Ilustrasi: illustruth
20 TAHUN lebih sejak berlakunya otonomi khusus (otsus), Papua masih berjibaku dengan setumpuk persoalan klasik. Salah satunya, dan yang paling genting, adalah masalah pendidikan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pada 2021 lalu indeks pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi yang terendah di Indonesia. Sebuah studi menyimpulkan “negara absen dalam pendidikan dan pengembangan SDM Papua.” Alokasi dana otsus untuk pendidikan di Papua sebenarnya cukup fantastis, sebesar tiga puluh persen. Meski demikian, anggaran yang terserap untuk pendidikan tak sampai lima persen.
Sebagai anak Papua “kelas bawah”, saya kerap membatin bertanya: Ke mana duit tersebut ludes begitu saja sehingga mengorbankan bagian penting dalam upaya mempersiapkan generasi yang terampil dan mumpuni? Apakah kebijakannya selama ini kurang tepat? Pejabat daerah yang korup? Bagaimana mekanisme penyaluran dan pengawasan otsus selama ini?
Pertanyaan-pertanyaan fundamental yang bisa membuka “jalan baru” bagi Papua ini justru tak dipakai pemerintah untuk mengevaluasi otsus. Jakarta (baca: pemerintah pusat) malah menjawabnya dengan memperpanjang otsus pada 2021 lalu sampai 20 tahun berikutnya serta membuat daerah otonomi baru (DOB) yang membuat Papua kini terdiri dari enam provinsi. Tiga provinsi baru diresmikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian November lalu.
Ujung DOB
DOB tidak bisa dilihat sekadar perkara mengatur ulang rentang kendali atas suatu wilayah. Lebih dari itu, wacana DOB ini adalah momentum untuk merefleksikan ulang pelaksanaan otsus dan mendengar suara orang Papua itu sendiri–yang tidak terjadi saat ini. Mengutip antropolog asal Bali I Ngurah Suryawan dalam Hidup Papua Suatu Misteri (2022), selama ini perumusan DOB sangat sentralistik alias tidak bottom up.
Jika pusat menyatakan “demi peningkatan kesejahteraan rakyat,” warga Papua sendiri melihat DOB hanya akan berujung pada marginalisasi, eksploitasi dan depopulasi orang asli Papua. Bagi orang Papua, DOB tak ubahnya siasat Jakarta untuk memecah belah serta mengkotak-kotakan orang lokal secara sosial, budaya dan politik. Potret akulturasi budaya yang akut serta monopoli modal pascatransmigrasi adalah fakta paling mengerikan. Sebab itu tak sedikit yang pesimistis dengan wacana DOB bahkan secara serius menolaknya sejak awal.
Saya sendiri meragukan narasi Jakarta yang menyatakan hendak menegakkan kesejahteraan misalnya bagi orang Marind di Merauke atau orang Muyu di Boven Digoel. Faktanya suku Marori dan Kanum di Merauke, wilayah yang baru saja dimekarkan menjadi Provinsi Papua Selatan, kini harus berjuang mempertahankan adat dan tanahnya dari impitan kapitalisme global dan akulturasi budaya yang berlangsung sejak transmigrasi besar-besaran 1960-an. Kondisi ini telah berdampak langsung terhadap perubahan struktur sosial-adat serta corak produksi orang Marind yang sebelumnya berjangkar pada pengetahuan lokalitas.
Banyaknya pendatang mengubah pola makan masyarakat dan akhirnya terwujud gastro-colonialism. Sementara modal yang masuk mengubah masyarakat menjadi buruh upahan, tepatnya petugas sensor kayu (penebang pohon) untuk pembangunan perumahan dan perkantoran di Merauke. Perubahan ini dengan sendirinya menciptakan “elite kampung” yang menjadi perantara alias broker dengan pemilik modal untuk eksploitasi hutan kayu di wilayah adat mereka sendiri (Suryawan, 2022). Alhasil, praktik-praktik tersebut telah menarik mereka ke dalam siklus ekonomi kapitalistik yang tak ada ujungnya.
