Kemenangan Prabowo Tidak Akan Mengembalikan Otoritarianisme di Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

KEMENANGAN mutlak Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 meningkatkan kekhawatiran mengenai masa depan demokrasi di Indonesia. Prabowo, kini Menteri Pertahanan, adalah seorang jenderal yang dipecat secara tidak terhormat dari angkatan bersenjata pada 1998 dan dilarang masuk ke Amerika Serikat serta Australia karena diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Banyak yang khawatir bahwa Prabowo, yang pernah menikah dengan anak dari diktator Soeharto, tidak terlalu berkomitmen terhadap demokrasi dan akan membawa Indonesia ke arah otoriter. 

Ian Wilson, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, misalnya, berpendapat bahwa jalan menuju otoritarianisme sudah jelas mengingat Prabowo dan partainya, Partai Gerindra, konsisten menyerukan ide kembali ke Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang asliUUD 1945 adalah landasan hukum yang menjadi dasar otoritarianisme dua presiden pertama Indonesia, Sukarno dan Soeharto, sebab mengizinkan sentralisasi kekuasaan di tangan eksekutif tanpa batasan masa jabatan. 

Konstitusi ini juga kurang memberikan perlindungan terhadap institusi demokrasi dan hak asasi manusia. Ketentuan ini baru ditambahkan lewat serangkaian amandemen yang diadopsi setelah Soeharto tumbang, antara tahun 1999 dan 2002. 

Masalahnya, terlalu fokus pada karakter personal Prabowo dan narasi UUD 1945 cenderung akan menyesatkan. 

Sepuluh tahun lalu, para pengamat dan aktivis menerapkan analisis personalistik semacam ini saat mengampanyekan dan merayakan kemenangan Joko Widodo menjadi presiden. Ia dianggap membawa harapan baru bagi demokrasi di Indonesia. Namun, sebaliknya, dalam beberapa tahun terakhir masa kepresidenannya, kita justru menyaksikan sejumlah langkah “illiberal” yang melemahkan fondasi demokrasi. 

Dengan mencermati lebih dekat cara kerja demokrasi di Indonesia, kita dapat melihat bahwa sebenarnya terdapat kendala struktural yang menghalangi upaya menegakkan kembali pemerintahan otoriter. Halangan itu bukan datang dari masyarakat sipil, melainkan dari persaingan di antara para elite predator yang berupaya memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan mereka sendiri. 

Hasilnya, demokrasi di Indonesia tidak bakal mati hanya karena kemenangan Prabowo. Demokrasi di Indonesia akan berjalan seperti biasanya: mempertahankan warisan pemerintahan Jokowi. Elite penguasa akan terus merusak demokrasi, tapi tidak bergerak lebih jauh untuk menggantinya dengan pemerintahan otoriter. 

Patut dicatat bahwa jatuhnya rezim otoriter Soeharto pada 1998 tidak hanya menghasilkan demokratisasi, tapi juga desentralisasi hubungan patronase ke aktor-aktor politik yang berbeda, yang sebagian besar terkait dengan jaringan lama. Persaingan di antara para aktor tersebut untuk mendapatkan kendali dan akses atas lembaga-lembaga publik tidak dapat dihindari, terutama menjelang pemilu. Namun, karena para elite ini mempunyai kepentingan yang sama dalam mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan untuk jaringan sendiri, mereka juga dapat dengan mudah bersatu dalam aliansi yang longgar. 

Contoh utamanya adalah bergabungnya Prabowo dan Partai Gerindra ke gerbong pemerintahan Jokowi setelah kekalahan pahit dalam Pilpres 2014 dan 2019. Masuk ke dalam kabinet sebagai menteri pertahanan memberikan mantan jenderal tersebut platform untuk berhubungan kembali dengan militer dan dengan pemerintahan asing penting seperti Australia dan Amerika Serikat. 

Pemilu yang kompetitif di Indonesia, dengan demikian, juga berfungsi sebagai media untuk menegosiasikan pembagian sumber daya politik dan ekonomi. 

Di bawah rezim otoriter, kekuasaan dan sumber daya terkonsentrasi hampir secara eksklusif di tangan satu penguasa atau partai. Di Indonesia, elite-elite lain yang bersaing menyadari bahwa konsentrasi seperti itu kemungkinan besar tidak bakal menguntungkan mereka, dan oleh karena itu berusaha menghalangi langkah-langkah ke arah tersebut. 

