Kita Butuh Pesepak Bola Kiri seperti Sócrates

Print Friendly, PDF & Email

Foto: David Cannon/Allsport


SÓCRATES memang tidak pernah melaju lebih dari perempat final Piala Dunia, tapi dia adalah salah satu pemain paling ikonik dalam sejarah turnamen. Sosoknya mudah dikenali berkat rambut hitam keriting, janggut ala Che Guevara, dan postur ramping yang menjulang setinggi 194 sentimeter. Dia benar-benar terlihat seperti sosok yang revolusioner.

Dalam babak perempat final Piala Dunia Meksiko 1986, saat gagal mengeksekusi penalti ke gawang Prancis, Sócrates mengenakan ikat kepala putih yang akhirnya terus melekat sebagai ciri khasnya. Pada bandana yang dia buat dari kaus kaki rekan satu tim itu dicetak sejumlah slogan berbeda, antara lain “Rakyat Membutuhkan Keadilan”, “Katakan Ya untuk Cinta, Tidak buat Teror”, dan “Hentikan Kekerasan”. Dari tiga pesan ini, yang pertama mungkin punya gaung paling kuat. 

Sócrates juga sempat merumput dengan membawa pesan sederhana: “México Sigue En Pie”, yang berarti ‘Meksiko Masih Bertahan’. Itu dia kumandangkan setelah satu tahun sebelumnya gempa bumi besar mengguncang Mexico City dan menewaskan ribuan orang. Bencana alam membuat sang tuan rumah hajatan sepak bola terbesar sejagat itu sangat terluka sekaligus mengungkap ketidakadilan di tengah masyarakat. 

“Ketika tim Brasil tiba di Meksiko, seluruh dunia menyaksikan bencana yang dipicu gempa bumi dahsyat itu. Saya terdorong memanfaatkan kesempatan itu untuk mengangkat beberapa poin krusial dari realitas sosial yang ada,” ujar Sócrates bertahun-tahun usai kejadian tersebut.

Ide untuk memakai ikat kepala muncul setelah Sócrates melihat seorang perempuan muda mengenakan ornamen kepala berhiaskan permata di televisi. Dari situ dia memutuskan bahwa dahinya adalah tempat untuk bicara dan menentang “hal-hal tidak masuk akal dalam kemanusiaan.”

Ikat kepala pertama kali dipakai dalam babak penyisihan grup melawan Spanyol. Ketika itu Sócrates sempat marah dan terganggu karena panitia keliru memutar lagu kebangsaan Brasil. “Setiap reaksi atas kemiskinan, perang, imperialisme, ketidakadilan sosial, endemik buta huruf, dan banyak isu lainnya bergejolak ketika saya menggelengkan kepala, mendengar rangkaian nada pertama, dan mendengarkan kekeliruan itu,” kata Sócrates. “Tapi gejolak emosi itu layak dihadapi. Saya percaya jauh lebih baik berusaha daripada menyerah pada keadaan.”

Sócrates bukanlah pesepak bola biasa. Di dalam lapangan, dia merupakan pemimpin karismatik sekaligus pemain jenius. Dia memang pesepak bola yang sangat berbakat. Sócrates adalah gelandang cerdas yang bermain secara terukur. Dia lihai memberikan umpan cantik. Lebih dari itu, Sócrates juga bisa mencetak gol indah dengan tumitnya. Pelé, pesepak bola legendaris peraih tiga kali Piala Dunia, sampai-sampai menyebut Sócrates bermain lebih baik jika berlari mundur, menghadapkan punggungnya ke gawang lawan.

Tim nasional Brasil yang Sócrates pimpin pada Piala Dunia Spanyol 1982 sering disebut sebagai kesebelasan terbaik yang gagal menjadi juara. Dalam turnamen yang saat itu masih digelar dengan dua fase babak grup, Brasil tak mampu melaju ke semifinal setelah kalah 3–2 dari tim yang akhirnya mengangkat piala, Italia. Falcao, salah satu pemain Brasil, menggambarkan laga itu sebagai “salah satu pertandingan terhebat dalam sejarah sepak bola.” 

Di luar lapangan, Sócrates berstatus pahlawan dalam imajinasi orang banyak. Dia merokok dan mengonsumsi miras. Dia hidup dengan sikap acuh tak acuh, persis saat mengolah bola bersama timnya. Dia menyatakan diri sebagai “seorang anti-atlet”. Sócrates juga seorang dokter (karena itulah dia mendapat julukan Dokter Sócrates). Status tersebut memang kontradiktif dengan gaya hidupnya, tapi sekaligus memperkuat sosoknya yang menolak tunduk pada norma dan pandangan umum. 

Meski begitu, Sócrates tahu bahwa kecakapannya mengolah bola tetaplah hal yang memberinya ruang untuk berbicara dengan banyak orang. “Saat berstatus sebagai pesepak bola, kaki saya memperkuat suara saya,” kata Sócrates usai kalah dari Prancis pada Piala Dunia Meksiko 1986 sekaligus menjadi partai terakhirnya untuk Brasil. Sócrates bersuara untuk memperjuangkan politik radikal dan menentang ketidakadilan di Brasil maupun negara lain. 

Penampilan bersama Seleçao memang melambungkan nama Sócrates secara global, namun intervensi politik terpentingnya justru terjadi saat memperkuat klub yang berbasis di São Paulo, Corinthians, selama enam tahun (1978–1984). Pada masa tersebut Sócrates menjadi tokoh sentral dalam gerakan Democracia Corinthiana. Pada posisi tersebut dia berhadapan langsung dengan kediktatoran militer brutal yang telah memerintah Brasil sejak 1964.

Sócrates tumbuh di keluarga kelas menengah. Ayahnya, Raimundo, terobsesi dengan pendidikan. Karena itulah namanya diambil dari filsuf Yunani kuno. Saat masih kanak-kanak, Sócrates mengalami peristiwa yang kelak akan sangat memengaruhi sikapnya. Dia melihat ayahnya menghancurkan buku-buku Kiri tak lama setelah militer merebut kekuasaan di Brasil.

Saat berumur 20-an, dalam salah satu wawancara besar pertama pada 1976, Sócrates mengambil sikap apolitis tentang kejadian itu. Dia bahkan berkata bahwa penyensoran diperlukan karena jika tidak, “segalanya akan menjadi rumit bagi pemerintah.” Tapi Sócrates tidak pernah berhenti membaca buku. Dengan dorongan ayahnya, Sócrates selalu mendidik dirinya sendiri. Dia lalu semakin intim dengan masalah sosial dan penindasan rezim militer.

Sócrates mulai condong ke Kiri begitu bergabung dengan Corinthians pada 1978. Tak lama setelahnya, dia dan rekan setimnya, Wladimir Rodrigues dos Santos, menjadi pemimpin gerakan yang memperkenalkan demokrasi langsung di klub. Gerakan itu disokong pejabat klub, Direktur Adilson Monteiro Alves dan Presiden Waldemar Pires. Walter Casagrande, yang belakangan juga menjadi pemain tim nasional Brasil, turut bergabung dengan gerakan ini. 

Melalui demokrasi langsung, semua orang yang bekerja di Corinthians dapat mengusulkan bagaimana klub itu semestinya dijalankan. Para pemain juga mendapat berbagai hak, dari jadwal latihan hingga prosedur mengangkat tangan untuk pergi ke toilet. Mereka juga melonggarkan batasan concentração, sebuah tradisi dalam sepak bola Brasil di mana para pemain akan secara efektif dikurung di hotel atau kamp pelatihan sebelum pertandingan.

Keputusan yang disebut terakhir, melonggarkan concentração, menjadi bermakna simbolis: Corinthians menjadi metafora bagi masyarakat Brasil. Bukan hanya menantang kediktatoran secara terbuka dengan mengadopsi metode demokrasi di institusi olahraga populer, Sócrates dan rekan-rekan satu timnya juga menunjukkan bahwa menolak apatisme dan individualisme sangat efektif untuk menggapai cita-cita politik kolektif.

Corinthians sangat sukses di bawah manajemen demokratis selama era Democracia Corinthiana. Mereka memenangkan Campeonato Paulista dua kali, pada tahun 1982 dan 1983. 

“Gerakan kami berhasil karena banyak alasan, tapi yang paling mendasar adalah Sócrates,” kata Casagrande kepada The Guardian tahun lalu. “Kami membutuhkan sosok jenius sepertinya, seseorang yang politis, cerdas, dan dikagumi banyak orang. Dia adalah perisai kami. Tanpanya, Demokrasi Corinthians tidak akan pernah ada.”

Gerakan demokrasi itu akhirnya menjalar melewati dinding klub. Sócrates dan kawan-kawannya di Corinthians secara langsung menantang militer yang menguasai rezim. Menjelang pemilihan umum multipartai pertama Brasil di bawah pemerintahan militer pada 1982 dan di tengah proses bertahap abertura atau ‘liberalisasi Brasil’, mereka turun ke lapangan dengan mengenakan kaus bertuliskan Dia 15 Vote (‘berikan suara pada tanggal 15’). Sebelum memenangkan Campeonato Paulista pada 1983, tim yang dipimpin Sócrates memasuki lapangan dengan membawa spanduk raksasa bertuliskan “Ganhar ou Perder, Mas Semper com Democracia”. Kalimat itu secara harfiah berarti “Menang atau Kalah, Tetap Mendukung Demokrasi”. 

Dalam dua laga final melawan Sao Paulo, Sócrates mencetak dua gol lewat dua kakinya. Saat merayakan gol itu, dia mengangkat tinju dan memberi hormat kepada rakyat Brasil.

Sócrates kemudian mengambil bagian dalam gerakan Diretas Ja yang menuntut pemilihan umum secara langsung. Gerakan ini didukung serikat pekerja, buruh, pelaku seni, pelajar, dan masyarakat luas. Gerakan ini mendorong jutaan orang turun ke jalan dan membawa Brasil menuju proses transisi demokrasi pada 1985. 

Pada masa-masa yang membentuknya menjadi legenda dan di tengah minat klub-klub di Italia untuk meminangnya, Sócrates berdiri di atas panggung. Di hadapan kerumunan besar demonstran di Sao Paulo, dia berjanji tidak akan meninggalkan Brasil jika amandemen konstitusi membuka jalan untuk pemilihan umum yang bebas. Amandemen konstitusi itu gagal terjadi dan Sócrates hijrah ke Italia dan bergabung ke Fiorentina. Tindakan ini dianggap pembangkangan terhadap rezim otoritarian. 

Setibanya di Italia, Sócrates mendapat pertanyaan tentang siapa pemain hebat Serie A yang paling dia kagumi, Sandro Mazzola atau Gianni Rivera. “Saya tidak mengenal mereka,” kata Sócrates. “Saya di sini untuk membaca Gramsci dalam bahasa aslinya dan mempelajari sejarah gerakan buruh.”

Sócrates tetap dikagumi banyak orang Brasil, salah satunya Rosie Siqueira, anggota Fiel Londres, kelompok penggemar Corinthians yang berbasis di London. “Sócrates adalah manusia yang melampaui zamannya. Pandangan dan cita-citanya dalam hal sosial dan politik mencerahkan begitu banyak penggemar, tidak hanya penggemar Corinthians, tapi juga penggemar tim nasional Brasil,” ujar Siqueira. 

“Dia juga seorang pemimpin sosial, memengaruhi pemain dan staf klub. Sócrates adalah seorang Kiri, menentang kediktatoran militer di Brasil dan membela kebebasan dan hak berbicara… Kita jarang melihat sosok seperti Sócrates di sepak bola, baik di Amerika Selatan maupun global.”

Walau caranya mengubah Corinthians didokumentasikan dengan baik, peran krusial identitas klub dan pendukung bagi Sócrates sering diabaikan. “Kami merasa sangat bangga menjadi satu-satunya klub yang memiliki masa begitu indah dalam sejarah,” kata Siqueira. “Pesan di balik gerakan itu akan selalu hidup bersama Corinthians. Itu akan terus mengingatkan kami tentang sejarah, asal usul, dan tujuan kami.”

Siqueira menambahkan: “Corinthians berasal dari kaum miskin, kelompok imigran, dan kelas pekerja. Kami tidak boleh melupakan itu. Memiliki Democracia Corinthiana di halaman-halaman buku sejarah kami akan membantu kami menjaga cita-cita ini tetap hidup.” 

Sócrates wafat pada 2011 dalam usia 57 tahun. Dia mengembuskan napas terakhir setelah berjuang melawan alkoholisme. Pada hari dia meninggal, Corinthians mengamankan gelar Liga Brasil. 

