Invasi Indonesia ke Timor Timor: Darah di Tangan Dubes Australia dan “Jebakan Batman” ala Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Tentara Indonesia di rumah tempat jurnalis Australia berlindung sebelum tewas saat mencoba mengabadikan gambar penyerangan Balibo pada 1975. Arsip Nasional Australia via The Guardian


UCAPAN belasungkawa mengiringi mantan diplomat Australia Richard Woolcott yang meninggal pada usia 95. Selama ini Woolcott digambarkan sebagai orang dengan “tindakan terpuji,” “diplomat Australia terbaik dari satu generasi,” “raksasa di lingkungan diplomatik,” hingga dianggap punya “kecakapan diplomatik efektif yang pernah dilahirkan Australia.” Apa yang kurang dibahas meskipun banyak diketahui adalah perannya dalam keputusan Jakarta menyerbu Timor Timur dan selama tahun-tahun awal pendudukan Indonesia.

Kesalahpahaman luas soal peran Woolcott di Timor Timur terangkum dalam komentar seorang mantan diplomat. Dia menyatakan bahwa dalam kasus tersebut Woolcott telah “mendorong [Australia] untuk mengambil sikap fait accompli. Namun Australia bukan sekadar penonton yang tak punya kendali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa Australia beserta kedutaan besarnya di Jakarta, terutama di bawah Woolcott (menjabat 1975-1978–penerjemah), memainkan peran penting dalam memuluskan bencana invasi dan pendudukan brutal yang menimpa rakyat Timor Leste selama bertahun-tahun.

Mungkin bukti yang paling memberatkan Woolcott adalah dokumen rahasia yang saya temukan jauh di dalam tumpukan berkas di Arsip Nasional Kementerian Luar Negeri Australia. Ketika itu saat sedang dalam proses riset untuk penulisan buku A Narrative of Denial (2021). Dokumen bertitimangsa 29 Agustus 1975 itu berisi daftar sasaran pembunuhan oleh Indonesia. Di dalamnya ada nama terduga “agitator komunis” yang akan dicokok “ketika waktunya sudah tiba.” Dokumen itu disertai empat halaman berisi sederet tuduhan dan detail-detail keliru tentang nama-nama yang dimuat (DFA 1975b).

Dokumen berjudul “Steps to Prevent Communist Agitators to Escape” (‘Langkah-Langkah untuk Mencegah Kaburnya Agitator Komunis’) itu diserahkan agen senior intelijen Indonesia Harry Tjan kepada Allan Taylor, penasihat paling senior untuk Duta Besar Woolcott. Sementara Tjan adalah salah satu kontak intelijen Australia yang paling dipercaya oleh rezim militer Indonesia. Dia memberikan “daftar sasaran” pada September 1975, dua setengah bulan sebelum invasi. 

Dokumen tersebut segera diteruskan ke Menteri Luar Negeri Alan Renouf, kemudian diarsipkan. 

Mantan diplomat dan konsul Australia di Dili James Dunn membenarkan bahwa arsip itu memang “daftar sasaran” para pemimpin Timor. “Bukannya harus diusir dari Timor, tapi tidak boleh dibiarkan kabur,” katanya. “Sayangnya, itu daftar pembunuhan.” 

Tidak ada rujukan lebih lanjut terkait dokumen “daftar sasaran” dalam arsip rilisan ini. Tak ada bukti bahwa keberatan mengenai isi daftar tersebut telah disampaikan kepada pihak berwenang Indonesia. Tidak ada pula bukti tindakan untuk memperingatkan orang-orang yang menjadi sasaran bunuh itu bahwa nyawa mereka terancam.

