Ilustrasi: Illustruth
SUATU hari di bulan Juli 2021, saya berkunjung ke desa Gemaf, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Provinsi Maluku Utara, untuk riset. Gemaf adalah salah satu desa yang berdekatan dengan perusahaan tambang nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Di sana saya bertemu dengan Mendiang Sandoro yang berusia kurang lebih 50 tahun. Sandoro merupakan petani yang berkebun di tanah milik sendiri. Ia menanam pala, cengkeh dan kelapa yang dipanen secara musiman. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari, ia menanam tomat, rica (cabai) dan jenis lainnya. Dari hasil berkebun itu ia mampu menyekolahkan dan membayar kebutuhan anaknya. Sandoro sudah berkebun selama puluhan tahun.
Kehidupannya mulai terusik ketika pemerintah mengizinkan PT IWIP melakukan eksplorasi penambangan nikel di sana. Perusahaan membutuhkan lahan seluas 866,44 hektare yang diperoleh, salah satunya, dengan membeli tanah-kebun milik warga. Berbeda dari warga lain yang menjual dengan harga sangat murah (Rp8.000 hingga Rp9.000/meter), Sandoro enggan melepas tanah seluas sekitar enam hektare miliknya, walaupun PT IWIP terus mengirim orang-orang untuk bernegosiasi.
Gagal melakukan negosiasi, perusahaan seenaknya menggusur pohon-pohon cengkeh, pala dan kelapa milik Sandoro yang sudah tertanam puluhan tahun tanpa biaya ganti rugi. Metode lain yang digunakan PT IWIP adalah mengancam memberhentikan secara sepihak salah satu anak Sandoro yang bekerja di perusahaan. Hingga wawancara dilakukan, Sandoro tetap bersikeras tidak menjual tanah-kebunnya.
Kisah serupa disampaikan oleh Mendiang Tulang yang juga warga desa Gemaf. Seperti Sandoro, lelaki berusia sekitar 40 tahun ini adalah juga petani yang menggantungkan hidup dari berkebun. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia menanam pala, cengkeh, kelapa, pisang dan tanaman lain. Menurut Tulang, sebagian tanah yang berdekatan dengan kebunnya sudah dibeli perusahaan, tapi ia sendiri tetap bersikukuh tidak menjual tanah ke PT IWIP.
Suatu hari, saat Tulang ke kebun, ia melihat ekskavator perusahaan sedang menggusur lahan warga yang telah dijual ikut menggusur pohon cengkeh dan pala miliknya. Spontan Tulang naik pitam dan protes. Ia langsung naik ke ekskavator untuk mematikan mesin dan merampas kunci. Protes Tulang itu membuat PT IWIP melaporkannya ke kepolisian Halteng. Tak lama berselang, beberapa anggota kepolisian mendatangi rumah Tulang dan memintanya mengembalikan kunci mobil ekskavator. Ia mengembalikan kunci tetapi menahan ekskavator agar berhenti menggusur. Sikap keras itu membuat Tulang hampir ditahan polisi.
Dua cerita di atas hanya sebagian dari beragam masalah yang dihadapi masyarakat daerah lingkar tambang di Halteng.[1] Jika terus memprotes, mereka akan berhadapan dengan aparat keamanan yang berpihak pada PT IWIP. Mengharapkan keberpihakan pemerintah daerah baik di Halteng maupun provinsi adalah mustahil karena mereka menutup mata atas praktik penggusuran lahan. Sebaliknya, pemerintah malah memberikan perlindungan kepada PT IWIP dengan alasan bahwa ini Proyek Strategis Nasional berdasarkan Perpres No. 109/2020. PT IWIP juga menjadi Proyek Prioritas Nasional berdasarkan Perpres No. 18/2020.
Sekilas tentang PT IWIP
PT IWIP adalah perusahaan patungan dari tiga investor asal Tiongkok, yaitu Tsingshan Holding Group, Huayou Holding Group, dan Zhenshi Holding Group Co., Ltd. Mengutip Mongabay, mayoritas sahamnya dimiliki oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan Perlux Technology Co.Ltd. Sementara Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.
Di tahun 2018, PT IWIP bekerja sama dengan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk untuk mengembangkan deposit bijih nikel dan smelter. Melalui kerja sama ini, PT IWIP menjadi kawasan industri terpadu pertama di dunia yang mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang hingga produk akhir berupa baterai kendaraan listrik dan besi baja.
PT IWIP juga memfasilitasi investor untuk membangun fasilitas pengolahan industri hilir. Ini bisa dilihat dari beroperasinya dua anak perusahaan Tsingshan di kawasan itu, yakni Weda Bay Nickel Projects (tambang) dan Weda Bay Nikel (smelter).
