Prospek Demokrasi di Era Prabowo: Sebuah Pembacaan Awal

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


TIDAK lama lagi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden. Kemestian ini telah membangun rasa khawatir terutama di kalangan pengamat dan aktivis tentang suramnya masa depan demokrasi kita. 

Tulisan ini tidak menolak kemungkinan senjakala demokrasi, namun berbeda dengan situasi spesifik yang dibayangkan para pengamat. Tulisan ini pertama-tama akan menawarkan alternatif dalam membaca kepemimpinan nasional. Selanjutnya menerapkan cara baca tersebut pada Prabowo untuk, pada akhirnya, mendiskusikan kembali masa depan demokrasi. 

Perlu ditegaskan bahwa merosotnya kesehatan Prabowo dapat menggagalkan skenario apa pun. Begitu pula kedaruratan yang berlarut dapat menjadi dalih perpanjangan masa jabatan maupun pemakzulan. Namun, kemungkinan demikian sengaja dikesampingkan demi tujuan analitis yang lebih bisa dipegang.


Politik sebagai Interplay 

Saat ini setidaknya terdapat tiga corak penjelasan mengenai prospek demokrasi. Pertama, analisis yang memperkirakan kembalinya otoritarianisme dengan mengalamatkan pada kepribadian Prabowo dan latar belakangnya sebagai tentara. Lalu, analisis yang menganggap penjelasan sebelumnya berlebihan karena melupakan kemampuan para oligark untuk bekerja sama dalam mempertahankan institusi demokrasi demi melindungi kepentingan sendiri daripada pemusatan kuasa pada seorang tiran. Terakhir, analisis yang meninggalkan dua penjelasan sebelumnya dengan mengajukan tesis kebangkitan plutokrasi sebagai akibat dari keharusan Prabowo membagi-bagi kekuasaan kepada kalangan super kaya.

Analisis-analisis di atas, terlepas perbedaan-perbedaan mereka, sama-sama berperspektif deterministik. Tinjauan masa depan demokrasi dijelaskan dengan logika kausalitas yang cenderung linier. Penjelasan kubu pertama berpusat pada aktor, yakni Prabowo dengan politik tangan besi. Sementara penjelasan kubu kedua dan ketiga berpusat pada kekuatan-kekuatan struktural, politik maupun ekonomi, yang menentukan bagaimana Prabowo mengelola kekuasaan akan berdampak pada kondisi demokrasi. 

Keberatan patut diajukan terhadap teori supremasi aktor karena penjelasannya terlalu simplistis di tengah banyaknya paradoks kepemimpinan nasional. Pembacaan terhadap para presiden di masa pasca-Reformasi menggugat penjelasan positivistik semacam itu. Sebagai contoh, publik pernah mengelu-elukan Jokowi sebagai “orang baik” karena tidak berasal dari lingkaran elite lama dan kelompok oligarki, lalu terperanjat dengan ambisi politik dan cawe-cawenya. Contoh lain, dengan bekal pengalaman sebagai jenderal, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) digadang-gadang memberi kepastian dan ketegasan dalam transisi demokrasi dan perekonomian dunia yang volatil, namun justru muncul sebagai figur ambivalen dalam hampir segala hal. Sikap Jokowi dan SBY saat berkuasa melenceng dari sebab-sebab yang menjelaskannya. 

Di lain pihak, determinisme politik mengeliminir kemungkinan perubahan dengan menggelar patok-patok struktural yang membatasi. Aktor dianggap sebagai perpanjangan tangan kepentingan politik dan modal, atau kombinasi keduanya seperti Indonesia yang sudah lama mengembangkan pembangunan yang state-captured. Determinisme tersebut melupakan kekuatan aktor dengan leverage luar biasa, yakni faktor presiden yang ambisius, punya partai besar, serta segala otoritas dan modalitas lain yang dia punya. 

Sebagai alternatif, tulisan ini mengajukan politik sebagai upaya saling pengaruh (interplay) antara ambisi, kekuatan ekonomi, dan kekuasaan politik. Perubahan yang dihasilkan oleh politik presidensial bukan sekadar objektivikasi diri aktor, bukan pula penjumlahan dari tekanan-tekanan struktural semata. Ia lahir dari dialektika struktur dan aktor dalam berbagai ruang dan momen yang menentukan. 

