PASKA reformasi 1998, perbincangan mengenai liberalisme mewakili dua kecenderungan. Pertama, tema ini dibincangkan dan diperdebatkan pada tataran abstrak-filosofis. Kebebasan (from and/or for), pluralisme, inklusivisme, dan atau sekularisme, dinisbatkan sebagai sesuatu yang bersifat universal, yang berlaku pada seluruh tahapan sejarah sosial sebuah masyarakat. Dengan demikian, liberalisme adalah sebuah keniscayaan, menjadi tolok-ukur maju-mundurnya sebuah peradaban.
Di sisi seberangnya, tema ini dihujat, dinista tak lebih sebagai kendaraan untuk menghancurkan nilai-nilai abadi dan fundamental keagamaan. Di sini, liberalisme ditafsirkan sebagai “keadaan serba boleh,” “menghalalkan segala cara,” atau “menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.” Karena itu, liberalisme adalah haram, harus ditolak.
Kedua pendekatan dalam membincangkan soal liberalisme ini, sama-sama bersifat a-historis. Kecuali menjadi ajang debat elitis, kedua pendekatan ini tidak menyediakan pengetahuan yang berarti bagi rakyat untuk membebaskan dirinya dari kungkungan hubungan produksi yang menindas. Pada yang pertama, liberalisme ketika diterapkan di negara kapitalis pinggiran, seolah-olah mengandung nilai yang sama persis dengan ketika ia muncul dan berkembang di Eropa Barat. Sementara pada yang kedua, menyatakan liberalisme adalah haram sesungguhnya gagal melihat watak pembebasan dari paham ini. Penistaan membuta ini tak lebih untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan ideologis yang otoritarian.
Lalu, bagaimana kita meletakkan perbincanan soal liberalisme, berdasarkan konteks sejarahnya, dalam hal ini konteks negara kapitalis pinggiran? Sebelumnya, mari kita lihat fakta berikut. Pada tahun-tahun menjelang Peristiwa G30S 1965, sekelompok aktivis liberal yang meluncurkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu), dan juga ekonom liberal yang menamakan dirinya teknokrat, memilih bekerjasama dengan angkatan darat (AD), untuk mengeliminasi lawan politiknya. Ketika kolaborasi ini menang, para pengusung ide-ide liberalisme ini, memilih bungkam atau bahkan membiarkan saja ketika AD, memelopori pembantaian terhadap mereka yang dicap sebagai musuh politiknya.
Segera setelah peristiwa kemanusiaan terburuk sepanjang sejarah politik modern Indonesia itu, kalangan liberal mulai memadu-kasih dengan rejim Orba. Ada yang menjadi penasehat, juru runding, juru bangun, agen propaganda, dan juga eksekutor kebijakan-kebijakan Orba. Pada saat bersamaan, parade kekerasan datang silih berganti dengan derajat berbeda-beda. Segera setelah melibas musuh di sebelah kiri, rejim ini juga membabat musuh yang ada di sebelah kanan. Sementara itu, kalangan liberal terus melanjutkan bulan-madunya. Mereka baru tersentak, ketika rejim yang disokongnya itu pada akhirnya mulai mendahulukan kepentingan birokratisnya demi kelangsungan kekuasaannya.
Pertanyaannya, mengapa kaum liberal ini bersekutu dengan kekuatan anti-demokrasi plus anti-liberalisme? Untuk menjawab soal ini, saya mau mengutip analisa Luis Vitale, yang dituangkan dalam bukunya History of Chile, (1969). Dalam bukunya itu, Vitale mengatakan, filsafat liberal yang di Eropa pada abad ke-18 merupakan hasil dari revolusi demokratik-borjuis, di Amerika Latin merupakan bagian dari revolusi “kemerdekaan politik.” Sebagai bagian dari revolusi kemerdekaan politik, liberalisme di negara berkembang justru menjadi senjata teoritik untuk melawan kolonialisme oleh borjuasi Eropa. “Sementara borjuasi lokal memiliki kebutuhan untuk mencari pasar baru, raja Spanyol malah membatasi pasaran untuk ekspor; sementara borjuasi lokal butuh untuk membeli barang-barang manufaktur dengan harga murah, kekaisaran Spanyol malah membatasi mereka agar mereka hanya mengonsumsi barang yang dijual oleh pedagang Spanyol dengan harga mahal; sementara orang-orang Amerika meminta pengurangan tarif pajak, kekaisaran malah menerapkan tarif pajak baru yang lebih besar; sementara borjuasi lokal menuntut akumulasi kapital dan sisa surplus ekonomi di Amerika Latin, kekaisaran Spanyol malah mengambil bagian terbesar dari surplus dan menetapkan kebijakan modal yang mengambang (floating financial),” tulis Vitale.