Menurut dokumen Rangkaian Pasok Industri Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekologi (2020) yang dirilis Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), di PT IWIP telah beroperasi dua smelter yang menghasilkan feronikel (paduan besi dan nikel) per Oktober 2020. Masing-masing pabrik dimiliki oleh PT Weda Bay Nickel dan PT Yashi Indonesia Investment yang dimiliki oleh Tsingshan dan Zhenshi.
Menurut sumber yang sama, tenant lain yang berada di kawasan PT IWIP yakni produsen nikel baterai PT Youshan Nickel Indonesia. Youshan diperkirakan akan memiliki kapasitas produksi 43.600 ton nickel matte pertahun, dengan nilai total investasi 406,79 juta dolar AS. Youshan sendiri merupakan perusahaan patungan Huayou Group, Chengtun Mining Group, dan Tsingshan Group. Huayou Group, yang juga pemegang saham smelter di Morowali dan Youshan di Weda, selama ini dikenal sebagai penghasil produk kobalt terbesar di Tiongkok.
Berdasarkan booklet Peluang Investasi Nikel Indonesia (2020) yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Dan Maluku Utara di mana Halteng berada adalah satu dari empat provinsi yang memiliki cadangan nikel terbesar. Dengan potensi kandungan nikel tersebut, Halteng telah menjadi incaran para oligark yang berkongsi dengan kekuasaan untuk melakukan eksploitasi. Pemerintahan Joko Widodo tidak hanya memberikan izin kepada perusahaan untuk mengeksplorasi nikel, tetapi juga perlindungan kepada PT IWIP dengan menetapkannya sebagai Proyek Strategis Nasional.
Keterlibatan Oligarki di PT IWIP
Melihat sepak terjang PT IWIP yang sangat agresif dalam melakukan penggusuran lahan rakyat di Halteng, mengapa pemerintahan Jokowi malah memberikan perlindungan kepada mereka? Jika jawaban atas pertanyaan ini karena PT IWIP adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional, maka kita kehilangan arah dalam melihat aspek ekonomi politiknya. Lalu, apa?
Sesungguhnya dalam proyek ini ada kepentingan ekonomi yang sangat besar dari para oligark di sekeliling Presiden.
Dalam melihat aspek ekonomi politik tersebut, definisi oligarki Richard Robinson dan Vedi R Hadiz dapat dijadikan pegangan. Menurut mereka, oligarki adalah praktik relasi kekuasaan yang memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadap keduanya. Kemunculan oligarki di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan dan ekspansi kapitalisme pasar semasa Orde Baru, dipandang sebagai produk usaha akumulasi kekayaan pribadi dan korporasi.
Pengendalian institusi-institusi publik dan otoritas negara menjadi bagian sangat penting dalam proses itu. Perpaduan khusus otoritas politik dan kekuatan ekonomi ini merupakan ciri umum negara-negara yang berbeda pada tahap awal perkembangan kapitalisme. Di Indonesia, proses ini melahirkan bentuk khusus yang disebut Robinson dan Hadiz sebagai oligarki politiko-bisnis.[2]
Praktik semacam itu terus tumbuh terutama pada daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam (salah satunya nikel) seperti dalam kasus pemilik mayoritas PT IWIP, Tsingshan Holding Group. Mengutip laman TrendAsia yang mendapat data profil perusahaan dari basis data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Tsingshan mendirikan PT Tsingshan Steel, yang kini beroperasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), bersama PT Shanghai Decent Indonesia Group dan PT Bintang Delapan Mineral pada Desember 2016.
Di perusahaan yang disebut terakhir, menurut data akta perseroan Ditjen AHU nomor: AHU-AH.01.03-010923 yang dikutip dari Tirto, terdapat nama pensiunan jenderal Sintong Panjaitan sebagai komisaris utama, yang diketahui merupakan karib dari Menko Luhut Binsar Panjaitan. Nama Sintong juga tercatat dalam formulir laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia 2018 sebagai presiden komisaris.
Di PT IWIP sendiri pernah tercatat nama Hinsa Siburian sebagai komisaris sebagaimana tertulis dalam dokumen Ditjen AHU nomor: AHU-AH.01.03-0067852. Saat PT Freeport (FI) masih memiliki Blok Wabu, Papua, Hinsa adalah komisaris perusahaan tersebut. Sebelumnya Hinsa pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih Papua pada 2015-2017 dan pada Pilpres 2019 tergabung dalam tim relawan (Cakra 19) pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Pada 21 Mei 2019, Hinsa diangkat oleh Jokowi sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Daftar oligark di sekeliling Jokowi tak berhenti di kalangan para mantan jenderal. Dari kalangan sipil ada nama Andi Gani Nena Wea yang merupakan komisaris utama merangkap komisaris independen di PT Pembangunan Perumahan (PP) (Persero) Tbk. PT PP, melalui anak usaha PT PP Presisi, menjadi perusahaan production plant, structure work dan penyewa alat berat di PT IWIP. Andi Gani merupakan orang yang dekat dengan Jokowi saat masih menjabat sebagai wali kota. Jabatan penting lainnya adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Pada Pilpres 2019, KSPSI mendukung Jokowi selama dua periode. Andi Gani dan serikatnya juga merupakan salah satu inisiator Partai Buruh.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Untuk menunjang produksi melalui pembakaran pada smelter dan PLTU, PT IWIP membutuhkan batu bara dalam jumlah yang banyak. Komoditas tersebut dipasok dari Kalimantan melalui tongkang. Kepada penulis, seorang pekerja di site batu bara memperlihatkan surat bongkar yang menunjukkan bahwa salah satu perusahaan yang terlibat adalah Jhonlin Group milik Andi Syamsuddin Arsyad, yang dikenal sebagai Haji Isam. Pengusaha batu bara dari Batu Licin, Kalimantan Selatan ini pada Pilpres 2019 tercatat sebagai Wakil Bendahara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin. Pada Oktober 2021, Jokowi meresmikan pabrik biodiesel PT Jhonlin Agro Raya milik Haji Isam di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel.
