Degrowth Justru Melanggengkan Kapitalisme, Bukan Melampauinya

Print Friendly, PDF & Email

Foto: ckohtala/flickr


DEGROWTH atau ekonomi negatif yang sempat menjadi impian para elite neo-malthusian dan sekelompok aktivis lingkungan garis keras belakangan ini diterima secara antusias oleh orang-orang kiri, termasuk beberapa marxis. Fenomena ini semestinya menimbulkan tanda tanya karena marxisme umumnya dipahami sebagai filosofi politik “promethean” yang sepenuhnya bertujuan mengembangkan kekuatan produktif untuk menghasilkan kesejahteraan bersama secara luas. Bagaimana konvergensi yang tidak terduga ini bisa terjadi? 

Buku baru Saitō Kōhei, Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism, menawarkan sejumlah petunjuk berharga untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Edisi orisinal buku ini, yang terbit pertama kali tahun 2020, sukses besar di Jepang. Sekarang, edisi bahasa Inggris-nya sudah mulai memicu kontroversi.


Tujuan Kapitalisme Bukanlah Pertumbuhan

Premis dasar Saitō cukup sederhana: tendensi kapitalis terhadap “pertumbuhan” menghancurkan bumi dan oleh karenanya kita harus segera mengadopsi hal yang dia sebut “komunisme degrowth” agar selamat dari krisis iklim. Kesimpulan Saitō bahwa “degrowth tidak sesuai dengan kapitalisme, dan gagasan ini pada dasarnya anti-kapitalis” pasti beresonansi dengan generasi muda yang cenderung menyukai ide-ide sosialis dan dibanjiri dengan peringatan tentang potensi bencana iklim.

Namun kepura-puraan Saitō untuk menawarkan solusi di luar kebuntuan politik kita saat ini menyesatkan setidaknya dalam dua hal. Pertama, tujuan kapitalisme bukanlah “pertumbuhan” melainkan penciptaan nilai dan akumulasi kapital. Kapital membutuhkan ekspansi serta kontraksi untuk mewujudkan proses ini. Seperti yang ditunjukkan oleh stagnasi ekonomi, pengetatan anggaran negara dan krisis selama tiga dekade terakhir, degrowth sudah menjadi bagian integral dari paradigma ekonomi kita, bukan sarana untuk bergerak melampauinya.

Kedua, konseptualisasi Saitō tentang “komunisme” sepenuhnya menanggalkan pemahaman Marx tentang perjuangan kelas dan, yang lebih mencengangkan, menolak hampir semua peran kelas pekerja. Bagi Saitō, perjuangan yang utama terjadi antara kapitalisme dan planet, bukan antara buruh dan kapitalis. Dengan meninggalkan gagasan kelas pekerja revolusioner sebagai agen perubahan, Saitō akhirnya secara diam-diam mendukung sesuatu yang terdengar seperti apa yang sudah kita miliki saat ini: gerakan hijau yang dipimpin elite, yang dianut oleh, dan bukannya berselisih dengan, kelas kapitalis. 

Para pendukung Saitō dan degrowth menerima begitu saja bahwa tujuan kapitalisme adalah pertumbuhan. Namun, di kalangan ekonom arus utama, gagasan bahwa “pertumbuhan konstan bukan hanya mungkin, tetapi juga diinginkan” baru ada sejak tahun 1950-an. Matthias Schmelzer, seorang penganjur degrowth terkemuka, memperjelas hal ini dalam bukunya yang terbit tahun 2016, The Hegemony of Growth. Schmelzer berkata, para ekonom sejak lama telah memahami bahwa kapitalisme melewati periode siklus boom and bust, ekspansi dan kontraksi, pertumbuhan dan penurunan. Dan barangkali yang lebih penting, meskipun berbasa-basi soal ideologi pertumbuhan, sebagian besar kelas penguasa saat ini secara diam-diam menerima bahwa pertumbuhan dan pengetatan anggaran menentukan realitas ekonomi selama 30 hingga 40 tahun terakhir.

Marxisme menawarkan cara untuk memahami kontradiksi yang terlihat jelas ini. Penganut ideologi ini umumnya berpendapat bahwa tujuan kapitalisme bukanlah pertumbuhan, tapi penciptaan nilai dan akumulasi modal. Konsep-konsep ini kerap membingungkan, tetapi tidak sama. “Pertumbuhan” adalah peningkatan kronologis dalam bentuk agregat hasil produksi dan nilai pasarnya. Sebaliknya, “penciptaan nilai” adalah peningkatan nilai lebih yang diperoleh dari proses produksi. “Penciptaan nilai” dihitung sebagai tingkat nilai lebih atau bagian dari nilai total yang diciptakan oleh para pekerja dikurangi jumlah yang mereka simpan sebagai upah. Ini bervariasi secara proporsional dan faktor, termasuk jumlah hari kerja, rerata produktivitas, militansi tenaga kerja dan sebagainya.

