Kudeta militer terhadap pemerintahan sipil hasil pemilu, pimpinan perdana menteri (PM) Thaksin Shinawatra, merupakan preseden politik yang sangat menarik. Militer Thailand yang otoriter, yang bergelimang darah ketika berkuasa, karena itu dicap anti-demokrasi, kini dianggap sebagai lembaga yang sanggup memulihkan citra demokrasi yang bobrok di masa kepemimpinan Thaksin.
Pada sisi yang lain, gerakan prodemokrasi, yang berjuang sekuat tenaga melawan rejim kediktatoran militer, kini hanya memiliki peran politik pinggiran dalam merawat bangunan demokrasi yang rapuh. Mereka terseok-seok bergerak di tengah -tengah permainan politik elite. Bagaimana sesungguhnya, keadaan politik, perspektif ideologi, dan peta gerakan politik di Thailand, yang memicu kudeta militer tersebut? Untuk mengetahuinya, Coen Husain Pontoh dari IndoProgress mewawancarai DR. Vedi Renandi Hadiz, associate professor di Department of Sociology, National University of Singapore, yang dua hari setelah kudeta berlangsung mengunjungi negara Gajah Putih itu. Berikut petikannya:
IndoProgress (IP): Setelah lebih dari 15 tahun absen dari politik praktis, mengapa militer Thailand kembali dengan tradisi kudetanya?
Vedi Renandi Hadiz (VRH): Ada banyak faktor, di antaranya yang terpenting adalah dukungan Raja yang secara tersirat disampaikan lewat Jendral Prem, penasehat Raja. Raja Bhumipol sendiri sudah sejak lama menunjukkan ketidaksenangannya pada Thaksin. Tanpa dukungan seperti ini, tidak mungkin seorang perwira seperti Jendral Shonti, berani mengambil tindakan kudeta.
Kedua, Thaksin telah mengembalikan konflik politik ke dalam tubuh militer dengan upayanya untuk memajukan orang-orang dekatnya dan menyingkirkan orang-orang yang dianggap kurang kooperatif. Diperkirakan, Thaksin telah bersiap-siap sebelum kudeta untuk melalukan reshuffling yang hebat di tubuh militer. Akibatnya, sebagai institusi, militer mengembangkan kepentingan untuk melindungi otoritas dan otonominya terhadap pemerintah Thaksin.
Ketiga, militer mencium bahwa golongan menengah perkotaan, terutama di Bangkok , yang selama ini menentang peranan politik militer, justru akan mendukungnya. Setidak-tidaknya, golongan menengah ini tidak akan menentangnya karena mereka juga berharap Thaksin cepat meninggalkan kekuasaan. Lucunya, golongan menengah perkotaaan (terutama intelektualnya) inilah yang selama ini gemar berbicara tentang demokrasi dan sekarang mengumandangkan pikiran aneh bahwa kudeta militer justeru untuk ‘menyelamatkan’ demokrasi.
IP: Dalam hubungan dengan kudeta itu, apa kesalahan mendasar Thaksin dalam hubungannya dengan militer sehingga ia harus dikudeta?
(VRH): Lihat point nomor dua di atas. Lebih jauh lagi kebijaksanaan Thaksin di Selatan, telah membuat marah banyak perwira militer. Selain meningkatkan peranan kepolisian (yang memang dekat dengan Thaksin karena ia bekas polisi dan juga kawin dengan anak bekas perwira tinggi kepolisian) di Selatan dan mengecilkan peranan tentara, Thaksin telah bersitegang dengan Jendral Shonti secara langsung. Yang agak ironis, Thaksin yang sipil justeru mendukung kebijaksanaan garis keras terhadap pembangkang di Selatan, sedangkan Jendral Shonti (yang Muslim), lebih cenderung pada perundingan.
IP: Pada awal tahun 2006, terjadi aksi masssa besar-besaran yang menuntut Thaksin mundur dari jabatannya. Tapi, aksi massa tersebut hanya sukses sebentar, selanjutnya Thaksin kembali menjadi PM. Apa sebenarnya penyebab kegagalan gerakan massa kala itu?
