Ilustrasi: Jonpey
KARL MARX dan Friedrich Engels terlibat secara kritis dalam tradisi pemikiran utopis. Keduanya dipandang sebagai tokoh ilmu sosial yang menentang kuat utopianisme, terutama lewat teori materialisme historis yang terkait dengan sosialisme ilmiah. Meskipun mungkin ada beberapa butir kebenaran di dalamnya, posisi ini tidak dapat menangkap seluruh kompleksitas pemikiran Marx dan Engels. Posisi kritis mereka terhadap utopianisme tidak boleh dianggap sebagai pengabaian utopianisme itu sendiri.
Marx dan Engels hidup pada masa ketika pemikiran utopis dikembangkan dengan cara yang unik. Anehnya, sifat spekulatif dari pemikiran utopis tidak menghalangi banyak orang untuk memikirkan realisasi utopia. Dalam hal ini, pemikiran utopis tidak hanya menjadi sebuah argumen logis mengenai apa yang baik dan lebih baik bagi kehidupan masyarakat, tetapi juga seperangkat ide yang diyakini dan dapat dipraktikkan di dunia nyata dalam bentuk “komunitas yang diangankan”.
Saya berpendapat bahwa “sosialisme ilmiah” yang diusulkan oleh Marx dan Engels memiliki keyakinan yang sama terhadap kepraktisan pemikiran utopis. Seperti rekan-rekan sosialis utopis mereka, Marx dan Engels setuju dengan kemungkinan adanya masyarakat yang ideal dan adil dan mampu membuat manusia yang hidup di dalamnya memenuhi potensi penuh mereka. Menariknya, duo penulis Manifesto Komunis, dokumen politik paling penting dalam sejarah ini juga memiliki bias utopis tertentu, di mana argumen yang diajukan didasarkan pada spekulasi ketimbang realitas dunia.
Posisi ambigu ini dapat memberikan kontribusi penting dalam memahami utopia. Alih-alih melihat utopia sebagai situasi yang lengkap dan statis, Marx dan Engels memberikan pembacaan terhadap utopia sebagai sebuah kemungkinan historis terbuka yang hasilnya mungkin bergantung pada perjuangan aktif umat manusia itu sendiri.
Utopia
Masalah Marx dan Engels dengan utopianisme terletak pada ketidaksepakatan tentang bagaimana utopia dapat direalisasikan. Marx dan Engels menyatakan bahwa agar perubahan menuju masyarakat ideal dapat terwujud, kita perlu memiliki penjelasan “ilmiah” tentang mengapa perubahan tersebut dapat dilakukan. Mereka pun menunjukkan keberadaan historis dari kecenderungan revolusioner kapitalisme (Marx dan Engels dalam Tucker 1978, 475). Mereka percaya bahwa perkembangan kapitalisme seperti itu memberikan prasyarat penting untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Hal ini karena perkembangan kapitalis menghasilkan kontradiksi antara produksi yang disosialisasikan (komoditas dibuat oleh banyak orang) dan perampasan pribadi (keuntungan mengalir ke sedikit orang). Inilah wujud antagonisme antara kelas kapitalis dan kelas pekerja.
Atas dasar itu, jalan mewujudkan masyarakat yang lebih baik hanya dapat dilakukan ketika kelas pekerja terlibat dalam perjuangan revolusioner untuk menggulingkan kekuasaan kapitalis dan mengambil alih alat-alat produksi untuk kebutuhan sosial seluruh masyarakat.
Kaum sosialis utopis, menurut Marx dan Engels, bermasalah karena kurang memiliki analisis yang sistematis dan terstruktur mengenai apa yang sedang terjadi dan apa yang salah dengan masyarakat. Para pemikir utopis memberikan “teori-teori mentah” yang menyatakan bahwa solusi untuk masalah masyarakat merupakan “tugas akal”. Agenda utamanya adalah “menemukan sistem tatanan sosial yang baru dan lebih sempurna dan memaksakan hal ini pada masyarakat dari luar melalui propaganda, dan jika memungkinkan, melalui contoh eksperimen model” (Ibid, 687).
Alih-alih mendekatkan diri pada tujuan–mewujudkan masyarakat yang lebih baik, Marx dan Engels menyimpulkan bahwa cara berpikir ini justru menimbulkan ilusi-ilusi tertentu tentang bagaimana perubahan dapat terjadi. Mereka berpendapat bahwa hal tersebut membuat perubahan menjadi perkara “tindakan inventif pribadi mereka” (Ibid, 497). Proses historis emansipasi manusia berubah menjadi proses historis bertahap di mana fantasi sempurna dari penemu utopia menjadi penentu utama. Oleh karena itu, mereka melihat bahwa “sejarah masa depan menyelesaikan dirinya sendiri, di mata mereka [yaitu para penemu], menjadi propaganda dan pelaksanaan praktis dari rencana sosial mereka” (Ibid, 498).
