Ilustrasi: Abdulmonam Eassa/Getty Images via The New York Times
DENGAN napas yang masih terengah-engah usai mengikuti marche blanche di Nanterre–sebuah prosesi khidmat untuk menghormati Nahel Merzouk, remaja 17 tahun yang ditembak mati polisi di pinggiran kota sebelah barat Paris pada hari Selasa–anggota parlemen La France Insoumise (LFI) untuk Seine-Saint-Denis, Éric Coquerel, mengatakan, “Aksi ini sangat bersejarah: pada akhirnya, komunitas aktivis sayap kiri hadir di sana! Sedikit demi sedikit, sesuatu telah terjadi.”
Untuk pilar bersejarah LFI ini, pendukung tak kenal lelah dari perjuangan sosial dan kelas pekerja serta lingkungan yang terpinggirkan, partai-partai kiri telah menanggapi kerusuhan saat ini dengan cara yang sama sekali berbeda dengan sikap mereka terhadap kerusuhan yang terjadi pada tahun 2005. Saat itu, ketika banlieues (kota-kota pinggiran) dibakar akibat kematian Zyed Benna dan Bouna Traoré saat melarikan diri dari polisi, para elite politik paling banter tidak peduli, paling buruknya benar-benar melewati peristiwa tersebut. Sementara menteri dalam negeri Nicolas Sarkozy mengipasi api kebencian pemuda dengan bicara tentang “peledakan jalanan”, “sampah”, dan “toleransi nol”, Partai Sosialis (PS) menyelaraskan diri dengan posisi pemerintah: prioritasnya adalah persatuan kekuatan politik utama Republik (hanya abstain dalam pemungutan suara tentang keadaan darurat). Bahkan kelompok sayap kiri merasa “tidak terlalu peduli dengan mobil-mobil yang dibakar,” kata sosiolog Michel Kokoreff, profesor di Universitas Paris 8 dan penulis La Diagonale de la rage, kepada Mediapart.
Dalam sebuah penelitian tahun 2007, sosiolog Véronique Le Goaziou menulis bahwa kelompok sayap kiri “benar-benar absen di sebagian besar kerusuhan.” Dia tidak hanya mencatat “bungkamnya kelompok-kelompok sayap kiri,” tetapi juga “rasa malu, bahkan hiruk pikuk kelompok kiri yang berkuasa (Partai Sosialis dan Komunis),” yang telah “membuat para perusuh sangat terisolasi secara politik.”
2005: keheningan yang memekakkan telinga
“Pada tahun 2005, France 2 untuk pertama kalinya menyiarkan skandal mobil-mobil yang dibakar, kemudian kematian anak-anak, dan reaksi politik semuanya selaras dengan hierarki informasi ini. Terdapat konsensus untuk menyerukan tetap tenang, yang membuat anak-anak ini benar-benar sendirian,” kenang antropolog Alain Bertho, seorang spesialis dalam fenomena kerusuhan. “Gagasan yang berlaku adalah ‘kelas pekerja, kelas berbahaya’: kami memiliki pandangan orang luar yang tidak kami pahami,” kata Coquerel.
Tampaknya ada sesuatu yang telah berubah setelah hampir dua puluh tahun berlalu. Jika partai-partai sayap kiri masih pusing dengan ekspresi kemarahan rakyat selama tiga malam terakhir, mereka sekarang berbagi keheranan tersebut dengan lebih berempati kepada korban.
Pendiri LFI Jean-Luc Mélenchon, ketua partai hijau bernama Europe Écologie-Les Verts Marine Tondelier, dan sekretaris Partai Sosialis Olivier Faure menyerukan agar kemarahan itu didengarkan–meskipun mereka tidak mengatakannya dengan cara yang sama. “Ada banyak masalah, hubungan polisi-penduduk telah sedemikian buruk, situasi ekonomi dan sosial sangat khusus: semua ini telah menjadi eksplosif, dan itulah yang diekspresikan hari ini. Saya tidak melihat ada pesan yang bisa kami sampaikan untuk menenangkan keadaan,” kata Faure.
Terlepas dari banjir tuduhan kebencian “anti-polisi” dari kelompok kanan dan kanan-jauh, dan seruan angkuh Menteri Dalam Negeri Gérald Darmanin agar “para profesional pembuat kekacauan” untuk “pulang ke rumah,” kecaman partai-partai sayap kiri terhadap kekerasan polisi sudah bulat, dan mereka akhirnya memberikan penjelasan mengenai penyebab kemarahan yang mereka ungkapkan.
