Ilustrasi: Illustruth
CATATAN ini mungkin tidak seperti yang dibayangkan oleh pembaca. Saya biasanya menulis penuh data, tapi tulisan singkat ini hanya sebatas refleksi dari pengalaman kala bergumul dengan aneka persoalan di Malang Raya, khususnya Kota Batu. Catatan ini semacam pengantar untuk diskusi atau tulisan lain di lain waktu.
Ingatan pasti soal Kota Batu sebagai hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas hadir saat usia saya baru menginjak 6 tahun. Saat itu tahun 1997 atau setahun sebelum Reformasi meledak. Saya melihat Kota Batu adalah pusat buah apel dan suhunya sangat dingin. Sayup-sayup terlintas kenangan sepanjang jalan menuju alun-alun yang masih sepi, belum banyak lalu-lalang kendaraan seperti sekarang. Tempat wisata legendaris yang saya ingat tentu Selecta, tempat tersebut masih tampak indah dengan kemewahan kolam renangnya.
Seiring waktu berjalan perlahan, Kota Batu berkembang demikian pesatnya. Jalanannya tidak lagi sepi, tapi cenderung padat merayap apalagi kala akhir pekan. Semua orang dari Surabaya atau sekitarnya berbondong-bondong datang untuk sekadar melepas penat. Wisatanya pun tidak hanya Selecta, tetapi kian beragam, mulai dari Museum Angkut, Jatim Park, dan aneka lain. Penginapan, vila, dan perumahan pun mulai menjamur dari wilayah Sumber Brantas hingga ke arah Oro-oro Ombo. Semua itu ruang-ruang kosong yang sebelumnya adalah lahan pertanian apel dan kawasan hutan.
Sepintas kota ini tampak begitu mewah, memanjakan wisatawan dengan aneka fasilitas rekreasi. Kota Batu tampak menjadi modern bahkan bersiap menyaingi Kota Malang.
Sayangnya, mengiringi perkembangan tersebut, persoalan demi persoalan berdatangan. Apel yang dahulu adalah simbol Kota Batu hanya tersisa monumennya saja, sementara pohon apel asli sudah banyak berkurang bahkan menuju kepunahan. Jika dahulu orang berkunjung ke Kota Batu untuk merasakan hawa dinginnya, sekarang sudah tidak lagi; penginapan atau vila sudah lumrah memasang air conditioner. Warga Kota Batu sudah jarang memakai jaket tebal keren seperti dahulu, kecuali malam hari. Identitas Batu yang dingin hanya bersemayam di ingatan masa lampau, sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu.
Wisatawan datang sekadar untuk singgah, makan atau membeli oleh-oleh. Kebanyakan dari mereka sekarang pergi ke tempat lebih atas, mendekati perbatasan Kabupaten Malang atau Mojokerto, yang termasuk kawasan hulu. Di sana mulai menjamur kedai kopi atau tempat makan yang mengambil risiko keselamatan karena berdiri di atas jurang atau kawasan resapan.
Kapital Memakan Ruang
Persoalan di Kota Batu bukan karena warga yang ingin tempat tinggalnya berubah sedemikian rupa. Letak persoalannya ialah Kota Batu jadi tempat uang dihabiskan. Semakin banyak orang ke Kota Batu berarti semakin tinggi pula arus perputaran uang dan barang yang akan dikeluarkan.
Marx dalam Capital Volume 1 (2004) bagian II The Transformation of Money into Capital: Chapter Four: The General Formula for Capital menekankan bahwa sirkulasi uang berawal dari keberadaan komoditas. Tanpa komoditas, uang tidak berarti. Semakin banyak komoditas berarti semakin banyak pertukaran. Semakin banyak permintaan komoditas maka akan semakin meningkatkan “value” pada uang sebagai alat tukar. Hal inilah yang terjadi di Kota Batu: sirkulasi komoditas dan uang telah mendorong aktivasi ruang-ruang ekonomi melesat tanpa bisa dikendalikan.
