Berebut Nafkah di Daerah Ekstraktif: Cerita dari Magelang

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Kompas/Ferganata Indra Riatmoko


PERMINTAAN pasokan pasir untuk kepentingan bisnis konstruksi terus meningkat, menghasilkan penambangan yang semakin mendekati wilayah gunung api. Inilah kisah yang terjadi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Masuknya permintaan pasokan pasir telah mengubah lanskap penghidupan dan basis sosial-ekologis rakyat di sekitar Gunung Merapi.

Pasir Merapi pada dasarnya adalah “sumber daya lintas batas” karena digunakan untuk kebutuhan konstruksi di Pulau Jawa. Karakter lintas batas juga muncul ketika pasir Merapi diangkut melewati batas dua provinsi dan dua kabupaten, sehingga menyulitkan pengaturan terhadap eksploitasi alam yang dilakukan oleh korporasi (pihak luar). Padahal, mereka bersinggungan dengan warga setempat (Miller, 2022). 

Pasir Merapi selalu menjadi incaran para pebisnis karena konon memiliki keunggulan seperti mampu membuat daya tahan beton lebih lama, jika dibandingkan menggunakan pasir dari sungai dan lahan pribadi. Pasir Merapi lebih cepat laku dibandingkan pasir sungai dan lahan pribadi yang bisa tersimpan di depo selama seminggu bahkan lebih. Batu andesit dari Merapi juga mendukung perkembangan kerajinan batu ukir di sepanjang kota-kota Jawa Tengah (Miller, 2022).


Merapi Santapan Khalayak

Penambangan pasir di Magelang dimulai sekitar tahun 1970, di mana masyarakat sekitar sungai yang berhulu di Gunung Merapi mencoba mengambil pasir. Mereka mengambil pasir menggunakan alat seperti cangkul, linggis, slenggrong, ayakan, dan sebagainya (Varhan & Taufik, 2019). Tambang pasir Merapi di Magelang pertama diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 1994, tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C di Provinsi Dati I Jawa Tengah.

Setelah itu, penambangan menggunakan alat berat dimulai pada tahun 1998. Kegiatan penambangan pasir sekitar Merapi dilakukan di beberapa daerah aliran sungai yakni, Sungai Apu, Sungai Trising, Sungai Senowo, Sungai Pabelan, Sungai Lamat, Sungai Blongkeng, Sungai Putih, Sungai Batang, Sungai Bebeng, Sungai Krasak, dan Sungai Progo serta pekarangan ataupun ladang warga di sekitar sungai (Pangastuti, 2012). 

Penambangan manual dilakukan oleh penduduk sekitar maupun pendatang dari luar Magelang. Penambangan dilakukan secara berkelompok sejak pagi dan bersama-sama dijual kepada truk pasir yang datang. Penambang manual maupun penambang dengan alat berat memiliki prinsip sama bahwa hasil tambang adalah hak setiap orang. Penambang tak segan untuk merambah daerah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) (Pangastuti, 2012). 

Pelaksanaan desentralisasi sejak tahun 2001 memberikan kewenangan pada gubernur dan bupati untuk memperluas pemberian izin pertambangan di Merapi, padahal pengaturan di era sebelumnya diserahkan pada menteri. Desentralisasi, yang tak diikuti dengan kontrol dengan pengetahuan rakyat sekitar yang memadai mengenai praktik pertambangan berkelanjutan, membuat tiap kepala daerah berupaya terus memperluas operasi pertambangan di sekitar Merapi. Japan International Cooperation Agency (JICA) sebenarnya sudah berbuat baik dengan memberikan bantuan pembangunan berbagai dam untuk penanganan risiko bencana kegunungapiaan, tetapi akibat aktivitas pertambangan yang tak terkontrol dengan baik menyebabkan adanya kerusakan infrastruktur (Miller, 2022). 

Penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) sejak tahun 2004 yang menyisihkan masyarakat dari wilayah hutan justru membawa celah pada masuknya pihak yang akan mengeksploitasi alam seperti “Goro” (Paguyuban Gotong Royong). Goro adalah organisasi para buruh yang mengambil pasir dan menaikkannya ke truk yang anggotanya tersebar di Kecamatan Srumbung dan Salam.