Mikhail Gorbachev di Rusia merupakan contoh par excellence dalam kasus ini. Bagaimana sistem yang begitu kaku bisa menghasilkan seorang pemimpin yang malah membongkar sistem yang melahirkannya. Kebijakan Glasnost dan Perestroika yang dia luncurkan bukan saja menimbulkan oposisi, tapi juga menandai lahirnya sistem kapitalisme baru yang meruntuhkan Uni Soviet dan terus menjalar ke negara-negara dalam blok sosialis-komunis.


Mula Ambisi 

Ada dua hal yang perlu ditekankan dari politik sebagai interplay dalam membaca Prabowo. Siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin nasional —sepanjang bukan boneka— pastilah memiliki kondisi dan kapasitas tertentu untuk jadi pemenang. Selanjutnya, modalitas tersebut dan kekuasaan sekarang akan dia gunakan untuk mengonstruksi citra diri dan dunia yang ingin dibentuk. 

Tekanan-tekanan hanya relevan sejauh itu menjadi perhatian dan pembelajaran sang aktor, lalu dia manipulasi untuk kepentingan berkuasa. Itulah yang, misalnya, Jokowi lakukan guna melawan mandat petugas partai dari Megawati Sukarnoputri dalam pertarungan makna dan relasi kuasa. Sembari bertarung, Jokowi tancap gas dengan ambisi menjadi Bapak Infrastruktur dan membangun dinasti politik sekaligus memorak-porandakan tatanan konstitusi dan perundang-undangan di negeri ini. Dengan kata lain, jangan abai pada orang dengan kekuasaan besar di tangan yang ambisius dan cepat belajar. 

Balik ke Prabowo. Ambisinya dapat dibaca dengan mudah di berbagai agenda prioritas sebagai kontestan bursa presiden atau dalam platform Partai Gerindra. Prabowo mencita-citakan Indonesia menjadi bangsa besar yang berdaulat dan mandiri, memberi keadilan sosial bagi semua. Sayangnya, harapan pencapaian ditopangkan pada resep pembangunan yang lazim digunakan Jokowi. Perekonomian berbasis sumber daya alam, hilirisasi, hingga infrastruktur, ditambah sentra pangan dan pariwisata, investasi dan perpajakan, dan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. 

Tidak ada tawaran yang signifikan dari Prabowo soal reformasi hukum dan politik. Ada wilayah yang tak ingin disentuh olehnya, seperti soal pelanggaran HAM berat masa lalu dan agenda mendasar lainnya. Prabowo lebih senang menyelesaikan perkara HAM lewat politik daripada sebagai proses hukum. Tindakan ekstra-yudisial sudah terlihat dalam pemberian kompensasi kepada keluarga dan korban penculikan  yang terjadi selama Reformasi. 

Sebaliknya, Prabowo akan menunggangi pasang naik permintaan untuk kembali ke UUD 1945 daripada memperbaiki sistem hukum dan politik kepemiluan. Memimpin Partai Gerindra memberinya insight bahwa agenda ini hanyalah pragmatisme politik daripada pertimbangan ketatanegaraan yang mendalam. Parpol semakin terdesak oleh monster ciptaan sendiri —berupa sistem kepemiluan yang bergelimang politik uang. Jual beli suara dan tiket kandidasi elektoral telah membuat parpol bangkrut dan petinggi politik terjerat perkara korupsi. Politikus pun ingin mempertahankan kariernya dari ancaman selebritas dan anak muda yang lebih populer dan disenangi pemilih. 

Pengangkatan (bukan pemilihan) kepala pemerintahan di tingkat nasional dan daerah menjadi alat bagi-bagi kekuasaan. Bagi rival politik, itu hanya demi mempertahankan patronase dan mengamankan dinasti kekuasaan dengan cara mudah. Namun bagi Prabowo, berarti dia hanya perlu memenangkan suara di MPR melalui tawar menawar politik untuk melanjutkan jabatannya di periode kedua dan entah sampai kapan. 

