Menatap Kembali Binatang: Memahami Bagaimana Manusia Menjadi Rasis

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Ted Eytan


CARA pandang kolonial terhadap binatang mewarisi berbagai bentuk kekerasan, tidak hanya pada binatang itu sendiri tetapi juga manusia. Oleh karena itu kita harus mempertanyakan ulang cara memandang binatang.

Contoh cara pandang tersebut dapat ditemukan di banyak tempat. Dalam merespons aksi Hamas pada 7 Oktober, Menteri Pertahanan  Israel, Yoav Gallant, misalnya, mengatakan bahwa mereka sedang bertarung dengan “binatang manusia”–tidak lain afirmasi rasisme. Narasi semacam ini bukanlah hal yang baru digulirkan pemerintah kolonial Israel. Pada 2002, lembaga studi hak asasi manusia dari Kairo Institute melaporkan bahwa pemerintah Israel, melalui institusi pendidikan, telah memproduksi narasi bahwa bangsa Arab dan Palestina adalah pembunuh. Para elite Israel turut memproduksi narasi bahwa orang-orang Palestina tak ubahnya “binatang”. Mereka menyebut orang-orang Palestina sebagai “kecoa”, “serangga berkaki dua”, “belalang”, atau “binatang buas yang berjalan dengan dua kaki”.

Apa yang terjadi di Palestina memicu beragam solidaritas, tak terkecuali dari masyarakat Indonesia. Namun solidaritas antarbangsa ini dipertanyakan ketika kelompok yang sama merespons negatif kedatangan ratusan pengungsi Rohingya yang berlabuh di Aceh pada Desember 2023. Bahkan pada 27 Desember 2023, sekumpulan mahasiswa di Aceh berdemonstrasi dalam rangka mengusir para pengungsi yang tengah tak berdaya. Aksi tersebut mendapat sorotan internasional, salah satunya dari jurnalis keturunan Palestina, Hebh Jamal. Di Instagram pribadinya, @hebh_jamal, ia menyatakan bahwa orang-orang Palestina menolak dukungan dari orang-orang yang memperlakukan orang lain sebagai subhuman.

Apa yang dikatakan Hebh Jamal sungguh relevan dengan pengalaman etnis Rohingya. Mereka acapkali merasa seperti binatang. Dalam sebuah laporan yang dilansir oleh The Guardian, salah satu pengungsi, Noor Ilyas , mengatakan bahwa dia dan pengungsi Rohingya lain akan seperti binatang jika terus-menerus hidup di kamp pengungsian. Ini senada dengan pernyataan Abdul Said di kanal berita HRW, bahwa semasa di Myanmar, ia acapkali dipanggil dengan kata-kata yang merendahkan sehingga membuat dirinya seperti binatang. Hal ini juga tergambar jelas lewat puisi yang ditulis orang Rohingya bernama Azad Mohammed. Dalam karya berjudul “A Rohingya Refugee visits the Zoo,” Azad menggambarkan bahwa kehidupan orang-orang Rohingya tidak ubahnya seperti hewan-hewan yang terkurung dalam kebun binatang.

Dalam aksi pengusiran mahasiswa Aceh, sejauh ini saya belum mendengar pernyataan yang secara gamblang mengatakan bahwa etnis Rohingya seperti binatang. Akan tetapi, dari beberapa video yang beredar, terlihat ada pelemparan bahkan ada peserta demo yang berusaha memukul kendati dilerai. Sontak tangis para pengungsi pecah. Mereka ketakutan karena mengalami kekerasan yang terus berulang.

Diperlakukan rasis akan membuat seseorang hilang rasa kemanusiaannya. Ia kemudian mempertanyakan batas antara manusia dan binatang. Di sisi yang lain, ucapan-ucapan yang menyatakan bahwa orang lain adalah binatang bahkan dapat menggiring sampai aksi genosida. Lihat saja bagaimana pemerintah kolonial memandang orang-orang yang mereka jajah. Arnoud Arps dalam artikel “Becoming a Beast in the Long Run”, mengutip pendapat Huggan dan Tiffin, menyatakan bahwa mempertimbangkan orang lain sebagai binatang tidak hanya berarti mengeksklusi mereka dari privilese kemanusiaan, tapi juga membuat pembunuhan yang dilakukan pada mereka dianggap tindakan non-kriminal. Menurut Claudia Zeller dalam ”Monkeys as Metaphors: Ecologies of Representation in Dutch Travel Writing About Suriname from Colonial Period” –yang mengutip pendapat Ahuja–proses animalisasi merupakan salah satu teknik umum yang digunakan para kolonial dan ini efektif untuk mendehumanisasi masyarakat asli yang sedang dikoloni.

