Ilustrasi: illustruth
63 TAHUN sudah usia Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Peraturan yang diterbitkan pada 24 September 1960 ini–sekaligus ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional–merupakan upaya untuk membebaskan negara dari penghisapan sumber daya agraria nasional di era kolonialisme. Nasionalisasi agraria oleh rezim Soekarno merupakan perwujudan kedaulatan rakyat atas tanah serta bagian dari agenda politik sosialisme Indonesia.
Politik hukum agraria Indonesia dapat dilacak dari pidato Soekarno pada 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita”. Bung Karno mengatakan, “…Revolusi Indonesia tanpa tanpa land reform adalah sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia… karena itu harus dihapuskan ‘hak eigendom’, ‘wet-wet agraris’ bikinan belanda, ‘domein verklaring’… tanah untuk tani! tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” (Kusman, 2023). Pidato Bung Karno ini menjelaskan bahwa demokrasi agraria adalah alat untuk memakmurkan rakyat.
Namun, hari-hari ini, demokrasi ekonomi melalui reforma agraria masih sekadar utopia. Perampasan ruang hidup berupa lahan dan tempat tinggal malah jamak dilakukan oleh otoritas semata untuk kepentingan modal kapitalis.
Sejauh ini, kebijakan hukum agraria berkonsep redistribusi tanah, yaitu membagikan tanah yang dikuasai negara, tanah absentee, tanah kelebihan luas maksimum, dan tanah negara lain–yang disebut objek reforma agraria–kepada petani penggarap sebagai subjek masih minim realisasinya. Realitasnya justru berkebalikan. Penguasaan tanah didominasi investor sebab mudahnya konsesi diberikan dan demi percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Akibatnya tidak lain rentan terjadi konflik vertikal, misalnya yang terjadi di Rempang, Kepulauan Riau, baru-baru ini. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama pemerintahan Joko Widodo terjadi 2.710 konflik agraria di seluruh provinsi.
Dua aspek yang cukup menonjol dalam praktik agraria di Indonesia, yang akhirnya mengakibatkan ketidakadilan agraria, adalah partisipasi yang manipulatif dan konsep penguasaan tanah oleh negara.
Partisipasi Manipulatif untuk Ketiadaan Hak (rightlessness)
Reforma agraria sejati merupakan suatu perubahan struktur agraria yang masif dengan menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar lebih berkeadilan untuk kemakmuran rakyat. Penataan ini harus berdampak pada peningkatan akses petani miskin pada tanah serta kaum marjinal yang tidak memiliki tanah (landless) atau masyarakat yang secara de facto menguasai tanah tetapi belum memiliki sertifikat.
Saat ini, selain tidak adanya kepastian hukum dan pengakuan formal atas tanah, krisis agraria juga terjadi karena kolusi informal antara elite ekonomi dan pejabat negara. Mereka membentuk kebijakan/peraturan formal yang memberikan legitimasi atas perampasan tanah sehingga menciptakan suatu keadaan rightlessness atau ketiadaan hak (Berenschot & Dhiaulhaq, 2021).
Secara holistis, tatanan ini merupakan masalah demokrasi kontemporer, yaitu ketika oligarki mengendalikan negara hukum melalui instrumentasi peraturan dan kebijakan untuk melegitimasi kuasa politik ekonomi, dengan menangguk keuntungan dari masifnya eksploitasi sumber daya alam, sumber daya manusia, serta fleksibilitas kebijakan ramah pasar (Wiratraman, 2022). Bekerjanya oligarki dalam proses formulasi kebijakan agraria antara lain dengan menegasikan aspek partisipasi sebagai hak fundamental rakyat dalam penentuan kebijakan.
Menurut Berenschot & Dhiaulhaq (2021), tak jarang proses partisipasi menjadi ajang manipulasi dan “mengakali” persetujuan rakyat. Apa yang disebut partisipasi kerap sekadar berbentuk mediasi dan sosialisasi. Sebelumnya, pejabat dan investor telah melakukan kolusi dengan tokoh masyarakat dan pemimpin lokal, bahkan dengan sengaja pemodal menghadirkan kepolisian dan preman untuk melakukan intimidasi serta represi. Semua untuk melemahkan kontrol masyarakat dan menghalangi mereka mendapatkan kompensasi yang memadai atas hilangnya tanah.
Hal tersebut dapat terjadi karena metode partisipatif memang menyediakan platform untuk pengaruh halus dan persuasi. Sebab, proses partisipatif diliputi (dan tetap diliputi) oleh struktur kekuasaan yang tidak setara dan fakta bahwa ini sedikit diakui (Kapoor, 2005). Praktik partisipasi yang kolutif ini merupakan paradoks dalam perumusan kebijakan agraria, sebab jarang terlintas dalam pikiran bahwa penerapannya “mungkin berlaku untuk tujuan jahat” (Rahnema, 1992).
Perihal Hak Menguasai Negara
Pandangan bahwa negara dapat “memiliki” tanah sama halnya dengan korporasi penerima konsesi yang dapat memiliki sertifikat hak milik (SHM) merupakan narasi keliru akibat kesalahan tafsir Hak Menguasai Negara (HMN). Jelas, menurut Pasal 33 ayat 3 Konstitusi jo UUPA, hubungan negara dengan tanah ialah sebatas penguasaan yang sifatnya mengatur bukan memiliki.