Di sinilah Prabowo akan berbenturan dengan ambisi Jokowi untuk memperpanjang (pengaruh) kekuasaan. Jokowi menguasai partai-partai politik bukan hanya demi kepentingan hari ini, tapi juga mengantisipasi perubahan konstitusi dan sistem politik kita di masa depan. Skenario kembali ke UUD 1945 akan menjadi tarik-ulur Prabowo dengan Jokowi (dan Megawati sampai batas tertentu) demi sebesar-besarnya kekuasaan periode selanjutnya. 


Linimasa Kekuasaan

Politik akomodasi telah mengangkat Prabowo masuk ke pemerintahan. Inilah milestone pertama proto-kekuasaan Prabowo di era pasca-Reformasi. Kita tidak lagi membahas ini karena sudah masa lalu yang banyak diulas. Cukuplah disampaikan bahwa di fase ini, kartu Prabowo dan pengikut militernya hidup kembali dan menjadi fondasi untuk menopang kekuasaan yang lebih besar nanti. Posisi menteri pertahanan telah membuka akses Prabowo kepada dunia internasional, khususnya di bidang politik-keamanan. Sementara secara domestik memberi akses kepada para loyalisnya di militer untuk menjabat posisi-posisi penting. 

Milestone kedua Prabowo berupa kekuasaan sebagai presiden. Akan tetapi, dia belum bisa menjalankan ambisi-ambisi politiknya di periode pertama,  kecuali melanjutkan warisan rezim sekarang dan sekadar meletakkan fondasi bagi periode selanjutnya. Mulanya Prabowo lebih terbuka pada kekuatan politik yang melingkupi pemerintahannya dalam bentuk politik akomodasi dan bagi-bagi proyek pengadaan dan industri ekstraktif. Terhadap tekanan struktural, dia akan mengamankan kepentingan modal atas sumber daya alam yang akan memberinya sejumlah devisa untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi, bantuan sosial, dan pelayanan publik. 

Meskipun eksploitasi dan represi akan terus terjadi demi pertumbuhan, hal itu tidak serta-merta melahirkan kemarahan dan perlawanan karena formula penawarnya —dalam berbagai kebijakan populis selama masa Jokowi— berjalan efektif. Jaring pengaman serupa akan Prabowo terapkan, apalagi dia mendapat dukungan kas negara untuk pemberian makan siang gratis dan bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil. Penyedia asupan makanan dengan mudah disulap menjadi infrastruktur dapur umum —termasuk dengan menggunakan militer— saat krisis ekonomi menerpa. Dengan cara-cara ini, Prabowo bisa meredam gejolak yang mengancam kekuasaan. 

Untuk awet berkuasa, Prabowo cukup menjaga legitimasinya. Bukan karena memenangkan pemilu saja, namun juga sebagai penguasa yang mencukupi kebutuhan publik dan memuaskan koalisi politiknya. Sambil menjalankan program-program populis dan politik transaksional, dia punya ruang yang cukup untuk meletakkan fondasi bagi rencana untuk berkuasa dalam periode kedua. 

Milestone ketiga merupakan periode kedua kekuasaan Prabowo. Faktor militer menjadi pembeda dalam politik dan pembangunan di era Prabowo. Dia mewarisi pintu yang sudah dibuka lebar oleh Jokowi untuk militer. Simbiosis ini telah memberi keuntungan bagi perwira militer untuk menduduki posisi di jabatan sipil maupun bisnis milik negara. Prabowo menggenapi jajaran menteri Jokowi dari latar belakang militer-polisi lainnya. 

Yang lebih mencengangkan, banyaknya militer-polisi aktif yang ditempatkan di BUMN, biarpun menabrak UU TNI dan UU Polri. Ombudsman RI mencatat bahwa 397 komisaris BUMN merangkap jabatan yang mengandung konflik kepentingan pada 2020. Kalangan TNI-Polri merupakan penyumbang kedua rangkap jabatan setelah ASN aktif dari kementerian dan lembaga. 