Kondisi tersebut pada akhirnya telah menjebak manusia Marind ke dalam problem baru: proses finansialisasi budaya serta gaya hidup yang telah mengubah total struktur sosial mereka. Dengan kata lain, budaya baru ini telah menundukkan mentalitas mereka sebagai malind anim (‘manusia sejati’) yang kini bergantung pada uang. Segalanya harus menggunakan uang; hidup tanpa uang adalah kemustahilan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Ambisi Elite
Konflik di Papua dari tahun ke tahun kerap mengalami pasang surut karena tidak adanya kehendak politik yang kuat dari negara untuk menyelesaikan akar masalah. Pendekatan yang selalu dikedepankan oleh pemerintah tak menyentuh akar masalah sama sekali. Kondisi ini kemudian meninggalkan ruang kosong yang dimanfaatkan oleh elite Papua (brokerage) untuk membicarakan kepentingan sendiri-sendiri ketimbang kepentingan orang Papua.
Mengutip Suryawan, mereka mencoba mengais keuntungan dan menjadi jembatan dalam proyek-proyek yang ditawarkan Jakarta. Tidak terkecuali soal DOB.
Usulan DOB Papua sesungguhnya tidak inklusif dan partisipatif karena bias kepentingan elite. Hal ini terlihat dalam asal usul perkembangannya. Pemekaran 5 provinsi di Papua dan Papua Barat adalah salah satu tuntutan yang disuarakan oleh 61 “tokoh Papua” yang bertemu dengan Presiden Jokowi pada 2019 lalu. Orang-orang yang disebut “tokoh Papua” ini tidak dikenal dan ternyata merupakan bentukan Badan Intelijen Negara (BIN).
Bahkan sebelum adanya pemekaran saja banyak elite Papua sudah bermasalah. Belakangan ini sejumlah pejabat daerah di Papua diduga melakukan korupsi, mulai dari Bupati Mamberamo Tengah, Gubernur Papua hingga yang terbaru Penjabat Bupati Kabupaten Mimika. Meminjam adagium termasyur John Emerich E. Dalberg Acton, “Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti melakukan tindakan korupsi.” Demikian korupsi menjadi penyakit akut yang sulit disembuhkan bangsa ini, bangsa yang katanya berketuhanan dan berbudaya. Dan wabah itu ternyata juga telah merangsek hingga pelosok hutan-hutan Papua nun jauh di sana.
Bukan hanya itu, menjelang penetapan DOB, orang Papua dikagetkan pula dengan isu saling sikut jabatan di lingkup provinsi. Pada 1 Maret 2021, Mendagri Tito Karnavian melantik Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Papua di Jakarta. Sementara di waktu bersamaan, Wakil Gubernur Papua juga melantik Doren Wakerkwa untuk posisi yang sama. Bagi orang Papua, polemik itu mengindikasikan politik bagi kuasa dan upaya kontrol Jakarta secara terstruktur dan sistematis.
Seperti riak ikan di kolam, usai ditetapkan menjadi enam provinsi, muncul nama-nama “tokoh Papua” yang bakal diusul menjadi gubernur dan wakil gubernur. Sebagiannya lagi mulai menyasar jabatan-jabatan struktural seperti sekretaris daerah atas nama suku dan wilayah otonomi baru tersebut.
DOB akhirnya dijadikan alasan oleh elite Papua sebagai bentuk afirmasi dari wacana pemerintah untuk mempermudah rentang kendali. Para elite seolah terbius dan amnesia bahwa DOB juga mempunyai implikasi lain seperti reorganisasi ruang untuk kepentingan investasi skala besar yang masif dan ekstensif. Termasuk juga arus migrasi yang besar. Para brokerage (elite, tokoh agama dan intelektual) hanya ikut menormalisasikan “pendekatan Jakarta” atas nama DOB, padahal semestinya punya beban moral dan ikut bertanggung jawab atas problem Papua hari ini.
Ferdinando Septy Yokit, sedang belajar di Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta