Ketidakacuhan Politik

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


Pengantar Penerjemah

KETIDAKACUHAN politik yang dikritik Marx dalam tulisan ini bukan sembarang ketidakacuhan politik. Ini adalah ketidakacuhan politik yang muncul dari cara berpikir tertentu di kalangan kiri. Cara berpikir ini berangkat dari anggapan bahwa perjuangan kelas pekerja harus mengikuti ideal-ideal tertentu. Misalnya, harus mewujudkan revolusi dan menolak reformasi.

Masalahnya, ideal-ideal ini belum tentu bisa diwujudkan atau dipraktikkan dalam kondisi material yang berlaku. Revolusi, misalnya, tidak bisa diwujudkan kapan saja dan di mana saja kita mau, karena ia mensyaratkan kondisi objektif tertentu. Ketika kondisi objektifnya belum memadai untuk revolusi, dan yang dimungkinkan hanyalah reformasi, apakah kelas pekerja harus menolak reformasi? 

Kaum kiri yang dikritik Marx memilih untuk menolak reformasi. Bagi mereka, kelas pekerja lebih baik tidak mendapat capaian apa pun daripada ideal-ideal mereka ternodai. “Biarkanlah kelas kita disalib, biarkanlah ras kita punah, tetap hendaklah prinsip-prinsip abadi tetap tak ternoda,” sindir Marx. 

Karena cara berpikir yang konyol itu tidak diikuti secara luas oleh kelas pekerja, mereka pun terobsesi mengkritik gerakan kelas pekerja dan capaian-capaiannya. Tapi, mereka juga tidak menawarkan sesuatu yang lebih baik dan bisa dipraktikkan atau diwujudkan dalam kondisi material yang berlaku. Mereka mungkin punya visi perombakan radikal, tapi perwujudannya ada di masa depan yang tak tentu.

Jadi, mereka “mendorong kelas pekerja untuk menolak setiap alat perjuangan yang nyata” tanpa menawarkan alternatif yang nyata. Mungkin mereka ingin kelas pekerja menunggu saja perombakan radikal yang “akan terjadi suatu saat di suatu sudut dunia ini, tidak ada yang tahu bagaimana, atau melalui siapa.” Saat menunggu, kelas pekerja dibiarkan menerima keadaan yang berlaku. Inilah makna istilah “ketidakacuhan politik” yang digunakan Marx. Kaum kiri ini mendorong kelas pekerja untuk tidak acuh atau pasif dengan kondisi yang berlaku. 

Tulisan ini diterjemahkan karena kecenderungan yang dikritik Marx itu masih ada pada zaman sekarang ini di Indonesia. Mungkin bentuknya tidak persis sama, tapi logika dasarnya sama. Jika kecenderungan itu muncul di zaman Marx di kalangan sosialis utopis seperti John Bray atau anarkis seperti Proudhon, di Indonesia saat ini, kecenderungan itu juga muncul di kalangan marxis.

Ini bisa dilihat dalam sikap Perhimpunan Sosialis Revolusioner (PSR) terhadap Partai Buruh (PB). Dalam tulisan “Hanya satu pilihan dalam pemilu kali ini: pilih revolusi!”, PSR mengkritik PB yang mengusung agenda negara kesejahteraan. Menurut mereka, ini penyebab “kaum buruh dan kaum muda tidak antusias sama sekali dengan partai baru ini.” Harusnya PB mengusung agenda sosialis. Jika saja PB mengusung agenda sosialis, PB “akan bisa menangkap imajinasi buruh dan muda luas… dan sungguh-sungguh menjadi partai massa.” 

Di balik sikap PSR, terdapat asumsi bahwa agenda sosialis sudah punya pijakan di kesadaran buruh dan kaum muda secara luas. Tidak sulit melihat betapa kelirunya asumsi ini. Betul bahwa suara PB kecil, tapi apakah massa buruh yang tidak memilih PB tidak memilihnya karena menginginkan agenda sosialis? Kalau betul demikian, kenapa mereka tidak berbondong-bondong masuk ke organisasi-organisasi sosialis? Kenapa organisasi-organisasi sosialis yang sekarang ada malah stagnan atau bahkan merosot?