Selain itu juga tercatat nama konglomerat Kiki Barki, pemilik PT Harum Energi Tbk (HRUM), yang ikut terciprat untung dari nikel di Halteng. Pada Desember 2021, PT Tanito Harum Nikel, anak perusahaan HRUM, menambahkan kepemilikan saham di salah satu perusahaan yang beroperasi di PT IWIP, PT Infei Metal Industri (IMI), sebesar 9,8% menjadi 49%. PT IMI bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian nikel. Kemudian, pada 27 April 2022, anak usaha bernama PT Harum Nickel Industri (HNI) juga mengambil 250 ribu lembar saham PT Westrong Metal Industri sehingga menguasai 20% kepemilikan. Perusahaan tersebut juga bergerak di bidang pemurnian di IWIP dengan kapasitas produksi dalam setahun sebesar 44.000-56.000 ton nikel.
Kiki Barki Makmur merupakan pengusaha batu bara lama yang pernah menjabat sebagai Asisten Khusus Menteri Pertanahan pada 2011. Hubungannya dengan kekuasaan berawal dari perusahaan tambang di Vietnam bernama PT Vietmindo Energitama. Di perusahaan itu Pramono Anung pernah menjadi direkturnya dari 1988 hingga 1996. Pada periode yang sama, Pramono juga menjabat sebagai Direktur PT Tanito Harum, anak perusahaan PT Harum Energy. Pramono adalah politikus dari partai yang sama dengan Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), bahkan menjabat sebagai sekretaris jenderalnya pada 2005-2010. Pramono juga merupakan Wakil Ketua DPR periode 2009-2014. Di era pemerintahan Jokowi, tepatnya sejak 2015 sampai sekarang, Pramono langgeng sebagai sekretaris kabinet.
Dengan modal dan relasi yang dimiliki, Kiki pernah mencoba memengaruhi Jokowi untuk menyelamatkan anak usaha HRUM yakni PT Tanito Harum yang masa kontraknya berakhir pada 2019. Empat hari menjelang masa kontrak berakhir, Presiden melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada mereka tanpa melalui proses lelang. Seperti ditulis Tempo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu, Agus Rahardjo, menanggapi keputusan tersebut dengan langsung mengingatkan Jokowi bahwa perizinan batu bara tetap merujuk pada Undang-Undang Minerba yang baru, bukan pada aturan lama.
Meskipun akhirnya izin dibatalkan, kasus ini memberikan kita gambaran bahwa hukum dengan begitu mudahnya dibajak dan diakali oleh para oligark hanya untuk menyelamatkan bisnis dan kepentingan mereka dan orang-orang di sekelilingnya.
Penutup
PT IWIP telah memaksa rakyat, dengan berbagai cara, melepaskan tanahnya. Jika tak mau menjual dengan harga murah, mereka harus menghadapi intimidasi dari perusahaan serta dampak kerusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan.
Beroperasinya PT IWIP terbukti melibatkan banyak pihak, tidak hanya perusahaan-perusahaan multinasional tetapi juga para oligark yang berada dalam lingkaran Presiden. Hal ini sekaligus memberikan penegasan bahwa beroperasinya PT IWIP bukan semata-mata demi kepentingan nasional yang dilindungi atas nama Objek Vital Nasional, tapi juga sebagai modus akumulasi kekayaan para oligark.***
[1] Mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Halteng ini, lihat laporan Mongabay berjudul Ketika Tambang Nikel ‘Kuasai’ Hutan Halmahera Tengah, diakses pada 2 Januari, 2023.
[2] “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”, Vedi R Hadiz dan Richard Robinson, diterjemahkan oleh Ahmad Zaim Rofiqi, Prisma volume, 33, 2014, hal 37.
Masril Karim adalah Ketua Umum HMI Cabang Manado periode 2015-2016. Saat ini tergabung sebagai anggota dari LSM Forum Studi Halmahera (FoSHal) yang berlokasi di Ternate, Maluku Utara.