Hauntologi Komunisme

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


JACQUES Derrida (1993) memperkenalkan istilah “hauntologi” dalam karyanya, The Specters of Marx, dengan mengacu pada ungkapan Karl Marx yang sangat populer: “Ada hantu berkeliaran di Eropa; hantu komunisme.” Marx sendiri menubuatkan kehadiran hantu jenis ini dalam prolog karyanya, Das Manifest der Kommunistischen Partei (1848).

Hauntology adalah perpaduan dari kata haunt dengan ontology. Derrida menggunakan kata kerja to haunt untuk menegaskan fungsionalitas status ontologis. Ontologi berkutat pada pembuktian atau pendasaran keberadaan sebuah entitas. Hauntology tidak lagi meributkan keberadaan atau kehadiran sebuah entitas di masa kini, tetapi fungsionalitas entitas tersebut yang pernah hadir di masa lalu. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hauntology berangkat dari paradigma bahwa efek hantu (yakni, fungsionalitasnya) jauh lebih nyata dan terasa daripada sosok hantu.

Latar belakang hauntology adalah kehancuran komunisme di Eropa, khususnya Uni Soviet. Kehancuran ideologi ini seolah-olah menegaskan bahwa Kapitalisme adalah satu-satunya alternatif untuk dunia, termasuk sebagai sebuah imajinasi. Hauntology Derrida dapat dibaca sebagai sebuah antitesis dari The End of History and the Last Man (1992) karya Francis Fukuyama.

Derrida ingin menegaskan bahwa kehancuran komunisme tidak berarti kehancuran warisan marxisme, sebab justru memunculkan sebuah bentuk dekonstruksi marxisme secara radikal. Warisan marxisme ini tetap hidup dan membayangi masyarakat pasca komunisme sebagai sebuah tradisi kritik terhadap Kapitalisme Liberal. Inilah yang disebut dengan efek hantu; masa lalu hadir di masa kini dengan modus subjunctive (pengandaian) dan keterbukaan subjek terhadap masa lalu memiliki peran penting dalam memahami masa kini sekaligus dalam mempersiapkan masa depan. Efek hantu bukanlah sebuah teror, tetapi kawan berdialog. Dengan demikian, menghantui bukanlah menakut-nakuti, tetapi sebuah ajakan untuk berdialog.

Hauntology bisa menjadi semacam kaca mata untuk membaca desas-desus isu kebangkitan komunisme . Pada era Orde Baru, isu komunisme digunakan oleh pihak pemerintah untuk membungkam kelompok oposisi. Istilah komunisme menjadi label bagi siapa saja yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Pihak pemerintah menjadi sasaran pelabelan komunisme yang dilontarkan oleh kelompok oposisi. Di dalam kontestasi pemilihan presiden 2014 dan 2019, tudingan komunisme dilemparkan kepada sosok Joko Widodo. Selain itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga menjadi sasaran isu komunisme (Safitri, 2022). Kelanggengan hantu komunisme di Indonesia ini memancing sebuah kajian ringan hauntology.


Kodifikasi Anti Agama

Apa yang dibayangkan oleh Derrida berbeda dengan hantu komunisme di Indonesia. Barangkali hauntology komunisme di Indonesia adalah sebuah anomali. Derrida membayangkan legacy marxisme sebagai kritik terhadap Kapitalisme. Secara sosiologis, hantu komunisme Indonesia tampaknya tidak meninggalkan legacy seperti ini. Legacy marxisme dan komunisme sebagai kritik terhadap Kapitalisme adalah fenomena di negara-negara yang memang memiliki tradisi Kiri yang kuat. Tradisi pemikiran Kiri di Indonesia, dapat dikatakan, hilang sejak tahun 1965.

Lalu pesan apa yang disampaikan hantu komunisme? Tampaknya, hantu komunisme di Indonesia lebih cenderung meninggalkan legacy sentimen anti agama. Collective memory terhadap Partai Komunisme Indonesia (PKI) adalah sentimen anti agama. Harap diingat bahwa kekerasan yang melibatkan PKI terjadi sebelum dan sesudah tahun 1965. Sebelum tahun 1965, yang menjadi korban adalah para penentang PKI. Setelah tahun 1965, yang menjadi korban adalah mereka yang dianggap sebagai antek PKI. Sentimen anti agama yang melekat pada hantu komunisme di Indonesia dipicu oleh konflik terbuka PKI dengan para pemuka agama sebelum tahun 1965.