Dokumen tersebut berisi nama 19 orang pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Leste, Fretilin. Orang-orang di dalam daftar yang sedang berada di Timor dan yang langsung ditangkap setelah invasi kemudian dibunuh oleh pasukan Indonesia. Mereka termasuk:

  1. Rosa Muki Bonaparte, Sekretaris Organisasi Rakyat Wanita Timor, dieksekusi oleh pasukan Indonesia sehari setelah invasi;
  2. Nicolau Lobato, pemimpin Fretilin yang dibunuh pada 1978—istrinya, Isabel Lobato, tidak ada dalam daftar tapi dibunuh ketika ditangkap sehari setelah invasi;
  3. Antonio Carvarino, penulis Fretilin yang dibunuh ketika ditangkap pada Februari 1979; serta
  4. Maria do Ceu Carvarino, penasihat politik Fretilin dan istri Antonio Carvarino, yang raib tak lama setelah invasi.
Kiri-kanan: Rosa Bonaparte, Nicolau Lobato, Isabel Lobato, Antonio Carvarino, dan Maria Carvarino

Wartawan Australia Roger East, yang bersembunyi di sebuah apartemen di Dili bersama beberapa orang Timor, ditangkap dan langsung dieksekusi di dermaga Dili.

Kemudian, ada tiga orang hampir ditangkap dan dibunuh oleh pasukan Indonesia. Ketiganya menjadi tokoh sentral Timor Leste yang akhirnya merdeka:

  1. José Ramos Horta, Presiden Timor Leste saat ini, yang dikirim ke Australia sesaat sebelum invasi;
  2. Mari Alkatiri, Perdana Menteri pertama Timor Leste, yang saat itu diutus ke Mozambik; dan
  3. Xanana Gusmão, yang telah mengungsi ke pegunungan dan menjadi sosok kunci perlawanan Timor Leste. Setelah restorasi kemerdekaan pada 2002, Xanana menjadi Presiden pertama Timor Leste.
Kiri-kanan: Ramos Horta, Mari Alkatiri, Xanana Gusmão

Woolcott menjabat Duta Besar Australia di Jakarta hingga 1978. Inilah periode ketika militer Indonesia melakukan operasi “pembersihan” ugal-ugalan terhadap penduduk Timor. Operasi itu sendiri memicu wabah kelaparan di daerah perdesaan. Hanya dalam waktu tiga tahun, sebanyak 180 ribu warga sipil mati kelaparan. Belakangan, peristiwa ini didokumentasikan oleh Declassified Australia dalam artikel berjudul “Blood in the Archives”.

Woolcott kelak punya karier mentereng sebagai Duta Besar Australia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1982, sebelum dipromosikan ke pucuk pimpinan Kementerian Urusan Luar Negeri sebagai menteri sejak 1988 hingga 1992.

Karier Allan Taylor juga meroket. Puncaknya, ia menduduki jabatan direktur badan spionase asing, Australian Secret Intelligence Service (ASIS), sejak 1998 hingga 2003. (Sebagai catatan, posisi Taylor di ASIS digantikan oleh orang lama di Kedutaan Besar Jakarta, David Irvine, yang kelak bertanggung jawab atas operasi penyadapan Timor Leste oleh Australia pada 2004.)

Dokumen “daftar sasaran” serta tanggapan Woolcott dan para pejabat lain adalah kisah tentang bagaimana para diplomat Australia yang cerdas dan penuh rasa percaya diri terjebak dalam jaring; reputasi mereka cacat karena telah berkolaborasi dengan Indonesia yang hendak menghentikan proses dekolonisasi Timor Leste dan memaksakan integrasi dengan kekejaman yang luar biasa.


PERDANA Menteri Gough Whitlam mengutus sekretaris pribadinya Peter Wilenski ke Indonesia untuk berunding dengan Tjan pada Juni 1974. Menurut sumber-sumber Indonesia (Wanandi 2012, 195) dan Australia, Wilenski mengatakan kepada Tjan bahwa Whitlam percaya kemerdekaan Timor Leste sulit diwujudkan sehingga lebih baik bergabung dengan Indonesia tanpa kekerasan. Pendekatan ini juga didukung Woolcott yang saat itu belum ditunjuk sebagai duta besar.

Namun, pertemuan yang diprakarsai Whitlam inilah yang mengilhami Tjan untuk mengusulkan kepada Soeharto agar menyelenggarakan operasi integrasi dengan paksaan. Pesan kedutaan ke Canberra tertanggal 3 Juli 1974 menyatakan: “Setelah berbicara dengan Wilenski, terpikir oleh Tjan bahwa mungkin ada ruang untuk lebih dari sekadar inisiatif diplomatik.”

