan. Atas dasar laporan majikan/tuan kebun, buruh-buruh yang dianggap melanggar peraturan, memberontak, atau tertangkap saat berusaha lari, disiksa dengan dicambuk. Bahkan buruh perempuan diikat di bungalo tuan kebun dan digosok kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus. Akan tetapi, bila laporan berasal dari buruh, dimana majikan, misalnya. memperlakukan mereka dengan sewenang-wenang, hakim kolonial biasanya tidak melakukan tindakan apapun atas laporan tersebut.
Pada bab IV yang berjudul ‘Pendisiplinan dan Perlawanan Terhadapnya,’ Breman bercerita bahwa organisasi perkebunan pada akhir abad 19 memberlakukan disiplin yang tinggi terhadap para buruh. Buruh yang dapat diandalkan, dipertimbangkan menjadi pengawas. Namun, mereka harus membayar harga yang mahal: kesetiaan tanpa syarat terhadap pemimpin perkebunan. Sistem kerja kontrak diberlakukan untuk menjamin keberlangsungan perusahaan perkebunan. Pengamanan atas jalannya produksi dimulai dan diakhiri di perusahaan itu sendiri. Bentuk hukuman lain yang paling lazim ialah pemotongan upah atau penambahan kerja untuk buruh yang tidak memperlihatkan semangat kerja, tidak menjalankan perintah, atau dianggap tidak tunduk. Penganiayaan terbuka dalam peonale sanctie sungguh menyengsarakan kaum buruh pada waktu itu. Pasal 10 dalam Ordonansi kuli, dimana pelanggaran seperti menolak kerja, memberontak dan sebagainya agar dikenai hukuman yang lebih berat, menambah berat penderitaan buruh. Di sisi lain, para majikan sangat gemar menggambarkan perkebunan sebagai perusahaan keluarga yang besar, dimana semua pihak merasakan adanya ikatan yang kokoh sesuai dengan hak dan kewajiban menurut kedudukan masing-masing.
Terhadap berbagai perlakuan buruk seperti yang telah dipaparkan di atas, para buruh pun tidak tinggal diam. Dalam bab 2 buku ini dijelaskan bahwa para buruh melakukan perlawanan, misalnya, dengan melarikan diri dari perkebunan. Para tuan kebun pun kemudian lebih menyukai buruh dari India yang lebih menguntungkan, karena lebih murah dan berwatak lebih tenang serta tak terlalu suka berkomplot seperti buruh-buruh yang berasal dari Cina. Namun, cara mengatur pekerjaan di perkebunan tak memungkinkan orang melakukan perlawanan secara kolektif. Intimidasi dan teror sistematis, perpecahan di antara buruh sendiri, semakin tidak memungkinkan mereka untuk melakukan perlawanan secara kolektif. Namun, sayangnya, kurang sekali yang menjelaskan proses dimana buruh akhirnya melakukan perlawanan berupa kerusuhan. Perlawanan para buruh lebih banyak yang bersifat individual, contohnya, melarikan diri dari perkebunan. Breman juga menjelaskan bahwa para buruh yang berasal dari Jawa perilakunya tidak dapat diduga, mereka bisa marah membabi buta karena hal-hal yang bersifat sepele.
Sistem Perburuhan Saat Ini = Sistem Perburuhan pada Masa Kolonial
Tanpa bermaksud anakronistik, apa yang digambarkan Breman dalam bukunya yang kaya ini, mengingatkan kita dengan sistem perburuhan yang berlaku saat ini. Di masa kolonial, pemerintah kolonial Belanda menerapkan prinsip ‘melindungi buruh dari majikan yang jahat, dan melindungi majikan dari praktek jahat buruh.’ Artinya, pemerintah kolonial pada saat itu berposisi ‘netral’ kedudukannya berada di antara buruh maupun pengusaha. Kalau kita lihat sistem perburuhan saat ini, maka jangan kaget jika hal itu tetap terjadi melalui konsep Hubungan Industrial Pancasila.[1] Menurut konsep ini, pemerintah sebagai pihak yang kedudukannya berada di antara buruh dan pengusaha, netral dan tidak berpihak. Namun, pada kenyataannya, pemerintah tidak pernah bisa bersikap netral. Hasil penelitian penulis pada tahun 2011 menunjukkan, di Kabupaten Tangerang dan Karawang, pemerintah cenderung menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh. Belum lagi, berbagai regulasi perburuhan yang ada saat ini,[2] cenderung merugikan buruh, sebagaimana Ordonansi Kuli yang berlaku pada awal abad 20.