Dalam konflik yang masih hangat, sekitar 20 ribu orang dibunuh oleh pemerintah kolonial Israel, dan 40% di antaranya merupakan anak-anak. Dalam waktu dua bulan, mereka dengan entengnya membombardir dan memusnahkan orang-orang yang jelas-jelas tidak bersalah. Sekelompok mahasiswa di Aceh mengamuk dan mengusir orang-orang Rohingya yang tidak berdaya. Pemerintah kolonial Israel belum mengucapkan permintaan maaf. Pun dengan para mahasiswa terhadap orang Rohingya. Tampaknya, mereka masih mengamini bahwa berbagai bentuk tindakan rasis bukanlah kejahatan. 


Taksonomi Carolus Linnaeus

Jejak rasisme yang melibatkan unsur hewani tidak bisa dilepaskan dari nama ilmuwan Swedia terkemuka, Carolus Linnaeus. Nama Linnaeus dikenal karena menemukan sistem penamaan binomial (dua kata), yang tidak serumit era sebelumnya. Sistem penamaan binomial masih digunakan hingga masa kini.

Sistem binomial tersebut dibicarakan lewat karya Systema Naturae yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1758–terdapat 12 edisi revisi. Dalam esai berjudul “How Taxonomy Constructed the Myth of Race”, Brittany Kenyon-Flatt menjelaskan bahwa pada edisi pertama buku tersebut, Linnaeus menempatkan orang-orang Eropa–Europeus–di puncak tertinggi dari hierarki kelompok Homo. Kemudian, pada edisi ke-10, ia membaginya lagi dengan lebih gamblang dengan memperhatikan karakteristik fisik dan sifat-sifat tertentu: Homo europeuas adalah manusia berambut sedikit pirang, bermata, bercahaya, bijak, dan penemu; Homo asiaticus–yang merujuk pada orang asia–adalah berambut hitam, bermata gelap, keras, angkuh, dan serakah; Homo africanus–yang merujuk pada orang afrika–adalah berambut hitam dengan banyak kepang, berbibir tebal, hidung pesek, licik, lamban, dan lalai. Pada edisi ke-10 ini ia menempatkan Homo americanus–merujuk pada masyarakat asli Amerika–di atas orang Afrika dan Asia lantaran memandang pengaruh bangsawan Eropa yang telah menginjak Amerika (baca: kolonialisme) membuat masyarakat asli terbebas dari dosa serta memahami baik dan buruk. Di antara deskripsi Linnaeus mengenai manusia ini, orang Afrika-lah yang dianggap paling inferior.

Sialnya, orang-orang kulit putih tidak terus berhenti mereproduksi ide-ide kolonial untuk mengglorifikasi rasisme. Mengutip artikel yang dilansir genome.gov yang berjudul “Eugenics and Scientific Racisms,” tahun 1883, Francis Galton yang merupakan sepupu Charles Darwin, mencetuskan ide soal “eugenik”. Ia memandang bahwa karakteristik perilaku dan biologis manusia tidak dapat diubah dan orang-orang perlu dikelompokkan dalam sebuah hierarki superior-inferior. Pada awal abad ke-20, orang-orang Eropa kemudian membawa gagasan eugenik ini ke seluruh dunia. Ide eugenik ini kelak menjadi ilham Nazi dalam melakukan genosida.

Saya melihat bahwa pemikiran Linnaeus memberi pengaruh terhadap dikotomi manusia berikut hierarkinya. Menurut Moira Perez dalam artikel jurnal “Epistemic Violence: Reflection Between the Invisible and the Ignorable,” pandangan tersebut adalah ekspresi kekerasan epistemis yang paling ekstrem. Moira pun memberikan contoh analisis dari Achille Mbembe tentang bagaimana orang kulit hitam di Prancis pada abad ke-19 dianggap berbeda secara spesies sehingga mereka mesti mendapat perlakuan moral yang berbeda. Kata “manusia” pun “kemanusiaan” seolah hanya merujuk pada orang-orang kulit putih Eropa.