Jawabannya mudah: kebanyakan massa buruh dan kaum muda tidak memilih PB bukan karena mereka menginginkan agenda sosialis, tapi karena mereka masih dicengkeram oleh hegemoni kapitalis. Alih-alih bergabung ke organisasi sosialis, mereka memilih partai-partai borjuis seperti PDIP, Golkar, Gerindra, dlsb. Jadi, jangankan agenda sosialis, agenda negara kesejahteraan yang mungkin lebih sering diusung dalam aksi-aksi buruh, seperti aksi-aksi jaminan sosial, ternyata masih belum punya pijakan yang kuat di kesadaran buruh dan kaum muda secara luas.

Di sini, cara berpikir PSR punya kesamaan dengan cara berpikir kaum kiri yang dikritik Marx dalam tulisan ini, yaitu memaksakan idealitas tertentu ke kondisi material yang tidak kompatibel dengannya. Apakah rasional mengharuskan PB mengusung agenda sosialis kendati agenda sosialis belum punya pijakan di kesadaran massa buruh dan kaum muda secara luas? Apakah rasional mengharuskan PB menjadi partai massa sosialis di saat prasyarat material bagi terwujudnya sebuah partai massa sosialis belum mencukupi? 

Tentu saja irasional. Partai massa sosialis hanya mungkin terwujud ketika agenda sosialis sudah punya pijakan di kesadaran massa buruh dan kaum muda secara luas. Dan kondisi itu belum ada sekarang ini. Pertanyaan lanjutannya, ketika kondisi material yang diperlukan untuk terwujudnya sebuah partai massa sosialis belum memadai, dan yang dimungkinkan hanyalah sebuah partai massa reformis seperti PB, apakah kita harus menolak partai massa reformis tersebut? Apakah lebih baik kelas pekerja tidak punya partai massa sama sekali daripada punya partai massa tapi reformis? 

Orang sosialis yang berpikiran sehat tentu akan berpikir begini: lebih baik kelas pekerja punya partai massa reformis daripada tidak punya partai sama sekali. Karena kehadiran partai massa reformis bisa ikut memajukan perjuangan kelas, terutama saat kapasitas gerakan sosialis untuk melakukan hal itu masih sangat terbatas. Ini bisa kita lihat dalam kasus PB. Di samping kelemahannya, seperti oportunisme sebagian pemimpinnya, PB juga berkontribusi pada kemajuan perjuangan kelas di Indonesia sampai derajat tertentu.

Misalnya, PB atau gerakan buruh reformis ikut mendorong perluasan kesadaran politik untuk menguasai negara di kelas pekerja. Pada tahun 2000-an awal, segmen kelas pekerja yang punya kesadaran ini kecil, yaitu kelas pekerja kiri yang suka meneriakkan slogan “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera!” Sekitar akhir 2011, muncul slogan “dari pabrik ke publik” yang berlanjut dengan “buruh go politics” di gerakan buruh reformis. 

Dalam pemilu legislatif 2014, FSPMI menyebar anggota mereka untuk menjadi calon legislatif di partai-partai borjuis. Pada Pilkada Kabupaten Bekasi 2017, Obon Tabroni maju sebagai calon bupati independen. Proses ini berlanjut sampai dengan pembentukan PB untuk pemilu 2024. Setelah PB terbentuk, mereka yang tetap ingin di partai-partai borjuis, seperti Obon di Gerindra, dipecat dari FSPMI.

Dengan berpartisipasi di Pemilu 2024, PB memberikan pengalaman juang baru ke sejumlah besar buruh. Para buruh ini jadi punya pengalaman dan pengetahuan politik elektoral. Kemudian, PB mempopulerkan isu parliamentary dan presidential threshold di massa buruh dengan melakukan judicial review terhadap kedua aturan itu. Selama ini, isu aturan kepemiluan yang tidak demokratis adalah isu yang sulit untuk dipopulerkan di rakyat pekerja. Tapi, PB cukup berhasil mengangkat isu ini.

