Tujuh Buku untuk Memandang Komunisme Indonesia Tanpa Balutan Narasi Orde Baru

Print Friendly, PDF & Email

IlustrasiIllustruth


“KOMUNIS itu ateis!” 

Tiga patah kata itu, tak terelakkan lagi, menggambarkan keseluruhan pengajaran tentang komunisme di sekolah-sekolah Indonesia masa dan pasca-Orde Baru. Saya sendiri pernah mengamini definisi komunisme ala adat dan paham lama itu. Bagi saya, sewaktu itu, komunisme versi resmi menjadi kebenaran absolut karena tidak hanya diajarkan oleh satu guru spesifik, tetapi juga guru-guru lain. Guru adalah dewa, pikir saya waktu itu.

“Kebenaran” itu semakin mengukuhkan dirinya sendiri kala saya mengunjungi perpustakaan dan membaca buku putih sejarawan Orde Baru Nugroho Notosusanto. Saya juga membaca buku Nugroho lain, Tercapainya Konsensus Nasional, 1966–1969 (1985). Dalam buku yang disebut terakhir, disebutkan bahwa D. N. Aidit—digambarkan implisit sebagai orang licik—bisa memasukkan ide-ide komunis ke tubuh Manifesto Politik (Manipol)—zaman itu berstatus Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dua buku itu saja sudah mampu memantapkan pandangan saya ketika SMP: Partai Komunis Indonesia (PKI) dan komunisme harus pergi ke neraka secepatnya.

Seperti yang diungkapkan Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi melalui Sastra dan Film (2019), Orde Baru sukses membakukan pandangan bahwa komunisme adalah ideologi iblis dan mampu menjustifikasi pembantaian massal 1965-1966 melalui produk-produk kebudayaan. Sejarah komunisme Indonesia didemonisasi untuk kepentingan rezim. Hal ini yang menyebabkan mesin kekuasaan Soeharto semakin solid. 

Dengan latar belakang itulah saya membuat artikel ini. Saya merekomendasikan tujuh buku yang memiliki daya gedor untuk melenyapkan legitimasi Orde Baru. Buku-buku yang saya pilih berusaha menawarkan pembacaan sejarah komunisme Indonesia yang apa adanya tanpa penambahan sana-sini—bersih tanpa tangan nakal Orde Baru.


1. Lahirnja PKI dan Perkembangannja (D. N. Aidit, 1955)

Penelusuran awal komunisme Indonesia sampai menjadi partai paling komprehensif terdapat dalam buku Aidit ini. Komunisme dan PKI, kata Aidit, adalah sesuatu yang niscaya. Hal itu karena imperialisme yang ada ketika itu memungkinkan lahirnya gerakan buruh, dan gerakan buruh adalah basis dari komunisme serta organisasi yang menjadikannya sebagai ideologi. 

Dalam proses perkembangannya, kata Aidit, PKI melewati berbagai jalan terjal. Pertama, pemberontakan 1926 gagal dan menghasilkan kondisi yang menyulitkan; PKI harus menghadapi “teror putih” pemerintah kolonial. Kedua, terkait dengan yang pertama; teror membuat PKI bergerak di bawah tanah sehingga terkendala mengakses dunia luar. Ketiga, PKI menghadapi “teror putih” kedua di bawah pemerintah nasional—bukan kolonial—imbas dari kegagalan Madiun Affair

Benang merah paling utama dari karya ini adalah Aidit berusaha membentuk pandangan bahwa jatuh bangun PKI tergantung dari “garis partai yang konsekuen dengan marxisme-leninisme.” Buku ini dapat diakses melalui marxists.org.


2. Kemunculan Komunisme Indonesia (Ruth T. McVey,2017)

Buku klasik yang ditulis oleh Ruth T. McVey ini menawarkan pandangan tentang komunisme Indonesia yang bebas dari dogma-propaganda Orde Baru. Semua sumber didasarkan atas dokumen atau surat kabar pada zamannya. Mungkin buku ini dan Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi adalah satu paket utuh.

Dalam buku ini McVey lebih menekankan pada perkembangan politik PKI dan interaksinya dengan kekuatan dunia luar. Hubungan PKI awal dengan Moskow, misalnya, sangat kaya. Polah Darsono dan Semaoen yang pulang-pergi Indonesia-Rusia ditulis dengan baik untuk menangkap semangat zaman (zeitgeist) revolusioner pemuda Jawa pada masa itu.