Setiap truk pasir yang melintas di wilayah penambangan harus berhenti di salah satu gardu Goro, di mana masing-masing menyediakan buruh. Upah buruh didasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan buruh pengambil pasir di gardu tersebut. Goro berfungsi untuk menyediakan buruh bagi pengusaha yang akan menambang pasir (Kuswijayanti et al., 2007). 

Pendapatan Goro berasal dari penarikan ongkos langganan buruh dan anggota setiap setahun sekali mendapatkan fasilitas asuransi keselamatan kerja, bantuan kelahiran, dan pemberian paket lebaran. Goro juga menyediakan bantuan beras sebanyak 5 kg bagi 562 keluarga anggota yang berkategori tidak mampu. Keberadaan Goro memiliki topangan kuat dengan Pemda Magelang, di mana bupati berkedudukan sebagai “pelindung organisasi” (Kuswijayanti et al., 2007).

Penduduk Merapi yang melakukan penambangan pada dasarnya dilakukan dengan dua pertimbangan, yakni untuk mengurangi risiko bencana dari aliran vulkanik dan mempertahankan ekonomi pasir dengan menyesuaikan pada periode letusan gunung dengan menambang secara manual. Kegiatan ekstraktif yang tak berkelanjutan diklaim hanya dilakukan oleh pihak korporasi dari luar yang menambang menggunakan alat berat.

“Penambang rakyat” memiliki strateginya sendiri untuk menghindari kerusakan alam, yakni dengan memastikan pengumpulan pasir setidaknya 100 meter dari hulu dan 300 meter dari bendungan sabo yang berada di aliran sungai Merapi, mereka juga menggunakan berbagai peralatan manual dalam mengontrol jumlah pasir yang diambil dari titik penyangga (Miller, 2022). 

Para penambang manual yang tersisih oleh penambangan dengan alat berat memilih naik ke lereng Merapi dan mencari lokasi yang belum ditambang. Penambang manual lambat laun mulai berani melawan penambang dengan alat berat sejak tahun 1997 di Kecamatan Salam. Latar belakang perlawanan adalah penambang manual kalah bersaing dan pelaku penambangan dengan alat berat dianggap sebagai orang dari luar Magelang. Aksi tersebut tak berhasil membawa keuntungan bagi penambang manual. Para penambang manual memilih mencari lokasi yang lebih tinggi dan kucing-kucingan dengan Satpol PP Kabupaten Magelang dalam menambang (Varhan & Taufik, 2019). 

Penambang dengan alat berat terus bertambah sejak era pemerintahan Gusdur. Mereka mengatasnamakan ikatan dengan elit agamawan, sehingga pihak lain tak berani menanggapi kegiatan penambangan. Penambang manual merespons dengan membakar pos-pos pertambangan dan memicu kekerasan “preman tambang” terhadap mereka. Penambang manual pada tahun 2004 bersama LSM Gemasika (Gerakan Masyarakat untuk Transparansi Kebijakan) kemudian beraudiensi ke pemkab Magelang untuk mengeluarkan moratorium pertambangan.

Penambang manual kemudian bersatu membentuk Paguyuban Gerakan Serikat Buruh Slenggrong (Punokawan) yang berdiri sebagai wadah aspirasi untuk mendapatkan izin penambangan pasir. SIPR (Surat Izin Penambangan Rakyat) keluar pada tahun 2009 dan berlaku selama satu tahun (Varhan & Taufik, 2019).

Kondisi berubah semenjak letusan Merapi tahun 2010. Sawah dan rumah warga terkubur menyebabkan mereka perlu mendapatkan izin reklamasi tanah untuk menyewa alat berat dari perusahaan properti kota terdekat. Letusan membuat petani yang kehilangan hasil panen dan ternak beralih pada penambangan pasir untuk mengumpulkan bahan baku membuat rumah sekaligus mencari pendapatan. Penggunaan alat berat secara ilegal semakin marak sejak letusan tahun 2010 dan didukung oleh elite desa, elite pemerintah dan bos perusahaan konstruksi (Miller, 2022). SIPR yang dimiliki Punokawan menjadi tak bisa diperpanjang (Varhan & Taufik, 2019).