Di tahun akhir pemerintahan Jokowi, DPR masih mengagendakan revisi UU TNI dan UU Polri. Meskipun tidak berhasil dituntaskan, rencana legislasi tersebut telah diluncurkan (carryover) ke tahun depan dengan DPR baru. Prabowo akan mendapatkan legalisasi atas praktik era Jokowi untuk menempatkan TNI dalam menduduki jabatan sipil. Sementara polisi diperluas kewenangannya untuk melakukan kerja intelijen, penyadapan, dan pembatasan internet. Dwifungsi, bahkan multifungsi, dari TNI-Polri di era Prabowo sangat mungkin menjadi alat kekuasaan untuk menekan oposisi di tingkat elite maupun di tingkat rakyat.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ancaman Totalitarianisme 

Lima tahun pemerintahan Prabowo akan berada dalam dunia yang didera krisis demi krisis. Bukan hanya kehancuran ekologi dan perubahan iklim, dunia juga mengalami gelombang perang dan krisis kemanusiaan yang telah merontokkan wibawa dan pengaruh badan-badan multilateral. Persaingan militer dan ekonomi telah pula membalikkan tata dunia unipolar menjadi multipolar. 

Di dalam negeri, perekonomian yang bergantung pada industri ekstraktif yang tak lestari, sarat korupsi, dan mengalami sunset, takkan lagi bisa menopang pembiayaan pembangunan dan konsumsi masyarakat. Negara tidak banyak menyediakan lapangan kerja di sektor formal, belum lagi eksistensi manusia semakin teralienasi oleh mesin-mesin pintar yang menggantikan talenta dan merebut pekerjaan. 

Jejeran tantangan yang sarat konsekuensi ekonomi-politik di atas tidak akan mungkin Prabowo hadapi dengan modal legitimasi dan alat-alat kekuasaan lama yang bertumpu pada oligarki politik. Prabowo pun, terlepas dari jargon-jargon kerakyatannya, punya bias kelas elite. Akan logis baginya untuk menoleh kepada teknokrat dan militer untuk mencari jawaban daripada kelompok aktivis, cendekiawan, budayawan, dan ilmuan. 

Kembalinya UUD 1945 dan perubahan sejumlah undang-undang, termasuk UU TNI dan UU Polri, akan mendukung Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai negara totaliter. Ambisi-ambisi Prabowo, bagaimanapun, adalah kejayaan dengan sistem dan aparatus yang sangat terkomando. Hal itu dimungkinkan oleh terbukanya dominasi militer dalam negara dan arus balik kebijakan resentralisasi yang telah dimulai oleh UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, dan produk perundang-undangan lainnya. 

Sejauh menggunakan perspektif konstruktivis, selalu ada kemungkinan tikungan-tikungan tajam yang bisa Prabowo ambil dalam menyikapi kenyataan politik-ekonomi. Dia bisa saja membangun narasi penyelamatan dunia (atas nama kemanusiaan, nasionalisme, rakyat, atau apa saja), betapa pun gila dan kontradiktifnya hal-hal tersebut. Bukankah itu resep paling jitu dari penguasa kanan paling konservatif dalam tata dunia yang penuh krisis? 

Daripada berandai-andai, mari kita merapal kembali bahwa tidak ada kekuasaan yang mengoreksi diri tanpa desakan dan kemendesakan. Hanya kekuatan model barulah, dengan berintikan anak muda, buruh, dan kaum penggerak, yang paling mungkin mengadang ambisi Prabowo karena solusi kelompok intelektual saja takkan pernah cukup. ***


Daftar Bacaan

Abdil Mughis Mudhoffir, “Kemenangan Prabowo Tidak Akan Mengembalikan Otoritarianisme di Indonesia” dalam IndoProgress, 22 Februari 2024. 

Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003. 

Coen Husain Pontoh, “Prabowo dan Kediktatoran Kapital” dalam IndoProgress, 3 Mei 2024. 

Ian Wilson, An Election to End All Elections.

Muhammad Ridha, “Corak Pemerintahan Prabowo dan Prospek Perlawanan Rakyat” dalam IndoProgress, 3 Juni 2024. 

Prabowo Subianto, Surat untuk Sahabat, Jakarta: Mediakita, 2013.

Prabowo Subianto, Visi, Misi dan Program Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 

Seymour Martin Lipset, “Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy,” dalam the American Political Science Review, 1959, Vol. 53/No. 1.


Ilham B Saenong, Manager di Humanis untuk Kebebasan Sipil di Era Digital

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.