Jika dulu para majikan sangat gemar menggambarkan perkebunan sebagai perusahaan keluarga yang besar dan semua pihak merasakan adanya ikatan yang kokoh sesuai dengan hak dan kewajiban menurut kedudukan masing-masing, maka kini kelas pemilik modal atau pengusaha selalu memajukan ide bahwa buruh dan pengusaha adalah mitra sehingga tidak perlu berkonflik satu sama lain. Doktrin ini, jika kita telaah secara lebih kritis, ditujukan untuk melawan ide mengenai pertentangan dan perjuangan kelas, bahwa buruh tidak perlu berjuang secara politik untuk merebut alat-alat produksi yang dimiliki pengusaha. Masing-masing harus bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya: pengusaha cari uang untuk bisa menggaji buruh, sedangkan buruh bekerja keras dan efisien agar kehidupannya semakin membaik. Kerjasama yang harmonis ini dianggap sebagai kunci untuk kemajuan bersama. Tentu saja doktrin ini bohong belaka, karena kenyataannya ketika kehidupan pengusaha semakin membaik, justru kehidupan buruh semakin membutuk.
Selain itu, hal yang juga hampir sama terjadi, baik pada era kolonial maupun saat ini, adalah sistem kerja yang berlaku pada kaum buruh. Sebagaimana dijelaskan di atas, sistem kerja semacam kerja kontrak dan outsourcing pernah pula terjadi di masa kolonial. Hanya saja, terdapat perbedaan antara sistem kerja kontrak yang berlaku pada masa kolonial dengan sistem kerja kontrak yang berlaku pada saat ini. Sistem kerja kontrak yang berlaku pada masa kolonial terjadi atas dasar kurangnya jumlah tenaga kerja. Dengan demikian, kerja kontrak diberlakukan untuk mengikat tenaga kerja dalam sebuah kontrak sehingga para buruh kontrak di perkebunan itu tidak bisa melarikan diri dari kontrak yang telah mereka buat dengan majikan mereka. Sementara itu, sistem kerja kontrak yang berlaku saat ini merupakan bagian dari Labour Market Flexibility (LMF)[3] atau pasar tenaga kerja fleksibel. Tujuan diberlakukannya LMF ini untuk menjamin efisiensi dan efektifitas biaya produksi para pemilik modal, dimana tenaga kerja merupakan salah satu komponen dari biaya produksi. Berkebalikan dengan sistem kerja kontrak yang berlaku pada masa kolonial yang bertujuan mengikat buruh melalui kontrak yang membelenggu, sistem kerja kontrak yang berlaku di era LMF justru bertujuan untuk membuat hubungan kerja yang fleksibel, dimana buruh bisa dipecat atau diberhentikan sewaktu-waktu dalam rangka efisiensi, dan menghindari kewajiban pesangon.
Begitu pula dengan praktik kerja outsourcing yang memiliki sedikit perbedaan antara yang berlaku di masa kolonial dengan yang berlaku saat ini. Pada masa kolonial, praktik kerja outsourcing ditandai dengan adanya perusahaan-perusahaan pengerah atau penyalur tenaga kerja. Hanya saja, hubungan kerja yang terjadi tetap antara buruh dan majikan di perusahaan perkebunan. Sementara itu, praktik kerja outsourcing yang terjadi di era LMF saat ini meniadakan hubungan kerja secara langsung antara buruh atau pekerja dengan perusahaan pengguna (user). Meski demikian, sistem kerja kontrak dan outsourcing yang berlaku di kedua era tersebut, sekalipun dalam praktiknya tidak sama persis, tetap tetap sama-sama menguntungkan pengusaha atau pemilik modal dan menyengsarakan kaum buruh.
