Ilustrasi: Illustruth
KEMERDEKAAN Indonesia digapai melalui perjuangan rakyat semesta, termasuk petani. Sejarah panjang perjuangan petani yang bisa dicuplik yakni pada awal masa kolonial, sekira tahun 1596. Penjajah Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman datang ke Nusantara dengan empat buah kapal dagang. Mereka tiba di pelabuhan Banten untuk mengincar lada dan rempah yang merupakan kekayaan daerah bagian barat Pulau Jawa tersebut. Sejak itu pergolakan dimulai dan terus berlanjut.
Pada tahun 1821, para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik tanah diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa tanah Eropa. Peristiwa ini melatari perlawanan Pangeran Diponegoro tahun 1925-1930.
Setelah Perang Jawa, tahun 1830-1870, Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa. Tanam Paksa mengakibatkan bencana kelaparan dalam rentang 1849-1850. Sistem Tanam Paksa lalu dihentikan pada 1870 dan diganti dengan “sistem liberal”, di mana sektor perkebunan dan pertanian monokultur diorientasikan untuk memenuhi kuota ekspor melalui penanaman modal swasta.
Perubahan ini dilandasi Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet): domein verklaring (pernyataan hak negara atas tanah). Artinya, semua tanah yang dimiliki rakyat dengan nama dan hak apa pun (termasuk tanah ulayat), bila tidak dapat dibuktikan serifikat/kepemilikannya (eigendom), praktis menjadi kepunyaan kolonial.
Peraturan ini kemudian menyulut konflik di berbagai daerah. Salah satu yang terkenal adalah perlawanan ulama dan petani di Banten tahun 1888. Kejadian ini dikenal sebagai Pemberontakan Petani Banten. Akar konflik berasal dari ketimpangan penguasaan tanah, kenaikan pajak belanda, pemerasan tenaga kerja, wabah penyakit, dan pasca bencana letusan Gunung Krakatau 1883.
Rezim penindasan berlanjut dengan pemaksaan hasil bumi demi mencukupi kebutuhan perang. Kedua penjajah, Belanda dan Jepang, sama-sama melakukannya.
Pengaturan Ulang Agraria
Meskipun kemerdekaan secara politik telah direngkuh sejak 17 Agustus 1945, Belanda masih mencoba menduduki dan menguasai teritorial dan ekonomi Indonesia. Ini terjadi pada tahun 1946-1949, dikenal sebagai Agresi Militer Pertama dan Kedua. Belanda terus berusaha menguasai kembali tanah-tanah perkebunan seperti sebelum Indonesia merdeka.
Para pendiri bangsa menyadari bahwa pangkal kolonialisme adalah penguasaan si penjajah terhadap kekayaan alam atau sumber-sumber agraria, terutama tanah dan air. Karena itu, di bulan Februari 1946, Indonesia melakukan uji coba land reform atau redistribusi tanah kepada rakyat. Kebijakan ini berhasil diuji coba di Banyumas lalu dilanjutkan tahun 1948 di Solo dan Yogyakarta, yang juga diganjar keberhasilan.
Untuk mencabut kolonialisme sampai ke akarnya, Presiden Sukarno berupaya mengganti Undang-Undang Agraria 1870. Pemerintah kemudian membentuk Panitia Agraria Yogya untuk merumuskan peraturannya pada 1948. Namun upaya ini menemui jalan buntu. Tim yang dibentuk selalu gagal dan berganti-ganti–mulai Panitia Agraria Jakarta 1952.
Kegagalan itu membuat pemerintah mengeluarkan UU Darurat No. 8 tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah Perkebunan Hak Erfpacht (Hak Guna era Hindia Belanda) oleh rakyat. Pendudukan tanah tak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum. Selagi UU itu berjalan, penyusunan UU Agraria dilanjutkan dengan pembentukan Panitia Suwahyo 1956.