Kita Semua Butuh Penghidupan

Sejak letusan tahun 2010, penambangan menggunakan alat berat dan manual pada dasarnya berjalan beriringan seperti yang ada di Sungai Pabelan. Penggunaan alat berat yang beroperasi 24 jam menyebabkan endapan pasir dan batu cepat habis. Penambangan tidak diatur secara tegas, sehingga menyebabkan konflik horisontal antara sesama penambang, meskipun terdapat perbedaan kemampuan ekonomi antara penambang manual dengan yang menggunakan alat berat (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Peningkatan kebutuhan pasir untuk pembangunan infrastruktur menyebabkan perluasan penambangan pada areal persawahan semenjak tahun 2015. Aktivitas tambang menyebabkan berkurangnya lahan tanaman pangan dan meninggalkan lubang dengan kedalaman tiga sampai delapan meter. Penambangan juga tak diikuti dengan reklamasi disebabkan tak memiliki izin (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Truk angkutan pasir juga memunculkan masalah sebab membawa pasir melebihi kemampuan muatan. Hal tersebut dapat terjadi karena pengangkutan sesuai batas tonase diklaim merugikan bagi sopir truk pasir. Akibatnya pasir menjadi berceceran dan merusak jalan karena kelebihan muatan.

Banyaknya dugaan pungutan liar di jembatan timbang sepanjang DI Yogyakarta dan Tengah justru menyebabkan penghentian operasi jembatan timbang dan berujung pada maraknya truk pasir dengan kelebihan muatan. Pembangunan infrastruktur seperti Bandara Kulonprogo, Tol Trans Jawa dan berbagai proyek lainnya diduga membuat penambangan pasir di Magelang semakin tak terkendali (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Keputusan Bupati Magelang Nomor 188.45/1/KEP/25/2011 muncul untuk mengatur wilayah-wilayah pertambangan rakyat, yakni berada di luar TNGM, berada pada alur sungai yang ditetapkan sebagai wilayah tambang rakyat, dilakukan secara manual, dan berada di luar wilayah batas layak tambang (Pangastuti, 2012). Para penambang manual tak setuju dengan regulasi tersebut karena mereka hanya mendapatkan bagian sungai bagian bawah yang sudah tak memiliki material pasir yang memadai, sementara bagian atas menjadi lokasi penambangan umum (Varhan & Taufik, 2019).

Peraturan Bupati No. 26 Tahun 2014 menjadi dasar selanjutnya untuk memberikan kewenangan pada pemerintah desa untuk menentukan lokasi penambangan. Regulasi tersebut keluar dengan tujuan untuk meminimalisir kerusakan jalan akibat angkutan pertambangan. Pelarangan penggunaan alat berat menjadi salah satu poin penting dalam regulasi tersebut, sedangkan penambangan secara manual diklaim akan menghidupi masyarakat sekitar wilayah penambangan (Nurhidayat & Dewi, 2015). Hadirnya UU 23/2014 yang menarik kewenangan pemberian izin pada pemerintah provinsi, sehingga membuat peraturan bupati Magelang tak berlaku. Penambang rakyat menjadi belum bisa melakukan pengurusan SIPR akibat adanya perubahan kebijakan (Varhan & Taufik, 2019).

Punokawan kemudian berupaya bekerja sama dengan PT. SKS untuk mendapatkan izin usaha pertambangan umum. Mereka bekerjasama dalam melakukan penambangan menggunakan alat berat. Ini memunculkan friksi di dalam Punokawan dan memicu munculnya kelompok baru bernama Serikat Buruh Manual (SBM). SBM tak memiliki arah perjuangan yang jelas, sehingga masih belum berhasil mendapatkan SIPR (Varhan & Taufik, 2019).