Polemik ini pernah putus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang menafsirkan bahwa HMN ialah merumuskan kebijakan (beleid), merumuskan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). UUPA mengonsepkan HMN dengan tujuan memberikan jaminan bagi terciptanya kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
Pemaknaan HMN bergeser sejak era Orde Baru dengan berlakunya UU Kehutanan tahun 1967. Pemerintah saat itu, atas nama negara, menggunakan paradigma HMN untuk menyukseskan pembangunan ekonomi kapitalistik. Pada saat itu tanah mulai menjadi komoditas menggiurkan kaum elite-investor.
Sementara kebijakan agraria saat ini, yang cenderung pro pada elite, tidak lain masih disebabkan oleh cara pandang yang berbasis law and neoliberal market: di mana pelaku usaha dipandang sebagai agen utama pembangunan yang layak mendapatkan perlakukan istimewa dengan berbagai relaksasi peraturan dan segudang insentif termasuk distribusi dan sertifikasi tanah (Wardana, 2020). Praktik ini dapat dilihat pada substansi produk hukum ambisius pemerintah yakni UU Cipta Kerja dan realisasi PSN.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Perampasan tanah dengan dalih kepentingan umum dilakukan dengan pendekatan domein verklaring, yaitu anggapan bahwa semua tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan dianggap sebagai milik negara. Pendekatan tersebut, yang adalah praktik kolonial, justru menjadi latar belakang lahirnya UUPA demi mewujudkan kebijakan tanah untuk rakyat dan upaya dekolonisasi pertanahan. Keadaan ini menunjukkan adanya regresi demokrasi agraria kontemporer di Indonesia.
Analisis dari Berenschot & Dhiaulhaq (2021) menyatakan undang-undang Indonesia sudah sangat membatasi hak warga negara untuk memiliki tanah. Konstitusi dan UUPA sebenarnya mengakui hak-hak warga dan hak ulayat atas tanah dan sumber daya alam, namun dengan adanya “hak menguasai” atas tanah dari negara, pemerintah dimungkinkan membatasi kepemilikan tanah individu maupun komunal.
Status masyarakat yang tinggal di “hutan politik” (Peluso & Vandergeest, 2001) lemah secara administratif karena hanya bergantung pada tradisi hukum adat dan ketidakberpihakan pejabat. Akibatnya, praktik domein verklaring marak terjadi. Pejabat sering lupa–dan mungkin sengaja–bahwa ketika rakyat tidak bisa membuktikan penguasaan tanah secara administratif, merujuk Pasal 24 ayat (2) PP No.24/1997, dapat dilakukan proses pengakuan hak berdasarkan penguasaan fisik sehingga sertifikasi bisa dilakukan. Secara esensial, mendaftarkan tanah merupakan hak rakyat sekaligus kewajiban pemerintah.
Kemudian, terkait pembangunan untuk kepentingan umum yang konsekuensinya adalah pembebasan hak atas tanah, seyogyanya pelaksanaan hak menguasai negara dijalankan dengan jaminan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, terlebih untuk yang terdampak. Tak kalah penting, faktor sosio-kultural-spiritual dan lingkungan tanah yang menjadi objek harus dipertimbangkan secara komprehensif, dengan tidak didasarkan hanya pada jaminan ganti rugi berupa uang sebagai solusi paling efisien dalam mengatasi risiko sebagaimana pendekatan yang kerap digunakan kaum kapitalis. Proses penyelesaian yang berdasarkan prinsip musyawarah bermakna harus dikedepankan, sebagaimana yang ditentukan UU No.20/1961 jo Pasal 18 UUPA.
Implementasi UUPA dan segala prinsip-prinsip keadilan agraria memang masih jauh. Pengaruh yang justru dominan adalah logika sistem ekonomi pasar (laissez faire) yang tidak mengakui prinsip kedaulatan rakyat atas tanah dan konsep hubungan negara dengan tanah. Hukum yang juga ada di tangan jajaran birokrasi, di tangan hakim atau bahkan di mulut para politikus (Simarmata, 2022) pun tidak akan netral dalam penafsiran dan pelaksanaannya, malah sering cenderung menjauh dari spirit kerakyatan.
Referensi
Berenschot, W., & Dhiaulhaq, A. (2021). In A. P. Budiatri, H. P. Wiratraman, & Wijayanto (Eds.), Demokrasi tanpa demos: refleksi 100 ilmuwan sosial politik tentang kemunduran demokrasi di Indonesia. LP3ES.
Kapoor, I. (2005). Participatory Development, Complicity and Desire. Third World Quarterly, 26(8), 1203-1220. https://www.jstor.org/stable/4017712
Kusman, A. P. (2023). Merahnya ajaran Bung Karno: narasi pembebasan ala Indonesia. Penerbit GDN.
Peluso, N. L., & Vandergeest, P. (2001, August). Genealogies of the Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and Thailand. The Journal of Asian Studies, 60(3), 761-812. https://www.jstor.org/stable/2700109
Rahnema, M. (1992). Participation. In W. Sachs (Ed.), The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. Bloomsbury Academic.
Simarmata, R. (2022). Kapitalisme Perkebunan: Dinamika Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. INSIST Press.
Wardana, A. (2020, October 8). Omnibus Law Cipta Kerja: Peneguhan Hukum sebagai Instrumen Akumulasi Kapital. IndoPROGRESS. Retrieved November 22, 2023, from https://indoprogress.com/2020/10/omnibus-law-cipta-kerja-peneguhan-hukum-sebagai-instrumen-akumulasi-kapital/
Wiratraman, H. (2022). Menguji Arah Tafsir “Uji Formal” Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja [Policy Paper: Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja]. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Pascal Wilmar Yehezkiel, mahasiswa magister Hukum Kenegaraan FH UGM & YLBHI-LBH Manado