Bahkan setelah mantan perdana menteri Manuel Valls–yang masih secara luas digambarkan sebagai orang kiri (terlepas dari catatannya sebagai anggota kabinet di masa Presiden François Hollande pada 2014-2016 dan kemudian secara blak-blakan mendukung Macron)–mengkritik LFI karena “mengembuskan bara api” dengan tujuan “mengambil keuntungan politik,” anggota parlemen Prancis Insoumise Alexis Corbière mengatakan kepada Mediapart: “Jika Anda berpikir orang-orang akan membakar kantor polisi karena membaca sebuah cuitan, maka itu adalah cara pandang teori konspirasi yang mengabaikan alasan sosial di balik kondisi ini. Orang-orang telah kehilangan nyawa mereka, dan cara penanganannya tidak memberikan kepercayaan kepada keluarga korban. Kepolisian harus dibangun kembali, dan badan pengawasnya tidak bisa bergantung pada dirinya sendiri.”
Di Partai Sosialis, yang pada akhir 2022 masih menolak “penggunaan terminologi ‘kekerasan polisi’”, garisnya juga telah bergeser–dan tidak mengeluarkan sedikit pun tuduhan bahwa bahasa ini bertujuan menghasut. Emma Rafowicz, juru bicara partai dan presiden Young Socialists, membela penggunaan kata-kata ini: “Reaksi kaum kanan dan kanan-jauh, yang hanya mengutuk kerusuhan dan menilai bahwa masih terlalu dini untuk mengomentari kematian Nahel, yang memicu gelombang kemarahan yang sangat besar ini. Kami memahami kemarahan ini sebagai sesuatu yang bersifat politis. Kita masih jauh dari kedamaian dan ketenangan. Kami memang perlu mencari solusi untuk menenangkan keadaan, tetapi reaksi-reaksi ini justru sebaliknya,” katanya kepada Mediapart.
Pengakuan yang lambat
Sekalipun ada perbedaan pendapat di kalangan kiri tentang perlunya menyerukan ketenangan atau tidak (“Teman-teman Insoumise saya salah jika tidak menyerukan ketenangan, mereka bereaksi seperti orang yang tidak tinggal di lingkungan kelas pekerja,” kata presiden Sosialis Seine-Saint-Denis, Stéphane Troussel, misalnya), Bertho percaya bahwa sikap kubu politik ini menjadi saksi adanya “pergeseran yang nyata” dibanding tahun 2005.
Ada banyak alasan untuk perubahan ini. Pertama dan terutama, hal ini berakar pada pengalaman represi polisi yang harus dihadapi oleh gerakan sosial dan aktivis politik dalam beberapa tahun terakhir.
“Mobilisasi menentang reformasi pensiun dan, sebelumnya, ‘gilets jaunes/rompi kuning’, membuat generasi militan ini sadar akan kekerasan polisi yang tidak dihukum yang telah diderita oleh masyarakat selama bertahun-tahun. Intensifikasi penindasan polisi telah mendemarginalisasi kaum muda dan lingkungan ini, dan mengubah cara pandang kita terhadap mereka saat ini,” jelas Bertho. Coquerel setuju: “Apa yang telah diderita oleh kelas pekerja selama bertahun-tahun juga dialami oleh masyarakat lain saat ini meskipun tidak dengan tingkat keparahan yang sama. Jadi semua orang memahami bahwa tatanan sosial yang sama yang sedang dipertaruhkan.”
Terlebih lagi, selama beberapa tahun ini, telah terjalin hubungan antara organisasi gerakan buruh tradisional dan gerakan dari kelas pekerja dan lingkungan yang terpinggirkan: misalnya Comité Adama (kelompok kampanye yang pertama kali dibentuk untuk mencari keadilan bagi Adama Traoré, seorang pemuda kulit hitam yang meninggal dalam tahanan polisi pada tahun 2016) yang menyebabkan terjadinya “gelombang pasang rakyat” di Paris pada 26 Mei 2018.