Kemudian, PB mendapatkan 972.910 atau 0,64 persen suara di Pemilu 2024. Masih jauh dari signifikan kalau untuk pemilu. PB juga gagal memenuhi parliamentary threshold untuk bisa masuk DPR RI. Tapi, PB berhasil membendung pengaruh partai-partai borjuis di 972.910 pemilih. Setidaknya para pemilih PB itu tidak menyalurkan suaranya ke partai-partai borjuis. Setengah dari 972.910 pemilih yang mungkin bukan anggota PB,1Untuk bisa memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, sebuah partai harus memiliki anggota setidaknya hampir 400.000 orang. Jumlah anggota PB tampaknya tidak jauh lebih besar dari ini, karena saat verifikasi KPU, sempat ada masalah beberapa exco daerah yang belum memenuhi syarat. juga bisa diorganisir oleh PB ke depannya. Jumlah ini lumayan jika dibandingkan dengan yang selama ini bisa dijangkau oleh gerakan sosialis.

Tentu saja, dorongan maju bukan satu-satunya daya yang bekerja di gerakan buruh reformis. Ada juga daya yang berusaha menariknya mundur. Pada Pemilu 2019, misalnya, KSPI mendukung Prabowo. Di May Day 2023, terjadi peristiwa cium tangan Ganjar oleh Said Iqbal. Tarik-menarik antara dorongan maju dan mundur ini mencerminkan dua aspek yang berkontradiksi dalam gerakan buruh reformis. Pertama, kepentingan kelas, khususnya di tingkat basis, yang mendorongnya maju. Kedua, oportunisme sebagian pemimpinnya yang menariknya mundur.

Itu kenapa sikap mengapresiasi kehadiran partai massa reformis bukan berarti kita harus membuntutinya. Sikap yang tepat adalah membantunya secara kritis. Di saat aspek kepentingan kelasnya mendorongnya maju, kita membantu mereka agar mereka terdorong lebih maju lagi. Di saat aspek oportunisme sebagian pimpinannya menariknya mundur, kita mengkritik dan menentang oportunisme tersebut.

Sekarang ini, aspek kepentingan kelas dari gerakan buruh reformis tampak masih berperan kuat. Secara umum gerakan buruh reformis masih memperlihatkan kemajuan. Tapi mungkin ini tidak akan berjalan selamanya. Akan ada momen di mana kontradiksi antara aspek kepentingan kelasnya dan oportunisme sebagian pemimpinnya menajam dan mencapai titik didih. 

Ketika ini terjadi, ada setidaknya dua kemungkinan: (1) aspek oportunisme sebagian pemimpinnya berhasil menundukkan aspek kepentingan kelasnya, sehingga basis-basis yang kecewa mengalami demoralisasi meluas, dan gerakan buruh reformis mengalami kemunduran kronis, atau (2) aspek kepentingan kelasnya memberontak keluar dari cangkang reformisnya, dan gerakan buruh reformis berubah menjadi gerakan buruh yang lebih progresif.

Kemungkinan butir (2) hanya bisa terjadi jika basis-basis gerakan buruh reformis yang kecewa dengan para pemimpinnya menemukan saluran baru yang sesuai aspirasi mereka: sebuah formasi yang bukan hanya berperspektif sosialis, tapi juga punya kapasitas yang meyakinkan dan bisa menjadi teladan bagi massa buruh. Formasi ini tidak akan bisa terbentuk jika kaum sosialis tidak memvaksin diri mereka dari berbagai penyakit, termasuk penyakit idealisme kekanak-kanakan. Penerjemahan artikel ini ditujukan untuk kepentingan itu. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ketidakacuhan Politik

“Kelas pekerja tidak boleh membentuk partai politik untuk diri mereka sendiri; mereka tidak boleh, dengan alasan apa pun, terlibat dalam tindakan politik, karena memerangi negara adalah sama dengan mengakui negara: dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi. Para pekerja tidak boleh mogok; karena berjuang meningkatkan upah mereka atau mencegah penurunannya adalah seperti mengakui upah: dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi emansipasi kelas pekerja!

