Ilustrasi: Agus Pabika/Suara Papua
Pagi baru bermula ketika warga menemukan jasad Filep Karma di bibir pantai Base G, Jayapura, 1 November 2022. Kejadian ini bukan hanya mengagetkan keluarganya, tapi juga mereka yang peduli pada perjuangan bangsa Papua untuk meraih kedaulatan.
Jauh sebelum itu, di tahun 1980-an, seorang kawan kuliahnya di Universitas Negeri Sebelas Maret mengomentari kewajiban upacara pagi setiap Senin. Kata dia, kewajiban upacara hanya layak dilakukan orang-orang Papua, agar tertanam rasa syukur dan “nasionalisme” di dada mereka. Kesadaran politik Filep Karma menyala semenjak itu. Pengalaman membuktikan bahwa bangsa Papua dikepung kolonialisme dan rasisme, yang membuatnya harus melawan.
Kisah di bawah ini adalah tentang perlawanan Filep Karma yang nirkekerasan itu, dengan tetap berpegang pada cita-cita tertinggi: demi kedaulatan bangsa Papua. Ia ditulis dengan tulus oleh pemuda-aktivis yang memimpin media alternatif Lao-Lao. Artikel pertama kali terbit di media tersebut dengan judul yang sama. Kami merasa perlu untuk menyunting dan menerbitkannya kembali.
MINGGU ketiga November 2013, saya mengirim pesan singkat ke beberapa tahanan politik (tapol) Papua di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Abepura. Itu saya lakukan dari Rumah Tahanan (Rutan) Polresta Kota Jayapura. Isinya tentang pemukulan kepada saya oleh beberapa oknum tahanan yang diprovokasi polisi. Mereka yang menyerang dan melukai kemudian dipindahkan ke Lapas Kelas II A Abepura dan kabarnya menunggu saya di sana–sesuai arahan polisi.
Satu di antara tapol yang saya kontak adalah Bapa Filep Karma. Seingat saya, pesan saya kepada belian seperti ini: “Bapa, beberapa hari lalu sa di pukul oleh beberapa tahanan dan mereka telah dipindahkan ke lapas. Ada beberapa yang berdasarkan perintah polisi menunggu saya di lapas.” Balasan Bapa Filep begini, lagi-lagi sependek yang saya ingat: “Iya, anak. Trapapa, jangan kuatir, nanti bapa bicara dengan mereka di sini, kalau sudah di sini (lapas) aman.”
Baru belakangan saya ketahui bahwa Bapa Filep tidak hanya tapol, tetapi juga pembina para narapidana di Lapas Abepura. Ia bahkan punya jabatan khusus, yaitu pembina atlet tinju lapas bahkan sampai sekarang.
Lapas Abepura di tahun itu penuh dengan tapol sipil. Mungkin sampai puluhan. Selain Filep Karma, ada pula Forkorus Yoboisembut, Edison Waromi, dan golongan muda seperti Dominikus Serabut, Selfius Bobi, Victor Yeimo, dan lainnya.
Pengalaman saya berikutnya berinteraksi dengan Bapa Filep terjadi beberapa bulan kemudian, tepatnya Januari 2014. Ketika itu, di suatu sore, saya duduk di pohon ketapang samping Aula Gereja GKI Emaus Lapas sambil mengamati warga binaan bermain sepak bola. Dari kejauhan terlihat orang yang saya kenal itu berjalan turun dengan pakaian khas pegawai negeri sipil dan pin Bintang Kejora (BK). Bapa Filep baru saja pulang konsultasi kesehatan di RS Dok II Jayapura.
Saat ia dekat, saya langsung menyambutnya. “Sore, Bapa. Ehh ko su sampai, bagaimana, aman?” “Iyo, trapapa, kalau di sini aman. Mereka semua dikenal bapa. Trapapa masuk penjara juga, ada ospek ko mahasiswa, to?” jawabnya sambil tertawa.
