Bisa Apa Soeharto Kalau Enggak Masuk KNIL?

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: jonpey


SOEHARTO ingin disebut anak tani dari desa. Tapi majalah Pop menebar gosip bahwa dia sebenarnya adalah anak priayi bernama Raden Rio Padmodipuro alias RL Prawirowiyono.[1] Barangkali karena itu Soeharto akhirnya mau berbagi cerita tentang dirinya.

Dulu, di era 1970-an, seorang Jerman bekas SS Nazi pernah membuat The Smiling General: President Soeharto of Indonesia. Buku OG Roeder itu lalu dialihbahasakan menjadi Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Belasan tahun setelahnya, ayah dari penggebuk drum Gilang Ramadhan, Ramadhan KH, menyusun buku bertema sama berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Soeharto tentu saja bercerita tentang masa kecilnya yang pilu. Suatu hari, di zaman pakaian tidak semurah sekarang, kakeknya dari ibu Mbah Notosudiro menyuruh Soeharto memakai sebuah baju. Soeharto senang. Namun rupanya baju itu bukan untuknya, melainkan untuk Mas Darsono, sepupunya. Kesedihan lainnya: Soeharto bocah sering diolok-olok kawan-kawan sepermainannya dengan ejekan “den bagus tahi mabul” yang artinya kira-kira ‘raden bagus tahi kering’. Soeharto kecil diolok sebagai keturunan bangsawan Jawa yang dekat dengan keraton.[2]

Soeharto, untuk ukuran kebanyakan orang Indonesia, berasal dari keluarga yang tidak bahagia. “Hubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai,” aku Soeharto. Tapi Soeharto tidak sial-sial amat. Paman dan bibi di Wuryantoro, Wonogiri, sangat peduli padanya. Bahkan anak paman dan bibinya, Sudwikatmono, yang kemudian tajir melintir di zaman Orde Baru, sempat merasa Soeharto adalah kakak kandungnya.

Soeharto sering dipersamakan seperti Ken Arok meski di masa muda bukan begundal. Penyebabnya, keduanya sama-sama dianggap penguasa yang berasal dari kalangan bawah. Bedanya tentu ada. Ken Arok yang bekas maling itu kerap diakui sebagai leluhur para raja Jawa. Meski Soeharto jelas tidak seperti itu, ia tetap guru yang dimuliakan para jenderal di Indonesia, bahkan di Myanmar yang masih merasakan “Orde Baru” sampai hari ini.


Teekensoldij KNIL

Salah satu ormas yang layak diberikan ucapan terima kasih oleh Soeharto adalah Muhammadiyah sebab salah satu sekolah mereka, Schakel School (sekolah sambungan), menerimanya sebagai murid meski berlatar abangan. Soeharto berhasil lulus dan punya ijazah setara SD 7 tahun macam Hollandsch Inlandsche School (HIS).

Setelahnya Soeharto bekerja di Volksbank (Bank Desa) meski sebentar. Dia melakoninya meski tak suka. Soeharto mengaku mau pekerjaan “apa saja, asal halal.” Walhasil, dia juga pernah kerja serabutan.

Suatu hari kawannya pernah mengabari lowongan juru masak di Koninklijke Marine (Angkatan Laut Belanda), tapi Soeharto menjadikannya “cadangan yang paling akhir.” Apa yang dicoba Soeharto saat itu adalah melamar ke Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), tentara kolonial yang mengamankan Hindia Belanda untuk Kerajaan Belanda.

Pada masa itu, menjadi tentara hanya jalan keluar bagi orang miskin dan terhina. Di Sulawesi Selatan, ada istilah tongguruk sorodadu, yang artinya seseorang akan jatuh derajatnya jika menjadi serdadu.[3] Sebagian keluarga di Jawa juga menganggap buruk profesi ini meski lebih dari 10 ribu KNIL berasal dari suku Jawa. Bagi orang yang merasa terhina apalagi miskin, jadi serdadu atau teekensoodij adalah jalan untuk bertahan hidup. Dia akan dapat upah rutin dan tidak ada yang berani menghina karena bisa menakut-nakuti orang kampung dengan kelewang.

Soal dunia priayi, buat apa Soeharto memikirkannya? Priayi tidak membuatnya keluar dari kesengsaraan dan kehinaan olokan den bagus tahi mabul.

“Terasa agak lama sampai saya mendapat panggilan atas lamaran saya itu. Saya ikut ujian dan ternyata lulus dan diterima,” aku Soeharto.[4] Maka jadilah Soeharto anggota kompeni.