“Jika dalam perjuangan politik melawan negara borjuis, para pekerja hanya berhasil memperoleh konsesi-konsesi, maka mereka bersalah karena berkompromi; dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi. Karenanya, semua gerakan yang damai, seperti yang suka diikuti oleh para pekerja Inggris dan Amerika dengan kebiasaan buruk mereka, harus dibenci. Para pekerja tidak boleh berjuang untuk penetapan batasan hukum atas jam kerja, karena ini berarti berkompromi dengan para majikan, yang kemudian hanya bisa mengeksploitasi mereka selama sepuluh atau dua belas jam, alih-alih empat belas atau enam belas jam. Mereka bahkan tidak boleh berjuang untuk melarang secara hukum perekrutan anak-anak di bawah umur sepuluh tahun untuk bekerja di pabrik, karena dengan melakukan itu, mereka tidak mengakhiri eksploitasi anak-anak di atas umur sepuluh tahun: mereka, dengan demikian, membuat kompromi baru, yang mengotori kemurnian prinsip-prinsip abadi.

“Bahkan para pekerja seharusnya tidak begitu menginginkan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, kewajiban negara, yang anggarannya membengkak karena apa yang diambil dari kelas pekerja, untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak pekerja: karena pendidikan dasar bukanlah pendidikan yang lengkap. Lebih baik laki-laki dan perempuan pekerja tidak bisa membaca atau menulis atau berhitung daripada mereka harus menerima pendidikan dari seorang guru di sebuah sekolah yang dijalankan oleh negara. Jauh lebih baik jika kebodohan dan waktu kerja enam belas jam menurunkan kualitas kelas pekerja daripada melanggar prinsip-prinsip abadi.

“Jika perjuangan politik kelas pekerja menggunakan kekerasan dan jika para pekerja mengganti kediktatoran kelas borjuis dengan kediktatoran revolusioner mereka sendiri, maka mereka bersalah atas kejahatan lèse-principe yang mengerikan; karena, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang hina dan duniawi, dan untuk menghancurkan perlawanan kelas borjuis, mereka memberikan negara bentuk yang revolusioner dan transisional, alih-alih meletakkan senjata mereka dan menghapus negara. Para pekerja bahkan tidak boleh membentuk satu serikat tunggal untuk setiap jenis pekerjaan, karena dengan melakukannya, mereka melanggengkan pembagian kerja secara sosial seperti yang mereka temukan dalam masyarakat borjuis; pembagian ini, yang memfragmentasi kelas pekerja, adalah basis sebenarnya dari perbudakan mereka saat ini.

“Singkatnya, para pekerja harus bersedekap dan berhenti membuang-buang waktu dalam gerakan politik dan ekonomi. Gerakan ini tidak akan pernah bisa menghasilkan apa-apa kecuali hasil-hasil jangka pendek. Sebagai orang yang benar-benar religius, mereka harus mencemooh kebutuhan sehari-hari dan meneriakkan dengan suara penuh keyakinan: “Biarkanlah kelas kita disalib, biarkanlah ras kita punah, tetap hendaklah prinsip-prinsip abadi tetap tak ternoda! Sebagai umat Kristen yang saleh, mereka harus mempercayai kata-kata pastor mereka, membenci hal-hal baik di dunia ini dan hanya berpikir tentang pergi ke Surga. Gantikan Surga dengan pembongkaran sosial yang akan terjadi suatu saat di suatu sudut dunia ini, tidak ada yang tahu bagaimana, atau melalui siapa, dan mistifikasinya sama dalam segala aspek.

“Karenanya, untuk mengantisipasi terjadinya pembongkaran sosial yang terkenal ini, kelas pekerja harus berperilaku terhormat, seperti kawanan domba yang makannya berkecukupan; mereka harus membiarkan pemerintah dalam damai, takut dengan polisi, menghormati hukum dan menawarkan diri tanpa keluhan sebagai tumbal.