Tjan kemudian mendekati kedutaan Australia untuk mengabari rencana Operasi Komodo, sebuah operasi klandestin oleh gerilyawan bersenjata dan mata-mata untuk menyusup ke Timor Leste dan melemahkan gerakan kemerdekaan. Tjan menjelaskan kepada Australia bahwa Canberra seharusnya menjadi pihak yang “menetralisir” keberatan dunia internasional terhadap pencaplokan [Timor Leste] oleh Indonesia.

Yang terjadi selanjutnya adalah penjelasan panjang dari intelijen Indonesia untuk kedutaan Australia tentang peningkatan aktivitas klandestin. Informasi yang disampaikan termasuk detail pelatihan pasukan untuk mendestabilisasi Timor Leste sehingga memunculkan dalih pengambilalihan oleh Indonesia. Semua ini bertujuan untuk memastikan keterlibatan Canberra dalam rencana Indonesia. Pemerintah Australia telah terlibat dan terjerat.


SEBELUM menjadi duta besar, Woolcott menjabat kepala Urusan Publik di Kementerian Luar Negeri Australia pada awal 1970-an. Di posisi itulah ia memberi pengarahan kepada media-media dan para pejabat asing, serta mendistribusikan materi yang mendukung posisi Indonesia di Timor Portugis. Tugas Woolcott termasuk mengawasi unit propaganda rahasia di dalam Bagian Penelitian Politik dan Sosial DFA, seperti yang sebelumnya diungkapkan secara eksklusif oleh Declassified Australia.

Saat diangkat menjadi duta besar pada Maret 1975, Woolcott bekerja keras untuk mendukung posisi Indonesia. Beberapa pesan kedutaan yang telah dideklasifikasi menunjukkan bagaimana Woolcott mengingatkan Canberra akan potensi risiko kemerdekaan Timor Leste terhadap keamanan Indonesia, tekad Indonesia untuk menggabungkan wilayah tersebut, dan kepentingan nasional Australia dalam mendukung posisi Indonesia.

Woolcott memperoleh rincian rencana invasi rahasia Indonesia dari pertemuan rutin dengan pejabat intelijen senior Jenderal Ali Murtopo, Menteri Luar Negeri Adam Malik, dan diktator Presiden Soeharto, serta melalui pengarahan Tjan dkk. kepada bawahannya. Dokumen tersebut menunjukkan, misalnya, pada Juni 1975 Woolcott melaporkan kepada Menteri Luar Negeri Willesee bahwa “kegiatan rahasia Indonesia di Timor Portugis akan ditingkatkan….. ‘Pengungsi’ sedang dipersiapkan di Atambua untuk kembali ke Timor Portugis untuk memainkan peran mereka.”

Pada 10 Juli 1975, Tjan memberitahu Woolcott bahwa “Cetak biru rencana Indonesia” telah disusun, termasuk kemungkinan, “intervensi bersenjata… tanpa provokasi.” Catatan arsip yang dirilis hingga saat ini tidak mengandung bukti bahwa Perdana Menteri Australia, termasuk bawahan-bawahannya, menyampaikan keberatan kepada Indonesia.

Salah satu bagian dari rencana Indonesia adalah merancang kudeta rahasia pada Agustus 1975 dengan melibatkan partai UDT Timor yang konservatif. Pertempuran berlangsung selama beberapa minggu. Lebih dari 1.000 orang Timor terbunuh. Namun kudeta tersebut gagal. Fretilin mengambil alih teritori pada awal September.

Dari arsip-arsip yang ada, jelas bahwa saat itu Woolcott mengetahui keberlimpahan sumber daya minyak dan gas yang sangat besar yang dipertaruhkan di Laut Timor.

Pada Agustus 1975, dia mengirim kabel ke Canberra: “Saya ingin tahu apakah departemen sudah memastikan kepentingan kepala kementerian mineral dan energi… Kementerian ini mungkin punya kepentingan untuk menjembatani isu perbatasan laut yang telah disepakati dan ini bisa jadi hal yang jauh lebih siap untuk dirundingkan dengan Indonesia… ketimbang dengan Portugal atau Timor Portugis yang merdeka.”