Pada tahun 1957, Belanda yang masih tidak rela angkat kaki terus mengulur penyelesaian wilayah Irian Barat. Indonesia kemudian memberikan tindakan tegas dengan membatalkan Konferensi Meja Bundar (KMB) secara sepihak. Hal ini kemudian diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing.
Pemerintah terus mengebut penyelesaian Undang-Undang Agraria dengan membentuk Panitia Sunaryo 1958. Kebijakan ini disertai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Tanah partikelir adalah tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten). Hak pertuanan artinya sang tuan tanah berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Melalui regulasi tersebut, hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara. Upaya mengambil alih tanah yang dikuasai asing ke tangan rakyat lantas dilakukan dengan ganti rugi–untuk meminimalisasi konflik.
Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo, kerja sama Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), dan Universitas Gadjah Mada, terciptalah rancangan Undang-Undang Agraria. Rancangan tersebut disetujui DPR-GR yang dipimpin KH. Zainul Arifin dari Partai Nahdlatul Ulama (NU) pada 24 September 1960 sebagai Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA 1960 menjadi landasan reforma agraria yang didahului dengan land reform.
Penguatan pelaksanaan UUPA 1960 dilakukan dengan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 1960 tentang Penentuan Perusahaan Perusahaan Pharmasi Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi pada tanggal 24 Desember 1960. Aturan ini lalu diperkuat dengan Undang-Undang No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Land Reform. Sebagai peraturan pelaksana, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Pada waktu yang bersamaan, pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UU PBH). Namun, pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut terhambat oleh administrasi yang buruk, korupsi, serta menguatnya oposisi dari sisi tuan tanah. Akibatnya konflik agraria kembali terjadi.
Pada tahun 1964, karena konflik agraria semakin tinggi, pemerintah menerbitkan UU No. 21 tahun 1964 tentang Pengadilan Land Reform. Pengadilan Land Reform dimaksudkan untuk memberi sanksi kepada mereka yang menolak untuk bekerja sama dalam pelaksanaan UU PBH.
Pada tahun 1966, cita-cita dan semangat reforma agraria berhenti. Kepemimpinan Sukarno berpindah ke Soeharto dengan cara yang berdarah. Pemerintahan Soeharto menjungkirbalikkan pelaksanaan reforma agraria dan menganggapnya sebagai ajaran komunis. Sabotase reforma agraria secara terang benderang terjadi pada tahun 1967 dengan kelahiran Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Setelah itu, Undang-Undang Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Pertambangan disahkan. Ketiga Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUPA 1960, bahkan dinilai menjadi penjelmaan ulang dari Undang-Undang Agraria Belanda 1870. Di masa ini, Indonesia lebih condong kepada Blok Barat.
Pelemahan Hak Atas Tanah
Pada 1968, pemerintah menerapkan sistem pertanian Revolusi Hijau yang menyebabkan kepunahan lebih dari 10 ribu varietas benih lokal akibat pemakaian benih unggul produksi perusahaan. Kerusakan ini menjadi jalan untuk mengembangkan benih-benih transgenik sebagai pengganti. Indonesia juga mulai mengenal food aid, tetapi pada 1971 program-program food aid berubah menjadi “bantuan berbentuk pinjaman”. World Bank juga mengirimkan bantuan untuk pengembangan perkebunan dengan sistem Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun), termasuk program transmigrasi yang dikenal dengan PIR Trans. Situasi ini menandai kembali perampasan tanah-tanah rakyat secara marak.
Pada tahun 1979, upaya reforma agraria kembali hidup ketika diselenggarakan Konferensi Reforma Agraria dan Pembangunan Perdesaan di Roma, Italia. Indonesia kemudian terpilih menjadi tuan rumah untuk membahas hasil penelitian konferensi tersebut. Sukabumi, Jawa Barat dipilih sebagai lokasi pertemuan. Maka, pada tahun 1981, pertemuan yang dikenal dengan Konferensi Salabintana pun terselenggara. Konferensi menyepakati seluruh negara yang hadir harus menjalankan reforma agraria dengan membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA). Badan ini memiliki tugas mengkoordinir semua sektor, mempercepat proses, dan menangani konflik. Setelah pertemuan itu Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun terbentuk.