“Dalam kehidupan praktis sehari-hari, para pekerja harus menjadi pelayan negara yang paling taat; tetapi di hati mereka, mereka harus memprotes keberadaan negara secara energik, dan membuktikan penolakan teoritik mereka yang mendalam atasnya dengan mencari dan membaca risalah-risalah tertulis tentang penghapusan negara; mereka harus lebih menahan diri dengan hati-hati untuk tidak melawan rezim kapitalis, kecuali dengan deklarasi tentang masyarakat masa depan, ketika rezim yang dibenci ini sudah tidak ada lagi!

Tidak dapat dipungkiri, jika nabi-nabi ketidakacuhan politik mengekspresikan diri mereka dengan kejernihan seperti itu, kelas pekerja akan menolak mereka dan marah karena dihina oleh para borjuis doktriner dan tuan-tuan yang turun status ini, yang sangat bodoh atau begitu naif sehingga mencoba mendorong kelas pekerja untuk menolak setiap alat perjuangan yang nyata. Karena semua senjata untuk berjuang harus diambil dari masyarakat sebagaimana adanya, dan kondisi fatal dari perjuangan ini, sialnya, tidak mudah disesuaikan dengan fantasi-fantasi idealistik yang diagungkan oleh para doktor ilmu sosial ini sebagai keilahian, di bawah nama Kebebasan, Otonomi, Anarki.

Meskipun demikian, gerakan kelas pekerja saat ini sangatlah kuat sehingga kaum sektarian filantropis ini tidak berani mengulang untuk perjuangan ekonomi kebenaran-kebenaran agung yang mereka proklamirkan tanpa henti untuk perjuangan politik. Mereka terlalu pengecut untuk tetap menerapkannya pada pemogokan, perserikatan, serikat pekerja berbasis profesi, hukum tenaga kerja perempuan dan anak-anak, hukum pembatasan jam kerja, dll.

Sekarang, mari kita lihat apakah mereka masih bisa dibawa kembali ke tradisi lama yang baik, ke kesederhanaan, itikad baik dan prinsip-prinsip abadi.

Karena kondisi sosial saat itu belum cukup berkembang untuk memungkinkan kelas pekerja membentuk diri mereka sebagai sebuah kelas yang militan, kaum sosialis generasi pertama (Fourier, Owen, Saint-Simon, dll.) niscaya harus membatasi diri mereka pada mimpi-mimpi tentang model masyarakat masa depan dan karenanya terdorong untuk mengutuk segala upaya seperti pemogokan, perserikatan atau gerakan politik yang dilakukan para pekerja untuk memperbaiki nasib mereka. Tetapi, meskipun kita tidak bisa menolak para leluhur sosialisme ini, sama seperti ahli-ahli kimia tidak bisa menolak para alkemis sebagai leluhur mereka, kita setidaknya harus menghindari terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan mereka, yang jika kita melakukannya, tidak bisa dimaafkan.

Namun, di kemudian hari, pada 1839, ketika perjuangan ekonomi dan politik kelas pekerja di Inggris sudah memiliki karakter yang cukup mencolok, Bray, salah satu murid Owen dan salah satu dari sekian banyak orang yang jauh sebelum Proudhon menemukan gagasan mutualisme, menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kesalahan Buruh dan Solusi Buruh.

Dalam bab tentang ketidakefektifan dari semua solusi yang dituju oleh perjuangan saat ini, ia melancarkan kritik yang kejam terhadap semua aktivitas, baik politik maupun ekonomi, dari kelas pekerja Inggris, mengutuk gerakan politik, pemogokan, pembatasan jam kerja, pembatasan kerja perempuan dan anak-anak di pabrik, karena semua ini –atau begitulah kata dia- alih-alih mengeluarkan kita dari kondisi masyarakat saat ini, membuat kita tetap berada di sana dan tidak menghasilkan apa-apa kecuali membuat antagonisme yang ada menjadi lebih keras.

