Tren Illiberal akan Semakin Kuat di Era Prabowo

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


DEMOKRASI Indonesia berada di persimpangan jalan. Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal yang aktif di masa kediktatoran Orde Baru yang dipimpin oleh mantan mertuanya, Soeharto, dan bereputasi buruk karena kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), telah resmi memenangkan pemilihan presiden. Terlepas dari klaim tentang penyimpangan prosedur pemilu dan upaya dari dua capres rival, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, menggugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK), Prabowo akan tetap dilantik pada Oktober nanti. 

Bagi kalangan gerakan sosial, kemenangan Prabowo merupakan kabar buruk. Ada keresahan di antara para aktivis bahwa pemerintahan Prabowo akan memangkas kembali pencapaian perjuangan demokratik secara signifikan, seperti kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, dan aktivitas pers.

Akan tetapi, sentimen ini, meski sangat bisa dimaklumi, cenderung melihat agensi Prabowo secara berlebihan dan alpa dengan fakta bahwa justru di bawah dua periode pemerintahan Joko Widodo-lah demokrasi Indonesia menjadi semakin oligarkis dan illiberal. Maraknya gelombang populisme otoriter di tingkat global yang menjangkiti berbagai negara dan kawasan lain menunjukkan bahwa pertanyaan yang tepat bukanlah mengapa Indonesia tetap bisa mempertahankan kualitas demokrasinya, melainkan kapan Indonesia akan bergabung dengan tren global tersebut dan memiliki versi lokal Rodrigo Duterte atau Bongbong Marcos.

Menyikapi perkembangan politik ini, sosiolog politik Abdil Mughis Mudhoffir baru-baru ini berargumen bahwa demokrasi di Indonesia “akan berjalan seperti biasanya.” Meskipun mengakui bahwa akan ada kemungkinan belokan illiberal yang lebih dalam di bawah kepresidenan Prabowo, kawan Mughis mengkritik kecenderungan alarmis di lingkar-lingkar gerakan sosial dan media dan juga klaim bahwa Indonesia akan kembali menjadi rezim otokratik secara utuh di bawah pemerintahan Prabowo. Mughis berpendapat bahwa para elite telah mendapat keuntungan secara politik dan ekonomi dari demokrasi elektoral borjuis semenjak 1998. Tatanan rezim yang sekarang dengan demikian akan tetap bertahan.

Sementara itu, editor IndoProgress Coen Husain Pontoh mengkritik Mughis dan menyajikan analisis yang berbeda mengenai demokrasi dan perkembangan kapitalisme di Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo. Menurut kawan Coen, yang berbagi keresahan yang sama dengan elemen-elemen gerakan sosial mengenai kenaikan otoritarianisme, kecenderungan represif di dalam kerangka demokrasi elektoral di bawah pemerintahan baru akan cenderung meningkat, tapi bukan karena personalitas Prabowo melainkan tekanan struktural dan logika akumulasi kapital itu sendiri, yang akan memaksa negara dan aktornya, yaitu pemerintahan Prabowo, untuk mewakili kepentingan kelas kapitalis melalui pelestarian eksploitasi dan dominasi yang akan semakin parah derajatnya.

Terlepas dari perdebatan di antara Mughis dan Coen, kedua analisis ini menyajikan pembacaan yang lebih bernuansa tentang masa depan demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo. Tulisan saya kali ini bertujuan untuk berkontribusi dan mengintervensi perdebatan ini.

Dalam hal interpretasi atas dinamika politik Indonesia di bawah Prabowo, analisis Mughis menurut saya memberikan pembacaan yang lebih jernih mengenai skenario-skenario politik yang mungkin terjadi. Di sisi lain, analisis Coen menekankan kerangka teoretik penting yang perlu diingat oleh setiap aktivis dan ilmuwan progresif dan kiri, bahwa negara kapitalis memiliki tendensi struktural untuk terus melanggengkan ekspansi kapital dan proses perampasan dan penghisapan nilai lebih yang dilakukannya. 

Pembacaan yang ingin saya tawarkan adalah sebagai berikut: Saya lebih bersepakat dengan pembacaan Mughis mengenai kondisi demokrasi Indonesia di bawah kekuasaan Prabowo, seraya mengamini bahwa kita tidak boleh melupakan natur dari negara kapitalis dan kecenderungan represifnya, yang digaris bawahi oleh Coen. 