Bagi Kokoreff, pemahaman baru tentang kiri ini juga berasal dari politisasi kolektif lingkungan kelas pekerja dan perlawanan terhadap kekerasan polisi, yang telah meningkatkan kesadaran partai-partai politik: “Ada kesadaran baru selama 20 tahun terakhir, yang tidak diragukan lagi terkait dengan perkembangan gerakan dekolonial dan pascakolonial seperti Black Lives Matter, yang menjadi sumber inspirasi bagi Assa Traoré (pendiri Komite Adama), misalnya. ‘Perangkat lunak’ kiri telah berubah, dan aksioma dasar sosiologi Amerika yang menyatakan bahwa kerusuhan selalu memiliki penjelasan politis, telah diadopsi. Substansinya saat ini adalah: Siapa yang melindungi kita dari polisi?”
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Membangun kembali koneksi
Selama kerusuhan tahun 2005, pemimpin Ligue communiste révolutionnaire (LCR) Alain Krivine, salah satu warga Saint-Denis, menyadari situasi yang sulit dipahami, “di mana dialog, untuk saat ini, tidak pasti dan kami tidak memiliki sarana untuk mengejar kebijakan lain.” Hampir 20 tahun kemudian, pewaris politiknya yang adalah juru bicara Partai Anti-Kapitalis Baru (NPA), Olivier Besancenot, mengaku lebih dekat dengan kekuatan pendorong di balik Gerakan Imigran dan Banlieues (MIB) dan Komite Adama: “Pemberontakan itu ada di sana. Sekarang, apakah kita masuk ke dalam penyangkalan, yaitu ke dalam respons hukum dan ketertiban; atau kita mulai dari respons yang datang dari gerakan di lapangan. Lingkungan kelas pekerja bukanlah gurun politik. Partai-partai sayap kiri perlu menegaskan solidaritas mereka dan menjauh dari paternalisme,” tegas Besancenot.
Dari sudut pandang ini, kampanye kepresidenan Mélenchon baru-baru ini juga menunjukkan perubahan dalam cara program-program sayap kiri memperhitungkan penduduk kelas pekerja dan lingkungan yang terpinggirkan serta situasi mereka. Mantan juru bicara Indigènes de la République Houria Bouteldja memuji “Prancis Insoumise yang dibentuk kembali oleh perjuangan,” yang membuktikan lanskap politik yang telah berubah sejak tahun 2005.
Dalam sejarah politik mantan senator Sosialis Mélenchon, titik balik ini terjadi pada tahun 2019, yaitu ketika ia ikut serta dalam pawai melawan islamofobia: “Ada pergeseran dalam hal ini. Dia sedikit memperbaiki tindakannya dan, selama kampanye tahun 2022, menunjuk jarinya ke masalah kekerasan polisi, impunitas polisi, dan kemandirian yang diperlukan oleh kepolisian,” catat Kokoreff.
“Kampanye Jean-Luc Mélenchon, nadanya terhadap banlieue dan islamofobia, yang merupakan dimensi dari apa yang mereka derita, telah membangun jembatan,” kata Bertho. Faktanya, Mélenchon mencapai terobosan spektakuler di pusat-pusat kota dan pinggiran kota pada tahun 2022.
Namun, masih ada jurang pemisah yang menganga antara kaum kiri dan proyek-proyek perumahan termiskin–dan kita tidak boleh berilusi tentang kemampuannya untuk memengaruhi jalannya peristiwa. Tanggung jawab mantan menteri dalam negeri sosialis Bernard Cazeneuve atas legislasi yang memungkinkan penggunaan senjata api yang lebih mudah oleh penegak hukum belum dilupakan. Begitu pula dengan partisipasi kaum sosialis dan hijau yang masih baru dalam demonstrasi serikat polisi pada 19 Mei 2021 di depan Majelis Nasional. Di kiri, hanya France Insoumise yang tidak hadir.
Saat ini, meskipun telah diredam oleh keterkejutan atas video kematian Nahel, perpecahan ini tetap ada di latar belakang, dalam kritik yang dilontarkan kepada para Insoumise yang menolak untuk menyerukan ketenangan. Namun, Coquerel bertekad untuk memberikan sisi positif dari semua ini: “Sekarang, ada pemahaman yang luas di kalangan kiri bahwa, apa pun bentuk kemarahannya, itu adalah tentang hal-hal yang sah, terutama penggunaan polisi sebagai alat untuk mengontrol orang-orang di lingkungan kita secara diskriminatif.”
Mathieu Dejean adalah koontributor di Mediapart dan penulis buku Sciences Po, l’école de la domination. Christophe Gueugneau adalah wartawan Mediapart.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Prancis (Mediapart), lalu diterjemahkan oleh sejarawan komunisme David Broder ke dalam bahasa Inggris dan dimuat di Jacobin. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.