Selama rentang 1983-1993, para ahli dan penggiat reforma agraria berharap pertemuan tersebut dapat membuahkan hasil positif. Namun semua tidak seperti yang diharapkan. Menurut Sensus Pertanian tahun 1983 dan 1993, hampir 2 juta petani di Jawa tergusur dan melorot statusnya menjadi buruh tani karena tanah mereka digunakan untuk mendukung paradigma pembangunan ala Soeharto. Berbagai proyek infrastruktur, kawasan industri, dan perumahan tanpa kompensasi yang memadai menggantikan tanah-tanah pertanian rakyat. Tanah-tanah yang sebelumnya telah dinasionalisasi juga kembali dikuasai perusahaan perkebunan, kehutanan, dan tambang asing.
Transformasi penjajahan gaya baru, atau yang kerap disebut neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), menemui titik kulminasi pada rentang tahun 1993-2001. Tandanya adalah corak pemerintahan Indonesia menjadi lebih liberal dengan bergabung ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Rezim perdagangan bebas mengusung paket kebijakan yang terdiri dari liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Pada fase ini juga dogma Revolusi Hijau ditingkatkan melalui konsep Ketahanan Pangan.
Rezim nekolim ditandai dengan takluknya pemerintah Indonesia dibawah Letter of Intent (LoI) IMF dan Program Penyesuaian Struktur (Structural Adjustment Programme) dari Bank Dunia pada tahun 1997. Rezim menciptakan mekanisme pasar bebas melalui perangkat-perangkat WTO, International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan beberapa perjanjian serta forum-forum internasional lainnya seperti G20, ASEAN, dan APEC. Negara-negara jadi saling tergantung satu sama lain. Pada masa ini hak-hak petani semakin terpinggir.
Memupuk Harapan
Pada 21 Mei 1998, pemerintahan daripada kepemimpinan Soeharto berakhir. Tuntutan reforma agraria–atau yang diterjemahkan pembaruan agraria–pun kembali bergejolak. Tahun 2001, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pembaruan Agraria. Namun banyak pihak menilai Ketetapan MPR ini hanya secarik kertas sebab tidak dijalankan.
Tahun 1999-2001, pemerintah tak menjalankan mandat untuk kembali melaksanakan reforma agraria. Meski begitu, mereka seolah membiarkan petani melakukan reclaiming atau menguasai kembali tanah-tanah yang dirampas terutama oleh perusahaan perkebunan. Pada Mei 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyebut 40 persen tanah-tanah PT Perkebunan adalah hasil dari perampasan tanah rakyat, dan karena itu negara harus mengembalikannya.
Pada tahun 2002, BPN mengungkap meskipun masih banyak kekurangan, sejak awal pelaksanaan land reform sekitar tahun 1961 sampai 2002, setidaknya sebanyak 840.227 hak tanah objek reforma agraria sudah di-redistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani.
Tahun 2002-2004 dan 2004-2014, kita tahu, terjadi perubahan kepemimpinan. Namun lagi-lagi reforma agraria hanya sekadar janji tanpa pelaksanaan pasti. Bahkan dalam periode ini perusahaan swasta mendapatkan konsesi yang luas. Hal ini menyebabkan konflik agraria kembali meninggi.
Di masa pemerintahan 2014-2019, Presiden Joko Widodo memang memasukkan reforma agraria ke dalam program prioritas pemerintah–dengan janji mendistribusikan 9 juta hektare tanah kepada petani. Namun janji itu dipersempit dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dengan hanya mengalokasikan tanah dari eks-Hak Guna Usaha (HGU) seluas 400 ribu hektare dan pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektare. Sementara setengahnya lagi, atau 4,5 juta hektare, adalah legalisasi aset atau sekadar sertifikasi tanah.
Reforma agraria 9 Juta hektare pada periode pertama pemerintahan Jokowi tidak mencapai target. Konflik agraria masih terus meluas dan meninggi.