Buku ini pernah dilarang terbit pada masa Orde Baru. Tahun 2010 lalu Indoprogress menerbitkan ulasannya.


3. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Takashi Shiraishi, 2023)

Dengan sumber yang berlimpah, dalam buku ini Shiraishi menelusuri bagaimana ide-ide revolusioner yang mengilhami berdirinya PKI bisa tumbuh. Itu semua dimulai dengan apa yang disebut Shiraishi sebagai “zaman modal pertama dan kedua.” Era tersebut memungkinkan tumbuhnya surat kabar yang membuat “orang buta dapat melihat.”

Dengan cara seperti itu, muncul kampiun seperti Mas Marco Kartodikromo dengan Doenia Bergerak-nya; Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Panggoegah yang mengorganisasi kekuatan anti-raja di Solo dan vis-à-vis dengan kekuatan pro-kerajaan; dan H. M. Misbach dengan Medan Moeslimin-nya mempropagandakan kalangan petani di sekitar Solo untuk “djangan koewatir” melaksanakan pemogokan.

Kita harus merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa memiliki buku, sebab semakin langka karena terakhir terbit pada dekade 90-an. Beruntung buku ini telah diterbitkan ulang tahun lalu dengan perbaikan sana-sini oleh Marjin Kiri.


4. Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (D. N. Aidit, 1957)

Sulit untuk membicarakan komunisme Indonesia tanpa menyinggung buku lain dari Aidit ini. Filsafat marxisme, materialisme historis dan dialektis (MDH), diolah sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan kondisi konkret Indonesia. Hal demikianlah yang menjadi landasan teoretis bagi PKI untuk bergerak dan mengambil kebijakan ekonomi-politik kala itu.

Indonesia, seperti dinarasikan oleh Aidit, adalah negara setengah jajahan setengah feodal (SJSF) layaknya Tiongkok. Ada beberapa kontroversi yang meliputi dokumen ini, yakni kemiripannya dengan buku Mao bertitel The Chinese Revolution and the Chinese Communist Party (1939). Kedua buku ini nyaris kembar, dimulai dengan runutan topik pembahasan dan kesimpulan yang harus diambil bagi negara SJSF: revolusi nasional-demokratis.

Hemat saya, Aidit memang menganggap bahwa Indonesia seperti Tiongkok mengingat kesamaan geografi dan ekonomi. Perkembangan masyarakat Indonesia dimulai dengan corak produksi feodal. Transformasi pun terjadi ketika kolonialisme Belanda bercokol. Indonesia menjadi berciri khas kolonial. Revolusi Agustus 1945 menjadi titik awal perubahan masyarakat Indonesia menjadi SJSF.

Keputusan politik dengan menempuh jalan parlementer—alih-alih perjuangan bersenjata—tidak lepas dari konteks SJSF. PKI percaya diri untuk menggandeng kelas borjuis nasional dan kecil untuk ikut serta “membersihkan” jalan dari anasir-anasir feodal dan imperialis dalam front persatuan untuk mencapai sosialisme.

Anda bisa membaca karya Aidit ini di laman marxists.org.


5. Indonesian Communism under Sukarno: Ideologi dan Politik, 1959—1965 (Rex Mortimer, 2011)

Buku yang ditulis oleh Rex Mortimer, akademisi dari Australia ini, meneropong sepak terjang PKI selama masa Demokrasi Terpimpin. Menurutnya PKI bergerak secara fleksibel. PKI mampu mengompromikan ideologi yang mereka usung demi sejalan dengan roadmap yang diberikan Sukarno. Alih-alih mengkhianati marxisme-leninisme, PKI memberikan justifikasi bahwa ideologi mereka bisa disesuaikan dengan konteks sosial-politik tertentu.

Salah satu bentuk fleksibilitas PKI adalah bergabung dalam Front Nasional, sebuah persatuan lintas kelas yang tereksploitasi oleh feodal-kapitalis-imperialis. Front menemukan wujudnya dalam proyek politik Sukarno, seperti dalam persoalan Irian Barat dan konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Kelas petani dengan sempurna diorganisasikan oleh PKI pada masa “politik sebagai panglima” ini. Kesadaran kelas ini dapat dilihat pada Aksi Sepihak untuk menegakkan reforma agraria. Namun penciptaan kesadaran kelas tani tidak bisa dikatakan instan; terbangun hanya 1-2 tahun. PKI sejak 1954 atau pada masa kongres, memang menyimpulkan bahwa “revolusi Indonesia pada dasarnya adalah revolusi agraria.” 