Tetapi, pembacaan Mughis bahwa proses perebutan dan bagi-bagi kekuasaan di antara para elite sebagai faktor utama di balik stabilitas demokrasi illiberal terlalu uni-dimensional. Di sisi lain, meskipun Coen secara tepat mengingatkan kita tentang tendensi struktural dan otoriter dari negara kapitalis, analisisnya luput melihat bahwa kuasa kapital, meski determinan, termediasi efeknya oleh sejumlah faktor. Implikasinya, corak dan manifestasi dari tendensi otoriter ini akan berbeda-beda bentuknya di lokasi-lokasi geografis yang berbeda.

Oleh karena itu, dalam hemat saya, analisis yang lebih komprehensif perlu melihat tiga faktor. Pertama, karakteristik dari kompetisi elektoral di antara para elite politik; kedua, relasi antara demokrasi dan kapitalisme oligarkis di Indonesia; dan ketiga, aspirasi politik dari para pemilih itu sendiri. Dengan melihat ketiga faktor ini, saya berkesimpulan bahwa alih-alih kembali kepada kediktatoran ala Orde Baru, Indonesia di bawah Prabowo akan menyaksikan kelanjutan demokrasi illiberal.


Elit Politik Tetap Berkuasa, Tetapi Kekuasaannya Tidak Mutlak

Politikus Indonesia dari berbagai partai dan tingkatan pemerintahan telah menikmati dan dengan sukses memanfaatkan sistem pemilu yang relatif bebas dan terbuka sejak 1999. Elite-elite lama yang mapan secara cepat beradaptasi dengan permainan elektoral borjuis ini dan memantapkan posisinya tatkala Indonesia mengalami transisi politik dari kediktatoran menuju demokrasi, sebuah kesempatan yang juga dimanfaatkan oleh pemain-pemain baru seperti kelas kapitalis/kalangan pebisnis lokal. 

Di level nasional, para elite dengan mudah dapat berbagi kekuasaan dan berbagai jenis “rampasan perang” di antara mereka, seperti jatah dari anggaran negara dan jabatan menteri. Di tingkat lokal, para kepala daerah seperti bupati dapat memenangkan pemilu melalui jejaring patronase dan ijon politik dengan aktor kapitalisme ekstraktif, seperti perusahaan tambang. 

Tentu saja, tingkah laku elite ini menunjukkan preferensi mereka, yaitu tatanan politik yang lebih otoriter, ditandai dengan terbatasnya ruang untuk partisipasi popular, oposisi, dan tuntutan redistribusi. Tetapi, ambisi ini terbatasi oleh sejumlah fitur struktural dan kelembagaan dari negara Indonesia itu sendiri, seperti kurangnya monopoli elite lokal secara langsung atas sumber daya ekonomi dan lembaga negara.


Kapitalisme Oligarkis dan Demokrasi: Kawan, bukan Lawan

Kemudian, sebagaimana telah ditunjukkan oleh ahli ekonomi-politik dan sarjana kritis, demokrasi dan kapitalisme oligarkis dapat hidup berdampingan di Indonesia (juga di banyak masyarakat kapitalis lainnya). Demokrasi elitis di Indonesia tidak menjadi ancaman yang signifikan bagi kelas kapitalis. Ini terlihat dari respons positif kalangan bisnis dan investor yang menyambut baik hasil pemilu sebagai mekanisme untuk memastikan stabilitas politik dan transisi kekuasaan yang damai, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi dan investasi. 

Nyatanya, di tengah absennya agenda sosial demokrasi minimum yang solid, seperti redistribusi kekayaan, program-program kesejahteraan sosial yang luas, dan kontrol kelas pekerja atas ekonomi dan politik, maka kalangan pebisnis tidak akan keberatan untuk memodifikasi aktivitas usaha mereka sesuai dengan norma-norma demokrasi formal. Kelas kapitalis tidak perlu mengandalkan represi politik yang bersifat eksesif, apabila mereka bisa memanfaatkan institusi elektoral dan demokrasi formal yang ada, satu hal yang telah mereka lakukan sejak awal reformasi.

Karenanya, tidak heran bahwa dari dulu ilmuwan politik Benedict Anderson memperingatkan kita bahwa pemilu di Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan indikasi bagi dominasi politik borjuis. Secara sinis, kita bisa menyimpulkan bahwa para elite memiliki kepentingan untuk mempertahankan demokras illiberal yang memiliki dimensi elektoral yang kompetitif, bebas, dan matang.