Soeharto dilatih di Gombong Jawa Tengah selama enam bulan. Ia mulai masuk KNIL sejak 1 Juni 1940 atau setelah Belanda diserang Jerman. Sejak 2 Desember 1940, Soeharto masuk sekolah kader yang membuatnya bisa jadi kopral. Soeharto ditempatkan di Batalion Infanteri KNIL ke-VIII di Rampal, Malang.[5] Soeharto juga pernah ditempatkan di pertahanan pantai Gresik dalam rangka praktik. Seingat Soeharto, kawan-kawannya di sana antara lain Amat Sudono, Kosasih, Yayi Suwondo dan Suwoto.

Soeharto menikmati hidup barunya itu. Menjadi tentara memberinya pengalaman berbeda dari pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.

Pada bulan-bulan pertama Soeharto dilatih di Gombong, hadir Gustav Adolf Kamagi dari Tondano. Mereka seumuran. Kamagi mengaku dilatih dari 17 Juli 1940 hingga 8 Januari 1941. Kamagi pernah ditempatkan di batalion yang sama dengan Soeharto di Malang, tepatnya sejak 8 Januari hingga 16 Desember 1941. Dia kemudian dikirim bergerilya ke Timor lalu Australia.[6] Kamagi belakangan memimpin pemberontakan tentara KNIL Indonesia melawan otoritas Belanda di Australia.

Kopral Soeharto kembali ke sekolah kader Gombong untuk dilatih menjadi sersan. Pangkat itu sudah merupakan prestasi yang sangat bagus bagi kebanyakan serdadu Jawa. Waktu itu jumlah orang Jawa yang menjadi perwira pun tidak banyak. Soeharto mengaku “menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup” sebagai tentara.[7]

Tentara mendapat gaji 60 gulden sebulan dan dapat jatah rumah.[8] Cukup besar bagi orang kampung macam Soeharto. Jadi, angkatan bersenjata kolonial KNIL yang kerjanya menindas orang kampung bersenjata golok yang melawan pemerintah kolonial itu punya jasa kepada pemuda terhina macam Soeharto.

Tapi masa bahagia Soeharto di KNIL hanya berlangsung hingga Maret 1942, ketika Belanda ternyata kecut dan menyerahkan kekuasaan kepada Jepang. Kala itu Soeharto berada di sekitar Cisarua. Dia lalu kembali ke Yogyakarta dan Wuryantoro, jadi pengangguran lagi.


Jepang Datang, Soeharto Gemilang

Soeharto memulai hidupnya dari nol lagi karena KNIL bubar. Mula-mula ia melamar menjadi polisi (keibuho) di Yogyakarta. Lagi-lagi Soeharto menonjol. Dia lulus dengan predikat peringkat pertama dan dilatih sekitar empat bulan. Setelah itu dia diangkat sebagai asisten kepala polisi di Yogyakarta.[9] Di kota itu terdapat seorang polisi bumiputra bernama Raden Panji Soedarsono yang pangkatnya sudah senior waktu Jepang datang. Soedarsono pun menjadi atasan Soeharto. Pada 23 April 1943, waktu hari ulang tahun Kaisar Hirohito, Soeharto masih polisi dan ikut bertugas menjaga keamanan.[10]

Setelah beberapa bulan Soeharto menjadi polisi, Jepang membuka lowongan calon perwira untuk tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Soeharto mendaftar untuk calon perwira shodancho (komandan peleton). Pilihannya masuk Peta bukan atas dasar ideologis, melainkan oportunis.[11] Menjadi perwira Peta tentu lebih menarik ketimbang menjadi polisi rendahan. Toh sebelumnya Soeharto muda juga cukup mentereng sebagai sersan KNIL.

Soeharto mengaku: dari sekian banyak pelamar dari Yogyakarta, dia satu-satunya dari polisi yang lulus ujian. Menurutnya dia lancar mengikuti ujian berkat pengalaman pendidikan militer di KNIL.[12] Setelah itu Soeharto dikirim ke Bogor untuk dilatih di Boei Gyugun Rensentai bersama para calon shodancho dari seluruh Jawa. Shodanco setara dengan letnan. Karena itu pelatihan calon komandan peleton jauh lebih berat daripada pelatihan calon komandan kompi dan komandan batalion yang cuma dalam hitungan hari. Supio dan Pranoto Wiyono adalah kawannya semasa pendidikan di sana.

Lulus pelatihan di Bogor, Soeharto ditempatkan di batalion Wates. Dia dan perwira lain seperti Pranoto Reksosamudro ikut membentuk dan melatih batalion PETA tersebut. Soeharto kemudian diikutkan dalam pelatihan calon chudancho (komandan kompi, umumnya terdiri dari tiga atau empat peleton) bersama Pranoto. Pangkat chudancho setara dengan kapten (di atas letnan).