Kegiatan penambangan rakyat seperti yang terjadi di Kecamatan Dukun sebenarnya juga tak memiliki Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR). Penambangan yang memanfaatkan tanah penduduk dilakukan dengan sistem sewa tanah dengan jangka waktu 10-15 tahun, tetapi tanpa surat izin yang membuat reklamasi tak menjadi kewajiban yang mengikat penambang. Penambang “yang baik” hanya akan mengurug sisa galian dengan batu yang tak terpakai. Wilayah penambangan pada dasarnya juga berpindah-pindah mengikuti ketersediaan galian, sehingga menyulitkan pengawasan (Pangastuti, 2012).

Konversi lahan pertanian seperti di Desa Keningar, Kecamatan Dukun telah membawa dampak berupa beralihnya fungsi sawah yang ada di sampingnya untuk keperluan tambang pula. Hal tersebut disebabkan sawah tak mungkin dipertahankan akibat rawan longsor, rusaknya irigasi, menurunnya permukaan air tanah, hilangnya lapisan unsur hara, serta berkurangnya daerah resapan air. Desakan dari penambang juga memicu adanya konversi lahan untuk tambang. Ada upaya dari calo yang merupakan anak buah para kontraktor untuk mendesak para pemilik lahan sawah untuk mengkonversi lahannya (Wicaksono & Lestari, 2017). 

70 persen lahan di Keningar tak dikuasai warga sendiri, melainkan disewa oleh penambang pasir. Sejak tahun 1995 penambangan di Keningar awalnya berada di lahan bengkok dan merambah ke lahan Perhutani. Lestari Karya menjadi satu-satunya penambang legal di Keningar yang beroperasi pada 2021 sampai 2024. Penambangan ilegal sulit dicegah dengan adanya celah di mana hanya satu yang memiliki izin, tetapi pihak lain ikut melakukan penambangan. Barokah Merapi menjadi pemilik tambang legal lain di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun sejak tahun 2016. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Kegiatan penambangan sendiri sebenarnya membawa risiko bertaruh nyawa bagi penambang. Misalnya pada 18 Desember 2017 sebanyak delapan penambang wafat dan delapan lainnya menderita luka-luka terkena longsoran tebing pasir setinggi 25 meter. Sepanjang bulan Agustus, Oktober dan November 2017 juga terjadi longsoran dengan setidaknya memakan minimal satu penambang. Lonsoran pada 18 Desember 2017 adalah kejadian paling buruk sejak tahun 2007. Salah satu kerentanan di wilayah tambang pasir Merapi adalah ketiadaan data penambang akibat penambangan terbuka, sehingga siapa pun bisa datang. 

Pada 18 April 2018, penambang yang tergabung dalam Merapi Trans Community (MTC) melakukan pertemuan dengan Ganjar Pranowo yang akan maju lagi dalam Pilkada Jateng 2018, untuk membahas soal tambang rakyat. Mereka bersepakat untuk melakukan pengaturan bagi tambang rakyat sembari memastikan truk pasir mengangkut sesuai ketentuan tonase.

MTC bersama Buruh Slenggrong Merapi (BSM) pada 30 Agustus 2021 melakukan protes beroperasinya penambangan dengan alat berat pada wilayah tambang pasir Ngori, Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung di Lapangan Srumbung. Mereka menduga operasi alat berat adalah tindakan ilegal dan membuat penambang manual terdesak ke wilayah yang lebih tinggi di tengah aktivitas Merapi yang sedang aktif. Protes tersebut dilanjutkan ke Polres Magelang untuk meminta kepolisian menindak penggunaan alat berat. Mereka juga keberatan disebabkan alat berat diduga telah menyebabkan kerusakan jalan. 

Protes kembali berlangsung pada 25 Oktober 2021 di Gedung DPRD Kabupaten Magelang. MTC dan BSM menuntut wilayah Ngori hanya dijadikan lokasi “tambang rakyat” dan hanya boleh ditambang secara manual. Wakil Ketua DPRD kemudian berjanji akan mengirimkan surat kepada provinsi dan kementerian Lingkungan Hidup untuk memperjelas status penambangan di wilayah Ngori. Warga Desa Sewukan, Sengi, dan Paten, Kecamatan Dukun pada 16 September 2022 juga melakukan penolakan penambangan menggunakan alat berat di sungai Tlingsing.