Setelah kegagalan percobaan kudeta, kampanye militer rahasia Indonesia yang telah ditingkatkan, Operasi Flamboyan, diluncurkan dari Timor Barat Indonesia. Operasi itu sebagian besar melibatkan tentara Indonesia yang menyamar sebagai orang Timor. Mereka diperintahkan untuk menciptakan “teror dan intimidasi” (CAVR 2013, 188-189).

Wartawan Australia Roger East yang kemudian ditangkap dan dibunuh oleh pasukan Indonesia, melaporkan pada awal November 1975 bahwa serangan Indonesia di Atsabe telah menewaskan 30 penduduk setempat (East 1998, 25-30).

Intelijen Indonesia terus memberi informasi kepada Kedutaan Besar Jakarta. Pada 3 September, Woolcott mengabari Canberra: “Sekarang kami punya laporan terperinci dari… Tjan tentang perencanaan Indonesia” termasuk “sukarelawan dan senjata” Indonesia, serta upaya-upaya “memutus rantai pasokan makanan.” Pada 30 September 1975 Tjan mengabari kedutaan Australia: “sekitar 3.800 tentara Indonesia dari pulau Jawa akan dikirim ke Timor Portugis secara bertahap.”


SEMENTARA aktivitas-aktivitas yang disebutkan di atas berlangsung, pemerintah Australia membangun narasi kebohongan tentang langkah-langkah Timor Leste menuju penentuan nasib sendiri. Publik Australia pun mendengar cerita yang berbeda.

Pada 26 Agustus 1975, Whitlam meyakinkan parlemen bahwa, “Kebijakan Indonesia adalah menghormati hak rakyat Timor Portugis untuk menentukan nasib sendiri.” Dia menyatakan pada 18 September bahwa Soeharto “berkomitmen kuat pada proses dekolonisasi secara damai” dan “Indonesia sudah sangat menahan diri” (DFA 1975a).

Melalui persetujuan mereka, pihak Australia termasuk Duta Besar Woolcott secara efektif menyetujui kebijakan Indonesia. Melalui disinformasi, pada dasarnya mereka menjadi propagandis bagi faksi haus darah dalam rezim Soeharto yang mati-matian merusak proses dekolonisasi Timor melalui subversi dan kekerasan.

Pada 13 Oktober, Utusan Resmi Kedutaan Besar Australia di Jakarta Malcolm Dan mengirim surat ke Canberra berisi rincian rencana serangan militer besar-besaran untuk merebut kota Balibo, Maliana, dan Atsabe.

Peringatan dini yang dikirim ke Canberra tiga hari sebelum wartawan dibunuh di Balibo. Kutipan dari telegram rahasia tertanggal 13 Oktober 1975 berisi rincian dari intelijen Indonesia tentang serangan tentara di beberapa kota di sekujur perbatasan Timor Timur termasuk Balibo.

Pada 2007, sebuah penyelidikan resmi terhadap kematian Brian Peters, seorang juru kamera yang dibunuh oleh pasukan klandestin Indonesia di Balibo, diselenggarakan di Sydney. Tercatat lima wartawan yang berbasis di Australia dibunuh oleh pasukan khusus Indonesia (Kopassandha, sekarang Kopassus –penerjemah) di Balibo pada 16 Oktober 1975 atas perintah Mayor Jenderal Benny Moerdani

Penyelidikan juga mengungkapkan bahwa Duta Besar Woolcott menghadiri makan malam dengan orang kepercayaan Jenderal Moerdani pada 15 Oktober, hanya beberapa jam sebelum penyerangan Balibo. Pada saat itulah Woolcott mendapat informasi lebih lanjut tentang penyerbuan tersebut. Tidak ada bukti bahwa dia tahu bahwa di Balibo ada para jurnalis, namun dia sepenuhnya sadar bahwa orang Timor akan mati dalam serangan itu.


KEMATIAN berskala besar pasca-serbuan Indonesia ke Balibo dengan cepat diketahui publik. Laporan pertama datang dari Roger East berdasarkan penuturan saksi mata–yang langsung menuding pasukan Indonesialah pelakunya. Isu utama Canberra sendiri adalah apakah pembantaian ini dapat “memprovokasi opini publik Australia” untuk melawan Indonesia. 