Pada 1942, Soeharto yang masih 24 tahun sudah menjadi kapten di Peta. Pencapaian yang tak terpikirkan olehnya ketika masih remaja di zaman Hindia Belanda. Waktu zaman Hindia Belanda, menjadi sersan di KNIL sudah cukup luar biasa bagi orang desa macam dirinya. Menjadi kapten tentu pencapaian yang lebih membanggakan baginya dan itu sudah cukup membuat orang-orang di Desa Kemusuk, desa kelahiran tempatnya agak kurang dihargai ketika bocah, untuk hormat padanya.

Kalahnya Jepang dalam Perang Pasifik membuat Soeharto jadi pengangguran lagi meskipun sebentar. Dalam hal ini dia harus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada revolusi kemerdekaan Indonesia. Revolusi memungkinkannya menjadi seseorang yang tidak pernah dia bisa bayangkan ketika masih tinggal di Kemusuk atau Wuryantoro. Pemuda lulusan SD dengan pengalaman sebagai sersan KNIL dan kapten di Peta itu menjadi komandan militer yang dihormati tak hanya oleh rakyat jelata. Di zaman revolusi kepriayian mulai turun harganya.


Memuncak di TNI

Soeharto ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebelum masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di sini Soeharto awalnya dapat pangkat mayor dengan jabatan komandan Batalion X di Yogyakarta. Hanya segelintir orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor di KNIL. Militer Jepang membuatnya lebih banyak dan Revolusi 1945 membuatnya jauh lebih banyak lagi. Pangkat mayor lalu letnan kolonel tentu membuat Soeharto makin terpandang, baik di militer maupun di masyarakat. Tak ada lagi ejekan den bagus tahi mabul untuknya.

Selain karena memilih militer jauh sebelum 1945, revolusi tak disangkal juga ikut mengangkat derajat daripada Soeharto. Revolusi mampu membuat pemuda dari kampung macam dirinya berharga. Benar kata Parakitri Simbolon, “Revolusi meruntuhkan sistem nilai lama dan menyusun sistem nilai baru.” Parakitri menggambarkan nasib Kusni Kasdut dan mayor bernama Abdullah bekas penarik becak yang di masa revolusi jadi berharga. [13] Bahkan di zaman ini perempuan indo atau priayi rela dinikahi oleh pria-pria yang bukan indo atau bukan priayi.

Pada masa-masa inilah Soeharto berhasil menikahi Raden Ajeng Siti Hartinah yang keturunan keraton pada 26 Desember 1947. Ini adalah sesuatu yang tak dinyana olehnya ketika remaja. Ketika menikah itu Soeharto bukan lagi orang sembarangan. Ia perwira dengan banyak pasukan.

Sebelum 1942, peluang Soeharto diterima keluarga Tien sangat tipis kecuali dia berpangkat letnan. Sebelum 1942, peluang Soeharto jadi letnan di KNIL bukan hanya tipis tapi tidak ada karena tak punya ijazah SMA macam Abdul Haris Nasution. Setelah 1945, Soeharto adalah Letnan Kolonel Komandan Resimen III di Yogyakarta. Soeharto tentu diingat dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, terlepas apakah dia otaknya atau sekedar komandan operasi. Soeharto punya jasa sendiri dalam peristiwa itu, seperti juga tokoh lain yang semasa Orde Baru kurang disebut-sebut.

Pada 1950 atau saat revolusi kemerdekaan berlalu, tatanan sosial perlahan kembali seperti semula, hanya saja dengan susunan yang berbeda. Mungkin raden tidak seprestius golongan priayi baru yang tidak jelas darahnya. Soeharto adalah salah satu dari priayi baru itu. Perpindahan kelas katanya memang terbuka tapi sebenarnya tidaklah mudah bagi banyak orang.

Setelah 1950, Soeharto meneruskan apa yang telah dipilihnya pada satu dekade sebelumnya, yaitu terus menjadi tentara. Masa-masa di KNIL telah menyadarkannya bahwa profesi tentara cocok untuknya dan revolusi membuat dirinya melesat menjadi seorang perwira. Setelah pertengahan era 1950-an, dirinya adalah Panglima Komando Tentara dan Teritorium Diponegoro Jawa Tengah.

Setelah 1960 atau 20 tahun setelah diterima di KNIL, Soeharto sudah jadi brigadir jenderal di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Di tahun 1965, Soeharto bahkan menjadi panglima pasukan penting, Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), dengan pangkat mayor jenderal. Jadi jenderal adalah sesuatu yang tak dinyana. Ketika dia kecil, tak satu pun orang Indonesia punya pangkat itu kecuali raja-raja Jawa yang dapat pangkat jenderal tituler dari Raja Belanda.