Salah satu perusahaan bahkan sudah memberikan uang muka Rp500 ribu pada enam warga yang sebenarnya tidak setuju, namun dikembalikan setelah pihak desa menengaskan tak boleh ada penambangan dengan alat berat. 

Pihak Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak mengklaim tidak pernah mengeluarkan rekomendasi teknis penambangan di Sungai Tlingsing, meskipun pada sistem Minerba One Map Indonesia (MOMI) tercantum 3 perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yakni Bumi Karya Sembada, Barokah Sukses Mineral, dan Amertha Sakti Wiguna. Pihak perusahaan diduga menakut-nakuti pemilik lahan dengan ancaman akan diperkarakan, apabila tak mau bekerja sama untuk peruntukan pertambangan. Perusahaan juga menggunakan beberapa warga setempat untuk membujuk warga lainnya.

Pemerintah Desa Sewukan, Sengi dan Paten kemudian menindaklanjuti dengan membuat Peraturan Bersama Kepala Desa Sewukan, Sengi dan Paten No. 1/2022 tentang Pelestarian Sungai Tlingsing. Regulasi tersebut dibuat untuk melindungi keberlanjutan pertanian dan ketersediaan air bersih.

Pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah yang mendengar berbagai keresahan terkait penambangan di Desa Kemiren, Srumbung melakukan peninjauan lapangan pada 11 Januari 2023. Pihak ESDM Jateng kemudian berhasil mengamankan lokasi tambang yang diduga milik eks-narapidana terorisme dan diduga melibatkan aparat disebabkan alat berat yang digunakan merupakan pinjaman dari aparat

Warga Srumbung kembali melakukan protes pada 11 Februari 2023. Mereka berupaya menggerebek lokasi tambang ilegal dan menemukan bekas aktivitas penambangan. Warga melakukan aksi bersama anggota Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama Kecamatan Srumbung dan menemukan alat berat yang ditinggal di lokasi. Warga menduga pemilik tambang sudah mengetahui adanya kegiatan aksi. Aksi tersebut adalah rentetan sejak tanggal 3 Februari dan 10 Februari 2023. Ketua DPC SPTI (Serikat Pekerja Transportasi Indonesia) Kabupaten Magelang menyatakan bahwa ribuan sopir truk pasir menjadi terdampak akibat penutupan penambangan menggunakan alat berat.

Ketua DPC SPTI mempertanyakan alasan penambangan pasir di Srumbung yang sudah berlangsung sejak lama baru dipermasalahkan pada awal tahun 2023, dan ia berdalih bahwa sopir truk lebih melirik penambangan menggunakan alat berat karena, “Sekarang semua butuh percepatan.”

Data MODI Kementerian ESDM sebenarnya menunjukkan bahwa terdapat 20 IUP eksplorasi di lereng Merapi yang sedang melakukan pengurusan IUP Operasional Produksi, namun terkendala Perpres 70 Tahun 2014 yang menetapkan wilayah tersebut sebagai tata ruang kawasan TNGM. Persoalan status lahan eks-desa pasca erupsi Merapi tahun 1960-an yang tak jelas terus memunculkan tarik menarik kepentingan hingga sekarang.

Munculnya UU Minerba 3/2020 untuk daerah lain berjalan mulus dalam pengurusan izin, tetapi di Merapi menjadi kompleks disebabkan berlakunya regulasi mengenai sungai dan lingkungan hidup pula. Proses penambangan secara legal di Merapi terkendala dengan regulasi dari tiga kementerian yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan lagi-lagi sektoralisme agraria menjadi kunci persoalan.

Polresta Magelang pada 25 Februari 2023 menindak penambangan pasir di Kemiren, Srumbung dan menyita alat berat bersama kendaraan lainnya. Pihak ESDM Jateng dan Polresta Magelang menindak tambang ilegal lainnya yang menggunakan alat berat di Ngori, Srumbung pada 7 April 2023. MTC, BSM, Gawe Rukun Armada Merapi (GRAM), dan Driver Berkah Bantak (DBB) pada 13 Juni 2023 menggelar aksi untuk mendesak kepolisian menangani masalah penambangan ilegal menggunakan alat berat di Magelang. Mereka mendatangi Kantor Gubernur Jateng dan Mapolda Jateng untuk menyampaikan aspirasinya. 


