Politik Identitas ≠ Politisasi Identitas

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Angelina Bambina/Teenvogue


“DASAR cebong, kampret, kadrun, buzzeRp!”

Semenjak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Pilpres 2019, dan hingga kini, stigma-stigma di ataslah yang meriuhkan dunia politik dan pertukaran wacana publik. Istilah itu ditujukan untuk pendukung politikus yang saling berkompetisi, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, atau kepada siapa saja yang berbeda pendapat.

Para pengamat di luar kedua kubu mengatakan penggunaan label tersebut adalah simbol dari menguatnya penggunaan politik identitas dalam perebutan kekuasaan politik. Dalam konteks Indonesia, politik identitas lekat dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang pada umumnya diwakili para elite dengan artikulasinya masing-masing.[i] Lebih jauh lagi, politik identitas macam ini dimaknai sebagai alat penguasa untuk memanipulasi dan menggalang kekuasaan bagi pemenuhan kepentingan ekonomi dan politiknya.[ii]

Karena karakteristiknya yang demikian—bisa merusak atau bahkan menghancurkan kebersamaan, toleransi, keragaman, serta kesatuan dan persatuan bangsa yang sangat multikultur ini—banyak pihak menganggap bahwa maraknya penggunaan politik identitas dalam kontestasi politik sangat berbahaya. Bahkan Jokowi turut menyuarakan kekhawatiran ini. Dalam pidato di Sidang Tahunan MPR 16 Agustus lalu, ia mengatakan, “Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial.”

Tetapi, apakah benar politik identitas sedemikian buruk maknanya? Apakah benar fenomena politik yang mengusung identitas ini layak disebut sebagai politik identitas, atau sebenarnya hanyalah bentuk dari politisasi identitas? Artikel ini hendak menjelaskan secara singkat apa itu politik identitas dan menunjukkan perbedaannya dengan politisasi identitas. Pembedaan ini penting agar kita tidak mencampuradukkan secara semena-mena antara teori dan praktik politik, sehingga tidak kehilangan arah dan kejernihan dalam berteori dan berpraksis.


Apa itu politik identitas?

Dalam artikel lalu, saya menjelaskan bahwa sebelum dekade 1950-an, istilah politik identitas sebagaimana yang digunakan secara luas saat ini tidaklah dikenal. Istilah ini baru muncul pada pertengahan dekade 1960-an.

Menurut Keeanga Yamahtta Taylor dalam How We Get Free Black Feminism and the Combahee River Collective, istilah “politik identitas” untuk pertama kalinya digunakan oleh Combahee River Collective (CRC), sebuah kolektif radikal feminis kulit hitam yang didirikan pada 1974 di Boston, Amerika Serikat. Anggota awal CRC terdiri dari Barbara Smith, Beverly Smith, Demita Frazier, Cheryl Clarke, Akasha Hull, Margo Okazawa-Rey, Chirlane McCray, dan Audre Lorde.

Melalui refleksi yang mendalam, CRC menyatakan, “Kami menyadari satu-satunya pihak yang cukup peduli kepada kita untuk bekerja secara konsisten demi kebebasan kita tidak lain adalah kita sendiri. Politik kita berkembang dari cinta yang sehat untuk diri kita sendiri, saudari-saudari kita, dan komunitas kita yang memungkinkan kita melanjutkan perjuangan dan kerja-kerja kita.” Selanjutnya CRC mengatakan, “Pemfokusan pada penindasan atas diri kita diwujudkan dalam konsep politik identitas (huruf tebal dari penulis). Kami percaya bahwa politik yang paling mendalam dan berpotensi paling radikal adalah yang berakar pada identitas kita sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain.”

Untuk bisa memahami konsep politik identitas yang diusung oleh CRC, kita mesti menempatkannya dalam konteks ketertindasan perempuan kulit hitam AS yang terjadi selama berabad-abad. Perempuan kulit hitam yang minoritas kala itu merupakan subjek paling tertindas dalam struktur masyarakat Amerika. Dengan mengusung politik identitas ini, maka, menurut Taylor, CRC memahami bahwa “…jika kita bisa membebaskan rakyat paling tertindas, maka kita bisa membebaskan setiap orang.”[iii]

CRC juga memahami bahwa penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam AS tidak bisa dipisahkan dari persoalan ekonomi dan politik. Karena itu, dalam pernyataannya, mereka mengatakan, “Pembebasan seluruh rakyat tertindas mengharuskan penghancuran sistem ekonomi-politik kapitalisme dan imperialisme serta patriarki.”[iv]