Dampaknya, banyak ruang kosong yang dahulu adalah kawasan hutan atau pertanian berubah wujud menjadi situs-situs akumulasi keuntungan. Tentu hal itu merupakan persoalan. Perubahan tersebut telah memantik retakan metabolisme atau rusaknya fungsi ekosistem bahkan sosial.
Foster dkk, dalam Ecological Rift (2010) mengungkapkan kapital yang meluas akan melakukan eksploitasi besar-besaran hingga menyebabkan kerusakan ekosistem. Selain itu, ia juga mendorong alienasi atau pengasingan manusia dari alam, di mana mereka dipaksa meninggalkan ruang yang ditempati. Saat ruang dikuasai, manusia tercerabut dan menjadi pekerja upahan. Rantai eksploitasi atas alam terus berlanjut karena ketergantungan.
Kondisi ini terlihat kala transformasi besar Kota Batu terjadi. Pertanian yang tidak “menguntungkan” mulai ditinggalkan; tanah-tanah dijual dan petani beralih profesi. Alih fungsi masif, dari yang bertani akhirnya menjadi pekerja di sektor wisata atau memenuhi ruang jasa. Kota Batu, sebagaimana tertera dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), memang dimaksudkan diubah dari wilayah yang bergantung pada pertanian dan hutan menjadi bergantung pada industri wisata.
Eksploitasi juga semakin masif pada wilayah hulu DAS Brantas. Kondisinya bisa dipantau dari analisis citra satelit yang memanfaatkan data dari Global Forest Watch dan langsung ke lapangan. Tutupan hutan yang berada di Kota Batu mengalami penurunan signifikan sebesar 348 hektare selama hampir dua dekade. Secara keseluruhan, hampir 1.295 hektare hutan di Kota Batu hilang, termasuk 113 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. Selain itu, luas lahan hijau di Kota Batu juga menyusut dari 6.034,62 hektare menjadi 5.279,15 hektare dalam kurun waktu 2012 sampai 2019.
Perubahan yang terjadi hampir 10 tahun tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong peningkatan suhu di Kota Batu, selain juga krisis iklim berskala global.
Perubahan suhu dan curah hujan telah mendorong penurunan produksi apel. Kondisi tersebut telah memantik masifnya alih fungsi lahan pertanian. Petani yang rugi akibat menurunnya hasil pertanian apel terdorong untuk menjual lahannya, dialihfungsikan menjadi peruntukan lain, salah duanya perumahan dan objek wisata. Alih fungsi lahan juga terjadi pada lahan pertanian pangan seperti sawah untuk perumahan, wisata dan peruntukan lainnya. Dari 2009 sampai 2019, dengan memakai analisis Geographic Information System (GIS), ditemukan jika lahan sawah menyusut sekitar 6,19%, lalu permukiman meningkat menjadi 5,46% (Prayitno dkk, 2020).
Kondisi di atas semakin jelas dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batu. Dalam laporan Batu Dalam Angka, terdapat perubahan jenis pekerjaan secara signifikan. Pada tahun 2010, penduduk yang berprofesi sebagai petani berjumlah sekitar 35.427 orang dari total keseluruhan penduduk yang bekerja, yakni 95.679 orang. Berselang satu dekade, terjadi penurunan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani sekitar 5.426 orang. Angka ini didapatkan dari selisih rata-rata jumlah penduduk profesi petani di tahun 2021 yang sebesar 3.001 orang dari total 112.623. Penurunan ini juga telah mendorong meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor jasa. Jika pada tahun 2010 terdapat 14.932 orang, maka di tahun 2021 melejit menjadi 64.529 orang alias meningkat sebanyak 49.581 orang.
Meski perlu diperdalam lagi dalam riset yang tajam, temuan awal ini menunjukkan sebuah narasi menarik yang menggambarkan sebuah transformasi ekonomi Kota Batu: dari sektor agrikultur ke jasa.