Ketika G30S pecah, Soeharto masih Panglima Kostrad. Setelah Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani terbunuh bersama beberapa pembantunya, Soeharto mau tak mau dipercaya sebagai Menpangad dan akhirnya Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Tak ada orang sekuat Soeharto di kalangan tentara setelah 1965. Bahkan Presiden Sukarno pun lebih banyak berharap kepada Soeharto. Meski jauh dari kesan intelek, Mayor Jenderal Soeharto adalah orang terkuat yang menguasai banyak pasukan serta didukung jenderal Angkatan Darat lain. Perlahan tapi pasti, sebagai tentara terkuat, Soeharto menggantikan Sukarno sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Begitulah yang dilalui Soeharto lama setelah dia memutuskan masuk KNIL. Tak ada yang bisa sepertinya, baik dulu atau sekarang: cuma lulus SD tapi bisa jadi jenderal lalu presiden.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Zaman sebenarnya tidak sepenuhnya berubah. Apa yang kini terjadi adalah pengulangan zaman sebelumnya dengan kondisi yang agak berbeda saja. Bahkan jenis-jenis priayi baru mulai bermunculan saat revolusi kemerdekaan berlalu. Setelah Reformasi, mahalnya biaya pendidikan tentu melestarikan kemiskinan keluarga-keluarga yang perekonomiannya lemah dan menjaga derajat hidup keluarga-keluarga berada.

Semua tahu saat ini jalan keluar dari kemiskinan makin sulit ditemukan, bahkan tidak lebih baik daripada di zaman Hindia Belanda. Dulu, sebelum 1927, pemuda miskin tapi sedikit bernyali punya dua jalan keluar dari kemiskinan. Pertama, jadi anggota KNIL karena menjamin tidak akan kelaparan. Kedua, ikut Partai Komunis Indonesia (PKI) sebab partai ini memperjuangkan agar rakyat bisa melawan kemiskinan mereka. Kini dua solusi itu tak pernah ada lagi. PKI sudah lama tidak ada dan meski tetap membanggakan, jadi tentara sekarang justru perlu uang. Bahkan banyak orang tua rela bayar ratusan juta agar anaknya jadi tentara.

Soeharto, yang kerap diagungkan pada bulan Maret meski lahir di bulan Juni, tak bisa lagi ditiru perjalanan kariernya. Tak ada lulusan sekolah bintara yang jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Kata gosip-gosip di NKRI, KSAD adalah jatah lulusan Akademi Militer di Magelang. Itu terjadi dari zaman Edi Sudrajat sampai Dudung Abdurachman saat ini. Jadi mirip dengan zaman Hindia Belanda, legercommandant (panglima tentara) KNIL selalu lulusan Akademi Militer Breda.

Sulit menemukan lulusan sekolah bintara jadi jenderal setelah 1980-an, apalagi sekarang. Tidak adanya pemuda macam Sersan Soeharto yang bisa jadi jenderal adalah suatu pertanda bahwa kelas perwira di TNI semakin mapan. Artinya revolusi sudah lama berlalu untuk militer di Indonesia.


[1] Di Sekitar Silsilah Pop Itu, Tempo 9 November 1974.

[2] Soeharto dkk, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Jakarta, Citra Lamtoro Gung,1991, hlm. 10.

[3] Haji Daeng Mangemba, H.D. Mangemba, Takutlah Pada Orang Jujur: Mozaik Pemikiran, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002. hlm. 46-47.

[4]  Soeharto dkk, op. cit., hlm. 19.

[5] OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, Jakarta, Gunung Agung, 1976, hlm 375.

[6] Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 333: Kumpulan Daftar Riwayat Hidup sesuai daftar tahun 1946-1948.

[7] Soeharto dkk, op. cit., hlm. 20.

[8] Boediardjo, op. cit., hlm. 20.

[9] OG Roeder, op. cit., hlm. 174.

[10] David Jenkins, Soeharto and the Japanese Occupation dalam Jurnal Indonesia Oktober 2009, hlm. 26.

[11] Robert Edward Elson, Suharto: Sebuah biografi politik, Jakarta, Pustaka Minda Utama, 2005, hlm. 39.

[12] Soeharto dkk, op. cit., hlm. 23.

[13] Parakirti Simbolon, Roman Kehidupan Kusni Kasdut, majalah Tempo 8 Maret 1980.


Petrik M, pekerja media sejarah di Jakarta; menulis sejarah sejak kuliah di Yogyakarta.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.