Setelah terpilih kembali untuk periode kedua, Joko Widodo kembali menempatkan reforma agraria sebagai kegiatan prioritas dalam RPJMN 2020-2024. Pada halaman A.3.52 lampiran ke-III Perpres No. 18 tahun 2020, disebutkan luas bidang tanah yang akan diretribusi dan dilegalisasi dalam kerangka reforma agraria luasnya mencapai 8.567.395 hektare dengan jumlah penerima Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebanyak 2.144 kelompok. Meskipun pesimistis, upaya untuk mencapai target ini harus terus dimonitor sampai akhir.
Lahir dari Petani
Pemerintahan Orde Baru melakukan peralihan pendapatan negara dari yang sebelumnya sektor minyak dan gas ke sektor non-migas atau sektor ekstraktif: perkebunan. Pergeseran ini memicu munculnya fenomena perampasan tanah (land grabbing) dan pelanggaran terhadap hak-hak petani dan masyarakat perdesaan. Kondisi tersebut kemudian mendorong munculnya kesadaran atas pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak petani. Hal ini menjadi perbincangan dan pembahasan di tataran organisasi petani, kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pegiat reforma agraria. Melalui forum-forum petani, diskusi, dan lainnya, ide mengenai hak-hak asasi petani mulai diperbincangkan dan dibahas sejak awal periode 1990-an sampai berakhirnya rezim Orde Baru.
Secara khusus, Serikat Petani Indonesia (SPI) menjadi salah satu inisiator hak asasi petani. Idenya dimulai oleh salah satu anggota mereka, Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). SPSU merumuskan 7 butir hak asasi petani pada tahun 1996. Rumusan tersebut kemudian dicetak dalam pamflet dan dibagian ke seluruh anggota dalam setiap aksi maupun forum-forum lain.
Pada tahun 2000, SPI kemudian mengadakan lokakarya di Medan untuk membahas reforma agraria dan hak asasi petani. Kegiatan ini menghasilkan “Konsep Operasional Perlindungan Hak-Hak Petani”. Hak asasi petani dirumuskan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Pertemuan berlanjut pada Maret 2001. SPI menyadari kemiskinan tidak datang dari langit, tetapi dihadirkan lewat sistem yang tidak adil. Karenya ditetapkanlah posisi bahwa petani harus melawan segala bentuk neoliberalisme.
Setengah Dekade Memajukan UNDROP
Pada tanggal 18-20 April 2001, berbagai gerakan rakyat termasuk SPI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM) menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Petani. Konferensi ini dikenal dengan Konferensi Cibubur yang menetapkan setiap tanggal 20 April sebagai Hari Hak Asasi Petani Indonesia. Kemudian juga menghasilkan Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia yang berisi 8 (delapan) resolusi sebagai berikut:
- Hak-hak petani atas hidup;
- Hak-hak penguasaan dan pemakaian sumber daya alam dan kemampuan pribadinya;
- Hak-hak petani atas produksi;
- Hak-hak petani atas konsumsi;
- Hak-hak petani akan pemasaran produk, pengadaan asupan, dan jaminan mutu akan produknya;
- Hak-hak petani akan berorganisasi;
- Hak-hak petani akan kelanjutan keturunannya serta makhluk hidup lainnya yang menjamin kelangsungan hidupya;
- Hak-hak petani akan pengungkapan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Deklarasi Cibubur: Dari Lokal ke Internasional
Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia hasil Konferensi Cibubur ini lalu tereskalasi di tataran regional. Pada tahun 2022, La Via Campesina (LVC) atau Gerakan Petani Dunia Regional Asia Timur dan Asia Tenggara menyelenggarakan Rapat Regional tentang Hak Asasi Petani di Jakarta (Henry Saragih, 2017). Rapat kemudian menghasilkan Deklarasi Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani. Pada deklarasi ini, 8 pasal yang telah dirumuskan di Cibubur mengalami perubahan menjadi 10 pasal sebagai berikut:
- Hak atas penghidupan yang layak;
- Hak atas sumber-sumber agraria;
- Hak atas kebebasan budi daya tanaman;
- Hak atas modal dan sarana produksi pertanian;
- Hak atas akses informasi dan teknologi pertanian;
- Hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian;
- Hak atas perlindungan nilail-nilai budaya pertanian;
- Hak atas keanekaragaman hayati;
- Hak atas kelestarian lingkungan;
- Hak atas kebebasan berorganisasi.