Collective memory selalu berbasis pada episode sejarah. Akan tetapi, konsep sejarah sendiri tidak dapat diperhadapkan langsung dengan collective memory (Assmann, 2013). Tugas sejarawan adalah membedah masa lalu secara objektif. Ini adalah duktus ilmu sejarah.  Collective memory adalah penafsiran sejarah yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan kekuasaan. Seleksi dan pembobotan peninggalan sejarah adalah mekanisme pembentukan collective memory. Legitimasi kekuasan dibangun berdasarkan collective memory.

Keberhasilan pelabelan komunisme untuk membukam kelompok oposisi pada era Orde Baru tidak semata-mata hanya karena faktor pendekatan represif militeristik, tetapi juga karena faktor kuatnya collective memory terhadap PKI. Legitimasi tindakan represif dibangun dengan memanfaatkan collective memory tersebut. Salah satu unsur pokok dalam collective memory adalah kodifikasi. Artinya, ini adalah sebuah reduksi atau bahkan tafsir tunggal terhadap komunisme, marxisme dan juga pemikiran Kiri. Kodifikasi anti agama menjadi semacam kesimpulan sapu jagat untuk menilai apapun yang terkait dengan pemikiran kiri. Dari sinilah terbentuk mekanisme pengkramatan yang sampai sekarang masih terasa.

Dampak dari pengkramatan adalah ketidakmampuan untuk mengeksplorasi. Tidak ada pemahaman dan terjadi lompatan kesimpulan pada kodifikasi anti agama. “Jangan-jangan yang anti marxisme tidak pernah belajar tentang marxisme. Mau di mana? Kan, dilarang,” kata Ariel Heryanto (2023).

Akibatnya, propaganda komunismedapat menginsinuasi kelompok masyarakat tertentu yang sangat sensitif dengan kodifikasi anti agama. Hantu komunisme mampu menggalang solidaritas dan ikatan dukungan bagi siapa yang memercayainya. Propaganda lebih menekankan sisi sugesti daripada pemahaman. Propaganda lebih menekankan eksploitasi collective memory daripada eksplorasi data maupun gagasan. Kodifikasi menawarkan sebuah kemudahan penafsiran meskipun melompati sebuah eksplorasi.

Menurut penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (2021), isu kebangkitan PKI dipercayai oleh 14% masyarakat. Dalam rentang waktu 2016-2020, rentang angkanya berkisar antara 10-16% (SMCR, 2020). Angka ini cukup stabil dan tidak boleh diremehkan, karena isu kebangkitan PKI berpotensi merusak harmoni sosial dan juga menghambat iklim kebebasan berpendapat. Isu kebangkitan PKI adalah semacam relaying point yang mampu menyatukan kepentingan politik dari beberapa pihak (Azra, 2020), termasuk menarik dukungan suara dari segmen masyarakat tertentu.

Pada Pemilu 2014 dan 2019, isu PKI digulirkan dan yang menjadi sasaran adalah Joko Widodo. Tudingan ini tidak lain adalah kodifikasi anti agama, khususnya anti Islam. Tudingan ini masih terus berlanjut ketika Jokowi berkuasa. Untuk menyanggah tudingan komunisme tersebut, pemerintahan Joko Widodo cenderung menggunakan cara yang reaktif dengan melarang buku dan diskusi yang diduga terkait dengan komunisme. Penunjukan Kiai Ma`ruf Amin sebagai Wapres pada Pemilu 2019 merupakan strategi untuk menyanggah tudingan anti Islam.

Collective memory terhadap PKI dengan kodifikasi anti agama yang masih menancap di segmen masyarakat tertentu adalah kondisi yang menciptakan daya tarik isu komunisme. Warisan propaganda Orde Baru ini masih cukup seksi untuk digunakan kembali. Harus diakui, isu komunisme masih memiliki daya tarik untuk kepentingan politik praktis. Isu ini memiliki potensi untuk membuka jalan bagi pihak militer untuk kembali memperluas pengaruhnya di dalam politik dengan memanfaatkan ketakutan terhadap bangkitnya PKI (Wadipalapa, 2023). 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Agama di dalam Marxisme dan Komunisme

Di dalam marxisme, agama adalah dogma pinggiran. Agama bukanlah akar persoalan ketidakadilan sosial, tetapi sebuah epifenomena dari ketidakadilan sosial. Marx sendiri masih mengakui potensi imunitas (melindungi) dari agama yang bersifat sementara, tetapi menolak potensi transformatif sosial agama. Istilah Opium des Volkes (candu masyarakat) adalah penegasan bahwa manusia adalah subjek (pencipta) agama sekaligus sasaran objek (sasaran) dari agama. Penghapusan agama bukanlah tujuan pokok dalam pemikiran Marx.