Fakta ini juga menunjukkan hal lain, bahwa sistem kerja kontrak bukanlah hal baru dalam dinamika hubungan buruh-kapital Indonesia. Sistem kerja kontrak dan outsourcing pada masa kolonial, yang diberlakukan terhadap buruh-buruh perkebunan di Deli, termasuk buruh-buruh pelabuhan di Jawa, dilegalkan melalui sebuah regulasi, yaitu UU Ordonansi Kuli.
Tetapi cerita tentang hubungan buruh-kapital ini tidak berakhir dengan kesedihan penderitaan semata bagi kaum buruh. Yang juga penting adalah, buruh kemudian bangkit berlawan terhadap berbagai perlakuan tidak manusiawi yang dialaminya. Berbagai aksi/tindakan perlawanan, baik secara individual maupun secara kolektif mulai bermunculan. Seiring dengan berkembangnya kekuatan buruh yang terorganisir melalui serikat buruh yang kuat seperti SOBSI, praktik kerja kontrak tersebut pun pernah menghilang dari Indonesia, yakni di masa Soekarno. Ini tampak dari berbagai regulasi yang ada pada masa itu, dimana tidak ada satu pun regulasi yang melegalkan sistem kerja kontrak. Kasus ini kemudian memberikan pelajaran tambahan buat kita bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara situasi hubungan kerja dengan kekuatan buruh yang terorganisir. Keterorganisiran buruh secara politik menjadi kondisi paling penting dalam perjuangan melawan sistem kerja kontrak dan outsourcing, sebagaimana yang tengah diperjuangkan kaum buruh Indonesia saat ini. Namun, keterorganisiran buruh secara politik ini hanya dapat diwujudkan melalui praktik dan pendidikan politik berkelanjutan di serikat-serikat buruh. Praktik dan pendidikan politik berkelanjutan di serikat-serikat buruh diperlukan untuk membangun kesadaran bahwa perlawanan terhadap sistem kerja kontrak dan outsourcing, maupun perlawanan terhadap upah murah, privatisasi, dan sebagainya, merupakan kepentingan buruh sebagai sebuah kelas.***
Fathimah Fildzah Izzati, Anggota Redaksi Left Book Review IndoProgress. Penulis beredar di twitterland dengan id @ffildzahizz
Daftar Referensi
Breman, Jan. Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 (trans.) Koelies, Planters en Koloniale Politiek : het arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s oostlust in het begin van de twintigste eeuw. Koesalah Soebagyo Toer (trans.). Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.1997.
Izzati, Fathimah Fildzah. Politik Buruh di Era Desentralisasi & Precariat : Studi Advokasi Perda “Anti-Outsourcing: Beberapa Serikat Buruh di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Karawang. 2011. Skripsi. Dipublikasikan di Perpustakaan UI.
[1]Orde Baru yang menolak keberadaan Kelas dan konflik Kelas berhasil meredam gerakan buruh secara sistematis dengan menggunakan doktrin Pancasila dimana hubungan antara buruh, modal, dan negara digambarkan sebagai hubungan yang harmonis. Padahal, hubungan antara buruh, modal, dan negara bertentangan kepentingannya satu sama lain. Hubungan industrial yang harmonis tersebut dimanifestasikan dalam doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diberlakukan sejak tahun 1974, dimana dalam HIP, hubungan buruh, modal, dan negara di Indonesia, diletakkan berdasarkan konteks kultural Indonesia.
[2]Salah satunya Undang-Undang no.13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan yang melegalkan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Sistem kerja kontrak dan outsourcing dibahasakan lain dalam UUK 13/2003. Dalam UUK 13/2003, kerja kontrak dibahasakan dengan Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing dibahasakan dengan Perusahaan Penyedia Tenaga Kerja.
[3]Resep kebijakan IMF untuk Indonesia mengenai LMF/pasar tenaga kerja fleksibel tercantum secara eksplisit dalam LOI dengan IMF pada tanggal 18 Maret 2003, dimana bunyinya : “…We are working with labor and business to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market.” Kebijakan-kebijakan ekonomi-politik yang diambil oleh pemerintah Indonesia pada periode-periode selanjutnya pun harus mengacu pada LOI tersebut, termasuk dalam bidang perburuhan (UUK 13/2003).