(VRH): Partai-partai yang bergabung dalam PAD, seperti Demokrat, Chart Thai, dan Mahachon sebenarnya kurang mempunyai dukungan akar-rumput yang kuat. Mereka tahu, dalam pemilu terbuka mereka akan kalah pada Thai Rak Thai yang sampai sekarang masih popular di kalangan pedesaan. Aksi boikot pemilu mereka memang melukai Thaksin, karena hasil pemilu April akhirnya dibatalkan sebab dinyatakan tidak sah. Tetapi, mereka tidak mampu melangkah lebih jauh. Akibatnya, yang terjadi adalah ‘stalemate’ yang berkepanjangan hingga terjadi kudeta militer. Lebih jauh lagi, banyak aktor yang terlibat dalam aksi tersebut kurang mempunyai legitimasi karena latar belakang mereka sebagai bekas orang dekat Thaksin.
IP: Bagaimana sebenarnya konstelasi politik, perspektif ideologis, dan basis dukungan dari kelompok penentang Thaksin yang gagal itu?
(VRH): Partai politik di Thailand, pada umumnya tidak punya perspektif ideologis yang kuat. Dalam hal ini mereka menyerupai partai politik di Indonesia . Parpol Thailand lebih merupakah aliansi-aliansi sesaat dan taktis di antara orang-orang kuat, berpengaruh atau kaya. Meskipun demikian, Partai Demokrat kelihatannya didukung teknokrat lokal sebab, di bawah Chuan Lekpai, partai ini pernah menjadi pendorong utama proses liberalisasi ekonomi pasca-Krisis Asia . Di masa lalu, partai ini dianggap sebagai partai pro-monarki. Di tahun 1940-an, di bawah Seni Pramoj, partai ini sempat bertentangan dengan gerakan Pridi (salah satu tokoh utama kudeta 1932 terhadap kerajaaan absolutis) yang lebih progresif dan bernuansa sosialis. Partai Chart Thai, yang sekarang kelihatannya mulai banyak menampung orang dekat TRT yang mau menyeberang – adalah partai yang cenderung konservatif.
IP: Sondi Limthongkul, salah satu motor gerakan kelas menengah-atas perkotaan, paska kudeta militer langsung menyatakan dukungannya terhadap kudeta ini. Bagaimana menjelaskan sikap politik kelas-menengah atas Thailand seperti itu?
(VRH): Sondi adalah bekas tokoh mahasiswa kiri di tahun 1970-an, yang kemudian menjadi konglomerat bisnis media massa sejak tahun 1980-an. Di tahun 1990-an dia mulai beraliansi dengan Thaksin. Dia sempat menjadi pembawa acara tv yang banyak dia pakai untuk mengritik Thaksin setelah mereka pecah. Sumber perpecahan mereka kabarnya adalah dibatalkannya kebijaksanaan pemerintah Thaksin, untuk membatalkan sebagian besar hutang Sondi.
Orang lain yang penting adalah Chamlong, bekas jendral, walikota Bangkok, dan tokoh pemberontakan 1992 melawan pemerintah militer di bawah Suchinda. Pada tahun 1976 dia menjadi pimpinan perwira yang dikenal sebagai ‘Young Turks’ — kelompok yang dianggap paling bertanggungjawab atas pembantaian terhadap gerakan mahasiswa periode 1970-an. Dia juga pernah amat dekat dengan Prem. Chamlong bekas ketua partai Palang Dharma, yang sempat menjadi kendaraan Thaksin pula di masa lebih awal karir politiknya, juga adalah penganut agama Buddha garis keras yang tampaknya kecewa dengan watak kapitalisnya Thaksin. Lihat pula komentar di atas tentang sikap kelas menengah.
IP: Khusus di kalangan akar rumput, basis dukungan Thaksin sebagian besar adalah petani. Padahal, pada dasarnya kebijakan Thaksin sangat bias perkotaan. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?