Woolcott telah tertangkap basah, baik sengaja atau tidak, dalam kasus kolusi klasik yang mengarah pada kompromi. Badan-badan intelijen Indonesia, setelah belajar dengan baik dari pendahulunya, Jepang dan Belanda, kini sangat cerdik menjebak sasaran ke dalam jaring laba-laba kepercayaan dan kebohongan, kompromi dan tanggung jawab. Woolcott bahkan mungkin menyadari jebakan itu. Dia mengeluh: “Kami terlalu banyak mendapatkan informasi karena kepercayaan yang ditunjukkan oleh Tjan dan Moerdani kepada kami” dan mengirim perwakilan ke Jakarta dapat menempatkan mereka dalam situasi yang sulit. 

Moerdani, Woolcott, dan Tjan

Melindungi intelijen Indonesia dan rezim Soeharto pun menjadi prioritas. Sebagian karena ingin mendukung tindakan Indonesia menggagalkan kemerdekaan Timor Leste, sebagian lagi karena melihat kebutuhan untuk menyembunyikan kongkalikong di masa lalu dengan para arsitek invasi. Kedua alasan itu saling terkait–dan tidak mungkin untuk melihatnya secara terpisah. 

“Daftar sasaran” dari Tjan adalah upaya untuk melibatkan Australia dalam penggagalan proses dekolonisasi Timor Leste melalui subversi dan kekerasan. Upaya itu berhasil.  

Beberapa orang di DFA mencatat intelijen Indonesia telah memberikan briefing untuk membatasi dan mengompromikan kebijakan Australia. Geoffrey Miller dari Indonesian Section di Canberra mengatakan “Orang-orang Indonesia dengan cerdiknya berkompromi dengan kami dengan cara memastikan bahwa kami tahu rencana intervensi rahasia mereka secara mendetail.”  

Woolcott kemudian mencoba memutihkan rekan-rekannya di Indonesia itu dengan menyalahkan para jurnalis Australia di Balibo atas kematian mereka sendiri. Ini dia lakukan dengan menyatakan bahwa “para jurnalis sudah condong ke satu pihak” dan “seharusnya tidak berada di tempat mereka berada” (Woolcott 2003, 154). Sejauh ini dia sejalan dengan tujuan Indonesia, bahwa setiap upaya untuk mengungkap serangan ilegal dan mematikan sebagai partisan dan tidak sah. 

Selaras dengan posisi Woolcott, investigasi pemerintah atas apa yang terjadi di Timor, termasuk kematian para jurnalis di Balibo, adalah akal-akalan dan penyangkalan selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berdekade-dekade kemudian. 

Namun, tidak semua elemen dalam pemerintah Indonesia memberikan dukungan untuk kelompok garis keras dan arsitek invasi. Adam Malik, Menteri Luar Negeri yang moderat, pada awalnya mendukung kemerdekaan Timor Lorosae (Job 2021, 18-21). 

Dengan bukti bahwa Soeharto awalnya enggan mengizinkan penggunaan kekerasan, Australia sebenarnya punya pilihan untuk bekerja sama dengan Indonesia menyelenggarakan dekolonisasi secara tertib. Namun mereka malah mendukung faksi garis keras dalam pemerintahan dan meminggirkan kaum moderat berikut alternatif yang ditawarkan. 

Selain itu, seperti yang dilaporkan think tank ASPI, banyak analisis kedutaan Australia buruk adanya dan jauh dari brilian. Hal inilah yang membuat intelijen Indonesia mampu menyesatkan mereka untuk percaya bahwa Adam Malik adalah seorang pendukung garis keras kebijakan Timor Timur, padahal dia mendukung pendekatan moderat (Ayub 2021, 18-210). 

Woolcott terus meyakinkan Canberra bahwa Fretilin tak lebih dari segelintir elite dan potensi perlawanan gerilya “tidak perlu dianggap serius” (DFA 1975a)—sebuah posisi yang menunjukkan ketidakbecusan intelijen di pihak Australia sekaligus ketidakpedulian mengenai situasi di Timor Timur itu sendiri.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FRETILIN mengubah taktik demi mendapatkan pengakuan internasional setelah hampir tiga bulan gagal menyerukan pengembalian Portugis dan meminta bantuan internasional untuk proses dekolonisasi. Fretilin juga berhadapan dengan pasukan invasi Indonesia yang sudah siap siaga. Tujuan Fretilin adalah mencegah invasi dan mengeluarkan pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Unilateral pada 28 November 1975.