Buku ini memberikan perspektif kritis mengenai tingkah laku PKI. Hal yang tak luput disoroti oleh Mortimer adalah pertikaian antara Angkatan Darat dengan PKI, dan bagaimana peran Sukarno di tengah konflik itu.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


6. Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang (Vincent Bevins, 2020)

Epos umat manusia yang tak bisa terabaikan adalah Perang Dingin. Sejak mula, yaitu pasca-Perang Dunia II, aktor utama dalam proxy war ini, Amerika Serikat (AS), mulai menyusun rencana “membasmi ancaman komunisme Soviet.” Beragam kebijakan ditelurkan, seperti Marshall Plan, Doktrin Truman, hingga histeria McCarthyism.

Dengan pendekatan jurnalistik, Vincent Bevins menangkap gerak kebijakan AS yang mulai memperhatikan Asia pada awal 1950-an. Pandangan ini dibakukan dalam prinsip “Axioma Jakarta” oleh Truman. Jakarta dianggap sebagai penyederhanaan bagi pihak yang netral dan bertendensi antikomunis di Asia. Kendati demikian, pandangan tersebut berumur pendek. Presiden-presiden AS selanjutnya melihat bahwa posisi netral dalam konstelasi politik dunia sebagai sikap malu-malu untuk mengakui diri sebagai komunis. Netralitas inilah yang banyak ditunjukkan oleh negara dunia ketiga.

Walhasil, gerakan demokratis-sosialis-komunis di negara dunia ketiga kian diawasi oleh AS. Jika gerakan tersebut bermain terlalu jauh, AS—yang selalu merasa polisi dunia—wajib mengintervensi. Hal ini terbukti dengan campur tangan mereka menegakkan rezim otoriter sebagai batu penghalang gerakan sosialis-komunis. 

Salah satunya, tentu saja, adalah penumpasan PKI 1965-66. Program brutal nan sistematis oleh Angkatan Darat itu tidak berhenti dalam teritorial Indonesia, tetapi kontinu menginspirasi gerakan antikomunis belahan bumi lain. Kata “Jakarta”—yang sebelumnya dikonotasikan sebagai  antikolonial—menjadi metafora untuk melegalisasi pendirian rezim militeristik berdarah bagi sebelas negara lain.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui penerbit Marjin Kiri, juga ulasannya telah terbit di Indoprogress


7. Pledoi Sudisman: Kritik-Otokritik Seorang Politbiro CC-PKI (Sudisman, 2000)

Pembaca, jangan anggap bahwa seluruh pemimpin PKI lila legawa menerima fakta bahwa partainya yang telah dihancurkan pasca-G30S sebagai “sesuatu yang memang demikian adanya.” Pembaca mungkin bisa mengarahkan dugaan tersebut pada sikap Aidit, Njoto, dan Lukman. Akan tetapi, Sudisman berani mengoreksi habis-habisan dalam pleidoinya, Otokritik Politbiro CC-PKI. 

Sejarah komunisme Indonesia tak akan lengkap tanpa mencantumkan nama Sudisman sebagai pemungkas. Pleidoi yang terakhir dibukukan oleh Teplok Press itu mengungkap avonturir pemimpin PKI dalam G30S sebagai konsekuensi logis dari dikerdilkannya prinsip marxisme-leninisme dalam penyusunan kebijakan partai.

Sudisman mengkritisi kebijakan front persatuan nasional. Dia juga mengoreksi pandangan Aidit soal negara yang menurutnya menyederhanakan teori negara Lenin. Aidit sendiri menekankan teori “dua aspek”, yakni negara tergantung adanya kekuatan “pro-rakjat dan anti-rakjat.”

Dalam pleidoinya, Sudisman cermat dalam membaca sejarah partainya sendiri. Ia kembali mengusung “Koreksi Besar Musso” untuk menyingkap kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh Komite Sentral. Kesalahan itu oleh Sudisman ditunjukkan dalam garis politik PKI yang terlalu menyandarkan diri pada kekuatan borjuis nasional, dalam hal ini tidak lain adalah Sukarno. 

____________________

Tujuh buku di atas, menurut hemat saya, mampu memberikan “pencerdasan kehidupan bangsa”—sesuai amanat Konstitusi. Harapan besar akan tetap selalu ada dalam upaya memandang sejarah komunisme Indonesia secara telanjang; tanpa tambahan yang dilebih-lebihkan atau pengurangan yang berarti.***


Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.