Dari sini kita mengetahui bahwa bagi CRC, penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam AS tidak secara sempit dimaknai sebagai penindasan oleh laki-laki (baik kulit putih maupun hitam). Karena itu, CRC tidak mempropagandakan atau mendukung politik segregasi yang diusung oleh kalangan feminis sebelumnya. Mereka sebaliknya mengatakan, “Walaupun kami feminis dan lesbian, kami perlu bersolidaritas dengan laki-laki progresif kulit hitam dan tidak mengampanyekan fraksionalisasi seperti yang dituntut oleh perempuan kulit putih.” Karena berorientasi sosialis, mereka juga mengatakan, “Kami tidak yakin bahwa revolusi sosialis yang tidak berkarakter feminis dan anti-rasis bisa menjamin pembebasan kami.”[v]

Dari pengertian politik identitas yang dikemukakan oleh CRC ini, kita bisa menyimpulkan: pertama, karakter politik identitas itu adalah berpihak kepada kaum minoritas yang tertindas; kedua, politik identitas tidak mengusung agenda sempit atau partikular dari kaum minoritas tertindas dalam masyarakat dan kemudian dipertentangkan dengan agenda kelompok tertindas lain; ketiga, politik identitas mengampanyekan solidaritas di semua kalangan masyarakat yang tertindas; dan keempat, politik identitas itu anti-kapitalisme, imperialisme, dan patriarki—oleh karena itu berwatak progresif dan revolusioner.

Dalam perkembangannya, konsep politik identitas yang dikemukakan oleh CRC mengalami moderasi dan kooptasi karena, dalam bahasa Olúfẹ́mi O. Táíwò, dibajak oleh elite ekonomi dan politik pendukung neoliberalisme.[vi] Di sini, walaupun tetap dimaknai sebagai pembelaan terhadap kaum minoritas identitas yang tertindas (perempuan, LGBT, agama/kepercayaan minoritas, masyarakat adat, dsb), karakter progresif revolusioner yang ditekankan CRC telah dibonsai. Politik identitas yang kita kenal saat ini lebih menekankan pada slogan “yang personal bersifat politik/the personal is political” untuk menggantikan politik berbasis kelas yang mereka anggap reduksionis dan deterministik.

Pada tahap ini, agenda politik identitas kemudian menjadi sejalan dengan agenda kebijakan kapitalisme-neoliberal.[vii]


Politisasi identitas

Merujuk pada pengertian mula-mula dari politik identitas sebagaimana dicetuskan oleh CRC, maka stigma cebong, kampret, kadrun, buzzeRp dan sebagainya itu sama sekali tidak layak atau tidak pantas disebut sebagai representasi dari politik identitas. Dalam stigma-stigma itu sama sekali tidak tercermin pembelaan terhadap kaum minoritas yang tertindas atau mengampanyekan solidaritas di antara sesama kaum tertindas untuk membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme, imperialisme, dan patriarki.

Stigma-stigma itu justru merupakan perwujudan dari apa yang ingin saya sebut sebagai politisasi identitas. Politisasi identitas dicirikan oleh penggunaan sentimen-sentimen identitas (ras, etnis, agama, nasionalisme, suku, warna kulit, dan atau gabungan dari beberapa identitas itu) untuk perebutan dan pertahanan kekuasan politik-ekonomi dari para elite (politik dan bisnis).[viii] Agenda politik-ekonominya sama sekali tidak ditujukan untuk membebaskan kaum tertindas dalam masyarakat dan, karena itu juga, politisasi identitas selalu mendasarkan pada kelompok yang identitasnya adalah mayoritas.

Inilah yang, misalnya, dilakukan oleh Adolf Hitler. Ia menggunakan identitas Arya yang merupakan identitas mayoritas rakyat Jerman sebagai ideologi unggul dan superior dibandingkan dengan identitas lain, terutama Yahudi. Hal serupa dilakukan oleh kelompok Hindu-nasionalis-ekstremis India (Hindutva) yang mengklaim bahwa Hindu sebagai agama mayoritas adalah lebih unggul, tinggi, dan pantas mengelola kekuasaan politik dibandingkan dengan agama-agama lain. Ada pula kalangan Buddhis-nasionalis-ekstrim di Myanmar yang mempersekusi kelompok muslim Rohingnya yang minoritas.

Hal yang sama kita lihat juga di Indonesia. Identitas nasionalisme dipertentangkan dengan identitas keislaman dalam perebutan dan pertahanan kekuasaan politik dari elite. Bukan hal yang kebetulan jika kedua identitas ini merupakan mayoritas dibandingkan dengan identitas lain, dan agenda-agenda politik-ekonominya sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat tertindas.