Meski telah melakukan upaya terbaik untuk meruntuhkan sosialisme utopis, Marx dan Engels justru secara tidak sengaja menciptakan utopianisme mereka sendiri, di mana argumen yang diajukan lebih didasarkan pada spekulasi ketimbang realitas dunia. Sebagai contoh, mereka membuat kita percaya bahwa perkembangan sejarah sudah cukup untuk menumbuhkan kesadaran kelas pekerja agar menggulingkan kekuasaan kapitalis. Apa yang perlu dilakukan oleh kelas pekerja adalah memahami tugas itu dan bertindak sesuai dengan pemahaman tersebut. Seperti yang mereka tulis secara persuasif, “perkembangan industri modern… menghasilkan, di atas segalanya, adalah penggali kuburnya sendiri. Kejatuhannya dan kemenangan kaum proletar sama-sama tak terelakkan” (Ibid, 483). Marx dan Engels, yang hanya beda usia dua tahun, seolah-olah menyatakan bahwa sejarah selalu berpihak pada proletar untuk membebaskan diri mereka sendiri. Secara tidak sadar mereka mengabaikan kemungkinan sejarah merongrong emansipasi kaum proletar.
Argumen utopis Marx dan Engels yang lain dapat dilihat dari prediksi mereka tentang bagaimana antagonisme kelas akan lenyap setelah pekerja mengambil alih kekuasaan negara. Karena mereka percaya bahwa negara hanyalah alat dari kelas penghisap, revolusi proletar akan mengakhiri pengaruh politik kapitalis terhadap negara. Seperti yang dikatakan oleh Engels, ketika negara menjadi “perwakilan resmi dari masyarakat secara keseluruhan,” peran mereka sebagai instrumen politik untuk kelas dominan “tidak diperlukan lagi” (Engels dalam Tucker 1978, 713). Dengan demikian, negara berubah menjadi “negara bebas” yang mampu memenuhi kebutuhan sosial masyarakat. Oleh karena itu, bagi mereka, jika di era kapitalisme politik (kelas pekerja) sangat penting, pencapaian revolusioner berarti juga sebagai akhir dari politik karena pemerintahan diatur berdasarkan prinsip “administrasi” (Ibid, 713).
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Apa yang dikatakan oleh ambiguitas Marx dan Engels terkait dengan utopianisme, khususnya mengenai perkembangan pemikiran utopis secara keseluruhan? Saya berpendapat bahwa mereka membuka jalan baru untuk men-sejarah-kan utopia. Alih-alih melihat utopia sebagai “sesuatu di luar sana” (yaitu sesuatu yang tidak mungkin dicapai), mereka berpendapat bahwa itu sudah tertoreh dalam realitas sejarah itu sendiri. Kondisi distopia yang dialami oleh banyak orang memberikan kesempatan untuk mengatasinya, untuk menciptakan utopia itu sendiri. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa kesengsaraan dan kekurangan tidak mungkin menjadi kondisi permanen bagi masyarakat karena dinamika sejarah telah menyediakan kondisi bagi umat manusia untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan penuh.
Historisisasi ini juga memungkinkan mereka untuk melihat dinamika utopia itu sendiri. Tidak seperti pemikir utopis sebelumnya, Marx dan Engels mengalihkan pengertian utopia dari sekadar menguraikan mimpi tentang masyarakat yang sempurna menjadi menjelaskan kondisi yang memungkinkan perjuangan menuju utopia masyarakat yang lebih baik. Mereka melihat adanya kemungkinan untuk menjadi lebih baik jika perjuangan umat manusia disandingkan dengan situasi historis yang ada.
Oleh karena itu, desakan mereka terhadap perjuangan menunjukkan bahwa bentuk utopia bergantung pada dinamika perjuangan terhadap kondisi sejarah yang ada. Dalam hal ini, mereka menjadikan utopia sebagai sebuah kemungkinan historis yang terbuka dan bukan sebagai imajinasi yang statis.
Referensi
Karl, M. & Friedrich, E. edited by Tuckers, R. C. (1978). The Marx-Engels Reader, 2nd edition. New York. WW Norton and Company.
Muhammad Ridha, Staf Khusus Departemen Ideologisasi dan Kaderisasi Partai Buruh