Saya lalu bercerita kepadanya mengapa kami, lima orang mahasiswa, ditangkap. Empat orang hanya ditahan tiga minggu, sementara saya diproses hukum. Beliau menyimak kemudian menasihati dan lanjut bercerita kisahnya sendiri–menjadi spirit bagi saya waktu itu.
“Kamu yang sekarang masuk penjara ini lebih enak, sudah banyak fasilitas dan (lebih) diperhatikan. Bapa kitong dulu itu masuk penjara itu disiksa bisa berhari-hari. Tahun 1998 itu bapa pu kepala belakang ini dipukul langsung pingsan. Tahunya saja tidak selamat. Setelah sadar, di ruang tahanan ditanya-tanya dan disiksa, sampai mereka puas baru berhenti. Tapol sakit itu tidak berobat, tetapi sekarang ini lebih baik. Itu mungkin karena kekuatan kampanye-kampanye dan solidaritas.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, saya bercerita banyak hal dan lebih dekat dengan tokoh karismatik ini. Nama dan wajahnya tidak asing bagi saya sejak bertahun-tahun sebelumnya. Terutama sejak kuliah 2008/2009, ketika para aktivis HAM dan mahasiswa di Jayapura mulai mengampanyekan kesehatannya yang turun–dan harus dioperasi sekira tahun 2010.
Setelah bebas, saya berusaha agar dapat terus berjumpa dengannya di setiap kesempatan, baik di Jayapura maupun di luar Jayapura.
Di tahun 2020, saya meminta izin untuk meneleponnya. “Bapa, ade-ade mereka dari OKP di Merauke rencana buat diskusi minggu depan, tema rasisme. Mereka undang berbagai tokoh Papua selatan, intelektual, dan Bapa salah satunya. Mereka minta saya coba kontak Bapa pu kesediaan,” kata saya.
Saya bercerita panjang soal rencana itu dan mengatakan bahwa akan mengarahkan kawan-kawan untuk mengawalnya. Dia tertawa. “Bapa tidak perlu pengawal dan Bapa mau sekali hadir, tetapi Bapa sementara tidak bisa keluar karena sementara sedang berdoa dan puasa di minggu-minggu ini. Bapa bawa pergumulan perjuangan ini dalam doa puasa,” jawabnya. Saya baru kembali bertegur sapa dengannya pada acara korban pelanggaran HAM Papua di 2021 lalu.
Netralitas dalam gerakan
Filep Jacob Semuel Karma adalah seorang yang sederhana. Bukan karena setiap waktu mengenakan seragam pegawai, tetapi karena kepribadiannya. Sebagai seorang intelektual, tutur katanya sederhana sehingga mudah diterima oleh siapa pun. Apa yang dia inginkan dan kerjakan akan disampaikan tanpa berputar-putar, tanpa berusaha meyakinkan, dan mengharapkan orang untuk percaya juga. Dia paham benar apa yang dia kerjakan.
Dengan karakter yang kuat, siapa pun tidak akan bisa mengubah prinsipnya.
Ketokohan dan popularitas yang dimiliki Filep Karma sejak lama membuat banyak kelompok perjuangan kemerdekaan Papua ingin “memanfaatkannya”. Caranya adalah dengan menjadikannya pemimpin politik utama (saya juga awalnya mendukung ide ini). Terutama setelah kematian Theys Hiyo Eluay yang dibunuh tentara, tidak ada pemimpin karismatik yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Papua. Filep Karma adalah kandidat potensial untuk itu.
Persatuan-persatuan yang telah diupayakan dalam bentuk solidaritas, front, bahkan hingga mendeklarasikan negara sekalipun gagal melahirkan pemimpin politik besar.
Beberapa organisasi gerakan terutama yang dimotori kaum muda berinisiatif menjadikan momen pembebasan “secara paksa” dari lapas pada 2015 untuk mengukuhan–secara informal–Filep Karma sebagai tokoh bangsa Papua.
