PIDATO politik Megawati Soekarnoputri pada peringatan hari ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-50, yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri, menjadi peristiwa penting di awal tahun politik ini. Pidato itu menjadi penting karena orang menantikan di dalamnya ada deklarasi calon presiden dukungan PDIP pada pemilihan 2024 nanti.
Harapan yang sia-sia belaka. Yang terjadi adalah sebaliknya. Megawati mengarahkan pidato kepada Jokowi. Dia mengatakan bahwa nasib politik Jokowi akan “kasihan sekali” kalau tidak ada dukungan legal formal dari PDIP. Terlihat Jokowi tersenyum masam mendengar sentilan tersebut.
Pidato ini dengan segera menuai kontroversi. Banyak pengamat, dan terlebih para pendukung Jokowi, menganggap Megawati keterlaluan karena tidak menghormati lembaga kepresidenan. Beberapa intelektual merasa tidak nyaman dengan pidato yang kebanyakan memuji diri sendiri itu. Namun, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa melalui pidato itu Megawati sesungguhnya ingin menunjukkan who is the boss dalam PDIP.
Sikap itu tidak terlalu baru. Kita ingat di masa awal pemerintahan Jokowi, Megawati mengeluarkan pernyataan bahwa sang Presiden hanyalah “petugas partai.” Kontan pernyataan itu menimbulkan kegusaran di kalangan pendukung Jokowi. Para relawan mendorong Jokowi membentuk partai politik sendiri, lazimnya dilakukan orang-orang kuat di republik ini. Dengan demikian dia tidak tergantung pada belas kasihan PDIP. Jokowi menolak. Ia lebih suka mengandalkan dukungan partai-partai. Dia cukup percaya diri bisa bermanuver di kalangan partai-partai politik.
Jokowi juga tetap memelihara ikatan dengan para relawan. Sebagian dari pemimpin relawan diganjar sebagai komisaris perusahaan negara yang dulunya umum diberikan kepada jenderal-jenderal militer. Sebagian lainnya diangkat sebagai pejabat tinggi negara.
Jokowi memang tidak punya partai, tapi dia bisa memobilisasi massa.
Hubungan Megawati dengan Jokowi tidak selalu mulus. Jokowi adalah pendatang baru di partai banteng ini. Ia menjadi anggota PDIP pada 2004, menjelang mencalonkan diri sebagai wali kota Solo. Ia berbeda dengan Ganjar Pranowo yang meniti karier politik sejak mahasiswa sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi ini dianggap sebagai underbow Partai Nasional Indonesia (PNI), faksi terkuat yang membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
PDI sendiri adalah hasil fusi atau penggabungan paksa oleh pemerintahan militer Orde Baru (Orba). Yang dilebur ke dalam PDI adalah partai-partai nasionalis seperti PNI dan IPKI; partai-partai Kristen yaitu Parkindo dan Partai Katolik; dan partai sosialis kecil bernama Partai Murba. Sejak 1996, PDI pecah menjadi PDI faksi Soerjadi yang didukung oleh Orba dan PDI Mega yang menjadi oposisi Soeharto. Dari sejak itu hingga kini PDI tetap dipimpin oleh Megawati.
Megawati Soekarnoputri adalah politikus Indonesia yang paling diperhitungkan Jokowi, dan mungkin juga yang paling ia takuti. Selain karena pemimpin partai terbesar, juga karena negosiasi dengan Megawati harus lewat jalan berliku. Politik transaksional yang biasa dilakukan oleh Jokowi terhadap partai-partai lain tidak berlaku untuk Megawati.
Megawati terkenal sulit diajak bernegosiasi secara langsung. Akibatnya, hubungan keduanya lebih banyak lewat perantara-perantara. Karena itu juga, ketika keduanya bertemu, sering kali ada konfrontasi seperti saat pidato kemarin. Itu bukan pertama kali Megawati me-roasting Jokowi di depan warga PDIP. Itu dilakukan Megawati hanya untuk menunjukkan bahwa sang Presiden bukan apa-apa jika tidak ada dukungan dari partainya.
Namun, dalam banyak hal, perbedaan antara Jokowi dan Megawati tidaklah esensial. Megawati tidak terlalu peduli dengan ideologi. Kadang-kadang ia masih bicara tentang marhaenisme, sebuah ideologi yang diciptakan ayahnya, Presiden Sukarno. Tapi itu sebagai pemanis bibir.
Megawati juga bukan pemimpin populis. Ia memang sesekali berbicara tentang “kaum marhaen”, namun tidak pernah mempersoalkan kebijakan-kebijakan Jokowi yang merugikan marhaen atau wong cilik yang diklaim sebagai massa PDIP. Dia juga tidak pernah membicarakan ketimpangan-ketimpangan pembangunan serta tidak memiliki visi tentang bagaimana pengelolaan bumi, tanah, serta air Indonesia yang dieksploitasi habis-habisan oleh kaum modal.
Akhir-akhir ini Megawati sangat menaruh perhatian pada pada ideologi negara, Pancasila. Meski demikian, dia jarang sekali membicarakan bagaimana Pancasila menjadi operatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Seperti halnya pada masa Orba, Pancasila ditafsirkan semata-mata sebagai kompas moral yang, sialnya, arahnya tidak pernah jelas.
Megawati adalah Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP di bawah Megawati hanya meneruskan apa yang pernah dirumuskan oleh Orba. Bedanya, jika Orba memakai Pancasila sebagai alat untuk membersihkan ide-ide yang dianggap tidak sehaluan, BPIP tidak bergerak ke jurusan itu.
BPIP juga tidak memiliki ide yang jelas dan operasional tentang Pancasila. Misalnya, nilai-nilai Pancasila tidak pernah menjadi policy guidance untuk memerintah. Apakah sistem perpajakan sekarang itu sudah adil menurut Pancasila? Apakah operasi-operasi militer di Papua sudah sesuai dengan nilai keadaban dan persatuan bangsa dalam Pancasila? Banyak pertanyaan senada bisa diajukan.
Seperti pada zaman Orba, Pancasila yang “dibina” BPIP lebih ditujukan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku masyarakat dan bukan mengatur tingkah laku negara supaya berbuat maksimal untuk rakyatnya.
Berbeda dengan ayahnya, Megawati tidak tertarik untuk masuk ke dalam perdebatan-perdebatan mendalam seperti ini. Ia tidak tertarik pada kedalaman berpikir. Megawati memang tidak terlalu tertarik pada intelektualisme, menurut beberapa politikus PDIP yang mengenal ketuanya dari dekat yang pernah saya wawancarai.
Tetapi, seperti ayahnya, Megawati adalah pemimpin karismatik. Ia juga seorang organisator partai yang baik. Ia menjaga PDIP seperti induk ayam melindungi kuthuk atau anak-anaknya.
Satu karakteristik kepemimpinan Megawati adalah tekad (determination) yang sangat kuat dan nyaris keras kepala. Ini adalah sesuatu yang kontradiktif dengan dunia politik, di mana seorang politikus dituntut untuk fleksibel, pintar bernegosiasi dan mahir membaca situasi. Tapi determinasi dan kekerasan hati Megawati inilah yang justru menyelamatkan PDIP.
Pada zaman Soeharto, Megawati dikenal sebagai politikus yang sangat pendiam. Ini yang membuat pendukung-pendukung Soeharto meremehkannya. Ia dilihat hanya seorang ibu rumah tangga yang kebetulan anak Sukarno sehingga bisa memimpin partai. Dia bahkan ditertawakan karena masih sempat tidur siang.
Namun Megawati tidak sediam yang diperkirakan orang. Ia membangun partai dari puing-puing sesudah militer Orba menyerbu markas mereka di Jalan Diponegoro Jakarta dan menyerahkannya kepada Soerjadi, pengurus yang direstui Soeharto. Hari itu dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli). Para pendukung PDI bekerja keras membangun oposisi hingga ke tingkat basis. Inilah yang membuat PDIP sedikit banyak memiliki andil dalam kejatuhan Soeharto.
Pengorganisasian ini pula yang membuat PDIP menjadi partai yang paling siap setelah Soeharto lengser. PDIP meraih suara tertinggi pada Pemilu 1999, sebesar 33,74%.
Namun ketika itu PDIP melakukan blunder besar. Karena yakin memenangkan 1/3 kursi DPR, mereka memutuskan untuk berjalan sendirian (going alone) alias tidak mau berkoalisi dengan partai-partai lain. Akibatnya, partai-partai Islam membentuk koalisi Poros Tengah dan menaikkan K. H. Abdurrahman Wahid menjadi presiden (Megawati menjadi wakil presiden).