Salah satu kritik penting terhadap hierarki makhluk hidup hadir dari Richard Ryder, seorang aktivis hak-hak binatang, lewat istilah spesiesisme (speciesism). Secara sederhana, spesiesisme ini adalah cara pandang manusia yang selalu merasa lebih baik daripada entitas non-manusia yang lain. Kritik terhadap spesiesisme ini muncul seiring munculnya gelombang kritik terhadap seksisme dan rasisme pada tahun 1960-an. Menurut Ryder, spesiesisme ini memiliki bentuk yang sama dengan rasisme, menunjukkan sikap egois dan diskriminasi. 

Omong-omong urusan kehewanan sehari-hari yang saya alami (mungkin juga Anda): Sekitar sebulan silam saya membunuh satu koloni semut merah yang bersarang di kusen, yang bersebelahan persis dengan kasur saya. Pada malam tersebut, beberapa individu hilir mudik melewati badan saya dan menggigit kulit. Lantaran kesal, saya dengan mudahnya membunuh semut tersebut. Tidak cukup dengan semut-semut yang berada di tubuh, saya pun mengambil sebotol insektisida dan menyemprotkannya ke lubang tempat semut bersarang. Dalam hitungan detik, satu koloni semut merah meregang nyawa. Tentu tidak ada seekor semut pun yang benar-benar mengancam hidup saya. Sepintas, bukankah ini mirip dengan genosida? 

Pertanyaan lain yang kemudian muncul di benak saya adalah, mengapa saya dengan entengnya menghabisi satu koloni semut padahal dengan mudahnya saya mengutuk anak-anak kecil yang melakukan kekerasan pada kucing? Menurut Martha Kiley-Worthington dalam “The Mental Homologies of Mammals. Towards an Understanding of Another Mammals World View”, ini tidak lepas dari homologi mental manusia dengan mamalia. Perasaan kemiripan menggiring kedekatan manusia dengan mamalia dibanding dengan yang lainnya, sehingga manusia menaruh atensi lebih di sana.

Tentu ini merupakan salah satu bentuk spesiesisme. Secara tidak langsung saya menciptakan hierarki atas binatang-binatang itu sendiri. Ini ditunjukkan dengan sikap saya yang tidak adil kepada dua entitas binatang yang berbeda–kucing dan semut. Memang, membahas berbagai bentuk relasi antara manusia dengan bermacam-macam binatang akan sangat kompleks dan butuh ruang yang berbeda. Namun, secara personal, dengan menyadari perilaku spesiesisme, diri saya menjadi awas dengan berbagai perilaku yang mengarah pada praktik-praktik rasisme.

Sederhananya, memang spesiesisme ini bukan praktik rasisme secara langsung, akan tetapi cara pandangnya akan mengarah kepada praktik-praktik kolonial ketika kita sudah memiliki persepsi tertentu kepada binatang dan secara tidak langsung menyematkan kata-kata hewani kepada orang lain. Dalam konteks Indonesia, misalnya, “anjing”, “babi”, dan “monyet” memiliki makna derogatif kepada orang yang disematkan. Tentu kita tidak akan menyematkan kata “kucing” karena pandangan terhadap kucing di masyarakat kita cenderung positif–terlihat dari misalnya hadirnya berbagai aksi street feeding atau cat rescue.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Sisa-Sisa Pandangan Kolonial

Bahkan di bekas negara jajahan, cara-cara pandang kolonial–yang menyatakan orang lain adalah binatang–masih dapat dijumpai. Kita tidak perlu mengelak untuk mengakui bahwa masih banyak orang Indonesia yang memiliki pandangan demikian terhadap orang Papua, misalnya. Dalam buku kumpulan wawancara Seakan Kitorang Setengah Binatang, almarhum Filep Karma, aktivis pembebasan Papua Barat, menceritakan itu dengan gamblang. Walaupun dilahirkan dari keluarga elite, sedari kecil Filep kerap menyaksikan perlakuan kasar dari militer terhadap orang-orang Papua. Pengalaman ini kemudian semakin tebal ketika Filep kuliah di Jawa” Ia sering mendapat panggilan “monyet”, sementara ketika menghadiri suatu forum internasional di Manila dia diperlakukan selayaknya manusia. Dari sanalah kemudian Filep memutuskan jalan damai untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat.

Pengalaman Filep Karma yang dipanggil “monyet” ketika berkuliah di Jawa pun diterima oleh orang Papua lain. Anda akan dengan mudah menemukan arsip perlakuan rasisme terhadap orang Papua. Ini belum terhitung perlakuan yang mereka dapatkan dalam keseharian–yang tidak terekam oleh berita.