Transformasi tersebut tidak lepas dari rancangan pembangunan Kota Batu yang mengarah ke industri jasa besar terutama di sektor pariwisata. Dampaknya adalah kemunculan aneka izin yang mendorong alih fungsi dan perampasan halus ruang ekonomi pertanian. Problem tambahan datang seperti alih fungsi hutan yang juga untuk pertanian semusim, suhu semakin naik, praktik pertanian yang bertumpu pada pestisida dan obat-obatan pada akhirnya merusak tanah, mendorong mati perlahannya apel dan komoditas lain, sehingga yang bertani merugi.
Ketika investor datang dan ingin membeli tanah mereka, pilihan yang tersisa adalah melepasnya. Mereka menjadi bergantung dan tidak dapat lepas dengan skema yang tidak diketahui kemunculannya. Mereka terjebak dalam pola eksploitasi yang secara hitung-hitungan rumit. Jika tidak terlibat dalam skema industri wisata atau rancangan ruang predator tersebut, mereka seperti mempertaruhkan hidup.
Inilah alienasi yang dimaksud oleh Foster, yang mengambil pemikiran Marx, di mana keretakan metabolisme alam adalah degradasi ekosistem yang disokong oleh eksploitasi atas alam sekaligus manusianya melalui penciptaan ketergantungan.
Negara Hadir Menyokong Perampasan
Semua hal tersebut terjadi ketika negara hadir menjadi predator, memunculkan konsep-konsep yang tak lain adalah perwujudan dari kapitalisme. Konsep dibuat untuk memfasilitasi eksploitasi masif, penghancuran ruang sosial sampai pengasingan manusia hingga terjebak dalam ruang-ruang jerat kapital.
Sebagaimana diungkapkan oleh Bookchin dalam Ecology of Freedom (1982) di bagian “The Outlook of Organic Society, Emergence of Hierarchy” dan “Epistemologies of Rules”, manusia dan alam itu memiliki hubungan yang tak terpisahkan, di mana “ecology” dan “social” saling memengaruhi seperti setiap unsur di ekosistem yang memiliki fungsi alamiah saling interdepensi atau bergantung satu sama lain tanpa ada yang lebih dominan. Hubungan tersebut retak karena ada “Governance of Nature” untuk mengantisipasi “tragedy of the commons” atau takut akan habis atau langkanya sumber-sumber alam.
Aturan, konsep dan pendisiplinan atas nama peradaban sejatinya memunggungi cara pengelolaan yang selama ini telah dilakukan, terutama pengelolaan bersama dengan semangat komunalisme sebagai hasil belajar dari alam yang ditinggali. Semua berawal dari sejarah panjang dominasi manusia atas manusia lain.
Kekuatan memaksa segelintir orang berkuasa membuat aturan dan konsep atas ruang untuk menyenangkan serta memuaskan yang segelintir tersebut. Sejarah panjang itu adalah dominasi atas manusia dan alam melalui perampasan dan penindasan atas nama peradaban, atas nama menghindari kelangkaan. Inilah yang melatarbelakangi pengaturan yang mendorong pendisiplinan serta subordinasi, di mana eksploitasi dijalankan seolah-olah dalam rangka “mengatur”, padahal “merampas.”
Di sinilah negara sebagai bentuk kekuasaan dan kekuataan telah menjadi predator. Sebagaimana diungkapkan Bookchin di akhir bagian Epistemologies of Rules:
Ultimately, it is not the ends of “civilization” that are served by the Freudian “reality principle” but the ends of the “pleasure principle” that the ruling elites have preempted for themselves. It is not nature that fosters an unruly psychic animality with its appetite for immediate gratification, but a hierarchical “reality principle” — an epistemology of rule — one that rests on domination and exploitation.
[Pada akhirnya, bukan akhir dari “peradaban” yang dilayani oleh “prinsip realitas” freudian, tetapi akhir dari “prinsip kesenangan” yang telah didahului oleh elit penguasa untuk diri mereka sendiri. Bukan alam yang memupuk psikis kebinatangan yang sulit diatur dengan keinginannya untuk segera mencapai kepuasan , tetapi “prinsip realitas” hierarkis – epistemologi sebuah aturan – yang bertumpu pada dominasi dan eksploitasi].