Pada 23 Juli 2001, Presiden Wahid dimakzulkan juga oleh Poros Tengah. Megawati menjadi presiden meneruskan masa jabatan Wahid hingga 2004.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Sikap going alone ini juga ditunjukkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mengalahkan Megawati dengan angka mutlak 60,62% vs 39,38% dalam Pemilihan Presiden 2004. SBY adalah mantan menteri dalam pemerintahan Megawati. Secara diam-diam, SBY membangun kekuatan elektoral yang nantinya menjadi Partai Demokrat.
Megawati kembali menantang SBY dalam Pilpres 2009. Lagi-lagi kalah. Megawati tetap enggan membuka pintu kerja sama dengan SBY. Bahkan hingga akhir masa pemerintahan SBY, sikap Megawati adalah tanpa kompromi.
Selama sepuluh tahun, PDIP menjadi oposisi dan Megawati memakai kesempatan itu untuk membenahi internal partai.
Pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP berada di urutan pertama dengan 18,95% suara sehingga meraih kursi terbanyak (109). Selain itu, PDIP juga menaikkan salah satu kadernya menjadi presiden. Penampilan elektoral PDIP semakin membaik pada 2019 dengan meraih 19,33% suara. Partai ini mendudukkan 128 anggota di DPR. Ia merupakan faksi terbesar, jumlahnya 22,26% dari seluruh kursi di Senayan. Perolehan ini menjadikan PDIP sebagai satu-satunya partai yang berhak mencalonkan sendiri kandidat presiden tanpa berkoalisi.
Kondisi ini melahirkan tanya: akankah PDIP melangkah sendiri untuk mencalonkan kandidat presiden? Selain mampu, juga karena salah satu kader mereka, Ganjar Pranowo, memiliki elektabilitas sebagai front-runner dalam pencalonan presiden. Sebelum memasuki JIExpo Kemayoran, Jakarta, ia bahkan dielu-elukan oleh sesama kader. Namun Megawati tutup mulut. Tak sedikit pun ia menyebut nama Ganjar.
Sudah rahasia umum bahwa Megawati mengajukan anaknya, Puan Maharani, yang saat ini menjabat Ketua DPR. Namun elektabilitas Puan sangat rendah. Berbagai polling menunjukkan mustahil menyandingkannya dengan kandidat lain yang elektabilitasnya tinggi seperti Ganjar, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto.
Apakah Megawati akan mengabaikan gravitasi bumi dengan berjalan sendirian dan mencalonkan Puan? Sulit untuk diketahui. Hingga saat ini Megawati menyimpan rapat preferensi politiknya.
Di dalam PDIP sendiri dukungan terhadap Ganjar terus menguat. Ini karena PDIP tidak memiliki calon lain yang memiliki elektabilitas tinggi. “Pasti Ganjar. Hanya deklarasinya kapan, itu yang kita tunggu,” kata seorang politikus PDIP kepada saya.
Jika langkah politik masa lalu bisa menjadi ukuran, agaknya Megawati memperlakukan Ganjar sekarang seperti ia memperlakukan Jokowi dulu. Ganjar dibiarkan menunggu. Mungkin juga ia sedang menguji loyalitas Ganjar. Megawati tidak ingin Ganjar menjadi mirip Jokowi yang tidak bisa ia kontrol sepenuhnya.
Megawati telah menunjukkan diri sebagai seorang matriarch dalam PDIP. Ada kelebihan dan kekurangannya. Megawati menjadi tidak tergantikan dan partai ini akan menghadapi masalah besar ke depan, yakni persoalan suksesi. Bila pun Puan naik, dia tidak akan gampang mengambil alih posisi Megawati sebagai matriarch.
Ironi lain adalah bahwa Megawati justru menjadi seperti Soeharto, pemimpin dominan yang tak tergantikan. Dalam hal ini, dia juga seperti ayahnya, Sukarno, yang juga menganggap dirinya tak tergantikan.
Masalah terbesar dalam organisasi, entah itu di tingkat negara, partai atau organisasi apa pun, adalah bila seorang pemimpin mengidentifikasikan dirinya sebagai organisasi itu sendiri. Jika itu terjadi, hampir pasti umur organisasi akan sekadar sepanjang umur pemimpinnya. Kalau tidak, perlu pertumpahan darah untuk melakukan suksesi kekuasaannya.***