Di dalam Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie (1844/1958), Marx menegaskan bahwa agama tidak akan hilang sebelum datang kebahagian yang sesungguhnya (wirkliches Glück). Kebahagiaan adalah kebutuhan dasar manusia. Kebahagiaan yang sesungguhnya akan terpenuhi jika struktur masyarakat yang adil dapat tercapai. Selama kebahagiaan yang sesungguhnya belum tercapai, masyarakat membutuhkan kebahagian semu (illusorisches Glück) sebagai kompensasi. Dalam pemahaman Marx, agama adalah kompensasi sementara sebelum tercapainya struktur masyarakat yang adil. Tujuan utama Marx bukanlah menghapuskan agama, melainkan keadilan sosial sehingga masyarakat tidak lagi membutuhkan agama.

Lenin mengubah dogma pinggiran ini menjadi dogma pokok. Agama bukan lagi Opium des Volkes, tetapi Opium für die Volk (candu untuk masyarakat). Rakyat adalah sasaran dari opium yang diciptakan penguasa dan menjadi bagian integral dari penindasan secara struktural. Jika Marx mengajukan tesis “kritik terhadap agama”, maka Lenin mengajukan tesis “perang terhadap agama” (van den Bercken, 1989). Di dalam konsep kritik masih terdapat unsur apresiasi. Marx pun masih mengapresiasi agama. Di dalam konsep perang, tidak ada lagi unsur apresiasi selain penolakan. Lenin pun menegaskan bahwa menghancurkan agama adalah tugas pokok dari gerakan komunisme. Kadar ateisme Lenin jauh lebih radikal dari pada Marx.

Jika kita melihat dengan lebih jeli dan dengan perspektif yang lebih luas, muncul pertanyaan, seberapa pentingkah unsur Ateisme di dalam gerakan marxisme dan komunisme di dalam realitas politik. Resepsi sebuah ideologi atau pemikiran di dalam perkembangan waktu sering kali mengalami modifikasi. Korelasi antara ateisme dengan komunisme maupun marxisme adalah teori yang sangat textbook alias dogmatis. Pendekatan textbook adalah salah satu persoalan di dalam memahami marxisme dengan kecenderungan menjadikan pemikiran Marx dan Lenin sebagai patokan kebenaran. Atzmüller (2020) mengkritisi pendekatan semacam ini dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih diskursif.

Resepsi marxisme dalam perkembangannya tidak bersifat textbook. Fakta sejarah menunjukkan kemunculan gerakan-gerakan yang mencoba melakukan sintesis agama dan marxisme. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin dan gerakan Sarekat Islam Merah di Indonesia adalah contoh dari usaha sintesis tersebut. Kodifikasi anti agama adalah sebuah pendekatan deduktif textbook. Pendekatan semacam ini perlu dikaji ulang. Pendekatan deduktif textbook adalah salah satu pijakan dari collective memory PKI di Indonesia.

Sintesis dapat terjadi karena agama merupakan dogma pinggiran di dalam bangunan teori Karl Marx. Oleh karena itu, Ateisme bukanlah harga mati di kalangan gerakan marxisme. Bahkan di kalangan anggota partai Komunis di berbagai negara, Ateisme bukanlah sebuah syarat wajib keanggotaan yang dipertahankan dengan mati-matian. Gerakan komunisme di dunia tidak selalu mengikuti garis-garis pemikiran Lenin. Sejauh ini, penulis belum menemukan tulisan-tulisan sejarah yang menggali secara empiris positioning PKI terhadap isu agama atau profil keagamaan tokoh-tokoh PKI di Indonesia. Barangkali riset semacam ini terhalang oleh kodifikasi anti agama dan pentabuan religius. Yang terjadi adalah deduksi textbook tanpa eksplorasi dengan melompat pada kesimpulan Ateisme


Urgensi Hauntology  

Hauntology komunisme ala Indonesia barangkali adalah menyingkap tabir pengkeramatan religius terhadap komunisme, marxisme dan pemikiran Kiri. Kodifikasi anti agama yang menjadi salah satu tiang pengkeramatan dan ini merupakan sebuah penafsiran yang sangat textbook terhadap marxisme maupun komunisme. Resepsi dan perkembangan marxisme dan leninisme tidaklah textbook. Terjadi revisi dan modifikasi terhadap teori Marx dan Lenin di dalam perkembangan sejarah.

