Konflik Pilkada Aceh dan Teori Konspirasi Intelijen

Print Friendly, PDF & Email

Di salah satu koran nasional edisi 29 September 2006, kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar, menyatakan, potensi terjadinya konflik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh, sangat besar. Pernyataan serupa juga pernah dikeluarkan BIN pada masa menjelang Pemilu 2004. Dan seperti telah menjadi langganan, menjelang hari-hari besar keagamaan semisal idul fitri maupun natal, BIN juga selalu mengeluarkan pernyataan tentang kemungkinan akan terjadinya tindakan pengeboman atau aksi teror dalam berbagai bentuk.

Demikian pula, ketika bom meledak di Poso tahun 2006 lalu, Pangdam VII Wirabuana, juga berdasarkan laporan Intelijen, menyatakan, aksi teror bom di Palu dan Poso didalangi oleh eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Beberapa minggu setelahnya, ketika pelakunya tertangkap, ternyata ia adalah eks anggota tentara nasional Indonesia (TNI). Fakta-fakta di atas, bukanlah sesuatu yang sulit ditemukan dari pernyataan-pernyataan berdasarkan laporan intelijen yang bersifat konspiratif.

Teori konspirasi sejatinya lahir dari bangunan prakonsepsi, asumsi, praduga atau bahkan imajinasi yang sudah terbangun mendahului fakta. Menurut Syafii Anwar, teori konspirasi menjadi masalah besar ketika masuk pada tiga area. Pertama, ketika teori konspirasi mengarah kepada apa yang disebut sebagai pharanoia within reason. Selalu ada semacam paranoia atau ketakutan yang berlebihan, yang selalu mengikut dalam akal manusia. Hal ini seperti dikatakan Sigmund Freud, seorang pencetus psikoanalis, sebagai penyebab dari mimpi yakni, ketakutan atau keinginan berlebihan yang selalu menekan alam bawah sadar manusia.

Kedua, teori konspirasi juga mengembangkan apa yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai systematically distortion of information. Informasi yang di didistorsi sedemikian rupa secara sistematis sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan. Tentu kita ingat pepatah, kebohongan yang diulang seribu kali akan menjadi sebuah kebenaran.

Ketiga, teori konspirasi juga selalu mengarah kepada terrorizing of the truth, karena sulit dibuktikan maka pernyataan yang berbau konspiratif justru menjadi teror bagi kebenaran.

Contoh-contoh pernyataan di awal tulisan ini, memenuhi tiga kriteria mengenai teori konspirasi tersebut. Pernyataan Syamsir Siregar di DPR, adalah pernyataan yang berasal dari pharanoia wthin reason, praduga subyektif dan dibangun di atas ketakutan berlebihan, ketika GAM, kelak akan memenangkan pertarungan dalam Pilkada Aceh. Demikian pula pernyataan Pangdam VII Wirabuana, yang menuduh eks PKI sebagai dalang aksi teror bom di Poso Sulawesi Tengah, juga didasarkan pada ketakutan dan kebencian yang terekam di kepalanya tentang hantu komunisme. Pernyataan Syamsir juga memenuhi kriteria systematically distortion of information, sebab pernyataan itu sangat sulit dibuktikan, mendahului fakta lapangan. Kalau mau jujur, seharusnya Syamsir mengajukan indikator-indikator tentang eskalasi konflik maupun fakta-fakta mengenai potensi munculnya konflik menjelang Pilkada Aceh, bukan malah mendahului fakta dengan menyatakan bahwa potensi konflik dikarenakan adanya calon yang berasal dari GAM dan non GAM. Pernyataan itu, justru besar kemungkinan malah akan merangsang timbulnya potensi konflik, sebab masyarakat yang tadinya tidak berpikir ke arah itu malah menjadi menduga-duga dan resah setelah keluarnya pernyataan itu. Inilah yang kemudian disebut sebagai distorsi informasi atau disinformasi.