Penjemputan memang dilakukan secara meriah. Filep Karma diarak dari Lapas Abepura menuju anjungan Ekspo Waena. Tapi toh, singkat cerita, Filep Karma menolak ide pengukuhan dirinya itu. Ia lantas menarik diri dan menggunakan cara sendiri. Selain itu, ide ini ternyata juga diam-diam ditolak oleh beberapa kelompok gerakan karena ketidakpuasan mereka atas kasus Biak Berdarah 1998.
Keputusan untuk tidak memihak, seperti biasa, memunculkan sindiran serta tudingan dari sana-sini. Sikap itu dianggap dipengaruhi oleh oknum-oknum lain. Tetapi Filep tetap bersikap sebagaimana seorang pejuang. Lebih dari itu, ia tetap berperan sebagai seorang bapa yang netral, tidak memilih-milih pergaulan politik, berbaur dengan semua kalangan dan kelompok gerakan politik di Papua baik muda maupun tua.
Teologi pembebasan ala Mansar Filep
“Saya tidak beragama tetapi pengikut Yesus Kristus,” kata Filep suatu ketika.
Semua yang mengenal dirinya pasti tahu bahwa itu adalah salah satu kalimat pamungkasnya. Ia sering melontarkannya untuk membela keyakinan dan gerakan perjuangannya: bahwa Yesus Kristus-lah panutannya dalam berjuang.
Dia menolak untuk masuk dalam denominasi mana pun sebagaimana juga menolak untuk berpihak ke dalam salah satu kubu politik gerakan perjuangan Papua Merdeka. Sebagai pengikut Yesus, Filep komitmen dengan perjuangan dan pernikahannya–walau akhirnya ditinggal istri karena keputusan politik, seperti yang dicatat oleh Fransiska Manam pada 31 November 2021 di akun media sosialnya beberapa hari lalu. Inilah penggambaran sosok Filep Karma sebagai seorang Kristen (pengikut Kristus) dalam arti sebenarnya.
Selain Yesus Kristus, terdapat tokoh lain yang seingat saya sering disebut-sebut sebagai inspirasi perjuangannya, yakni Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela. Menurut Filep, perjuangan kemerdekaan Papua harus dilakukan secara damai, tanpa kekerasan. Atas dasar itu, Filep juga tidak segan-segan mengkritik bentuk perjuangan Papua dengan jalan kekerasan menggunakan senjata apa pun.
Jangankan itu, dirinya akan marah dan tidak terlibat demonstrasi jika massa aksi tidak tertib dan merusak fasilitas umum.
Salah satu bentuk perjuangan damai yang pernah saya dengar darinya saat di lapas adalah memenuhi penjara Indonesia dengan ribuan tapol. “Para tapol ini hanya beberapa, puluhan saja tetapi Indonesia sudah pusing. Bagaimana kalau kita merancang 1000-an tapol Papua? Indonesia nanti stres dan pusing. Penjara di seluruh Papua tidak muat. Mereka tidak mampu memberikan makan. Kita kibarkan Bintang Kejora secara damai dan satu persatu ditangkap. Dunia akan melihat itu!” tegasnya.
Strategi dan taktiknya selalu tampak sederhana dan muda dipahami, tetapi sulit untuk dilakukan. Selain yang di atas itu, kita bisa menyaksikannya ketika ia memimpin pengibaran Bintang Kejora di Tower Biak tahun 1998. Tujuannya tidak lain untuk mencari perhatian internasional bahwa rakyat Papua ingin kemerdekaan.
Bersama Yusak Pakage, pengibaran di Lapangan Trikora pada 2004 itu membuatnya ditangkap dan dihukum 15 tahun penjara.
Filep Karma memang seperti itu. Tidak ada jejak kekerasan dalam pergerakannya. Tetapi semua hal yang pernah dibuatnya justru akan terus menginsipirasi gerakan perlawanan damai. Caranya berpakaian, tutur katanya, semangat juangnya, pergaulannya yang tanpa batas, dan cintanya yang besar untuk tanah air adalah inspirasi.
Selamat jalan, Bapa sayang.
Yason Ngelia, aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pimpinan Redaksi Lao-Lao