Indonesia tetap melancarkan invasi pada 7 Desember. Sehari sebelumnya, Presiden AS Gerald Ford, Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, dan Presiden Soeharto melangsungkan pertemuan di Jakarta. AS secara diam-diam menyetujui invasi yang menandai pendudukan maut selama 24 tahun yang merenggut jiwa sepertiga penduduk Timor Timur.

Ibu kota Timor Leste ​​Dili, pagi hari ketika invasi militer terjadi. Asap mengepul tinggi di belakang Gereja Motael yang bersejarah di tepi pantai (Foto: Arsip & Museum Perlawanan Timor)

Woolcott mengabarkan rencana invasi ke Canberra sehari sebelum pendudukan. Ia menekankan bahwa Indonesia menghendaki Australia agar “menghambat pertumbuhan sentimen anti-Indonesia.”

Dia memberikan rekomendasi tentang bagaimana situasi yang ada harus di-spin. Tindakan ini mengawali narasi-narasi palsu yang ditiupkan Australia ke seluruh dunia pada tahun-tahun berikutnya. Jadi, jauh dari sekadar pasrah, pemerintah Australia justru memperkuat kelompok garis keras Indonesia. Hasilnya adalah invasi yang mungkin bisa dihindari.

Woolcott berusaha untuk mendiskreditkan bukti-bukti yang langsung merebak pasca-invasi. Ketika peneliti parlemen, mantan intel, dan pejabat Luar Negeri James Dunn menerbitkan laporan-laporan pelanggaran HAM termasuk kasus-kasus pembantaian, kekerasan seksual, kelaparan yang disengaja, dan jumlah kematian yang sangat tinggi pada awal 1977, Woolcott menampik semua temuan ini sebagai kabar burung.

Ia lantas menuduh Dunn telah “membangkitkan permusuhan terhadap Indonesia di negara ketiga yang penting bagi mereka.” Berdalih sebagai pegawai pemerintah, Woolcott mengatakan sudah menjadi tugas pemerintah untuk membungkam Dunn (DFA 1977).

Karir Woolcott setelah itu terus moncer. Dia menjabat kepala departemen Kementerian Luar Negeri ketika menteri saat itu, Gareth Evans, menandatangani Timor Gap Treaty dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas. Di dalam pesawat yang tengah mengudara di atas Laut Timor, Australia meraup untung terbesar dalam perjanjian tersebut.

Setelah pensiun pada pertengahan 1990-an, Woolcott menjadi konsultan sumber daya bagi perusahaan raksasa BHP untuk “urusan-urusan dasar laut.” BHP telah lama mencari minyak dan gas di Laut Timor, dan mulai mengeksploitasi ladang minyak Buffalo di dasar laut itu pada 1999.

Menjelang pensiun, Woolcott menyebut orang-orang Australia yang berkampanye bagi kemerdekaan Timor Timur dan menentang pelanggaran HAM di sana sebagai “rasis” dan “anti-Indonesia.” Alasannya, mereka membela “tujuan-tujuan politik yang sudah kalah, yang menerbitkan harapan palsu, memperpanjang konflik, dan memakan korban jiwa.” Dia jelas menentang kemerdekaan Timor Timur. Pada 1999, Woolcott mengatakan mungkin ada “implikasi finansial yang substansial” jika Timor Gap Treaty dibatalkan.


Woolcottt menegaskan posisinya mengenai Timor Timur pada dasarnya sama dengan para dubes Australia lain yang menjabat setelahnya. Memang, alih-alih jadi pembangkang, posisi Woolcott sepenuhnya sesuai dengan kehendak arus utama. Briefing rahasia Timor oleh Indonesia sudah dimulai sejak era Duta Besar Furlonger, pendahulu Woolcott.