Refleksi atas Benang Merah

Karakter pasir Merapi sebagai “sumber daya lintas batas” yang dibutuhkan oleh berbagai pihak sayangnya tak diikuti dengan tata kelola yang memadai, mulai dari perencanaan, eksplorasi, sampai dengan reklamasi pasca tambang. Di tingkat sosial, tak terjadi pula pembagian kesejahteraan di antara pemangku kepentingan. “Sumber daya lintas batas yang tak tertata” justru menjadi kelindan dari interaksi modal lintas batas di antara pihak-pihak yang ingin menyantap pasir Merapi dengan membabi buta dan saling bersaing keras satu sama lain.

Baik yang dilakukan oleh penambang manual maupun penambang alat berat sebenarnya tak mempedulikan dampak lebih lanjut terhadap lingkungan dan penghidupan rakyat pada sektor lainnya. Ketidakjelasan kelola atas “sumber daya lintas batas” turut menghasilkan ketakjelasan dalam penentuan fungsi dari tiap-tiap bagian sumber daya, sehingga memicu gesekan di antara lintas sektor dan antar pelaku ekonomi dengan kapasitas ekonomi yang berbeda. Apa yang terjadi di Magelang tak bisa disebut sebagai konflik vertikal, melainkan benturan yang bersifat horisontal sekaligus diagonal. 

Konflik horisontal terjadi kala itu bersinggungan dengan sesama pelaku ekonomi pada sektor penghidupan tertentu, namun sifat konflik menjadi diagonal ketika bersentuhan dengan pemangku kepentingan lain yang berbeda sektor sekaligus berbeda urusannya. Realitas diagonal misalnya dapat kita lihat pada betapa kompleksnya sengkarut pada level pusat, provinsi sampai tingkat desa juga antara aspek lingkungan dan sosial, permukiman bersama infrastruktur yang beririsan dengan ekonomi yang menunjukkan betapa rumitnya sengkarut ekstraktif di Magelang.


Daftar Pustaka

Bappeda Kabupaten Magelang, & Litbangda Kabupaten Magelang. (2018). Laporan Akhir Penelitian Pengelolaan Potensi Sumber Daya Alam Di Kawasan Merapi Berbasis Konservasi (Kasus Alur Sungai Pabelan). https://bappeda.magelangkab.go.id/download/file/Penelitian Pengelolaan Potensi SDA Kawasan Merapi Berbasis Konservasi 2018.pdf

Kuswijayanti, E. R., Dharmawan, A. H., & Kartodiharjo, H. (2007). Krisis-Krisis Socio-Politico-Ecology di Kawasan Konservasi: Studi Ekologi Politik di Taman Nasional Gunung Merapi. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(1), 41–66.

Miller, M. A. (2022). A Transboundary Political Ecology of Volcanic Sand Mining. Annals of the American Association of Geographers, 112(1), 78–96.

Nurhidayat, & Dewi, D. A. S. (2015). Implementasi Peraturan Bupati Magelang Nomor 26 Tahun 2014 Tentang Usaha Pertambangan Pada Kawasan Gunung Merapi Di Kabupaten Magelang (Studi Kasus Di Desa Keningar, Banyudono, Dan Ngargomulyo). Varia Justicia, 11(1), 133–149.

Pangastuti, A. N. (2012). Pelaksanaan Pengawasan Usaha Pertambangan Rakyat Di Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Oleh Dinas Pekerjaan Umum, Energi Dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Magelang [Undergraduate Thesis]. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Varhan, V., & Taufik, A. (2019). Analisis Gerakan Serikat Buruh Slenggrong Merapi “Punokawan” Dalam Upaya Resolusi Konflik Tambang Pasir. Journal of Politic and Government Studies, 8(4), 401–410.

Wicaksono, Y., & Lestari, P. (2017). Dampak Konversi Lahan Pertanian Menjadi Tambang Pasir Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. E-Societas: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 6(8), 1–16.


Anggalih Bayu Muh Kamim adalah pegiat kajian agraria

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.