Implikasi dari semua ini adalah bahwa “pertumbuhan” bisa tetap rendah ketika tingkat nilai lebih tinggi. Dan seperti realitas yang terjadi, inilah situasi negara dengan ekonomi maju pada beberapa dekade terakhir: mereka mengalami “stagnasi sekuler” sekaligus keuntungan tinggi dan peningkatan kekayaan di kalangan pemilik modal.

Konsep marxis lain adalah akumulasi modal, yang juga sering dirancukan dengan pertumbuhan. Akumulasi modal memang merupakan hasil dari peningkatan nilai surplus yang terus-menerus. Namun, ketika peningkatan itu terjadi, akumulasi modal secara paradoks juga membutuhkan pengurangan nilai surplus dari waktu ke waktu. Bagaimana logikanya? 

Seperti yang ditunjukkan oleh Marx dan sejumlah pemikir lainnya, termasuk Rosa Luxemburg, tendensi mengejar nilai menuntun kapitalisme untuk menciptakan lebih banyak surplus daripada yang dapat dikonsumsi. Konsekuensinya, ketika akumulasi kapital melebihi tingkat permintaan, kapital terancam dengan devaluasinya sendiri. Pada tingkat tertentu, logika ini terlihat jelas dari sudut pandang ekonomi. Jika sesuatu diproduksi terlalu banyak, nilainya akan menurun.


Degrowth untuk Mengatasi Akumulasi Berlebih

Kapital mengatasi kelebihan akumulasi melalui metode penghancuran diri (self-destruction). Secara kontradiktif, kapital harus mengecilkan ukurannya sehingga akumulasi dapat berlanjut dan nilainya dapat dipertahankan. Ini terjadi melalui berbagai cara, termasuk konsumsi barang mewah, perang, militerisme, penghematan, dan—Anda dapat menebaknya—degrowth. Dengan kata lain, degrowth adalah metode kapitalisme untuk mengatasi akumulasi berlebih. Ini adalah siasat mengurangi mode produksi kapitalis, bukan meniadakannya.

Pada dekade 1930-an, ekonom Jepang Kawakami Hajime menyusun analogi sederhana untuk mengilustrasikan perihal ini. Kapitalisme, kata dia, seperti balon. Setelah sekian banyak udara ditiupkan, pada akhirnya balon mencapai batasnya. Balon akan penuh dan tidak ada lagi udara yang dapat dimasukkan. Ini sama seperti akumulasi modal. Pada kondisi ini, satu dari dua hal harus terjadi, antara balon meletus—menandakan akhir dari hubungan sosial kapitalis—atau udara harus secara sengaja dikeluarkan. Kapital harus dihancurkan agar akumulasinya dapat terus berlanjut.

Para pembaca Marx pasti sudah mengetahui hal ini dari Grundrisse. Dia menyatakan bahwa penghancuran “sebagian besar kapital secara paksa dapat membawa kapital kembali ke titik yang memungkinkannya (melanjutkan) sepenuhnya menggunakan kekuatan produktif tanpa bunuh diri.” 

Klaim Saitō–yang merupakan inti dari Marx in the Anthropocene–bahwa degrowth bersifat antagonistik terhadap kapitalisme bergantung pada penyatuan gagasan Marx tentang “kekuatan produktif” dengan “pertumbuhan”. Karena Saitō secara sempit menyamakan “kekuatan produktif” dengan teknologi, mesin dan hasil produktif yang meningkat, dia berasumsi bahwa mengembangkan lebih lanjut hal-hal ini tidak akan mengarah pada emansipasi manusia, dan justru sebaliknya, pada penaklukan kita di tangan kapitalis bersenjata teknologi.

Saitō juga menegaskan perbedaan baru antara Marx “muda” dan Marx “tua”. Saitō secara khusus membuat kategorisasi terhadap berbagai tulisan Marx hingga dekade 1860-an. Marx muda, menurut Saitō, memang seorang “promethean” dan “orang yang percaya pada gagasan mengejar produktivitas.” Secara naif, kata Saitō, Marx periode ini yakin bahwa kemajuan teknologi akan membantu mengantarkan kapitalisme ke liang lahat. Namun, dalam catatannya, Marx akhirnya tidak lagi meyakini asumsi itu. Saitō mengandalkan surat dan buku catatan yang belum pernah dirilis sebelumnya untuk mendukung klaimnya bahwa pada tahun-tahun terakhirnya, Marx mendukung “ekososialisme” dan “komunisme degrowth”.

Lebih lanjut, Saitō membuat klaim bahwa Marx kemudian berpaling dari model pembangunan kapitalis Barat dan beralih pada “masyarakat non-Barat dan non-kapitalis” yang “bentuk interaksi manusia dengan lingkungannya lebih berkelanjutan.” Dalam prosesnya, menurut Saitō, Marx menanggalkan gagasan bahwa masyarakat mesti melalui cara produksi kapitalis untuk mencapai sosialisme. Sebaliknya, klaim Saitō, Marx mengakui potensi peralihan langsung dari pra-kapitalisme ke sosialisme “tanpa melewati proses destruktif modernisasi kapitalis” (hlm 195). Saitō menyimpulkan, transformasi inilah yang membuat Marx menjadi “komunis yang berkembang pesat.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Penegasan Saitō itu luar biasa karena ide-ide yang dia klaim ditinggalkan oleh Marx, pada umumnya, merupakan basis fundamental teori materialisme historis yang dipelopori oleh filsuf komunis pada abad ke-19 tersebut. Menurut kawan sekaligus kolaborator Marx, Friedrich Engels, perlunya pengembangan kekuatan produktif, bersama dengan teori nilai lebih, adalah penemuan paling akbar Marx. Pandangan Engels ini juga bukan halangan bagi Saitō, yang begitu yakin bahwa materialisme historis harus ditinggalkan. Meski begitu, usaha Saitō untuk meyakinkan para pembacanya bergantung pada penjelasan yang keliru tentang gagasan “kekuatan produktif”.