Wolcott di masa pensiun

Dubes yang menjabat sejak 1978, Critchley, mati-matian membela rezim Soeharto. Pengganti Woolcott ini merujuk pada rekomendasi Canberra tentang bagaimana membingkai krisis yang sedang berlangsung, yaitu menyangkal bukti kekejaman dan kelaparan yang meluas saat invasi. Sikap ini dijelaskan dalam sebuah artikel di Declassified Australia baru-baru ini.

Dalam buku A Narrative of Denial, saya menguraikan bagaimana pemerintah Australia sudah menjadi pembela paling gigih invasi Indonesia di Timor Timur. Selama beberapa dekade, mereka menyangkal bukti pelanggaran dan memasok bantuan militer yang beberapa di antaranya digunakan di Timor Timur.

Semua kegigihan ini dibarengi oleh propaganda besar-besaran agar invasi Indonesia tak diusik politikus, pejabat, jurnalis, dan akademisi. Lobi Australia di PBB juga berdampak besar. Dari lobi itu, yang tertunda bukan cuma solusi jangka panjang tetapi juga tindakan jangka pendek untuk meringankan penderitaan warga Timor Timur, termasuk urusan masuknya bantuan.

Tindakan Australia bisa dipahami dalam konteks bagaimana mereka memandang dirinya sendiri, yakni sebagai pembela status quo Barat di kawasan Asia Pasifik. Peneliti Clinton Fernandes menyebut Australia sebagai pengasong kekuatan sub-imperial tingkat regional. Ketundukan Australia kepada AS ini turut dijelaskan dalam Declassified Australia .

Sementara rezim Soeharto, yang telah membantai Partai Komunis Indonesia pada 1960-an, dipandang sebagai jangkar stabilitas kawasan. Rezim ini menjadi penyokong misi-misi strategis AS, Australia, dan Barat, berikut kepentingan ekonomi mereka. Masalah sumber daya Laut Timor menambah dimensi lain dari hal ini.

Hak asasi dan penderitaan rakyat Timor Leste senantiasa dipandang sebagai perkara sampingan.

Maksud jahat Australia terus berlanjut bahkan setelah rakyat Timor meraih kemerdekaan. Dengan culasnya mereka menyadap ruangan kabinet Timor Leste agar lebih unggul posisinya dalam perundingan-perundingan terkait  sumber daya alam dan batas dasar laut, sehingga memudahkan pencurian ratusan juta dolar sumber daya alam Laut Timor. 

Semua ini harusnya menjadi alasan kuat bagi Parlemen Australia untuk memberikan ganti rugi dan meminta maaf kepada rakyat Timor Leste.


Kepustakaan

CAVR. (Comissão de Acolhimento, Verdade, e Reconciliac̦ão Timor Leste). Chega! Dili: CAVR, 2013.

DFA 1975a. NAA: A10463, 801/13/11/1, xiv. Whitlam, Gough 1975, Letter from Whitlam to Bob Bolger, Secretary, Waterside Workers Federation of Australia, 18 September 1975. 

DFA 1975b. NAA: A10463, 801/13/11/1, xiv. Portuguese Timor. Letter from Taylor to Renouf, 23 September 1975. Attachment. 

DFA 1975c. NAA: A10463, 801/13/11/1, xv. Cable from Jakarta to Canberra. Portuguese Timor. 13 October 1975.

DFA 1977. NAA: A10463 801/13/11/10, i. Memorandum from Woolcott to Parkinson. 9 March 1977.

East, Roger. ‘East Timor’s border war’, in Jim Aubrey (ed.), Free East Timor: Australia’s Culpability in East Timor’s Genocide. Sydney: Random House, 1998. 

Job, Peter. A Narrative of Denial: Australia and the Indonesian violation of East Timor. Melbourne: Melbourne University Press, 2021.

Richardson, Michael. ‘The secret story of the road to war in Timor’, National Times, 19–24 July 1976.

Wanandi, Jusuf. Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing, 2012.

Woolcott, Richard. The Hot Seat: Reflections on Diplomacy from Stalin’s Death to the Bali Bombings. Sydney: HarperCollins, 2003.


Artikel berjudul asli “The Ambassador and the Hit List” ini diterjemahkan oleh redaksi Indoprogress dari  Declassified Australia. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.