Apa yang terjadi di Kota Batu sudah menggambarkan pola-pola tersebut: perampasan atas nama penataan, alih fungsi atas nama pembangunan, dan klaim pertumbuhan kesejahteraan.
Pengalaman saya bersama jaringan Aliansi Selamatkan Malang Raya saat mengadvokasi revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) dapat menggambarkan hal itu. Proses penyusunan perda ini sejak awal tidak terbuka dan sangat memaksakan beberapa pembangunan atas nama investasi. Isinya bakal memfasilitasi dua proyek pembangkit listrik geotermal di Gunung Arjuno Welirang dengan luas wilayah konsesi sekitar 21.280 hektare,meliputi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh warga sekitar; dan proyek geotermal Songgoriti dengan luas wilayah sekitar 20.340 hektar (Direktorat Jenderal EBTKE Pusat Sumber Daya Mineral, 2017). Proyek tersebut juga sejalan dengan rencana pembangunan kereta gantung serta fasilitas penunjang kawasan ekonomi strategis pariwisata Singhasari, seperti jalan tol yang menyambung hingga Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Bromo Tengger Semeru, sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 80 Tahun 2019.
Rencana mereka berpotensi memperentan situasi ruang di Kota Batu yang beberapa kali dihantam bencana iklim–salah satu yang terbesar telah terjadi di bulan November 2021. Situasi ini didukung oleh aneka alih fungsi melalui pembangunan yang tidak mematuhi kaidah ruang. Kondisi ini telah memicu penyempitan ruang terbuka hijau, termasuk yang seharusnya menjadi wilayah resapan dan tangkapan air. Tidak hanya itu, potensi bahaya dari revisi Perda RTRW dan pengembangan kawasan ekonomi pariwisata khusus tersebut adalah ancaman terhadap keberadaan kawasan hutan di Kota Batu itu sendiri, termasuk untuk kawasan budi daya hingga geotermal serta kawasan ekonomi pariwisata berbasis mass tourism.
Praktik negara dengan aneka aturannya, yang adalah praktik kapitalisme dalam sektor jasa, semakin menegaskan perampasan ruang hidup di Kota Batu. Ini semakin memperburuk kondisi ruang dan pada akhirnya tentu memperparah kondisi hidup warga itu sendiri. Warga Kota Batu kian hari kian merasakan dampak transformasi ekonomi. Mereka terpaksa mengikuti alur yang tidak mereka inginkan; seolah-olah alamiah tetapi sejatinya tidak. Mereka dipaksa mengikuti aturan “legal” yang tidak berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Kala bencana melanda, mereka juga menjadi kambing hitam. Padahal yang rakus, merusak, dan menyebabkan bencana itu adalah elite-elite berkuasa, kelas-kelas sosial menengah atas, yang meraup keuntungan di atas air mata mereka yang terampas, terpaksa hidup dalam bayang-bayang kehancuran, bergantung tanpa bisa lepas.
Cengkeraman erat itu hadir karena dominasi, dan karena negara adalah predator yang nyata, alat kekuasaan dari kelas yang berkuasa.
Referensi
Bookchin, M. (1982). The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy.
Direktorat Jenderal EBTKE Pusat Sumber Daya Mineral. (2017). Buku Potensi Panas Bumi Indonesia Jilid 1.
Foster, J. B., Clark, B., & York, R. (2011). The ecological rift: Capitalism’s war on the earth. NYU Press.
Marx, K. (2004). Capital: volume I (Vol. 1). Penguin UK.
Prayitno, G., Subagiyo, A., & Kusriyanto, R. L. (2020). Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Batu Indonesia. GEOGRAPHY: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, 8(2), 135-150.
Wahyu Eka Setyawan, WALHI Jawa Timur