Ini membawa kita kepada sang peramal dari para doktor ilmu sosial ini, M. Proudhon. Meskipun sang guru memiliki keberanian untuk menyatakan dirinya dengan tegas menentang semua aktivitas ekonomi (perserikatan, pemogokan, dll.) yang bertentangan dengan teori-teori penebusannya tentang mutualisme, pada saat yang bersamaan melalui tulisan-tulisan dan partisipasi pribadinya, ia mendorong gerakan kelas pekerja, dan murid-muridnya agar tidak menyatakan penentangan mereka secara terbuka. Sudah sejak 1847, ketika karya besar sang guru, Sistem Kontradiksi Ekonomi, baru saja muncul, saya menyanggah sofismenya terhadap gerakan kelas pekerja2P. J. Proudhon, Système des contradictions économiques, ou philosophie de la misère (1846). Ini adalah karya yang ditanggapi oleh Marx dengan bukunya Kemiskinan Filsafat (1847).. Meskipun demikian, setelah loi Ollivier, yang memberikan para pekerja Prancis, dalam bentuk yang sangat terbatas, hak berserikat tertentu, Proudhon kembali ke tuduhannya dalam buku Kapasitas Politik Kelas Pekerja, yang diterbitkan beberapa hari setelah kematiannya.

Ketegasan sang guru begitu sesuai dengan selera kaum borjuis sehingga The Times, pada pemogokan besar para penjahit di London pada 1866, memberikan kehormatan kepada Proudhon dengan menerjemahkan tulisannya dan mengutuk pemogokan itu dengan kata-kata sang guru sendiri. Berikut adalah beberapa kutipannya.

Para penambang Rive-de-Gier melakukan pemogokan; tentara dipanggil untuk membawa mereka kembali ke akal sehat. Proudhon berseru, ‘Pemerintah yang menembak para penambang Rive-de-Gier bertindak memalukan. Tetapi mereka bertindak seperti Brutus di zaman dulu yang terjebak di antara kasih sayang sebagai seorang ayah dan tugas konsulernya: ia perlu mengorbankan putra-putranya untuk menyelamatkan Republik. Brutus tidak ragu-ragu, dan keturunannya tidak berani mengutuknya.’3De la Capacité politique des class ouvrières, Paris, 1865, hlm. 413. Untuk menempatkan Proudhon dengan benar, ia tidak bermaksud membenarkan tindakan pemerintah Prancis, tetapi mengungkap ‘kontradiksi’ yang dilihatnya sebagai kejahatan yang tak terhindarkan dari tatanan sosial saat ini. Dalam semua ingatan kaum proletar, tidak ada catatan tentang seorang borjuis yang ragu-ragu mengorbankan para pekerjanya untuk menyelamatkan kepentingannya. Betapa brutusnya kaum borjuis itu!

‘Tidak juga: tidak ada hak untuk berserikat, sama seperti tidak ada hak untuk menipu atau mencuri atau melakukan inses atau perzinaan.’4ibid., hlm. 421. Meskipun demikian, jelas sekali ada hak untuk menjadi bodoh.

Lalu, apa prinsip-prinsip abadi, yang atas namanya sang guru melontarkan dengan keras kutukan mistiknya?

Prinsip abadi pertama: ‘Tingkat upah menentukan harga komoditas.’

Bahkan mereka yang tidak punya pengetahuan ekonomi politik, dan mereka yang tidak menyadari bahwa ekonom besar borjuis, Ricardo, dalam bukunya Prinsip-Prinsip Ekonomi Politik, yang diterbitkan pada 1817, sudah membantah kesalahan yang berlangsung lama ini untuk selamanya, tetap menyadari fakta yang luar biasa bahwa industri Inggris bisa menjual produk-produknya dengan harga jauh lebih rendah dari negara-negara lain, meskipun upah di Inggris relatif lebih tinggi daripada di negara-negara Eropa lainnya.

Prinsip abadi kedua: ‘hukum yang mengesahkan serikat sangat anti-yuridis, anti-ekonomi dan bertentangan dengan tatanan dan masyarakat apa pun.’5ibid., hlm. 424. Singkatnya, ‘bertentangan dengan hak ekonomi persaingan bebas.’