Dinamika ini dapat dilihat dari gagalnya manuver untuk menunda pemilu berikutnya dan memperpanjang masa jabatan Jokowi menjadi tiga periode. Beberapa orang yang dekat dengan Istana menyuarakan ide perpanjangan masa jabatan Jokowi, sebuah langkah yang memerlukan amandemen konstitusi.

Keberatan dan perlawanan dari para aktivis pro-demokrasi dapat dengan gampang diabaikan. Akan tetapi, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), partainya Jokowi sekaligus yang terbesar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berhasil menghalangi manuver-manuver politik yang berupaya mewujudkan ide tersebut. 

Megawati Sukarnoputri, anak Sukarno yang juga mantan presiden, memimpin penolakan itu sendiri sebagai Ketua Umum PDI-P. Dalam sebuah acara bincang-bincang di televisi awal bulan ini, Megawati mengatakan bahwa dia dan partainya sekadar menjalankan tugas untuk menjaga konstitusi. 

“Kalau bukan kita, lalu siapa?” katanya. “Amburadul enggak ada lagi nanti konstitusi. Lalu terus mau dijadikan apa negara ini?”

Terlepas dari retorika yang mulia itu, motif sebenarnya Megawati adalah keinginan untuk memajukan dinasti keluarganya, dengan membuka jalan bagi anaknya sendiri, Ketua DPR Puan Maharani, untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, karena rendahnya dukungan publik terhadap pencalonan Puan, Megawati akhirnya mengizinkan Ganjar Pranowo, mantan Gubernur Jawa Tengah, untuk membawa panji PDI-P pada pemilu karena popularitasnya yang relatif lebih tinggi. 

Penolakan Megawati terhadap amandemen konstitusi, sementara itu, membuka perselisihan dengan Jokowi. Hal itu tercermin dari sikap Jokowi yang memberikan dukungan kepada Prabowo, bukan Ganjar, calon dari partainya sendiri. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

PDI-P tampaknya akan kembali menjadi partai terbesar di legislatif, sementara Partai Gerindra di posisi ketiga dengan sekitar 13 persen suara–menurut penghitungan tidak resmi quick count. 

Lemahnya kekuatan Partai Gerindra akan membatasi kemampuan Prabowo untuk melakukan sentralisasi kekuasaan. Untuk mengamankan agenda legislatif dan memastikan pemerintahan yang stabil, Prabowo kemungkinan akan berupaya membangun koalisi yang mampu menjadi mayoritas di parlemen.

Hal ini membutuhkan negosiasi untuk membagi-bagi kekuasaan dan sumber daya pemerintahan dengan partai yang sudah tergabung dalam koalisi pemilu, termasuk Partai Golkar dan Partai Demokrat, serta partai-partai yang belum bergabung, juga dengan Jokowi sendiri. 

Karena pelantikan presiden baru akan dilaksanakan Oktober nanti, maka Jokowi masih punya kuasa yang besar sehingga Prabowo akan berupaya menghindari perpecahan dan kemungkinan besar akan meneruskan kebijakan-kebijakan Jokowi. 

Persaingan terus-menerus untuk mendapatkan kekuasaan serta negosiasi di antara para elite anti-demokrasi, dengan demikian, adalah penghalang bagi kembalinya pemerintahan otoriter ke Indonesia.

Namun, pada saat yang sama, landasan demokrasi Indonesia mungkin akan terus terkikis. Selama sisa masa jabatan Jokowi dan kelak di bawah kepemimpinan Prabowo, para pejabat kemungkinan akan terus berupaya memanipulasi hukum dan regulasi untuk menjinakkan lawan politik, membungkam kritik, serta merampas kekayaan negara. 

Masyarakat sipil terlalu lemah untuk secara signifikan menantang kepentingan anti-demokrasi. Namun, dengan organisasi yang lebih baik, mereka dapat menjadi kekuatan nyata dalam melindungi demokrasi dari pembajakan oleh kelompok elite predator. Demokrasi Indonesia tentu membutuhkan bantuan ini.


Abdil Mughis Mudhoffir adalah pengajar tidak tetap di Asia Institute of the University of Melbourne dan penulis State of Disorder: Privatised Violence and the State in Indonesia


Artikel berjudul asli “Prabowo’s victory won’t bring authoritarian rule back in Indonesia” ini diterjemahkan oleh Rio Apinino dan diterbitkan ulang atas seizin Nikkei Asia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.