Kriteria mengenai terrorizing of the truth, juga terpenuhi dengan keluarnya pernyataan Syamsir itu. Bagaimana tidak, belum ada tanda-tanda konflik menjelang Pilkada di Aceh, semua berjalan wajar-wajar saja, namun jika suatu saat ada gesekan di masyarakat maka pernyataan Syamsir akan menjadi referensi utama dalam community mind. Semua akan berpikir bahwa segala sesuatu terjadi diakibatkan oleh dikotomi yang telah sengaja dibangun oleh Syamsir, GAM dan Non GAM.

Pernyataan seperti itu sebenarnya tidak perlu dikeluarkan oleh seorang Kepala BIN. Ada tiga alasannya: pertama, karena hanya berdasar pada teori konspirasi sehingga sulit dipertanggungjawabkan dan juga berpeluang membangun dikotomi antara GAM dan Non GAM sehingga terjadi segregasi (pemisahan) dalam masyarakat yang kelak akan membawa masyarakat Aceh pada posisi yang berhadap-hadapan dan sangat mudah diprovokasi. Kedua, jika kita percaya bahwa proses damai di Aceh adalah kemauan baik kedua belah pihak (GAM dan Pemerintah RI), maka kita harus percaya bahwa mulai dari MoU, rekonstruksi, pilkada, hingga reintegrasi adalah upaya untuk memenangkan kepentingan rakyat Aceh secara menyeluru. Dengan demikian, paranoia jika GAM kelak memenangkan Pilkada di Aceh, tidak perlu muncul dalam wajah yang konspiratif tapi, diterjemahkan sebagai kemenangan rakyat Aceh secara keseluruhan.

Ketiga, Syamsir dengan pernyataan itu bisa dikategorikan sedang melakukan apa yang dalam dunia inteljen dikenal sebagai information operation. Di sini informasi dijadikan sebagai alat dalam operasi intelijen. Jika benar BIN memiliki data yang kuat, seharusnya Syamsir tidak perlu mengeluarkan pernyataan tersebut ke publik, sebab hanya akan diamanfaatkan menjadi komoditas politik. Terbukti setelah pernyataan Syamsir, dua orang anggota DPR RI Dedy Djamaluddin Malik (PAN) dan Soeripto (PKS), langsung menyatakan bahwa BIN harus segera menindaklanjuti laporan tersebut sebab menangnya GAM bisa jadi akan membangkitkan kembali Ideologi Kemerdekaan (mungkin karena tidak menemukan kata ganti ideologi komunis sehingga kata ini digunakan) di Aceh. Pernyataan ini juga berpeluang mempersiapkan kambing hitam, jika kelak terjadi konflik di Aceh: GAM sebagai dalang yang harus dipersalahkan.

Pernyataan berbau konspiratif harusnya tidak lagi diucapkan oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi untuk menyatakan hal-hal yang berbau ramalan. Pernyataan seperti itu nyata didasari oleh motif kepentingan politik untuk melakukan konstruksi wacana yang bukannya meminimalisir potensi konflik dan ancaman bagi warga negara, malah menjadi obat perangsang terjadinya konflik dalam Pilkada Aceh. Seharusnya, semua pihak berlapang dada dengan proses demokrasi di Aceh. Majunya calon dari GAM dalam Pilkada, harus disikapi sebagai wujud integrasi GAM kembali ke sistem negara.

Pengalaman Pemilu 2004 dan Pilkada di berbagai daerah menunjukkan, potensi konflik dalam proses pemilu terjadi karena ketidakpuasan atas adanya indikasi kecurangan dan pelanggaran dalam pemilu. Soal inilah yang seharusnya dibereskan oleh penyelenggara pemilu: kampanye yang bukan pada waktunya, pemantauan dana kampanye, korupsi, atau indikasi money politics. Penegakan hukum, kinerja KIP yang baik dan jujur, transparansi dan akuntabilitas dalam pilkada, adalah jawaban yang tepat untuk menjawab kekhawatiran akan terjadinya konflik dalam Pilkada Aceh.

Bukan melempar pernyataan konspiratif yang sulit dipertanggungjawabkan.***

Saiful Haq

Penulis adalah mahasiswa Defense Study ITB-Cranfield University, juga bekerja sebagai pemerhati studi konflik dan perdamaian Aceh.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.