Jika saja sang guru tidak begitu chauvinis, ia mungkin sudah bertanya ke dirinya sendiri, bagaimana mungkin 40 tahun yang lalu, sebuah peraturan hukum yang bertentangan dengan hak ekonomi persaingan bebas, disahkan di Inggris; dan seiring berkembangnya industri, serta bersamanya persaingan bebas, peraturan hukum ini – yang begitu bertentangan dengan tatanan dan masyarakat apa pun – memaksakan dirinya sebagai sebuah kebutuhan bahkan bagi negara borjuis itu sendiri. Dia mungkin akan menemukan bahwa hak ini (dengan H besar) hanya ada di buku Panduan Ekonomi yang ditulis oleh Kakak Beradik Kebodohan dari ekonomi politik borjuis, di dalam mana terdapat mutiara-mutiara seperti ini: ‘Kepemilikan adalah hasil dari kerja (mereka lupa menambahkan, ‘dari kerja orang-orang lain’).

Prinsip abadi ketiga: ‘Karenanya, dengan alasan mengangkat kelas pekerja dari kondisi yang disebut sebagai inferioritas sosial, penting untuk memulainya dengan mengutuk seluruh kelas warga negara, kelas bos, pengusaha, majikan dan borjuis; penting untuk membangkitkan demokrasi pekerja untuk merendahkan dan membenci anggota kelas menengah yang tidak layak ini; penting untuk lebih memilih perang industri dan perdagangan daripada represi hukum, dan antagonisme kelas daripada negara polisi.’6ibid., hlm. 426.

Sang majikan, untuk mencegah kelas pekerja keluar dari apa yang disebut sebagai inferioritas sosialnya, mengutuk serikat yang membentuk kelas pekerja menjadi kelas yang antagonistik terhadap kategori majikan, pengusaha dan borjuis yang terhormat, yang untuk diri mereka tentu lebih menyukai, sama dengan Proudhon, negara polisi daripada antagonisme kelas. Agar kelas yang terhormat ini tidak tersinggung, M. Proudhon yang baik merekomendasikan kepada para pekerja (hingga terwujudnya rezim mutualis, terlepas dari kerugian seriusnya) kebebasan atau persaingan, ‘satu-satunya jaminan’ kita.

Sang guru mengkhotbahkan ketidakacuhan dalam urusan ekonomi –untuk melindungi persaingan atau kebebasan borjuis, satu-satunya jaminan kita. Murid-muridnya mengkhotbahkan ketidakacuhan dalam urusan politik –untuk melindungi kebebasan borjuis, satu-satunya jaminan mereka. Jika umat Kristen awal, yang juga mengkhotbahkan ketidakacuhan politik, memerlukan tangan kaisar untuk mengubah diri mereka dari tertindas menjadi penindas, para nabi ketidakacuhan politik modern tidak meyakini bahwa prinsip-prinsip abadi mereka memaksa diri mereka untuk menjauhi kenikmatan duniawi dan privilese sementara dari masyarakat borjuis. Namun, kita harus mengakui bahwa mereka memperlihatkan stoisisme yang layak bagi para martir Kristen awal dalam mendukung empat belas atau enam belas jam kerja yang membebani para pekerja di pabrik-pabrik.


Mohamad Zaki Hussein menerjemahkan artikel Karl Marx,Political Indifferentism” (1873), ini dari marxists.org untuk tujuan pendidikan.

Catatan kaki

Catatan kaki
1 Untuk bisa memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, sebuah partai harus memiliki anggota setidaknya hampir 400.000 orang. Jumlah anggota PB tampaknya tidak jauh lebih besar dari ini, karena saat verifikasi KPU, sempat ada masalah beberapa exco daerah yang belum memenuhi syarat.
2 P. J. Proudhon, Système des contradictions économiques, ou philosophie de la misère (1846). Ini adalah karya yang ditanggapi oleh Marx dengan bukunya Kemiskinan Filsafat (1847).
3 De la Capacité politique des class ouvrières, Paris, 1865, hlm. 413. Untuk menempatkan Proudhon dengan benar, ia tidak bermaksud membenarkan tindakan pemerintah Prancis, tetapi mengungkap ‘kontradiksi’ yang dilihatnya sebagai kejahatan yang tak terhindarkan dari tatanan sosial saat ini.
4 ibid., hlm. 421.
5 ibid., hlm. 424.
6 ibid., hlm. 426.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.