Teori materialisme historis Marx menjelaskan bagaimana “kekuatan produktif” pasti bertentangan dengan “relasi sosial” yang berlaku, yang mengarah ke konflik dan perjuangan kelas, dan akhirnya menjungkalkan tatanan sosial lama lalu memunculkan tatanan baru. Namun, yang dimaksud dengan “kekuatan produktif” bukan cuma perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, tapi juga pekerja dan perkembangan kelas pekerja itu sendiri.

Inilah adalah alasan mengapa materialisme historis merupakan teori perjuangan kelas. Ketika cara produksi dan relasi sosial kapitalis—yaitu, kerja upahan—menyebar ke seluruh dunia, mereka menciptakan dan memperbesar kelas pekerja, memungkinkan eksploitasi dan pemiskinannya. Kontradiksi mendasar dari kapitalisme inilah yang mau tidak mau membuat kelas pekerja berkonflik dengan pembeli tenaga kerja dan mereka yang memonopoli modal (kelas kapitalis). Hanya melalui perjuangan yang berkelanjutan dan intensif antara pekerja dan kapitalis-lah transisi ke masyarakat pasca-kapitalis dapat dicapai. Inilah mengapa perkembangan “kekuatan produktif” pada akhirnya membunyikan lonceng kematian bagi kapitalisme. 

Sekali lagi, ini tidak hanya menyiratkan teknologi yang lebih maju, melainkan peningkatan kekuatan dan kesadaran kelas pekerja. Inilah dasar Marx dan Engels menulis dalam Manifesto Komunis bahwa kapitalisme melahirkan “penggali kuburnya sendiri.”

Mempertimbangkan peran utama yang ditugaskan Marx kepada kelas pekerja dalam gerakan di luar kapitalisme, patut dicatat bahwa kelas ini sama sekali tidak ada dalam teori pertumbuhan komunisme yang disajikan Saitō—yang malah menempatkan perjuangan “sejati” sebagai konflik antara kapitalisme dan planet yang kita huni. 

Lantas, siapa yang akan memimpin gerakan degrowth? Dalam catatan tambahan untuk bukunya edisi bahasa Jepang, Saitō menyatakan bahwa “komunisme degrowth” bisa terwujud cukup dengan 3,5 persen populasi dunia yang bertindak di bawah koordinasi. Saitō juga menjelaskan bahwa gerakan ini tidak terbatas pada kelas pekerja. (Barangkali ada kalangan yang  menambahkan bahwa pandangan Saitō terdengar begitu serupa dengan minoritarianisme, tertib sosial yang dikendalikan elite dan tengah berlaku, dan bukan pemutusan apa pun dari struktur ini.)


Membantu Mengabadikan Kapitalisme

Konsekuensi pengabaian materialisme historis adalah penyingkiran total perspektif berbasis kelas terhadap perubahan bersejarah, serta peran revolusioner yang diberikan Marx kepada kelas pekerja dalam proses itu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kelas pekerja bisa mendapat manfaat dari sebuah gerakan di mana mereka mungkin tidak terlibat sama sekali. 

Namun ada pertanyaan lain yang lebih mendesak untuk dijawab. Jika degrowth, dalam konsepsi Saitō, berarti pengurangan kekuatan produktif, dan jika kekuatan ini terdiri dari para pekerja dan tenaga mereka, bukankah ini akan membuat eksistensi banyak pekerja akan berakhir sia-sia? 

Yang pasti, dalam catatan klasik marxis, masyarakat komunis masa depan yang memproduksi untuk memenuhi kebutuhan bukan mengejar keuntungan akan menawarkan pekerja banyak waktu luang. Namun skenario pembebasan ini mengandaikan kemenangan mereka dalam perjuangan kelas. Dalam hal ini Saitō tampak mengusulkan urutan terbalik dengan memperdebatkan degrowth terlebih dahulu. 

Bagaimanapun, seperti yang telah kita lihat, degrowth tidak menghentikan kapitalisme tapi justru membantu melanggengkannya. Dalam pengertian ini, Marx in the Anthropocene menawarkan alibi baru untuk mempertahankan status quo kapitalisme, bukan sarana untuk melampauinya.


Artikel yang ditulis profesor ekonomi di Osaka Metropolitan University Justin Aukema ini pertama kali terbit di Compact pada Maret 2023 dengan judul Why Capitalism Loves Degrowth. Diterjemahkan oleh Abraham Utama. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.