Setelah meninggalkan lapangan sepak bola, Sócrates terus mengadvokasi politik radikal. Dia menjalani profesi sebagai dokter, menjadi pakar kesehatan, penulis, dan dosen. 

Sócrates adalah pendukung Luiz Inácio Lula da Silva, yang juga tokoh sentral dalam gerakan Diretas Ja. Lula pun seorang penggemar Corinthians. “Pemerintahannya adalah yang terbaik dalam sejarah Brasil,” kata Sócrates tentang periode pertama Lula menjabat Presiden Brasil. Namun Sócrates tidak pernah tidak kritis. Saat diminta menilai kepresidenan Lula, dia berkata, “Bukan 10. Anda harus mengubah semuanya sekaligus untuk itu. Saya akan memberi nilai tujuh atau delapan. Itu cukup bagus.”

Ketika berlaga di Piala Dunia 2022 yang penuh skandal, tim nasional Brasil menjadi simbol perpecahan politik karena ideologi. Menjelang pemilihan umum Oktober lalu yang dimenangkan Lula, petahana sayap kanan Jair Bolsonaro menyerukan agar pendukungnya memakai kaus kuning tim nasional Brasil. Mereka lalu turun ke jalanan untuk memprotes hasil perolehan suara. Mereka mendesak agar kudeta militer tahun 1964 kembali dijalankan setelah kemenangan Lula. Konsekuensinya, banyak orang Brasil yang menentang Bolsonaro berhenti mengenakan kaus tim nasional yang ikonik itu, apalagi sejumlah penggawa tim nasional Brasil, termasuk Neymar, secara terbuka mendukung Bolsonaro. Lula menuduh bahwa penyerang Paris Saint-Germain itu mendukung Bolsonaro karena alasan pajak.

“Berkaca pada situasi saat ini, Sócrates masih merupakan sosok yang sangat penting,” kata Andrew Downie, jurnalis dan penulis buku Doctor Sócrates. “Selama masa kampanye pemilu lalu, ketika orang-orang seperti Neymar mendukung Bolsonaro, banyak orang di Brasil berkata, ‘Betapa kami merindukan sosok seperti Sócrates, yang menentang ketidakadilan sosial, membela hak asasi manusia, demokrasi dan mendorong hal-hal progresif’. Sócrates adalah manusia yang membela apa yang menurutnya benar.”

Beberapa mantan pesepak bola Brasil secara terbuka mendukung Lula, antara lain adik laki-laki Sócrates, Rai, dan teman lamanya, Casagrande. Rai, walau bukan pemenang Piala Dunia seperti saudaranya, tetaplah pesepak bola ulung. Dia mengangkat tangan kanannya untuk membuat bentuk huruf “L” saat pemberian Penghargaan Sócrates perdana pada seremoni Ballon d’Or, Oktober silam, tak lama sebelum pemilihan presiden Brasil. “Kita semua tahu di pihak mana Sócrates akan berada,” kata Rai sambil tersenyum.

Mengingat intervensi agresif FIFA, bahkan terhadap gerakan pro-kesetaraan yang paling tidak ofensif di Qatar, ajang sepak bola sejagat kali ini membutuhkan seorang pemain untuk membangkitkan semangat Piala Dunia Meksiko 1986. 

Bagi warga Brasil yang ingin merebut kembali makna simbolis seragam tim nasional sekaligus lambang nasional mereka secara lebih luas, sosok Sócrates yang menjulang tinggi adalah pengingat bahwa kelompok sayap kanan tidak akan pernah mendominasi warisan Seleçao.

“Kami telah mengalahkan Bolsonaro pada pemilu lalu, tapi itu tidak berarti Bolsonarismo telah hilang. Prasangka, seksisme, dan totalitarianisme masih ada di negara ini,” kata Siqueira. “Sepak bola, seperti biasa, memainkan peran penting dalam masyarakat dan kami ingin semangat Sócrates tetap hidup bersama kami.”


Artikel ini terbit pertama kali di Jacobin dengan judul This World Cup Needs the Spirit of Sócrates pada 3 Desember 2022. Redaksi menerjemahkan dan memublikasikan ulang dengan izin penerbit untuk tujuan pendidikan. 


Will Magee, jurnalis sepak bola yang menulis untuk Vice dan koran i.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.