Hauntology komunisme semacam ini merupakan jalan untuk kembali membuka ekosistem diskursus yang dialektik. Jika Pancasila dipahami sebagai sebuah sintesis, maka Pancasila harus ditafsirkan di dalam ekosistem dialektik. Yang terjadi sekarang ini adalah Pancasila berada di dalam ruang diskursus yang berat sebelah. Pengkeramatan terhadap marxisme dan komunisme menciptakan sebuah ekosistem yang berat sebelah. Ekosistem diskursus cenderung ke arah neoliberal. Bisa dibayangkan apa yang terjadi, jika Pancasila ditafsirkan dengan wawasan neoliberal semata; hilanglah hakikatnya sebagai sebuah sintesis.

Pembungkaman wacana kiri yang didukung dengan sebuah pengkeramatan religius akhirnya mempermudah penetrasi ideologi kapitalisme neoliberal di Indonesia. Potensi Pancasila sebagai benteng terhadap ideologi kapitalisme neolibera menjadi terbengkalai karena begitu kuatnya pentabuan religius terhadap pemikiran kiri. Barangkali selama ini kita cenderung membaca Pancasila dari perspektif kanan (kapitalisme neolibera). Kita lupa bagaimana membaca Pancasila dari perspektif kiri untuk menjinakkan perspektif Kanan. 


Daftar Rujukan

Assmann, Aleida. 2013. Das neue Unbehagen an der Erinnerungskultur: Eine Intervention. München: C.H. Beck.

Azra, Azyumardi. 03/10/2020. Isu Kebangkitan PKI Mengganggu Harmoni Sosial, Budaya, dan Politik di Tanah Air. Diunduh dari https://saifulmujani.com/isu-kebangkitan-pki-mengganggu-harmoni-sosial-budaya-dan-politik-di-tanah-air/ pada 30 Oktober 2023.

Derrida, Jacques. 1993. Spectres of Marx: The state of the debt, the work of mourning, and the new International. New York: Routledge.

Fukuyama, Francis. 1992. The end of history and the last man. New York: Free Press.

Heryanto, Ariel. 07/01/2023. “Marxisme”. Kompas. Diunduh dari https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/06/marxisme pada 15 September 2023.

Marx, Karl. 1844/1958. “Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie. Einleitung”, Dalam Institut für Marxismus-Leninismus beim ZK der SED (Ed.). Marx-Engels-Werke Volume 1. Berlin: Dietz Verlag.

Marx, Karl & Engels, Friedrich. 1848/1946. Das Kommunistische Manifest. München: Verlag der SPD.

Safitri, Eva. 21/06/2022. “Megawati Bingung Dituduh Komunis: Namanya Aja PDIP, Komunisnya Mana?“. detik.com. Diunduh dari https://news.detik.com/berita/d-6138644/megawati-bingung-dituduh-komunis-namanya-aja-pdip-komunisnya-di-mana pada 2 November 2023.

SMCR. 30/09/2020. ”Hanya 14 % Warga yang Percaya Ada Kebangkitan PKI di Indonesia”. Diunduh dari https://saifulmujani.com/hanya-14-warga-yang-percaya-ada-kebangkitan-pki-di-indonesia/ pada 11 November 2023.

SMRC. 01/10/2021. “Sikap Publik pada Pancasila dan Ancaman Komunis“. Diunduh dari https://saifulmujani.com/sikap-publik-pada-pancasila-dan-ancaman-komunis/ pada 30 Oktober 2023.

van den Bercken, William. 1989. Ideology and Atheism in the Soviet Union. Berlin: Mouton de Gruyter.

Wadipalapa, Rendy Pahrun. 2023. The Communist Imaginary in Indonesia’s 2014 and 2019 Presidential Election. Asian Journal of Political Science. https://doi.org/10.1080/02185377.2023.2270947


Martinus Ariya Seta adalah Mahasiswa Doktoral dalam Bidang Pendidikan Agama di Julius-Maximilians Universitas Würzburg Jerman dan dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.