(VRH): Thaksin adalah representasi kemenangan borjuasi Thailand pasca-Krisis Asia . Mereka mengambil alih kekuasaan Negara untuk melindungi kepentingan mereka yang waktu itu terancam oleh kebijaksanaan Chuan Lekpai, yang cenderung menguntungkan modal asing. Tapi semakin lama, Thaksin lebih mementingkan kepentingan kelompok bisnisnya sendiri dan membuat marah elemen-elemen borjuasi lainnya. Masalahnya, Thaksin semakin menjadi representasi kemenangan SATU orang anggota borjuasi, bukan kelas borjuasi secara UMUM.
Walaupun demikian, Thaksin pintar menggabungkan kebijaksanaan neo-liberal (misalnya ketika kebijaksanaan privatisasi menguntungkannya) dan kebijaksanaan populis yang memenangkan dukungan kaum petani. Di kalangan petani, dia dikenal sebagai satu-satunya PM yang memenuhi janji kampanyenya. Dia menyuntik dana besar kepada setiap desa, mengembangkan kebijaksanaan ‘one tambon one product’ dan membuat biaya pengobatan murah bagi orang miskin (suatu hal yang membuat Thaksin tidak popular di kalangan dokter medis).
Pada dasarnya, Thaksin mampu melakukan semua ini karena upayanya yang berhasil untuk melakukan sentralisasi kekuasaan Negara pada dirinya sendiri – termasuk kekuasaan anggaran. Belum lagi kekayaaannya pribadinya serta berbagai sumber dana off-budget yang kabarnya dikuasainya. Dengan basis dana seperti ini money politics yang digencarkan Thaksin amat sulit dilawan partai lain. Partai Demokrat, misalnya cuma kuat di kota besar seperti Bangkok dan di Selatan, yang amat membenci Thaksin.
IP: Berkaitan dengan basis dukungan akar rumput ini, bagaimana sebenarnya dukungan mereka terhadap kelompok-kelompok progresif di Thailand ?
(VRH): Kelompok progresif Thailand tidak punya kendaraan politik yang baik, seperti juga di Indonesia . Upaya tokoh kiri, Giles Ungpakorn, untuk bikin partai bernuansa sosialis, dulu pernah gagal. Banyak intelektual progresif masa 1970-an dan 1980-an menjadi pembantu Thaksin – mereka pikir, mereka berhasil ‘mengambil alih’ Negara dengan cara ini. Tentu ini asumsi yang sangat keliru. Sebagian lagi menjadi pengusaha atau tenaga ahli yang mendukung partai-partai yang tidak berwawasan maju. Kekuatan LSM juga beragam ciri politiknya – sebagian adalah ‘tukang’ pembangunan. Assembly of the Poor, yang sempat giat di kalangan miskin desa (dan kota untuk sebagian), kelihatannya sudah lewat masanya. Serikat buruh sudah lama tercerai berai, walaupun ada sektor-sektor yang kadang-kadang menunjukkan militansi.
IP: Pelajaran apa yang bisa dipetik oleh gerakan progresif di Indonesia , atas kudeta militer terhadap pemerintahan hasil demokrasi?
(VRH): (1). Kepentingan institusional militer untuk mempertahankan akses ekonomi dan politiknya selalu harus diwaspadai; (2). Militer di mana saja bisa menggunakan dalih ‘kepentingan nasional’ untuk mengubur demokrasi; (3). Walaupun demikian, coba perhatikan apakah militer di Thailand, mampu untuk memutar balik jarum jam kepada zaman diktator macam Phibun, Sarit, Thanom, atau Kriangsak. Saya kira tidak akan mampu. Demikian juga militer Indonesia. Dengan kata lain, walaupun militer mengambil langkah sebagaimana di Thailand, kediktatoran model tempo dulu akan sulit dipertahankan dan mereka harus bernegosiasi dengan berbagai kekuatan politik.
Sayangnya, kekuatan politik progresif yang mempunyai basis akar rumput kuat, sangat sulit ikut dalam proses negosiasi dan kontestasi tersebut. Jadi, politik dan demokrasi tetap menjadi mainan elite.***