Bahkan saya pernah merasakannya secara tidak langsung. Ketika sedang mencari kontrakan di Yogyakarta, tuan tanah memasang label “khusus muslim”. Karena sudah kadung bertemu, saya pun iseng bertanya soal maksud keterangan tersebut. “Apakah yang non-muslim tidak boleh tinggal di sini?” tanya saya. Tuan tanah itu kemudian menjawab bahwa maksud mencantumkan keterangan tersebut adalah untuk menghindari orang timur–yang sudah tentu termasuk orang Papua–karena menganggap mereka sering berbuat onar. “Jadi kalau untuk non-muslim tidak apa-apa sebenarnya,” pungkas sang tuan tanah.

Jawaban si tuan tanah tersebut mengingatkan saya ketika menginjak tanah Papua di tahun 2015. Satu pesan yang tidak akan pernah saya lupakan sampai saat ini, “tolong ceritakan pada orang-orang di Jawa bahwa kami tidak seperti yang orang Jawa bayangkan.” Saya tidak bertanya kepada mereka soal imajinasi yang orang-orang di Jawa lekatkan kepada mereka. Akan tetapi, ketika teman-teman mengetahui saya akan berangkat ke Papua, beberapa dari mereka memberikan asumsi-asumsi negatif, misalnya orang Papua gemar melakukan kekerasan, orang Papua primitif, nyawa saya akan terancam, dsb. Saya tahu orang-orang yang memberikan prasangka demikian tidak pernah menginjak sama sekali ke tanah Papua. Justru orang-orang Papua dapat dengan mudah mematahkan asumsi tersebut. Mereka adalah orang-orang yang tulus dan penuh kasih sayang. Saya melihat bahwa justru merekalah yang sedang mengalami bentuk-bentuk kekerasan secara institusional, misalnya pemiskinan.

Salah satu asumsi saya sebelum menginjak tanah Papua adalah saya akan setiap hari menyantap papeda. Hal ini tidak lepas bahwa tempat tujuan saya merupakan kabupaten kecil yang berada di muara sungai–yang baru saja dimekarkan. Namun justru nasi-lah sumber karbohidrat yang mudah dijumpai di sana, padahal tidak terdapat sawah. Masyarakat lokal tetap menanam ubi dan singkong, akan tetapi mereka tidak menjadikannya makanan utamanya. Lantas, ke mana papeda? Suatu hari bapak kepala RT, yang merupakan adik kepala kampung, mengajak saya ke hutan untuk makan dalam rangka perayaan ulang tahun anaknya. Itulah satu-satunya momen saya makan papeda bersama warga lokal. Kemudian saya memberanikan diri bertanya mengapa warga sudah tidak lagi makan papeda. Bapak kepala RT kemudian bercerita bahwa sekitar dua atau tiga tahun sebelum kami datang, pemerintah mengintroduksi beras dengan membagikannya secara gratis selama beberapa waktu. Hal ini kemudian membuat masyarakat  beralih. Sagu-sagu ditinggalkan dan habis karena tidak ada yang menanamnya lagi. Semakin ironis karena papeda yang saya makan kala itu sagunya dibeli dari pasar. Mereka yang asalnya subsisten kini menjadi tergantung.

Sebagai penutup, saat ini, dapat saya katakan, mayoritas masyarakat Indonesia mengutuk genosida pemerintah kolonial Israel. Beragam bentuk dukungan, mulai dari aksi langsung, mural, sirkulasi informasi daring, donasi, dsb. kita lakukan karena menganggap bahwa rakyat Palestina berhak atas tanah yang sudah dirampas. Kita memandang bahwa orang-orang Palestina adalah manusia sebagaimana kita. Orang-orang Palestina bukanlah serangga atau makhluk kejam selayaknya narasi yang digulirkan oleh pemerintah kolonial Israel. Namun, mengapa narasi “membintangi” orang lain masih terus hadir dalam kehidupan sehari-hari di banyak kasus yang lain? Apakah memang para binatang ini patut diperlakukan berbeda dari manusia? Persoalan apa yang kemudian hadir jika kita terus mempertahankan hierarki dalam memandang relasi manusia dengan hewan?


Rifki Afwakhoir adalah seorang pengelola toko buku daring yang saat ini sedang menempuh studi pascasarjana Antropologi di Universitas Gadjah Mada.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.