Pada saat yang sama, sembari mendasarkan klaimnya pada identitas mayoritas dalam masyarakat, para pendukung/penggerak politisasi identitas ini selalu menjadikan kelompok/identitas minoritas sebagai ancaman bagi kepentingan ekonomi-politiknya. Inilah yang sering dikatakan para pengamat sebagai “mayoritas yang bermental minoritas.”

Di sisi koin sebelahnya, politisasi identitas ini sekaligus menjadikan kaum minoritas sebagai sumber dari segala macam persoalan sosial-ekonomi yang muncul dalam masyarakat. Politisasi identitas, karenanya, senantiasa bergandengan tangan dengan politik pengkambinghitaman kelompok minoritas. Hitler menjadikan komunitas Yahudi sebagai sumber penyakit sosial masyarakat Jerman; Hindutva menganggap minoritas muslim sebagai ancaman bagi identitas India yang Hindu; Orde Baru menjadikan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai sumber ancaman sekaligus biang kerok seluruh persoalan bangsa; kalangan islamis menumbuhkan rasa takut yang mendalam/paranoid akan bahaya kristenisasi. Daftar ini bisa diperpanjang lagi.

Dengan karakternya yang demikian, politisasi identitas ini sama sekali tidak bersifat progresif apalagi revolusioner, melainkan konservatif dan reaksioner.


Penutup

Melalui penjelasan singkat ini, saya berharap kita berhenti memberi label “politik identitas” pada stigma-stigma cebong, kampret, kadrun, atau buzzeRp yang gaduh berseliweran saat ini. Labelisasi politik identitas pada tukang stigma ini membuat mereka menjadi merasa terhormat, karena mendudukkannya pada posisi sebagai pembela/pejuang identitas minoritas yang tertindas. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.

Dengan membombardir wacana dan aktivitas publik melalui politisasi identitas, para tukang stigma ini secara sengaja melakukan pengaburan dan pembelokan perhatian massa rakyat dari masalah-masalah substansial yang nyata terjadi dalam masyarakat akibat dari dianutnya sistem kapitalisme-neoliberal: kemiskinan yang meluas, kesenjangan kaya-miskin yang semakin lebar, akumulasi kekayaan yang semakin besar di kalangan segelintir orang dari tahun ke tahun, akses terhadap sumber-sumber kebudayaan yang sangat timpang antara elite dan massa; korupsi yang merajalela, pelayanan publik yang bobrok, ketimpangan antar-daerah yang sangat tinggi, dan lain sebagainya.

Melalui politisasi identitas, para tukang stigma itu secara sengaja menggeser konflik vertikal antara rakyat pekerja (dengan identitas yang sangat beragam) versus kapitalis menjadi konflik horizontal di antara sesama rakyat pekerja yang ditindas oleh kapitalis.***


[i] Assyari Abdullah, “Membaca Komunikasi Politik Gerakan Aksi Bela Islam 212: antara Politik Identitas dan Ijtihad Politik Alternatif”, An-Nida’, Jurnal Pemikiran Islam, Edisi Desember 2017 Vol. 41 No. 2. h. 206, https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Anida/article/viewFile/4654/2850, diunduh pada 29/11/2012.

[ii] Lihat Yeni Sri Lestari, “Politik Identitas Di Indonesia: Antara Nasionalisme Dan Agama”, Journal of Politics and Policy Volume 1, Number 1, Desember 2018, h. 23, https://jppol.ub.ac.id/index.php/jppol/article/view/4, diunduh pada 29/10/2022.

[iii] Keeanga Yamahtta (ed.), 2017, How We Get Free Black Feminism and the Combahee River Collective,  (Haymarket Books, Chicago, AS), p. 9.

[iv] Ibid., p. 20.

[v] Loc.Cit.

[vi] Lihat bukunya, Olúfẹ́mi O. Táíwò, 2022, Elite Capture How the Powerful Took Over Identity Politics (and Everything Else), (Pluto Press, London).

[vii] Kritik lebih lengkap atas politik identitas ini bisa dibaca pada tulisan saya berjudul “Rasisme, Politik Identitas, dan Masalah Papua: Sebuah Penjelasan”, https://indoprogress.com/2020/06/rasisme-politik-identitas-dan-masalah-papua-sebuah-penjelasan/

[viii] Harus ditekankan di sini, bahwa tidak seluruh aktivitas politik yang menggunakan identitas sebagai simbol perjuangan adalah buruk (misalnya penggunaan identitas nasionalisme untuk melawan penjajahan satu bangsa atas bangsa lain), namun dalam banyak kasus pasca-kemerdekaan, politisasi identitas lebih banyak bersifat negatif.


Coen Husain Pontoh adalah editor IndoPROGRESS

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.