Pada tahun 2003, LVC memulai kampanye dengan membuat laporan tahunan tentang pelanggaran hak-hak asasi petani. Medio 2005-2007, proses sistematisasi perjuangan terkait bagaimana cara perlindungan dan pengakuan hak asasi petani di level internasional dimulai. Proses berlanjut pada bulan Juni 2008, yaitu saat Konferensi Internasional LVC tentang hak-hak asasi petani terselenggara di Jakarta. Perjuangan LVC untuk menjadikan hak asasi petani sebagai instrumen Internasional kemudian menemui momentum tatkala krisis pangan global terjadi tahun 2008.
Ketika krisis pangan terjadi, Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa Swiss mempertanyakan para pemimpin LVC tentang langkah-langkah yang diusulkan oleh gerakan tani untuk mengatasi krisis. LVC menjawab bahwa Deklarasi Hak Asasi Petani adalah alat penting dalam perang melawan kelaparan dan diskriminasi terhadap penduduk perdesaan di seluruh dunia.
Setelah krisis pangan 2008, Majelis Umum PBB pada April 2009 mengeksplorasi lebih lanjut ide-ide untuk perlindungan dan pengakuan hak asasi petani. Dewan Hak Asasi Manusia PBB lalu memberikan mandat kepada Komite Penasihat untuk melakukan studi tentang diskriminasi dalam konteks hak atas pangan. Preliminary study oleh Dewan Komisi Hak Asasi Manusia PBB ini menandai secara formal Hak Asasi Petani memasuki proses di PBB.
Tahun 2010 terbentuk studi pendahuluan dan bagaimana mewujudkan hak-hak petani sebagai instrumen hak asasi manusia yang baru. Pada bulan Maret 2012, komite ini mempresentasikan studi akhir tentang kemajuan hak asasi petani dan masyarakat yang bekerja di daerah perdesaan. Komite merekomendasikan agar Dewan Hak Asasi Manusia PBB menetapkan mandat baru untuk prosedur khusus demi memperkuat promosi dan perlindungan hak asasi petani dan masyarakat yang bekerja di daerah perdesaan dan mengembangkan instrumen internasional.
Pengesahan Deklarasi PBB
Pada bulan September 2012, Bolivia memasukkan draf hak asasi petani dalam resolusi 21/19 yang akan dijalankan oleh Dewan HAM PBB. Mekanisme dalam Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengharuskan usulan dari suatu resolusi–dalam konteks ini hak asasi petani–harus dibawakan oleh negara-negara anggota Dewan HAM PBB. Hal ini berarti institusi negara diperlukan sebagai pihak yang menjadi sponsor dan ko-sponsor resolusi. Setelah melalui proses lobi dan komunikasi yang dilakukan LVC dan jejaringnya, Bolivia setuju menjadi negara utama yang menjadikan hak asasi petani menjadi sebuah deklarasi. Hal ini kemudian diikuti oleh Afrika Selatan, Kuba, Venezuela, dan Ekuador.
Hasil resolusi yang berakhir dengan 23 negara mendukung, 9 menentang, dan 15 abstain tersebut memandatkan keberlanjutan negosiasi hak asasi petani dalam proses formal di Dewan HAM PBB, yakni dengan membentuk Open-Ended International Working Group (OEIWG). OIEWG berlangsung dari tahun 2013 hingga 2018 yang terdiri dari 5 sesi. Sesi 1 dimulai pada 2013, lalu sesi 2 (2015), sesi 3 (2016), sesi 4 (2017), dan sesi 5 (2018).