Pemilih Indonesia Mendambakan Pendisiplinan Demokrasi

Terakhir, kita tidak boleh luput melihat aspirasi politik para pemilih Indonesia secara saksama. Prabowo memenangkan pemilu dengan perolehan suara mayoritas, termasuk dukungan dari para pemilih Gen-Z. Prabowo juga terbantu oleh dukungan Jokowi, yang masih memiliki popularitas publik yang tinggi. Ini mendongkrak citra Prabowo sebagai penerus Jokowi yang setia dengan cita-cita developmentalisnya.

Kalangan aktivis dan intelektual boleh saja tercengang melihat ekspresi politik semacam ini, tetapi banyak pemilih melihat preferensi politik mereka sebagai pemenuhan hak demokratis mereka. Hasil jajak pendapat yang cukup baru dari salah satu lembaga survei terkemuka menunjukkan bahwa hampir 71% responden berpendapat bahwa kinerja demokrasi Indonesia baik atau sangat baik. Fenomena illiberalisme di masyarakat ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Filipina, banyak pemilih kelas menengah dan menengah atas yang mengamini model demokrasi yang kuasi-otoriter dan eklusivis ala Duterte sebagai tanggapan dan kritik atas “kekacauan” dalam demokrasi liberal. Persoalan ini juga menunjukkan kurangnya daya tarik populis yang luas dari agenda dan program politik gerakan sosial selama ini.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup: Pentingnya Pembacaan yang Kontekstual atas Demokrasi Indonesia

Tentu saja, analisis ini tidak bermaksud untuk meremehkan apalagi menihilkan bahaya-bahaya potensial yang akan muncul di masa kepresidenan Prabowo, tetapi penting untuk menilai dan menakar kadar bahaya tersebut secara kontekstual, tanpa terjebak dalam kepanikan moral(is). Pembacaan alarmis atas kenaikan seorang presiden yang cenderung otoriter adalah tanda liberalisme latahan (knee-jerk liberalism), yang tercerabut dari kondisi dan urusan material rakyat pekerja dan mengalihkan kita dari tugas penting membangkitkan kembali politik kelas yang demokratis.

Kemungkinan besar, yang akan terjadi adalah sebagai berikut. “Stabilitas” demokrasi di bawah kepresidenan Prabowo adalah stabilitas yang busuk. Kompetisi elektoral alias elektoralisme yang bebas dan terbuka akan tetap menjadi konsensus model kompetisi politik di antara para elite, tetapi represi episodik atas hak-hak demokratis rakyat dan penyempitan ruang demokrasi akan tetap terjadi, terutama di daerah-daerah semi-urban dan perdesaan. Hal tersebut, sebagaimana saya jelaskan di atas, menunjukkan bahwa tendensi otoriter dalam perkembangan kapitalisme di bawah demokrasi illiberal di Indonesia termanifestasikan secara berbeda di berbagai lokasi geografis. Kemudian, secara umum, kontrol oligarkis atas politik dan ekonomi juga akan terus berlanjut.

Fragmentasi di antara gerakan-gerakan sosial di Indonesia, yang sebagian disebabkan karena perbedaan pendapat dan taktik dalam menghadapi pemerintahan Jokowi, akan membuat perlawanan terhadap tendensi otoriter dari pemerintahan Prabowo lebih sulit. Tetapi kita perlu melihat kembali, berefleksi, dan mengambil pelajaran baik dari sejumlah eksperimen politik baru yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, seperti kemunculan generasi baru aktivis mahasiswa dan gerakan sosial serta upaya eksperimen politik kiri dalam Partai Buruh, yang dibentuk oleh berbagai serikat reformis dan progresif dan terlibat dalam pertarungan elektoral kemarin. Perkembangan-perkembangan segar ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, muncul di tengah-tengah tren politik yang cenderung konservatif.

Singkat kata, kepresidenan Prabowo tidak akan membawa kita kembali ke “masa kelam” kediktatoran kapitalis ala Perang Dingin. Tetapi, pemerintahannya akan menandai periode baru dalam sejarah kontemporer demokrasi Indonesia, di mana kecenderungan-kecenderungan illiberal dan otoriter akan semakin marak.***


Iqra Anugrah adalah peneliti di International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden University dan peneliti tamu di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Artikel ini diterjemahkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh penulis dari artikel asli yang berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh Bliss (Academic blog of International Institute of Social Studies).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.