Pada tahap inilah, liberalisme di tanah jajahan berwatak progresif dan membebaskan. Tetapi, seperti dikemukakan Andre Gunder Frank dalam bukunya, Lumpen Bourgeoisie Lumpen Development Dependence, Class, and Politics in Latin America, (1972), liberalisme di negara kapitalis pinggiran ini tidak ditujukan untuk mentransformasikan struktur sosial yang menindas warisan kolonial. Para elite ini, begitu sukses merebut kekuasaan, malah mengembangkan struktur baru hubungan yang bersifat tergantung, hubungan kolonial.
“….they reinforcement the ties of economic dependence by strengthening the export economy and the structure of underdevelopment,” tulis Frank.
Di sini muncul pertanyaan lain, mengapa liberalisme yang semula berwatak progresif lantas berubah menjadi konservatif bahkan reaksioner? Mari kita kembali sejenak pada Luis Vitale. Ketika membandingkan antara liberalisme di Eropa dengan liberalisme di Amerika Latin, Vitale mengatakan, “di tangan borjuasi Eropa, liberalisme menjadi senjata untuk melawan feodalisme; di Amerika Latin, liberalisme diadaptasi oleh para borjuasi lokal (creole) untuk melawan monarki Spanyol. Di Eropa, filsafat liberalisme menjadi doktrinnya kaum borjuasi industrial; sementara di Amerika Latin, ia menjadi doktrin ideologisnya para tuan tanah, pemilik pertambangan, dan pedagang. Jika di Eropa liberalisme menjadi argumen untuk melindungi industri; di Amerika Latin, liberalisme menjadi argumen untuk melegitimasi perdagangan bebas.”
Dengan menilik basis sosial-ekonomi para pengusung liberalisme di negara kapitalis pinggiran, tidaklah aneh jika kemudian liberalisme berubah menjadi doktrin yang konservatif. Ketika basis ekonominya mulai berkembang, kalangan borjuasi lokal ini membutuhkan pasar untuk kelangsungan pengembangan kapasitas produksinya. “Di Argentina,” tulis Frank, “liberalisme bisa ditelusuri jejaknya pada masa pemerintahan Mitre 1862, ketika terjadi lonjakan ekspor yang dimulai pada 1860, dan mengalami percepatan setelah periode 1870-1880. Di Brazil, permulaan liberalisme mungkin bisa dilihat sejak diundangkannya kebijakan anti perbudakan dan berdirinya Republik pada 1888 dan 1889. Hal ini beriringan dengan lonjakan ekspor kopi dan pertumbuhan kota Sao Paulo pada 1880an dan 1890an. Di Chile, setelah 1860, liberalisme diberlakukan karena mendatangkan keuntungan bagi kelas petani baru di Selatan, dan pertambangan di Utara – setelah pertumbuhan cepat produksi tembaga dan terigu yang menyebabkan ekspor Chile antara 1844 dan 1860, bertumbuh tiga kali lipat.”
Demikian sebaliknya, ketika kapasitas produksinya anjlok, liberalisme serta-merta bermetamorfosis menjadi senjata teoritik untuk melegitimasi kebijakan ekonomi yang proteksionistik. Proteksionisme di sini, tidak bermakna melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk asing, apalagi untuk melindungi sektor ekonomi rakyat, sebab hubungan yang terjadi adalah hubungan ketergantungan. Pada masa “proteksionisme” ini, pasar dalam negeri tetap terbuka bagi produk impor; hubungan-hubungan ekonomi dengan pihak asing tetap berlangsung, misalnya, sektor-sektor yang semula tertutup bagi investasi asing kemudian dibuka. Atau dalam bahasa Nikolai Bukharin, proteksionisme bahkan bermakna akuisisi untuk menambah perbedaharaan kapital pada satu sisi, dan memfasilitasi kompetisi di pasar dunia, di sisi lain (Nikolai Ivanovich Bukharin, “Imperialism and World Economy,” 1929). Artinya, hubungan produksi yang timpang tetaplah berlangsung, bahkan kian intensif karena ketergantungan terhadap senior partner (korporasi multinasional) semakin dalam. Dengan demikian, proteksionisme di sini bermakna, melindungi kepentingan borjuasi nasional yang merupakan junior partner, dari gerakan progresif-radikal yang menentang hubungan sosial yang bersifat kolonial itu.
Pada tahapan inilah, kalangan liberal mengadakan persekutuan tidak suci (unholly alliance) dengan militer, guna mengamankan kepentingan ekonomi-politiknya. Demikianlah,
“After they had reached power and imposed their policy of ever greater dependence on expanding imperialism – with the economic, social, and political conflicts and tension resulting from this policy – these very liberals were the first to resort the repressive measures and even to military dictatorship to serve their own economic interest,” (Frank).
Inilah yang terjadi di Indonesia, menjelang dan setelah Peristiwa G30S 1965.***
Coen Husain Pontoh