Pada April 2018, Kelompok Kerja ke-5 Antar Pemerintah dari Dewan Hak Asasi Manusia (The 5th Open-ended Intergovernmental Working Group of the Human Rights Council/HRC) merampungkan negosiasi dan melakukan finalisasi pada teks untuk Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani. Selanjutnya, tanggal 28 September 2018, sesi ke-39 Dewan HAM PBB di Jenewa Swiss melakukan voting awal, di mana 33 dari 47 negara menyatakan setuju atas teks. Hak asasi petani kemudian melenggang ke Majelis Umum PBB di New York melalui resolusi A/HRC/RES/39/12 (Serikat Petani Indonesia, 2018).
Perjuangan mencapai puncak pada tanggal 17 Desember 2018. Petani dunia menyambut gembira atas kelahiran Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas – UNDROP) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat. UNDROP diputuskan sebagai instrumen HAM oleh resolusi 73/165 Majelis Umum PBB. Tercatat 120 negara menyatakan setuju, 8 menolak, dan 54 abstain dalam proses pengambilan keputusan.
Deklarasi PBB ini merupakan instrumen baru yang secara khusus mengatur tentang pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM yang melekat pada petani dan seluruh masyarakat yang ada di perdesaan.
UNDROP mengandung 28 pasal dengan isi antara lain pasal 15 tentang hak atas pangan dan kedaulatan pangan serta pasal 17 tentang hak atas tanah. Keduanya menjadi jantung dari deklarasi ini sehingga dapat mengukur situasi dan kondisi terhadap pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak asasi petani.
Indonesia patut berbangga diri karena UNDROP diinisiasi dan diperjuangkan oleh SPI. SPI menyadari bahwa perjuangan tidak dapat ditempuh hanya di tingkat nasional, tapi juga internasional. Lahirnya UNDROP menambah instrumen HAM dalam kerangka Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ESB) dengan petani dan masyarakat perdesaan sebagai pemegang hak. Sebelum lahirnya UNDROP, hak petani dan masyarakat perdesaan digeneralisir ke dalam instrumen-instrumen HAM lain yang sudah ada seperti Konvensi ILO, CEDAW, dan lain-lain, yang menjadikan petani dan masyarakat perdesaan tidak mendapatkan perhatian khusus.
Generalisasi tersebut selama ini telah menegasikan peran vital petani terhadap keberlangsungan umat manusia sebagai produsen pangan utama dan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki corak khas dalam pandangan sosial dan budayanya. Akibatnya, tindakan-tindakan yang merugikan petani seperti perampasan lahan dan kriminalisasi tidak menjadi konsentrasi utama atau hanya dipandang sebagai tindakan pelanggaran hukum biasa. Keberadaan UNDROP menjadi ruang khusus bagi petani dan masyarakat perdesaan agar hak-haknya diakui, dihormati, dan dipenuhi, sehingga dapat terus memberi makan untuk seluruh umat manusia dan mewujudkan kedaulatan pangan.
Paradoks Peraturan Nasional
Indonesia sesungguhnya lebih dulu memiliki instrumen hukum nasional yang mengatur terkait hak asasi petani. Semisal melalui UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Salah satu hak yang diatur UU 19/2013 yakni hak petani atas tanah. Pasal 58 UU 19/2013 secara tegas memerintahkan negara untuk memberikan paling luas 2 hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani, yang telah melakukan usaha tani paling sedikit 5 tahun berturut-turut. Namun dalam pelaksanaan satu dasawarsa terakhir, peraturan ini masih sekadar di atas kertas. Demikian juga kedaulatan pangan yang diatur UU 18/2012. Pemerintah saat ini sekadar berorientasi menjalankan ketahanan pangan.
Karena itu, bahkan setelah lima tahun disahkan UNDROP harus tetap diperjuangkan. Secara nasional, UNDROP mesti diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan nasional, salah satunya yang berkaitan dengan reforma agraria dan kedaulatan pangan. Tahapan ini juga mendapatkan tantangan dari Undang-Undang Cipta Kerja, sebab berisikan aturan yang memperlemah antara lain Undang-Undang 18/2012 tentang Pangan dan Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
UU Cipta Kerja menjauhkan petani untuk memperoleh hak atas tanah. UU Cipta Kerja mencirikan liberalisasi pertanahan melalui Badan Bank Tanah dan keterlanjuran sawit korporasi dalam kawasan hutan. Sementaraimpor komoditas pertanian termasuk pangan dipermudah. Pasal 15 ayat (1) UU 18/2012 diubah UU Cipta Kerja dengan menghapuskan frasa “mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan.” Kemudian tak lagi berlaku Pasal 30 UU 19/2013 yang mengatur pelarangan impor pangan apabila ketersediaan dalam negeri mencukupi.
Kenyataan yang terjadi bisa dikatakan paradoks. Sebelum ada UNDROP, peraturan perundang-undangan nasional justru dinilai mampu memajukan hak asasi petani. Sedangkan setelah UNDROP disahkan, pemerintah dan DPR tidak lekas melakukan ratifikasi, melainkan mengesahkan UU Cipta Kerja yang sampai saat ini cukup berhasil menggeser bahkan menggugurkan hak asasi petani.
Kelanjutan Perjuangan
Meskipun demikian, harapan tak boleh pupus. Dewan HAM PBB kembali menorehkan sejarah untuk petani dan masyarakat perdesaan di seluruh dunia dengan menetapkan pembentukan kelompok kerja yang berfokus pada implementasi UNDROP (11/10/2023). Keputusan dihasilkan dalam resolusi di sesi ke–54 Rapat Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss dengan 38 suara setuju, 2 suara tidak setuju, dan 7 suara abstain. Pemungutan suara mencerminkan upaya global yang tiada henti untuk memajukan dan menegakkan hak-hak petani, pekerja pertanian, nelayan, penggembala, masyarakat yang bergantung pada hutan, masyarakat nomaden, masyarakat hukum adat, perempuan perdesaan, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan lainnya.
Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari peran utama Bolivia. Begitu juga dengan pemerintah Indonesia dan Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa yang telah mendukung perjuangan UNDROP baik dalam fase pengesahan tahun 2018 lalu maupun sebagai negara ko-sponsor dalam proses resolusi pembentukan kelompok kerja UNDROP. Pembentukan prosedur khusus ini mendorong negara-negara dunia untuk mengadopsi UNDROP sebagai regulasi pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi petani di masing-masing negara.
Kelompok kerja UNDROP akan terdiri dari lima ahli independen dengan representasi geografis yang seimbang antar benua, beroperasi untuk jangka waktu tiga tahun. Mereka akan memainkan peran penting dalam promosi pembelajaran, memfasilitasi implementasi UNDROP, mengidentifikasi praktik yang efektif, dan mendorong kolaborasi untuk peningkatan kapasitas teknis dalam mencapai tujuan bersama.
Langkah ini merupakan perubahan penting dalam upaya memastikan hak asasi petani di seluruh dunia berjalan dan menjadi dasar untuk kebijakan publik yang lebih baik dalam penerapan reforma agraria, kedaulatan pangan, agroekologi, keadilan iklim, dan pembangunan perdesaan, serta melindungi petani dan orang-orang yang bekerja perdesaan dari kriminalisasi, intimidasi, dan diskriminasi hukum.
Penetapan pembentukan kelompok kerja ini merupakan hasil dari perjuangan kolektif, dan harus menghadapi proses yang tidak mudah. Karena itu, kelompok kerja UNDROP juga diartikan sebagai dorongan tersendiri bagi para petani dan masyarakat perdesaan di Indonesia maupun dunia yang saat ini dilanggar hak-haknya untuk terus berjuang dalam membela dan menuntut kepada negara, sembari terus memproduksi pangan yang sehat dan bergizi bagi seluruh penduduk.
Angga Hermanda, Ketua Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan, Komite Eksekutif Pusat Partai Buruh